commit to user 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan hal yang penting bagi setiap manusia, bahkan dapat dikatakan sebagai suatu kebutuhan. Pelayanan pendidikan di Indonesia bagi
siswa-siswi berinteligensi tinggi semakin meningkat ditandai dengan munculnya fenomena penyelenggaraan program percepatan belajar kelas akselerasi pada
tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah Atas. Program akselerasi untuk siswa-siswi berkemampuan tinggi merupakan
salah satu topik penelitian terkemuka dalam dunia pendidikan Neihart, 2007. Menurut Hawadi 2004 akselerasi adalah kemajuan yang diperoleh dalam
program pengajaran pada waktu yang lebih cepat dan dalam usia yang lebih muda daripada usia konvensional atau reguler. Tujuan dari program akselerasi adalah
memberikan pelayanan pendidikan yang sesuai bagi anak berbakat intelektual untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal.
Kelas akselerasi pada awalnya dianggap sebagai solusi terbaik untuk memenuhi kebutuhan belajar bagi siswa dengan IQ tinggi, hal ini sesuai dengan
pendapat Terman dalam Hawadi, 2004 yang menyatakan bahwa siswa dengan IQ di atas normal memiliki keunggulan dalam hal kesehatan, penyesuiaan
sosial, dan sikap moral. Pendapat ini memunculkan mitos bahwa siswa dengan IQ tinggi adalah anak yang berbahagia dan mudah menyesuaikan diri dengan
lingkungan sosial, namun sebagian kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa
commit to user 2
kelas akselerasi tidak sebaik yang diharapkan serta ditengarai membawa dampak negatif pada kehidupan sosial siswa. Siswa menjadi berkurang kesempatannya
untuk bergaul dan berinteraksi dengan teman sebaya. Kurikulum program akselerasi menuntut siswa untuk dapat bekerja
keras, mandiri, disiplin, dan bertanggungjawab, karena beban siswa akselerasi tidak sama bahkan jauh lebih berat dibandingkan dengan siswa pada program
reguler. Permasalahan ini sering kali membuat siswa akselerasi lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar, sehingga waktu untuk bermain bersama teman
sebaya menjadi berkurang Maimunah, 2009. Para peneliti di bidang pendidikan memperkirakan bahwa sekitar 20-25
dari anak-anak berbakat mengalami masalah-masalah sosial dan emosional. Widodo 2006 mengungkapkan sebesar 15 siswa yang mengikuti program
akselerasi menjadi introvert, tidak mampu mengungkapkan gagasan dan pendapat, serta mengalami kesulitan dalam menjalin hubungan sosial. Fakta tersebut
diperkuat oleh hasil penelitian berjudul ”Manajemen Sekolah Unggulan Program
Akselerasi di SD H. Isriati Baiturrahman Semarang” yang dilakukan Endah dalam Maghviroh, 2009 bahwa anak berbakat siswa akselerasi memiliki
kesulitan penyesuaian sosial. Masalah penyesuaian sosial anak berbakat juga disebabkan karena adanya
karakteristik anak berbakat yaitu kurang dapat bergaul, seperti dikemukakan Munandar dalam Rahmawati dan Hartati, 2007 bahwa anak berbakat
mempunyai ciri-ciri sosial diantaranya sukar bergaul dengan teman sebaya dan sukar menyesuaikan diri dalam berbagai bidang. Hasil penelitian Iswinarti 2002
commit to user 3
menyebutkan bahwa sebagian anak dengan IQ tinggi akan mengalami kesulitan dalam penyesuaian sosial, karena anak dengan IQ tinggi mempunyai pemahaman
yang lebih cepat dan cara berpikir yang lebih maju, sehingga sering tidak sepadan dengan teman sebaya. Terdapat kcenderungan, anak berbakat hanya akan
berteman akrab dengan teman yang memiliki kepandaian setingkat. Bergaul dengan teman yang mempunyai kepandaian setingkat, menyebabkan anak
berbakat merasa mendapatkan teman sepadan untuk berdiskusi sebagai sarana memenuhi hasrat keingintahuan siswa akselerasi yang cukup besar.
Penelitian penyesuaian sosial siswa akselerasi dilakukan pada siswa kelas VIII program akselerasi di SMP Negeri 2 Surakarta karena beberapa alasan,
diantaranya ialah saat ini di Kota Surakarta hanya terdapat dua SMP yang menyelenggarakan program akselerasi, yaitu SMP Negeri 2 Surakarta dan SMP
Negeri 9 Surakarta. Beberapa tahun yang lalu, SMP Negeri 1 Surakarta dan SMP Negeri 4 Surakarta juga menyelenggarakan program akselerasi, namun saat ini
kedua SMP tersebut sudah beralih menyelenggarakan program pendidikan khusus lainnya, yaitu program Rintisan Sekolah Berbasis Internasional RSBI.
Berdasarkan hasil
survey, interview,
dan observasi yang telah dilakukan peneliti, dapat diketahui bahwa SMP Negeri 2 Surakarta belum pernah dipakai sebagai
tempat penelitian oleh peneliti lain dalam bidang akselerasi, sedangkan SMP Negeri 9 Surakarta sudah pernah dijadikan tempat penelitian oleh peneliti
sebelumnya dalam bidang akselerasi. Berdasarkan beberapa alasan tersebut, peneliti memutuskan SMP Negeri 2 Surakarta sebagai lokasi penelitian mengenai
penyesuaian sosial siswa akselerasi.
commit to user 4
Program akselerasi di SMP Negeri 2 Surakarta dimulai pada tahun 2005 hingga saat ini masih berjalan. Sejak tahun 2005, program akselerasi di SMP
Negeri 2 Surakarta selalu menduduki peringkat pertama dalam pencapaian nilai UAN tertinggi se-ekskaresidenan Surakarta. Berdasarkan hasil wawancara yang
dilakukan peneliti dengan salah satu guru pengampu kelas akselerasi yang juga merupakan ketua program akselerasi SMP Negeri 2 Surakarta, dapat diketahui
bahwa siswa akselerasi lebih memiliki kemampuan berpikir dewasa serta mempunyai tanggung jawab lebih besar jika dibandingkan dengan siswa reguler,
karena adanya tuntutan tugas yang berat bagi siwa akselerasi. Permasalahan yang tampak pada siswa akselerasi biasanya kurang bisa bergaul dengan teman dan
terlihat kaku dalam pergaulan, sehingga memunculkan masalah dalam penyesuaian sosial. Hal ini terjadi karena adanya tekanan akademik yang
menyebabkan siswa akselerasi sangat terpaku pada tugas-tugas yang diberikan. Usia siswa-siswa SMP dapat dikategorikan ke dalam masa remaja awal,
yaitu berkisar antara umur 12-15 tahun Monks dkk., 2004. Masa remaja secara global berlangsung antara umur 12 sampai dengan umur 21 tahun, dengan
pembagian 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun adalah masa remaja akhir. Ali dan Asrori
2004 mengungkapkan batasan usia pada masa remaja berlangsung sekitar umur 13 tahun sampai umur 18 tahun, yaitu masa ketika individu duduk di bangku
sekolah menengah. Masa ini biasanya dirasakan sebagai masa sulit, baik bagi remaja itu sendiri, maupun bagi keluarga, ataupun juga bagi lingkungannya. Allan
dkk. 2005 menyatakan bahwa periode perkembangan remaja awal memberikan
commit to user 5
banyak pengalaman menarik bagi individu mengenai berbagai macam perubahan yang dialami, diantaranya ialah perubahan biologis atau sering disebut dengan
pubertas, perubahan dalam hubungan sosial dengan keluarga dan teman sebaya
peers
, dan perubahan dalam bidang pendidikan yang biasanya terjadi pada saat individu berada pada sekolah menengah.
Baker dkk. 1998 menjelaskan bahwa permasalahan yang banyak dialami oleh siswa berbakat sering terjadi pada sekolah dasar tingkat akhir atau pada masa
sekolah menengah. Dilihat dari perspektif perkembangan sosial, anak pada usia tersebut sangat mungkin melakukan perbandingan dengan orang lain dan
melakukan penilaian terhadap diri sendiri melalui proses perbandingan sosial. Penolakan dan penerimaan teman sebaya menjadi hal yang penting pada usia
tersebut. Beberapa siswa berbakat memberikan perhatian yang lebih pada usaha untuk dapat menyesuaikan diri dengan standar atau norma suatu kelompok agar
dapat diterima dalam kelompok tersebut. Dilihat dari perspektif ketrampilan akademik, saat siswa duduk di sekolah dasar tingkat akhir atau sekolah menengah,
pihak sekolah telah memberikan beberapa tuntutan khusus yang harus mampu dilakukan oleh siswa, seperti manajemen waktu, kemampuan dan ketrampilan
belajar efektif, ketrampilan memecahkan masalah, dan sebagainya, sehingga remaja awal yang memiliki bakat dan kecerdasan istimewa sering mengalami
permasalahan klinis berhubungan dengan kesehatan mental dan permasalahan sosial berhubungan dengan individu lain dan lingkungan sosial.
commit to user 6
Remaja awal adalah waktu ketika seorang individu mengalami banyak perubahan. Biasanya pada tahap remaja awal, individu mulai meninggalkan masa
kecil dan mulai merasa nyaman pada kehidupan di sekolah menengah bersama beberapa siswa dan guru. Remaja awal juga merupakan waktu ketika anak
berkembang secara mental, menentukan identitas diri, dan mengambil peran dalam kehidupan sosial Holcomb dan McCoy, 2005. Pengaruh teman sebaya
menurut pendapat Papalia dkk. 2009 paling kuat di saat masa remaja awal, biasanya memuncak di usia 12-13 tahun serta menurun pada masa remaja
pertengahan dan masa remaja akhir. Memasuki masa remaja, anak mulai melepaskan diri dari ikatan emosi
dengan orang tua dan menjalin hubungan yang akrab dengan teman-teman sebaya. Havighurst 1972 menjelaskan beberapa tugas perkembangan remaja yang
berhubungan dengan perkembangan sosial emosional, yaitu menjalin hubungan dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai suatu peran sosial,
melakukan perilaku sosial yang diharapkan, dan mencapai suatu kemandirian sosial dari orang tua ataupun orang dewasa lainnya. Salah satu tugas
perkembangan pada masa remaja yang paling sulit ialah berhubungan dengan penyesuaian sosial.
Peningkatan keintiman, keakraban, dan komitmen terhadap kelompok teman sebaya tampak pada tahap remaja awal sampai dengan tahap remaja tengah
Joronen, 2005. Selama masa remaja, individu berusaha meningkatkan kualitas hubungan dengan lingkungan sosial. Remaja menjadi lebih kohesif, menjadi
anggota suatu kelompok, dan bergabung dalam suatu kelompok tertentu. Kualitas
commit to user 7
keakraban pertemanan memberikan pengaruh terhadap perilaku sosial remaja. Huurre 2000 berpendapat bahwa pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi
pada masa remaja menyebabkan remaja merasa perlu memiliki hubungan yang baik dengan orang tua, saudara, sahabat, teman, dan personil sekolah. Teman
sebaya memainkan peran yang penting bagi remaja untuk mencapai kemandirian, meningkatkan hubungan dengan kelompok teman sebaya, meningkatkan
keakraban, sebagai tempat berbagi pikiran ataupun perasaan sebagai dasar pembentukan persahabatan.
Rabow dalam Budiharto dan Koentjoro, 2004 mendefinisikan kohesivitas kelompok sebagai suatu pola hubungan persahabatan yang
mempunyai ikatan untuk saling tolong menolong antar anggota kelompok. Baron dan Byrne 2005 mengartikan persahabatan sebagai suatu bentuk hubungan
antara dua individu atau lebih. Individu-individu tersebut menghabiskan waktu bersama, berinteraksi dalam berbagai situasi, juga saling memberikan dukungan
emosional satu sama lain. Cassidy dkk. 2003 menjelaskan bahwa kesamaan sikap dan nilai menjadi dasar penting bagi pembentukan persahabatan. Sears dkk.
1991 mengemukakan bahwa apabila individu sebagai anggota suatu kelompok saling menyukai satu sama lain dan dieratkan dalam ikatan persahabatan, maka
kohesivitas kelompok tersebut akan semakin tinggi. Kohesivitas atau kebersamaan dalam lingkungan keluarga memberikan
pengaruh pada proses penyesuaian sosial dan pencarian identitas diri seorang remaja Schwartz, 2007. Dukungan dan kohesivitas kelompok teman sebaya
peer group
, dukungan dari guru, serta kondisi lingkungan sekolah juga
commit to user 8
berpengaruh terhadap konsep diri dan sosialisasi pada remaja awal. Hasil penelitian Tabassan dan Rafiq 1993 menyebutkan adanya perbedaan
penyesuaian sosial diantara individu yang memiliki kelompok pertemanan dengan individu yang tidak memiliki kelompok pertemanan. Individu sebagai anggota
suatu kelompok pertemanan lebih mudah menyesuaikan diri, lebih percaya diri, memiliki penyesuaian sosial dan emosional yang baik, serta mampu menjalankan
tugas perkembangan secara maksimal. Remaja dalam menjalin hubungan dengan teman sebaya, akan
memperhatikan karakteristik personal dan karakteristik sosial teman sebaya, misalnya dari segi usia, tingkat kecerdasan, dan juga penampilan fisik Cassidy
dkk., 2003. Remaja cenderung memilih teman atau sahabat yang serupa dalam masalah gender, suku bangsa, sikap dan prestasi akademis Papalia dkk., 2009.
Remaja mulai lebih mengandalkan teman dibanding dengan orang tua untuk mendapatkan kedekatan dan dukungan secara sosial.
Havighurst 1972 berpendapat bahwa perubahan dan perkembangan fisik yang pesat pada remaja membuat remaja menjadi lebih memperhatikan tubuh dan
penampilan fisik, yang juga berpengaruh terhadap interaksi remaja dengan orang lain di lingkungan sekitar, terutama dengan teman sebaya. Pendapat ini diperkuat
oleh Blyth dkk. 1985 bahwa hubungan dan interaksi dengan orang lain memungkinkan remaja melakukan perbandingan fisik dengan teman sebaya.
Salah satu aspek psikologis dari pertumbuhan fisik pada masa remaja adalah remaja seringkali membangun citra sendiri mengenai tubuh. Perhatian
yang berlebihan terhadap citra tubuh atau sering disebut sebagai
body image
ini
commit to user 9
lebih mencolok selama masa pubertas, pada tahap remaja awal dibandingkan dengan tahap remaja tengah atau akhir masa remaja Santrock, 2007. Perhatian
terhadap
body image
seorang individu sangat kuat terjadi pada remaja yang berusia 12 hingga 18 tahun, baik pada remaja perempuan maupun remaja laki-
laki. Thompson 2000 mengungkapkan bahwa perkembangan pada masa pubertas memberikan dampak dan perubahan fisik maupun psikologis bagi remaja
perempuan dan juga remaja laki-laki, terutama berkaitan dengan perkembangan
body image
.
Body image
telah menjadi permasalahan yang banyak dialami remaja laki- laki dan remaja perempuan berusia 11-24 tahun Wade dkk., 2009. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Fallon dan Rozin dalam Prevos, 2005 menyebutkan bahwa permasalahan
body image
dialami oleh remaja perempuan dan juga remaja laki-laki. Sebesar 70 remaja perempuan merasa tidak puas
dengan bentuk tubuh, sedangkan sebesar 30 remaja laki-laki merasa bahwa bentuk tubuh yang dimiliki sangat jauh dari gambaran tubuh ideal yang
didambakan. Fakta ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Schur, dkk. dalam Skemp-Arlt Mikat, 2007 menunjukkan bahwa 52 remaja
perempuan dan 48 remaja laki-laki berusaha menurunkan berat badan, untuk bisa memiliki bentuk tubuh yang sesuai dengan gambaran ideal. Thompson
2000 menjelaskan hanya sebesar 28 remaja laki-laki dan 15 remaja perempuan merasa puas terhadap seluruh bagian tubuh.
commit to user 10
Remaja mempunyai perhatian yang sangat besar terhadap penampilan fisik Monks dkk., 2004. Apabila remaja mampu menerima keadaan fisik dengan rasa
puas, remaja akan mampu melakukan penyesuaian dengan baik. Apabila remaja mempunyai persepsi negatif mengenai bentuk tubuh, hal ini dapat mempengaruhi
proses sosialisasi pada individu tersebut. Hasil penelitian Ramirez dan Rosen 2001 menyatakan adanya hubungan signifikan antara
body image
dengan penyesuaian psikologis.
Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul:
”Hubungan antara
Body Image
dan Kohesivitas Kelompok Teman Sebaya
dengan Penyesuaian Sosial pada Siswa Kelas VIII Program Akselerasi di SMP Negeri 2 Surakarta
”.
B. Rumusan Masalah