KL III IC
50
144,774 µgml, KL IV IC
50
285,723 µgml, KL V IC
50
214,890 µgml. Hasil pengujian sitotoksik larutan uji dari isolat dari fraksi KCV KL II
terhadap sel MCF-7 memberikan nilai IC
50
22,082 µgml sedangkan doksorubisin sebagai kontrol positif memberikan nilai nilai IC
50
Kolesterol merupakan salah satu jenis sterol yang banyak ditemukan pada hewan, karena merupakan komponen penyusun membran sel. Menurut Bharat,
dkk., 2013, beberapa jenis senyawa sterol seperti dibromostigmasterol, stigmast- 5-en-3-ol, stigmasta-5,22-dien-
3β-ol, cholest-5-en-3-ol kolesterol, ergost-5-en-3- ol, stigmast-5-en-3-il-9-oktadekanoat diketahui memiliki aktivitas sebagai
antibakteri, antijamur dan sitotoksik. Doksorubisin merupakan salah satu obat antitumor golongan antibiotik antrasiklin yang bekerja dengan cara menyisip pada
DNA dan mengakibatkan pemotongan DNA dan dapat menghasilkan radikal- radikal bebas pada jaringan normal maupun kanker yang dapat menyerang DNA
dengan cara mengoksidasi basa-basa DNA Serrano, et al., 1999. sebesar 7,875
µgml.
4.4 Hasil Uji Sitotoksisitas Isolat Kuda Laut terhadap sel Vero dan Selectivity
Index SI.
Untuk mengetahui nilai selectivity index SI, perlu diketahui IC
50
sel vero dan IC
50
SI mengindikasikan selektivitas sitotoksik keamanan dari isolat KL I terhadap sel kanker versus sel normal, yang dihitung dengan membandingkan
IC sel MCF-7 dengan menggunakan metode MTT. Selectivity index
dihitung menggunakan persamaan di bawah ini: ����������� ����� =
IC
50
Sel Vero IC
50
Sel MCF − 7
50
isolat KL I terhadap sel normal dan IC
50
isolat KL I terhadap sel kanker.
Universitas Sumatera Utara
Nilai IC
50
isolat KL I terhadap sel vero adalah 982,365 µgml, sedangkan nilai IC
50
4.5 Hasil Uji Penghambatan Siklus Sel dengan Flow cytometer
isolat KL I terhadap sel MCF-7 adalah 22,082 µgml. Sehingga diperoleh nilai SI yaitu 44,49. Isolat KL I dikatakan memiliki selektivitas yang tinggi
apabila nilai SI 3 Machana, 2011. Dengan demikian, isolat KL I selektif terhadap sel kanker MCF-7.
Dari hasil pengujian penghambatan siklus sel dengan menggunakan reagen propidium iodide
dengan alat flow cytometer diperoleh persentase penghambatan pada masing-masing fase yaitu.
Tabel 4.1 Persentase akumulasi pada tiap fase dalam siklus sel
Perlakuan Fase dalam Siklus Sel
Sub-G1 G0-G1
S-Phase G2-M
Kontrol 9,59
31,22 19,68
15,21 Doksorubisin ½ x IC
13,13
50
36,34 17,02
13,20 Doksorubisin 1 x IC
16,86
50
33,53 14,76
13,05 Isolat KL I ½ x IC
7,65
50
29,04 18,38
15,68 Isolat KL I 1 x IC
7,04
50
31,93 18,68
15,57 Isolat KL I 2 x IC
12,38
50
21,41 20,17
14,39 Dengan adanya fluorochrome yang
memiliki kemampuan
berinterkalasi dengan basa untai DNA seperti propidium iodide maka tiap sel yang memiliki jumlah set kromosom yang berbeda akan memberikan intensitas
fluoresensi yang berbeda. Semakin banyak set kromosom maka intensitas fluoresensi akan semakin besar. Alat yang digunakan untuk membaca intensitas
fluoresensi tiap sel pada penelitian ini adalah FACS Fluorescence Activated Cell Sorting
atau flow cytometer Givan, 2001. Hasil pengukuran penghambatan siklus sel MCF-7 dengan berbagai
perlakuan dapat dilihat bahwa pada kontrol sel MCF-7 ditemukan 9,59 sel
Universitas Sumatera Utara
mengalami pemacuan apoptosis pada perlakuan dengan doksorubisin ½ dan 1x IC
50
yang ditunjukkan terjadinya peningkatan persentase penghambatan pada fase sub-G1 yaitu 13,13 dan 16,86, sedangkan untuk perlakuan dengan pemberian
isolat KL I dengan ½ dan 1x IC
50
tidak menunjukkan peningkatan apoptosis yaitu 7,65 dan 7,04, sedangkan pemberian isolat KL I 2x IC
50
menunjukkan peningkatan apoptosis yang ditunjukkan adanya peningkatan persentase
penghambatan siklus sel pada fase sub-G1 yaitu 12,38. Hal ini dapat terjadi karena adanya penghambatan sintesis DNA pada sel MCF-7 dan pemacuan
ekspresi caspase 9,8 dan 7 pada sel MCF-7 yang dapat meningkatkan terjadinya apoptosis seperti halnya yang terjadi pada beberapa turunan senyawa kolesterol
oxysterol Vejux, et al., 2008.
Gambar 4.1 Hasil flow cytometer sel MCF-7 dengan pemberian doksorubisin
GO-G1 S-phase
G2-M GO-G1
S-phase G2-M
GO-G1 S-phase
G2-M GO-G1
S-phase G2-M
GO-G1 S-phase
G2-M GO-G1
S-phase G2-M
Kontrol sel
Isolat 2x IC
50
Isolat 1x IC
50
Isolat ½ x IC
50
Doksorubisin 1x IC
50
Doksorubisin ½ x IC
50
Universitas Sumatera Utara
dan isolat KL I Untuk fase G0-G1 terjadi peningkatan yang signifikan oleh pemberian
doksorubisin ½ dan 1x IC
50
yaitu dari 31,22 kontrol sel menjadi 36,34 dan 33,53 yang berarti bahwa sel mengalami penghambatan dalam persiapan materi
DNA yang akan disintesis untuk memasuki fase S, sedangkan pada sel yang diberi perlakuan ½ dan 1x IC
50
tidak mengalami perubahan yang besar, akan tetapi untuk perlakuan dengan 2x IC
50
Untuk fase S dan G2-M persentase tertinggi terdapat pada perlakuan dengan pemberian isolat KL I 2x IC
dari isolat menunjukkan penurunan persentase penghambatan pada fase G0-G1 yaitu sebesar 21,41.
50
Salah satu kelemahan dari flow cytometry dalam analisa siklus sel adalah pengukuran yang bersifat subjektif, yaitu operator dapat menginterpretasi data
dengan beberapa cara yang berbeda. Pada analisa siklus sel dengan metode flow cytometry
, tidak ada aturan baku untuk menetapkan rentang intensitas fluoresensi untuk menentukan fase-fase dalam siklus sel, sehingga terdapat kesulitan dalam
menentukan dimana 2n fase G0G1 berakhir dan dimana mulainya fase S. Begitu pula untuk menentukan dimana akhir dari fase S dan dimulainya fase
yaitu 20,17 dan 14,39 tidak lebih tinggi jika dibandingkan dengan kontrol sel yaitu 19,68 dan 15,21, sedangkan untuk
doksorubisin tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Peningkatan penghambatan pada fase S menunjukkan bahwa isolat mencegah terjadinya
sintesa DNA sel, sedangkan peningkatan penghambatan pada fase G2-M menunjukkan ada perbaikan DNA yang rusak DNA repair, apabila kerusakan
DNA dapat diperbaiki maka siklus sel dapat berlangsung dimana setelah melewati fase M sel akan memasuki fase G0 dan G1 Dipaola, 2002.
Universitas Sumatera Utara
G2M 4n. metode yang paling sederhana untuk menentukan range intensitas fluoresensi disebut peak reflect method, dimana puncak dari G0G1 diasumsikan
terdistribusi simetris disekitar puncak tertinggi. Berdasarkan asumsi ini, lebar dari puncak G0G1, dari puncak tertinggi kearah kiri fluoresen rendah dikopi ke
kanan fluoresen tinggi. Hal yang sama dilakukan pada puncak G2M. selanjutnya area yang berada ditengah-tengah antara kedua wilayah tersebut
antara G0G1 dan G2M dianggap sebagai fase S Givan, 2001. Kemungkinan terjadinya agregat atau pengelompokan sel mungkin saja
terjadi, dua sel pada fase G1 yang berkumpul saat penyinaran akan memantulkan fluoresen dua kali DNA content normal dan tampak seperti satu sel yang berada
pada fase G2M. Salah satu cara mendiagnosa adanya dua sel yang bergabung dengan melihat angka 600 pada sumbu x histogram sangat rendah, ini
menunjukkan bahwa sel MCF-7 yang digunakan sangat sedikit mengalami double cell
atau sel yang berkelompok, sehingga data yang didapatkan cukup valid
Gambar 4.2 Histogram siklus sel MCF-7 yang menunjukkan sedikit sel yang
mengalami agregat double cell ditunjukkan oleh tanda panah 4.6 Hasil Analisis Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 dengan Imunositokimia
Pengamatan ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 terhadap sel MCF-7 dengan pemberian larutan uji menunjukkan bahwa pemberian larutan uji isolat
mempengaruhi ekspresi kaspase 9 sebagai eksekutor terjadinya apoptosis selain kaspase 3 dan penghambatan ekspresi siklin D1 yang merupakan indikator
M 1
G O
-G 1
S -p
h a
s e
G 2
-M M
5
Universitas Sumatera Utara
terjadinya pembelahan sel. Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 ditunjukkan pada Gambar berikut ini.
Kontrol sel MCF-7 siklin D1 Kontrol sel MCF-7 kaspase 9
Doksorubisin siklin D1 Doksorubisin kaspase 9
Isolat KL I siklin D1 Isolat KL I kaspase 9
Gambar 4.3
Ekspresi kaspase 9 dan siklin D1 pada sel MCF-7 yang diberi doksorubisin dan isolat KL I
Universitas Sumatera Utara
Pada siklus pembelahan sel siklin D1 diperlukan untuk berikatan dengan CDK-4 dan CDK-6 dengan membentuk kompleks yang berperan pada fase G-1.
CDK-siklin D1 yang mana kompleks ini akan memfosforilasi protein retinoblastoma p-RB yang semula memblokir aktivitas faktor transkripsi seperti
E2F dan ABL. Proses fosforilasi ini mengakibatkan p-RB menjadi inaktif. Ketidakinaktifan dari p-RB mengakibatkan faktor transkripsi menjadi aktif,
sehingga disintesis beberapa protein seperti CDC-6p, Dbf-4p, CDC-7p,MCM-p dan beberapa jenis enzim, antara lain polymerase, primase, helikase, ligase
maupun topoisomerase gyrase, sehingga ketika terjadi penghambatan ekspresi siklinD 1 maka transkripsi tidak akan terjadi. Siklin disintesa pada masa interfase
dan dihancurkan pada akhir mitosis Aman, dkk., 2010; Sudiana, 2008. Sel MCF-7 mengekspresikan sekitar 40 siklin D1, sehingga pada kontrol
sel normal ditemukan banyak sel yang menunjukkan ekspresi siklin D. penghambatan ekspresi siklin D1 ditunjukkan oleh pemberian isolat KL I yang
ditandai dengan hanya terserapnya warna dari hematoxilin pada sel. Adanya penguranganpenghambatan ekspresi siklin D1 menunjukkan bahwa isolat KL I
memiliki efek antiproliferasi Lukyanova, dkk., 2009. Kaspase 9 merupakan salah satu dari kaspase inisiator kaspase-8,
kaspase-10, kaspase-9 dan kaspase-2, kaspase efektoreksekusioner antara lain kaspase-3, kaspase-6, dan kaspase-7 dan kaspase yang berperan dalam maturasi
sitokin antara lain kaspase-1 dan kaspase-5. Kaspase 9 yang merupakan kaspase inisiator yang pada regulasi apoptosis dari jalur intrinsik yang dapat mengaktifkan
kaspase efektor kaspase-3 atau -7 yang akan memotong substrat yang terdapat di dalam sel untuk mengeksekusi apoptosis Aman, dkk., 2010.
Universitas Sumatera Utara
4.7 Hasil Analisis Fraksi n-heksana dengan Cara Kromatografi Lapis Tipis