Karakteristik Mentimun TINJAUAN PUSTAKA

10

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Mentimun

Mentimun atau ketimun mempunyai nama latin Cucumis Sativus L. Mentimun termasuk dalam keluarga labu-labuan cucubitaceae. Sejarah mentimun berasal dari Himalaya di benua Asia Utara, dan telah meluas ke seluruh daratan baik tropis atau subtropis, kemudian terus meluas hingga ke Indonesia. Di Indonesia tanaman mentimun umumnya diusahakan di dataran rendah dengan berbagai nama, seperti timun Jawa, bonteng Jawa Barat, temon atau antemon Madura, ktimun atau antimun Bali, hantimun Lampung, dan timon Aceh Direktorat Jendral Hortikultura 2006. Mentimun merupakan salah satu sayuran yang dapat dikonsumsi baik dalam bentuk segar maupun olahan, seperti acar, asinan, dan lain-lain. Selain sebagai sayuran konsumsi mentimun mempunyai berbagai manfaat lainnya seiring dengan berkembangnya industri kosmetik, ilmu kesehatan dan makanan dengan berbahan mentimun. Mentimun memiliki kandungan gizi yang cukup baik, karena mentimun merupakan sumber mineral dan vitamin. Kandungan nutrisi per 100 gram mentimun terdiri dari 15 kalori, 0,8 gram protein, 0,1 gram pati, 3 gram karbohidrat, 30 mg fosfor, 0,5 mg besi, 0,02 mg thianine, 0,01 mg nriboflavin, 14 mg asam, 0,45 mg vitamin A, 0,3 mg vitamin B1, dan 0,2 mg vitamin B2 Sumpena, 2007. Faktor lingkungan menjadi salah satu syarat tumbuh yang perlu diperhatikan dalam melakukan budidaya seperti media, suhu, air, cahaya, dan kelembaban. Menurut Sumpena 2007 kemasamaan tanah yang optimal untuk mentimun adalah antara 5,5-6,5. Tanah yang banyak mengandung air, terutama pada waktu berbunga, merupakan jenis tanah yang baik untuk penanaman mentimun. Jenis tanah yang cocok untuk penanaman mentimun diantaranya aluvial, latosol, dan andosol. Tanaman mentimun dapat tumbuh baik dengan ketinggian 0-1000 meter di atas permukaan laut. Selain itu suhu untuk tanaman mentimun a - C, dengan kelembaban relatif udara untuk pertumbuhan mentimun antara 50-85 persen. 11 Cahaya merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman mentimun. Dimana penyerapan unsur hara akan berlangsung dengan optimal jika pencahayaan berlangsung antara 8-12 jam per hari. Variasi bentuk dan warna buah mentimun disebabkan oleh varietas mentimun yang berbeda. Varietas buah mentimun terus bertambah seiring dengan kemajuan teknologi dan kebutuhan akan benih mentimun yang disesuaikan dengan kondisi geografis suatu tempat. Menurut Wahyudi 2010 Mentimun memiliki beberapa varietas, ada tiga contoh varietas yaitu mayapada F-1, panda, dan venus. Mayapada F-1 memiliki bentuk buah meruncing dan warna buah hijau muda sampai sedang, mayapada F-1 memiliki ukuran panjang 16,0 – 16,5 cm dan diameter 3,0 – 3,5 cm serta bobot per buah 120-130 gram. Varietas ini dapat dipanen ketika tanaman berumur 32 HST dengan potensi produksi sebesar 50-60 ton per hektar. Panda memiliki bentuk buah lonjong dan berwarna hijau muda, berukuran panjang 17-18 cm dan diameter sebesar 3,5-4 cm, serta bobot per buah berkisar 120-150 gram. Varietas ini dapat dipanen ketika tanaman berumur 33 HST dengan potensi produksi sebesar 40-50 ton per hektar. Lain halnya dengan varietas venus dimana bentuk buah langsing dengan bagian pangkal bulat dimana daging buahnya memiliki rasa yang manis sehingga mentimun dengan varietas ini cocok untuk lalap. Varietas ini memiliki ukuran 15-16 cm dengan diameter 3,5-4,0 cm serta bobot perbuah berkisar 120-130 gram. Varietas venus memiliki masa panen lebih cepat dengan dua varietas mayapada F-1 dan panda yaitu pada saat tanaman berumur 32 HST dengan potensi produksi sebesar 50-60 ton per hektar. Mentimun dapat dibudidayakan di sawah, ladang, kebun, polibag dengan menggunakan lanjaran atau para-para atau dibiarkan merambat ditanah, karena mentimun adalah tanaman semusim yang bersifat menjalar atau merambat dengan perantara alat pemegang seperti ajir. Cara budidaya mentimun pada dasarnya sama dengan budidaya sayuran konvesional lainnya, yaitu Pertama melakukan persiapan persemaian yang mencakup menyediakan kebutuhan benih, menyiapkan media semai dan persemaian. Kedua melakukan persiapan penanaman dimana menyiapkan lahan dan penanaman. Ketiga melakukan pemupukan. Keempat melakukan pemeliharaan tanaman yaitu dengan 12 pemangkasan cabang, pemasangan ajir penompang, pengikatan tanaman, sanitasi lahan, dan pengairan. Kelima melakukan pencegahan atau pembrantasan hama dan penyakit yang ada pada tumbuhan mentimun. Keenam yaitu melakukan panen dan pascapanen Wahyudi, 2010. Terdapat beberapa penelitian yang menganalisis mengenai mentimun, diantaranya yaitu Prabowo 2009 dan Rahmawaty 2009. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Prabowo 2009, mentimun merupakan salah satu sayuran yang rentan terhadap serangan hama serta infeksi patogen tanaman, serangan hama dan penyakit yang terjadi pada tanaman mentimun menimbulkan kerusakan berat dan kehilangan hasil panen pada pertanaman mentimun di lokasi penelitian. Adapun hama yang banyak menyerang tanaman mentimun yaitu lalat pengorok daun dan kutu daun, sedangkan penyakit utama pada pertanaman mentimun adalah layu yang disebabkan oleh nematoda M. Arenaria, dan embun bulu yang disebabkan oleh cendawan P. Cubensis. Dengan adanya hal tersebut membuat pertumbuhan mentimun terhambat sehingga produksi mentimun dapat menurun. Lain halnya dengan penelitian Rahmawaty 2009 tentang varietas dan konsentrasi pada pertumbuhan dan hasil panen mentimun dimana hasil yang didapat bahwa pemberian ethepon pada tanaman varietas Soarer berpengaruh lebih baik terhadap tinggi tanaman, jumlah ruas, jumlah buah dan bobot buah dibandingkan dengan varietas Purbaya. Sedangkan pemberian ethepon pada varietas Purbaya berpengaruh nyata terhadap jumlah ruas tanaman, jumlah bunga betina, dan jumlah bunga betina gugur. 2.2 Analisis Risiko Produksi dan Pengaruh Faktor-Faktor Produksi Terhadap Risiko Produksi Komoditas Pertanian Risiko produksi merupakan peluang penurunan hasil produksi dari hasil yang diharapkan. Dalam melakukan produksi adanya kegagalan dalam melakukan produksi merupakan suatu risiko produksi, berbagai sumber risiko seperti kondisi iklim dan cuaca yang tidak dapat diprediksi, serangan hama dan penyakit yang sulit untuk dikendalikan, dan kesalahan dari manusia human error. Hal tersebut mengidikasikan terjadinya risiko produksi yaitu adanya senjang produktivitas 13 antara produktivitas yang seharusnya dan produktivitas yang dihasilkan oleh petani tersebut. Terdapat beberapa penelitian yang menganalisis mengenai risiko produksi, diantaranya Ginting 2009, Sembiring 2010, dan Safitri 2009. Komoditas sayuran merupakan objek dari ketiga penelitian tersebut. Dimana menurut ketiga penelitian tersebut adanya risiko produksi berindikasi pada terjadinya fluktuasi produksi atau produktivitas sehingga berpengaruh terhadap penurunan pendapatan. Dari ketiga penelitian tersebut sumber risiko yang banyak menyebabkan terjadinya risiko produksi antara lain iklim dan cuaca yang sulit untuk diprediksi, dan serangan hama dan penyakit yang sulit untuk dikendalikan. Selain sumber risiko tersebut ada risiko produksi lainnya, dimana menurut Ginting 2009 adanya kegagalan dalam penggunaan teknologi pengukusan dan kualitas atau keterampilan tenaga kerja yang kurang baik, Sembiring 2010 adanya kegagalan penggunaan teknologi dalam penanaman lahan terbuka dan greenhouse, sedangkan Safitri 2009 tingkat kesuburan lahan merupakan salah satu risiko produksi yang dihadapi. Berdasarkan ketiga penelitian tersebut, dalam menganalisis risiko produksi menggunakan perhitungan variance, standard deviation, dan coefficient varian. Ginting 2009 dalam usaha spesialisasi jamur tiram putih pada Cempaka Baru menghadapi risiko produksi sebesar 0,32. Artinya untuk setiap satu satuan hasil produksi yang diperoleh Cempaka Baru maka risiko kerugian yang dihadapi adalah sebesar 0,32 satuan. Selain itu peneliti memperhitungkan nilai expected return dimana diperoleh hasil sebesar 0,25. Artinya, usaha Cempaka Baru dapat mengharapkan perolehan hasil sebanyak 0,25 kilogram per baglog untuk setiap baglog jamur tiram putih. Menurut Sembiring 2010 dimana risiko produksi tertinggi berdasarkan produktivitasnya pada The Pinewood Organic Farm adalah komoditas brokoli yaitu 0,54, untuk risiko produksi yang terendah yaitu caisin yaitu 0,24. Hal ini disebabkan karena brokoli sangat rentan terhadap penyakit terutama kondisi cuaca yang tidak pasti, sehingga mengakibatkan produktivitas tanaman brokoli mengalami risiko yang tinggi. Sedangkan untuk pendapatan bersih diperoleh risiko yang tinggi adalah komoditas brokoli yaitu sebesar 0,8 dan untuk yang 14 paling rendah yaitu tomat sebesar 0,48. Sedangkan penelitian Safitri 2009 pada usaha daun potong di PT Pesona Daun Mas Asri, berdasarkan produktivitasnya philodendron marble mempunyai nilai variance yang lebih tinggi dibandingkan dengan asparagus bintang yaitu sebesar 0,48. Standar deviation pada philodendron marble mempunyai nilai lebih tinggi dibandingkan dengan asparagus bintang yaitu 0,69. Berdasarkan pendapatan bersih bahwa asparagus bintang memiliki risiko produksi paling tinggi dibandingkan philodendron marble . Pada ketiga penelitian analisis risiko produksi yang telah dipaparkan, analisis jamur tiram putih tidak dapat dibandingkan dengan komoditas lain apakah hasil risiko tersebut termasuk berisiko tinggi atau rendah karena hanya memperhitungkan risiko dengan satu komoditas, berbeda dengan Sembiring 2010 dan Safitri 2009 dimana besarnya risiko produksi dapat dibandingkan antara risiko yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian sebelumnya. Persamaan yang paling menonjol adalah penelitian ini sama-sama menganalisis risiko produksi dengan menggunakan variance. Dalam penilaian variance ini memiliki perbedaan, dimana penilaian variance pada penelitian ini berdasarkan variance dari fungsi produksi, dimana fungsi produksi dibangun dari beberapa faktor-faktor produksi yang digunakan. Sehingga, risiko produksi dilihat berdasarkan pengaruh penggunaan faktor-faktor produksi yang akan mempengaruhi jumlah produksi dengan menggunakan model fungsi risiko Just dan Pope. Selain itu, perbedaan lain penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terletak pada komoditas yang menjadi objek penelitian, dimana penelitian ini hanya meneliti hortikultura yaitu mentimun, sedangkan Ginting 2009 meneliti tentang jamur tiram putih dan Sembiring 2010 meneliti tentang beberapa jenis sayuran organik, serta Safitri 2009 meneliti tentang daun potong. Faktor produksi sangat menentukan besar-kecilnya produksi yang diperoleh, dimana faktor produksi dikenal dengan istilah input, production factor, dan korbanan produksi. Faktor produksi terpenting diantara faktor yang lainnya adalah faktor produksi lahan, modal, obat-obatan, tenaga kerja, dan aspek manajemen. Hubungan antara faktor produksi input dan hasil produksi output 15 biasanya disebut dengan fungsi produksi atau juga disebut dengan factor relationship Soekartawi, 1993. Dalam prakteknya, penggunaan faktor produksi juga masih dipengaruhi oleh faktor lain diluar kontrol manusia, seperti serangan hama-penyakit, serta cuaca dan iklim. Faktor-faktor produksi tersebut dikenal dengan istilah risiko. Adapun fungsi produksi yang pada umumnya digunakan adalah fungsi Cobb-Douglass. Terdapat dua penelitian yang menganalisis mengenai faktor-faktor produksi, yaitu Losinger 2006, Koundouri and Nauges 2005, dan Fariyanti et.al. 2007 . Ketiga penelitian tersebut menggunakan analisis model fungsi produksi Cobb-Douglass untuk menduga faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi produksi pada masing-masing komoditas. Losinger 2006 menggunakan model fungsi risiko produksi Just and Pope serta untuk fungsi varian menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglas. Variabel pemilihan didasarkan pada seleksi forward-stepwise Losinger et al. 2000. Pada usaha produksi ikan patin, luasan lahan menunjukkan nilai koefisien negatif, artinya kenaikan luas lahan perikanan menyebabkan berkurangnya variabilitas produksi per hektar. Selain itu, nilai mean menunjukkan bahwa hasil harapan per hektar juga meningkat jika ukuran lahan perikanannya meningkat. Ukuran kolam tidak berpengaruh signifikan terhadap hasil yang diharapkan per hektar, terutama dibandingkan dengan luas lahan, padat tebar dan pakan. Namun, hasil deskriptif dasar dari data survei yang membentuk dasar penelitian ini menunjukkan bahwa hasil maksimum per hektar terjadi pada perikanan patin dengan tambak rata-rata ukuran 5,3-6,1 hektar, dimana varian produksi menunjukkan tanda-tanda peningkatan ukuran kolam rata-rata di kisaran 5,3-6,1 hektar. Perikanan dengan lebih banyak kolam yang lebih kecil mungkin lebih cenderung memiliki kolam yang bebas penyakit, tetapi mengalami penurunan produksi dalam varian. Dengan demikian, petani patin yang peduli dengan kedua hasil harapan dan varian, mungkin ingin berkonsentrasi pada kolam bangunan yang kira-kira 5,3 ha. Sama halnya dengan Losinger 2006, Koundouri and Nauges 2005 menggunakan model fungsi risiko produksi Just and Pope dengan fungsi Cobb- douglas untuk mengetahui fungsi varian parameter yang digunakan. Hasil yang 16 didapat yaitu dalam budidaya sayuran atau sereal dipengaruhi oleh karakteristik kualitatif dari input dan input produksi. Dalam budidaya sayuran atau sereal kemungkinan nilai positif atau negatif dipengaruhi oleh proposi bidang tanah yang irigasi, karena budidaya sayuran membutuhkan air lebih banyak dari sereal. Variabel-variabel sebagai penentu yang dimasukan kedalam setiap fungsi produksi yaitu input variabel pestisida, tenaga kerja, air, pupuk, investasi dalam mesin, curah hujan, luas total irigasi, jarak dan tahun pengalaman dalam pertanian. Estimasi model fungsi produksi dalam setiap kasus menunjukan data cross section 0,8 untuk kelompok produsen sayur dan 0,83 untuk kelompok sereal. Masing-masing laporan parameter dari fungsi risiko diperkirakan dengan dan tanpa koreksi selekktivitas untuk semua input variabel bagi petani sayuran dan petani sereal. Kontribusi setiap masukan untuk varians ditemukan berbeda tergantung pada selektivitas. Lebih tepatnya, meskipun tenaga kerja yang ditemukan memiliki risiko meningkat sedangkan pupuk tidak mempengaruhi risiko produksi secara signifikan ketika selektivitas, tetapi ditemukan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap risiko ketika selektivitas bias. Dalam kasus pestisida, masukan ini ditemukan peningkatan risiko hanya ketika selektivitas diperhitungkan. Tenaga kerja dan air ditemukan menjadi masukan risiko penurunan dalam kedua model pada tingkat tinggi signifikansi, tetapi besarnya efek bervariasi dari satu model ke model lain. Sedangkan menurut Fariyanti et.al. 2007 faktor-faktor produksi komoditas sayuran kentang dan kubis yang mempengaruhi rata-rata hasil produksi dan variasi hasil produksi yaitu luas lahan garapan, benih, pupuk urea, pupuk TSP, pupuk KCL, pestisida, dan tenaga kerja. Pada fungsi produksi komoditas kentang, pupuk TSP dan pupuk KCL memiliki tanda negatif. Hal ini menunjukan bahwa penggunaan kedua pupuk tersebut dalam jumlah yang besar yang dilakukan petani responden yang dikarenakan tingkat kesuburan lahan yang semakin menurun. Sedangkan, pada komoditas kubis, benih kubis mempunyai tanda negatif hal tersebut berarti penggunaan benih telah melebihi standar normal sehingga dapat menurunkan rata-rata hasil produksi. Berdasarkan persamaan Variance error produksi pada komoditas kentang, faktor yang mengurangi risiko produksi yaitu penggunaan benih, luas garapan, dan pestisida. Sedangkan faktor 17 yang menimbulkan risiko produksi pada komoditas kentang yaitu pupuk urea, pupuk TSP, dan pupuk KCL. Pada komoditas kubis yang menjadi pengurang risiko produksi yaitu penggunaan benih, pupuk urea, pupuk NPK, dan tenaga kerja. Dan faktor yang menimbulkan risiko produksi pada komoditas kubis yaitu penggunaan lahan dan pestisida. Berdasarkan hasil analisis dengan model GARCH 1,1 kedua komoditas tersebut, parameter error kuadrat produksi musim sebelumnya dan variance error produksi musim sebelumnya bertanda positif. Hal tersebut berarti semakin tinggi risiko produksi pada musim sebelumnya, maka semakin tinggi risiko produksi pada musim selanjutnya. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada objek penelitian yang digunakan, lokasi penelitian, dan beberapa faktor produksi yang digunakan. Selain itu, penelitian ini tidak hanya menganalisis faktor-faktor produksi terhadap jumlah produksi mentimun dengan menggunakan fungsi produksi Cobb-Douglass, dimana faktor-faktor produksi yang di duga mempengaruhi adalah benih, pupuk kandang, kapur, pupuk kimia, Pupuk daun dan buah, pestisida padat dan cair,serta tenaga kerja. Penentuan faktor-faktor produksi ini di dasarkan pada input-input yang memang digunakan petani. Persamaan penelitian sebelumnya dengan penelitian ini yaitu perhitungan analisis ini dengan berdasarkan fungsi model risiko Just dan Pope dengan alat analisis model GARCH 1,1. Model fungsi risiko produksi Just and Pope merupakan suatu gabungan antara mean dan variance yang dihasilkan. Oleh karena itu untuk mengetahui pengaruh input atau faktor-faktor produksi apa saja yang dapat mengakibatkan terjadinya risiko, yaitu menggunakan model fungsi risiko produksi Just and Pope. 18

III. KERANGKA PEMIKIRAN