2.1.6.4 Sasaran PNPM-P2KP Pada dasarnya, kelompok sasaran P2KP mencakup empat sasaran utama,
yakni masyarakat, pemerintah daerah, kelompok peduli setempat dan para pihak terkait stakeholders.
2.2. Penelitian Sebelumnya
Lu’Lu 2005 dalam penelitiannya mengenai keberhasilan P2KP di Kelurahan Kedung Badak, Kecamatan Tanah Sareal, Kota Bogor, melaporkan kan
bahwa P2KP tidak berhasil mengentaskan kemiskinan,. Ketidakberhasilan ini ditunjukkan oleh fakta-fakta: a kesulitan penerima dalam mengembalikan dana
pinjaman dari pemerintah karena banyak peminjam yang menunggak, b Pelaksanaan program bias gender, yakni perempuan tidak dilibatkan dalam setiap
kegiatan P2KP, sejak dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program. Dengan perkataan lain, laki-laki lebih akses terhadap dana stimulan
P2KP daripada perempuan. Demikian halnya dalam hal kontrol terhadap P2KP, dominan dilakukan laki-laki atau suami, bahkan pada beberapa rumah tangga, jika
istri atau perempuan ingin mengambil kredit harus mendapat persetujuan dari suami terlebih dahulu. Dalam hal pemenuhan kebutuhan gender berdasarkan
Teknik Analisis Moser, P2KP baru memenuhi kebutuhan praktis gender yakni peningkatan pendapatan, sedangkan untuk pemenuhan kebutuhan strategis gender,
P2KP belum dapat memenuhinya. Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa P2KP Kedung Badak tidak berhasil dalam mengentaskan kemiskinan.
Tidak berbeda dengan yang dikemukakan oleh Lu’Lu, Nainggolan 2005 menemukan kegagalan P2KP di Kelurahan Ciseureuh, Kota Bandung, yakni
dalam hal pengembalian pinjaman. Hampir seluruh anggota KSM di kelurahan tersebut menunggak cicilan pinjaman dana P2KP. Pengembalian pinjaman yang
macet tentu saja tidak dapat menggambarakan peningkatan kesejahteraan masyarakat, justru menambah beban yakni hutang baru yang harus segera
dilunasi. Kegagalan program disebabkan oleh masih terjadinya bias gender dalam pelaksanaan P2KP di kelurahan tersebut. Budaya patriarkhi lah yang menjadi
faktor utama macetnya pengembalian pinjaman. Dengan kata lain, laki-laki masih
dominan dalam pengambilan keputusan baik di dalam rumah tangga, maupun di dalam pelaksanaan program.
Hal yang hampir serupa mengenai ketidakberhasilan program pembangunan diungkapkan oleh Hardianti 2008, yang meneliti mengenai
keberhasilan Program Pemberdayaan Petani Sehat P3S di Desa Ciburuy, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Penelitian ini
mengungkapkan bahwa P3S adalah program pemberdayaan pertanian bagi petani miskin atau buruh tani. Program inipun juga dinilai tidak berhasil dilihat
berdasarkan analisis gender. P3S hanya diakses oleh petani laki-laki dikarenakan masih lekatnya budaya patriarkhi sehingga perempuan tidak dilibatkan dalam
program. Program pembangunan lain yang dinilai tidak berhasil berdasarkan
Analisis Gender adalah pada penelitian Qoriah 2008 mengenai Program Desa Mandiri Pangan di Desa Jambakan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa
Tengah. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan Program Desa Mandiri Pangan, masih terjadi bias gender yang terlihat dalam pembagian
kelompok afinitas yang didominasi oleh laki-laki. Hampir serupa dengan dua kasus sebelumnya, Program Desa Mandiri Pangan dapat dinilai tidak berhasil jika
dilihat dari segi analisis gender. Program tersebut hanya sekadar memenuhi kebutuhan praktis gender, yakni mengatasi kerawanan pangan pada masyarakat
miskin, tetapi belum memenuhi kebutuhan strategis gender yakni menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki di dalam kehidupan bermasyarakat.
2.3. Kerangka Pemikiran