3. Koefisien Determinan R
2
Pada intinya mengukur seberapa kemampuan model dalam menerangkan variable terikat. Jika R
2
semakin besar mendekati satu maka dapat dikatakan bahwa pengaruh variabel stress kerja besar terhadap prestasi kerja karyawan.
c. Uji Asumsi Klasik 1 Uji Normalitas
Menurut Ghozali 2005:110 menyatakan bahwa uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi variabel pengganggu atau residual
memiliki distribusi normal. Seperti diketahui bahwa uji t dan uji f mengasumsikan bahwa nilai residual mengikuti distribusi normal. Jika asumsi ini dilanggar maka
uji statistik menjadi tidak valid untuk jumlah sampel kecil. Ada 2 cara mendeteksi apakah residual berdistribusi normal atau tidak
menurut Ghozali 2005:110, yaitu: a
Analisis Grafik Salah satu cara termudah untuk melihat normalitas residual adalah dengan
melihat grafik histogram yang membandingkan antara data observasi dengan distribusi yang mendekati distibusi normal. Metode yang lebih
handal adalah dengan melihat model probability plot yang
membandingkan distribusi kumulatif dari distribusi normal. Distribusi normal akan membentuk garis lurus diagonal dan plot data residual akan
dibandingkan dengan garis diagonal. Jika distribusi data residual normal, maka garis yang menggambarkan data sesungguhnya akan mengikuti
garis diagonalnya.
Universitas Sumatera Utara
b Analisis Statistik
Uji statistik sederhana dapat dilakukan dengan melihat nilai kuortosis dan nilai Z-skewness. Uji statistik lain yang dapat digunakan untuk menguji
normalitas residual adalah uji statistik non parametik Kolmogorv-Smirnov 1 sample KS.
2 Uji Multikolinieritas
Untuk mendeteksi ada atau tidaknya multikolinieritas di dalam model regresi adalah sebagai berikut Ghozali, 2005:91 :
a Nilai R
2
yang dihasilkan oleh suatu estimasi model regresi empiris sangat tinggi, tetapi secara individual variabel-variabel independennya banyak
yang tidak signifikan mempengaruhi variabel dependen. b
Menganalisis matrik korelasi variabel-variabel independen. Jika antar variabel independen ada korelasi yang cukup tinggi umumnya diatas
0,90, maka hal ini merupakan indikasi adanya multikolinieritas. Tidak adanya korelasi yang tinggi antar variabel independen tidak berarti bebas
dari multikolinieritas. Multikolinieritas dapat disebabkan karena adanya efek atau kombinasi dua atau lebih variabel independen.
c Multikolinieritas dapat juga dilihat dari: nilai tolerance dan lawannya serta
Variance Inflation Factor VIF. Kedua ukuran ini meunjukkan setiap variabel independen manakah yang dijelaskan oleh variabel independen
lainnya. Dalam pengertian sederhana setiap variabel independenmenjadi variabel dependen dan di regres terhadap variabel independen lainnya.
Tolerance mengukur variabilitas variabelindependen yang terpilih yang tidak dijelaskan oleh variabel independen lainnya. Jika nilai tolerance
Universitas Sumatera Utara
yang rendah sama dengan nilai VIF tinggi karena VIF = 1Tolerance. Nilai cut off yang umum dipakai untuk menunjukkan adanya
multikolinieritas adalah nilai tolerance 0,10 atau sama dengan nilai VIF 10.
3 Uji Heteroskedastisitas
Suatu model dikatakan terdapat gejala heteroskedastisitas adalah jika koefisien parameter beta persamaan regresi tersebut signifikan secara statistik.
Sebaliknya, jika parameter beta tidak signifikan secara statistik, hal ini menunjukkan bahwa data model empiris yang diestimasi tidak terdapat
heteroskedastisitas Erlina, 2007:108. Ada beberapa cara yang dapat dipakai untuk mendeteksi ada atau tidaknya
heteroskedastisitas. Dalam penelitian ini menggunakan grafik Scatterplot dengan dasar analisis:
a Jika pola tertentu, seperti titik-titik yang membentuk pola tertentu yang
teratas maka mengindikasikan telah terjadi heteroskedastisitas. b
Jika tidak ada pola yang jelas, serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah angkan 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi heteroskedastisitas.
4 Uji Autokorelasi
Uji autokorelasi menguji apakah modell regresi linear ada korelasi antara kesalahan pengganggu pada periode t dengan kesalahan pengganggu pada periode
t-1 sebelumnya. Jika terjadi autokorelasi, maka dinamakan problem autokorelasi. Autokorelasi muncul karena observasi yang berurutuan sepanjang
waktu berkaitan satu sama lain. Masalah ini timbul karena residual kesalahan pengganggu tidak bebas dari satu observasi ke observasi lainnya.
Universitas Sumatera Utara
BAB II URAIAN TEORITIS
A. Penelitian Terdahulu
Penelitian yang dilakukan oleh Simamora 2009 dengan judul: “Pengaruh Stres Kerja Terhadap Intensi Turnover Karyawan pada PT. Perkasa Mostindo
Utama Binjai Deli Serdang” diketahui bahwa tingkat stress kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap intensi turnover karyawan yang artinya bahwa
tingkat stres kerja yang dialami oleh karyawan pada PT Perkasa Mostindo Utama Binjai Deli Serdang mempengaruhi tingkat turnover karyawan yang terjadi dalam
perusahaan, dimana tingkat turnover pada perusahaan tersebut sangat tinggi dipengaruhi oleh stres kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Azandi 2007 dengan judul: “Pengaruh stres pekerjaan terhadap perilaku produktiv karyawan pada Perusahaan CV. Aneka
Fiberglass Meninting Lombok Barat “ diketahui bahwa stres kerja berpengaruh signifikan terhadap perilaku produktif. Hal tersebut menunjukkan bahwa para
karyawan tidak dapat berbuat maksimal dalam melaksanakan tugas, oleh karena adanya tingkat stres kerja yang tinggi atau masalah yang timbul, baik dari mereka
sendiri maupun dari keluarga di rumah. Penelitian dengan judul : “Pengaruh Stres Kerja Terhadap Prestasi Kerja
Karyawan pada PT Pabrik Es Pematang Siantar” Tampubolon, 2009, dengan hasil penelitian bahwa stres kerja secara simultan berpengaruh positif dan
signifikan terhadap Prestasi Kerja karyawan pada PT Pabrik Es Pematang Siantar. Ini berarti prestasi kerja karyawan sangat dipengaruhi oleh stres kerja yang
dialami oleh karyawan.
Universitas Sumatera Utara