6.2. Analisis Gender Terhadap Keberhasilan Program
Keberhasilan Program PNPM-P2KP dilihat berdasarkan lancarnya pengembalian pinjaman. Pada subbab sebelumnya telah dikemukakan bahwa
pengembalian pinjaman berhubungan dengan usaha yang dimiliki oleh responden, perkembangan usaha responden dan tingkat pendidikan responden. Besar
pinjaman tidak berhubungan dengan lancarnya pengembalian pinjaman karena besar pinjaman yang diterima oleh anggota KSM hanya Rp 500.000,-. Faktor lain
yang berhungan dengan pengembalian pinjaman adalah Tingkat Relasi Gender yang dianut oleh responden.
6.2.1. Relasi Gender Masyarakat Desa Srogol
Desa Srogol merupakan desa yang sedang mengalami proses peralihan, yakni dari desa tradisional menuju desa modern. Perubahan ini ditandai dengan
semakin berkurangnya penduduk desa yang bekerja sebagai petani. Pembangunan di segala bidang yang dilakukan oleh pemerintah, seperti pembangunan jalan dan
fasilitas umum di wilayah Kecamatan Cigombong, memberikan dampak pada pergeseran perspektif masyarakat Desa Srogol terhadap peran perempuan dan
laki-laki. Terlebih lagi dengan kehadiran Sekolah Polisi Negara SPN Lido di wilayah desa tersebut yang memperlakukan siswanya sama dan setara antara laki-
laki dan perempuan, secara tidak langsung mulai memberikan pengaruh pada masyarakat terhadap perbedaan peran laki-laki dan perempuan. Penyetaraan laki-
laki dan perempuan diawali dari diberikannya kesempatan yang sama antara laki- laki dan perempuan dalam menempuh pendidikan. Hal ini terlihat dari semakin
banyaknya jumlah perempuan yang telah menamatkan pendidikan hingga jenjang sekolah menengah pertama.
Selain dalam hal pendidikan, perempuan juga mulai dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan publik seperti rapat desa, kegiatan penyuluhan, dan
keorganisasian. Saat ini para perempuan juga diundang dalam setiap perundingan- perundingan di desa, namun kehadiran perempuan masih sedikit dibanding laki-
laki. Ketidakhadiran perempuan mengakibatkan pendapat dan aspirasi perempuan jarang didengar karena lebih didominasi oleh laki-laki. Seperti yang diungkapkan
oleh Ibu Sh, anggota BKM, sebagai berikut:
“Sekarang mah perempuan selalu dapat undangan untuk hadir di acara- acara desa. Dulu pan ngga pernah, laki-laki saja yang diundang. Apalagi
kalau lagi ada penyuluhan, pasti ibu-ibu diundang, tapi jarang yang hadir.”
Peralihan dari tradisional menuju desa semi modern, membuat hubungan atau relasi gender masyarakat Desa Srogol berubah. Relasi gender yang setara
antara peran dan status laki-laki dan perempuan mulai terlihat hampir seluruh masyarakat Desa Srogol. Relasi gender yang setara tersebut memperlihatkan
bahwa masyarakat Desa Srogol sudah tidak terlalu membeda-bedakan peran laki- laki dan perempuan. Tingkat relasi gender responden dapat dilihat pada Tabel 25.
Tabel 25. Jumlah dan Presentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender dalam Rumah Tangga Responden, Desa Srogol, Kecamatan
Cigombong, Kabupaten Bogor, 2010 No.
Tingkat Relasi Gender Jumlah orang
Persen 1. Tidak
Setara 13
27,1 2. Setara
35 72,9
Total 48 100
Sumber: Data Primer, 2010
Tabel 25. menunjukkan bahwa sebagian besar responden 72,9 persen tergolong pada tingkat relasi gender setara, yakni tidak membeda-bedakan peran
laki-laki dan perempuan baik dalam rumah tangga maupun kegiatan publik, seperti mengikuti Program PNPM-P2KP. Bagi perempuan, ada beberapa hal yang
harus mendapat persetujuan dari suami dan beberapa hal yang dapat diputuskan sendiri. Hal-hal yang dapat diputuskan sendiri berkaitan dengan mengatur rumah
tangga sedangkan yang membutuhkan persetujuan suami berkaitan dengan keuangan dan kegiatan publik. Perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan
ditunjukkan pada Tabel 26. berikut.
Tabel 26. Jumlah dan Persentase Responden Berdasarkan Tingkat Relasi Gender yang Dianut di Desa Srogol, Kecamatan Cigombong, Kabupaten Bogor,
2010 No.
Tingkat Relasi Gender Persentase
Tidak Setuju Setuju
1. Perempuan mengasuh
anak 4
8,3 44
91,7 2.
Perempuan tidak boleh memimpin laki-laki
13 27,1
35 72,9
3. Perempuan tidak boleh menjadi
kepala keluarga 14
29,2 34
70,8 4.
Perempuan tidak boleh mencari nafkahbekerja
37 77,1
11 22,9
5. Perempuan tidak boleh bekerja di
luar rumah 28
58,3 20
41,7 6. Perempuan tidak boleh
berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki
37 77,1
11 22,9
7. Perempuan tidak boleh berpenghasilan lebih tinggi daripada
laki-laki 32
66,7 16
33,3 8.
Perempuan tidak boleh mengatur keuangan keluarga
34 70,8
14 29,2
9. Perempuan tidak boleh memutuskan
masalah keluarga 28
58,3 20
41,7 10. Perempuan
tidak boleh
menentukan pendidikan anak
40 83,3
8 16,7
11. Perempuan tidak boleh ikut serta
dalam kegiatan publikorganisasi 37
77,1 11
22,9 12.
Perempuan tidak boleh menyampaikan pendapat
38 79,2
10 20,8
13. Perempuan tidak boleh menjadi
pemimpin organisasi 38
79,2 10
20,8
Sumber: Data Primer, 2010
Berdasarkan Tabel 26. terlihat bahwa walaupun telah terjadi pergeseran perspektif mengenai perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan sebagai
akibat dari modernisasi, ternyata masih terdapat beberapa hal yang tidak berubah. Masih adanya perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan berakibat pada
masih terjadinya ketidakadilan gender baik marginalisasi, stereotype, maupun subordinasi. Marginalisasi terjadi di dalam keluarga yakni perempuan tidak boleh
memimpin laki-laki 72,9 persen dan perempuan tidak boleh menjadi kepala
keluarga 70,8 persen. Hal ini dituturkan oleh Bapak Lk, suami Ibu Lh sebagai berikut:
“Ya memang tidak boleh atuh dek. Di dalam Al Quran tertulis, bahwa laki-laki sebagai pemimpin, sebagai imam dalam segala hal. Laki-laki
lah yang memimpin perempuan dan keluarga. Makanya istri harus patuh sama suami.”
Penuturan yang sama juga dikemukakan oleh Ibu Tt, pedagang katering, berikut:
“Setuju neng, memang harus begitu, laki-laki lah yang jadi pemimpin. Kan di ajaran agama ada yah, laki-laki yang menjadi imam dalam
keluarga. Ya pokoknya mah perempuan tidak boleh memimpin laki-laki, itu namanya kurang ajar.”
Stereotype atau pelabelan terhadap perempuan masih dialami oleh responden dan masyarakat Desa Srogol pada umumnya. Sebanyak 91,7 persen
responden setuju bahwa perempuan adalah makhluk lemah lembut dan tidak rasional 66,7 persen. Hal ini menandakan bahwa walaupun telah menjadi desa
modern, stereotype terhadap perempuan masih terjadi, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Rd, seorang ibu rumah tangga, sebagai berikut:
“Iya atuh neng, perempuan mah emang harus begitu, lemah lembut. Ntar kalau kasar, laki-laki pada takut. Perempuan kan sebagai ibu, jadi harus
lemah lembut sama anaknya. Tapi yah ada saatnya perempuan mah harus tegas, apalagi waktu anak nakal, yah harus dimarahin”
Pelabelan bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah lembut menjadi dasar dalam menentukan pengasuhan anak dan mengurus rumah tangga.
Pekerjaan mengurus rumah tangga yang harus dilakukan oleh perempuan menunjukkan masih terjadi subordinasi terhadap perempuan, yaitu perempuan
hanya melakukan kegiatan-kegiatan domestik saja. Mengasuh dan merawat anak diyakini sebagai kodrat perempuan oleh sebagian besar responden 91,7 persen.
Hal ini dibenarkan oleh Ibu Lh, pedagang kredit, yaitu:
“Mengasuh anak itu memang kodrat perempuan neng. Ibulah yang harus mengasuh anak dari kecil, kan ibu juga yang mengandung anak. Yang
membentuk sikap anak itu ya ibu. Kalau bapak mah, kan harusnya cari nafkah buat keluarga, kalau istri ya mengasuh anak. Saling bantu lah.”
Begitupula yang diungkapkan oleh Ibu Rd, ibu rumah tangga, sebagai berikut:
“Ya harus perempuan lah yang mengasuh anak. Suami mah tugasnya kerja cari duit buat makan, lamun perempuan ya ngurus anak, beres-
beres rumah. Masa suami kita suruh mengurus anak, ya mana bisa atuh, ngurus diri sendiri saja kadang ngga bisa, makanya perlu ada istri, biar
semua kerjaan beres.”
Selain mengurus anak, pekerjaan mengatur keuangan keluarga juga dibebankan pada perempuan. Hal ini ditunjukkan dari sebanyak 70,8 persen
perempuan setuju bahwa perempuan yang harus mengelola keuangan keluarga. Dalam hal ini, perempuan diberi kesempatan untuk mengatur keluar masuknya
uang dalam rumah tangga, namun laki-laki masih menjadi pengambil keputusan berapa uang yang akan diberikan kepada istri dan berapa uang yang digunakan
untuk keperluan bulanan. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Tt, pedagang katering, sebagai berikut:
“Ya memang kerjaan perempuan atuh neng yang mengatur keuangan keluarga. Kan perempuan mah lebih teliti. Kalau dipegang laki-laki,
bakal habis tuh, buat beli macem-macem yang tidak penting, kayak rokok.”
Pengungkapan tersebut diperkuat oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, berikut:
“Selama ini pendapatan cuma dari suami, kan saya tidak bekerja. Tapi suami selalu memberi uang buat bulanan, nah saya yang mengatur, mau
dipakai apa saja. Biasanya mah buat beli belanja sayur, beras, kebutuhan dapur saja neng.”
Dari beberapa pemaparan di atas mengenai peran perempuan yang tidak berubah setelah terjadi modernisasi di Desa Srogol, dapat disimpulkan bahwa
peran-peran perempuan yang tidak berubah umumnya berkaitan dengan pekerjaan domestik perempuan, yakni dalam hal mengurus rumah tangga. Sedangkan dalam
pekerjaan atau kegiatan publik masih didominasi oleh laki-laki, walaupun saat ini perempuan mulai terlihat aktif dalam perundingan dan keorganisasian di desa.
Adapun peran yang berubah meliputi perempuan bekerja dan perempuan dalam organisasi. Sebanyak 77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh
bekerja dan berpendidikan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan yang lebih tinggi daripada laki-laki berdampak pada jenis pekerjaan yang dapat diambil oleh
perempuan lebih beragam daripada laki-laki sehingga tidak ada salahnya jika
penghasilan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki 66,7 persen. Seperti yang diungkapkan oleh Ibu Sr, pedagang, berikut:
“Tidak setuju lah neng, siapa bilang perempuan tidak boleh lebih pinter daripada laki-laki? Justru sekarang pan lebih banyak murid perempuan
daripada laki-laki di sekolah-sekolah. Itu karena perempuan lebih pinter daripada laki-laki, makanya naik kelas terus.”
Penuturan yang sama diungkapkan juga oleh Ibu Lh, seorang pedagang kredit sebagai berikut:
“Boleh kalau pendidikan perempuan lebih tinggi daripada laki-laki. Pendidikan itu juga pengaruh ke pekerjaan kan. Kalau perempuan pintar
ya pasti dapat pekerjaan bagus. Makanya tidak apa-apa kalau ternyata penghasilan istri lebih tinggi daripada suami. Kan pekerjaan istri lebih
bagus daripada suami. Di sini banyak kok neng, istrinya kerja jadi karyawan, suaminya ngojek.”
Perubahan peran lain yang terjadi di Desa Srogol adalah mulai dilibatkannya perempuan dalam organisasi atau kegiatan-kegiatan desa. Sebanyak
77,1 persen responden menyatakan bahwa perempuan boleh mengikuti kegiatan publik dan menyampaikan pendapat 79,2 persen. Bahkan 79,2 persen responden
mengungkapkan bahwa perempuan bisa menjadi pemimpin organisasi, seperti yang dituturkan oleh Ibu Em, ibu rumah tangga, bahwa:
“Ya boleh boleh saja kalau perempuan jadi pemimpin organisasi. Pan sekarang banyak yah, perempuan jadi ketua organisasi. Presiden dulu
juga ada yang perempuan. Selama memimpinnya bener mah, boleh-boleh saja atuh.”
Walaupun banyak responden yang menyatakan bahwa perempuan dapat menjadi anggota organisasi bahkan dapat menjadi pemimpin organisasi, fakta di
lapangan menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam organisasi di desa masih minim. Jumlah perempuan yang menjadi anggota organisasi desa seperti
LPM, BKM, masih sedikit jika dibandingkan dengan laki-laki. Begitupula dalam setiap kegiatan publik seperti perundingan-perundingan desa, laki-laki masih
mendominasi. Keterlibatan perempuan dalam organisasi hanya terlihat pada kegiatan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik seperti pengajian dan PKK.
Berikut ini adalah gambar salah satu kegiatan publik yang dilakukan oleh perempuan di Desa Srogol, yaitu pengajian rutin ibu-ibu di RW 03.
Gambar 7. Kegiatan Pengajian Ibu-Ibu di RW 03, 2010
Telah diberinya kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam kegiatan publik tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh perempuan. Kehadiran
perempuan yang tidak lebih banyak daripada laki-laki mengakibatkan suara atau aspirasi perempuan kurang didengar, sehingga program-program yang berjalan di
desa, umumnya merupakan program yang berdasarkan keputusan dan kebutuhan laki-laki.
6.2.2. Gender dalam Program PNPM-P2KP