Pengertian Pembelajaran Metode Sorogan dan Bandongan dalam Pembelajaran

13 karena kyai dapat mengetahui kemampuan pribadi santri satu persatu. Akan tetapi, sistem ini membutuhkan kesabaran, ketekunan, ketaatan dan kedisiplinan yang tinggi dari santri. Dalam metode sorogan ini diharapkan santri memantapkan diri sebelum dapat mengikuti pendidikan selanjutnya di pesantren. Sebab, pada dasarnya hanya murid-murid yang telah menguasai sistem sorogan sajalah yang dapat memetik keuntungan dari sistem bandongan di pesantren. Metode sorogan terbukti sangat efektif sebagai taraf pertama seorang murid yang bercita-cita menjadi seorang alim. Metode ini memungkinkan seorang guru untuk menguasai, menilai serta membimbing secara maksimal kemampuan seorang murid dalam menguasai bahasa Arab.

4. Pengertian Metode Bandongan

Bandongan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu pengajaran dalam bentuk kelas pada sekolah agama 11 . Bandongan juga bisa berarti belajar secara kelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Biasanya kyai menggunakan bahasa daerah setempat dan langsung menerjemahkan kalimat demi kalimat dari kitab yang dipelajarinya. 12 Metode bandongan atau wetonan identik dengan metode kuliah. Metode ini dikenal dengan istilah weton. Istilah ini berasal dari kata wektu Jawa yang berarti waktu, karena pengajaran ini diberikan pada waktu-waktu tertentu, biasanya pada saat sebelum dan sesudah melaksanakan shalat fardhu. 13 Di Jawa Barat, metode ini disebut dengan bandongan, sedang di Sumatra dipakai istilah halaqah. 14 Jadi, yang dimaksud metode bandongan adalah sistem pengajaran yang diberikan secara berkelompok yang diikuti oleh seluruh santri. Seorang guru membaca suatu kitab pada waktu tertentu, santri 11 Tim Penyusun Kamus Besar Bahasa Indonesia ..., op. cit., h. 87. 12 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta: INIS, 1994, h.61 13 Zarkasi, op. cit., h.75 14 Raharjo, op. cit., h.88 14 mendengarkan dan menyimak bacaan guru tersebut dengan mencatat hal- hal yang dianggap penting pada kitabnya masing-masing. Kegiatan belajar mengajar di atas berlangsung tanpa perjenjangan kelas dan kurikulum yang ketat, dan biasanya dengan memisahkan kelompok santri berdasarkan jenis kelamin. 15 Metode sorogan dan bandongan ini merupakan bagian dari metode klasik yang masih digunakan dalam mempelajari kitab kuning di pesantren, khususnya pesantren tradisional. Aktivitas pengajaran semacam ini sering dilakukan di masjid-masjid, langgar atau bahkan di rumah para kyai. 16 Metode sorogan dan bandongan sama-sama memiliki ciri utama dalam pengajarannya yang ditekankan pada penangkapan harfiyah atas suatu kitab teks tertentu. 17 Metode sorogan terbukti memiliki efektivitas dan signifikasi yang tinggi dalam mencapai hasil belajar. Sebab, dalam metode ini guru membimbing secara maksimal kemampuan santri dalam menguasai materi. Sedangkan, efektivitas metode bandongan terletak pada pencapaian kuantitas dan kedekatan relasi santri dengan kyai. 18 Selain masih mempertahankan metode-metode klasiknya pesantren tradisional berusaha mengimbangi institusi-institusi pendidikan lainnya dengan tidak meninggalkan identitasnya yang prinsipil. Intinya, pesantren tetap mempertahankan tradisi dan tata nilai yang masih relevan al muhafadzah ‘ala al-Qadim al-Shalih. Namun, di pihak lain secara selektif beradaptasi dengan pola baru yang bisa menopang kelanggengan sistem pendidikan pesantren al-akhdzu bi al-jadid al-Ashlah. 19 Adapun sistem evaluasi metode bandongan yakni meliputi : a. Aspek pengetahuan kognitif dilakukan dengan menilai kemampuan santri dalam membaca,menterjemahkan dan menjelaskan. 15 A. Malik MTT, Inovasi Kurikulum Berbasis Lokal di Pondok Pesantren, Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Jakarta 2008, Cet. I, h.16 16 Mohammad Tidjani Djauhari, Masa Depan Pesantren, Agenda Yang Belum Terselesaikan, Jakarta: Taj, 2008, Cet. I, h. 72 17 Abdurrahman Wahid, Menggerakkan Tradisi, Yogyakarta: LkiS, 2001, Cet. I, h. 55 18 Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institus, Jakarta: Erlangga, h. 72 19 Malik, op. cit., h. 19