Aktivitas dan uji stabilitas sediaan gel ekstrak batang pisang ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam proses persembuhan luka pada mencit (mus musculus albinus)

(1)

AKTIVITAS DAN UJI STABILITAS SEDIAAN GEL

EKSTRAK BATANG PISANG AMBON (

Musa paradisiaca

var sapientum) DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA

PADA MENCIT (

Mus musculus albinus

)

BAYU FEBRAM PRASETYO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008


(2)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikankepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(3)

RINGKASAN

BAYU FEBRAM PRASETYO. Aktivitas dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus). Dibawah Bimbingan IETJE WIENTARSIH, BAMBANG PONTJO PRIOSOERYANTO, dan M. ISKANDAR

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) terhadap proses persembuhan luka kulit melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi. Formulasi sediaan ekstrak batang pisang Ambon dibuat dari C % ekstrak batang pisang Ambon yang dicampur dengan Poligel, Propilenglikol, Trietanolaminstearate. Sediaan ekstrak getah batang pohon pisang dalam bentuk gel masih stabil hingga minggu ke-8 pada suhu 15 0C dan 27 0C. Homogenitas sediaan gel pada suhu 15 0C masih stabil hingga minggu ke-8 walaupun pH mulai turun pada minggu ke-6 sedangkan pada suhu 27 0C penurunan pH lebih cepat terjadi yaitu pada minggu ke-4. Diatas suhu 27 0C (37 0C dan 45 0C) sediaan gel semakin tidak stabil. Viskositas dari sediaan gel tampak lebih baik pada suhu 15 0C dibandingkan pada suhu 27 0C.

Pengujian iritasi kulit dari sediaan gel memperlihatkan bahwa hingga minggu ke 5 tidak terjadi reaksi eritema pada responden yang diuji sedangkan mulai minggu ke 6 mulai terjadi sedikit reaksi eritema, namun hal ini karena mulai berubahnya sediaan gel yaitu mulai mencair dan pH yang mulai menurun serta adanya pertumbuhan jamur.

Empat puluh lima ekor mencit strain DDY yang berumur 6-8 minggu digunakan sebagai hewan coba, dan dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok I (kontrol) diberi sediaan placebo, kelompok II yang diberi preparat obat komersil , serta kelompok III yang diberi sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon. Setiap kelompok terdiri atas 15 ekor mencit yang dibagi dalam 5 hari pengamatan dengan 3 kali pengulangan. Mencit dilukai pada bagian punggung dengan panjang luka 1-1,5 cm menggunakan skalpel steril dan diberikan pemberian obat sehari dua kali dengan menggunakan kapas steril Pengamatan patologi anatomi dan histopatologi dilakukan pada hari ke 3, 5, 7, 14 dan 21 pasca perlukaan mencit yang dieuthanasia. Parameter pengamatan patologi anatomi adalah pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka dan ukuran luka sedangkan parameter histopatologi adalah infiltrasi sel-sel radang (makrofag, neutrofil, limfosit), neokapilerisasi, persentase re-epitelisasi dan ketebalan fibroblas. Semua data kuantitatif diuji secara statistik menggunakan Analisa Sidik Ragam (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan, sedangkan data kualitatif yaitu disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pengamatan patologi anatomi kelompok gel ekstrak lebih cepat membentuk keropeng dan menutup luka. Hasil uji statistik pada parameter infiltrasi sel-sel radang pada kelompok gel ekstrak menunjukan hasil yang berbeda dengan kelompok kontrol negatif. Pada kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon, jaringan ikat lebih cepat terbentuk dibandingkan dengan kelompok kontrol negatif dan kontrol positif. Berdasarkan hasil di atas disimpulkan bahwa pemberian gel ekstrak batang pohon pisang ambon mempercepat proses persembuhan luka. Kata kunci : gel, ekstrak, batang pisang Ambon, persembuhan luka, mencit


(4)

Activity and Stability test of Ambon Banana (Musa paradisiaca var. sapientum) Stem Extract in gel formulation on the Wound Healing Process of Mice Skin (Mus musculus

albinus).

Bayu Febram P2, Ietje Wientarsih 3, Bambang Pontjo P4, M.Iskandar5

ABSTRACT

The purpose of this study is to examined the activity and stability of Ambon banana (Musa paradisiaca var sapientum) stem extract in gel formulation on the wound healing process of mice skin (Mus musculus albinus) based on gross and microscopic observations. The Ambon banana (Musa paradisiaca var sapientum) stem extract in gel formulation were made from Ambon banana stem extract C % that mixed with Polygel, Propileneglycol, Trietanolaminestearat,.

The gel of banana stem extract is still stable up to 8 week at 15 0C and 27 0C and the homogenity of the gel at 15 0C is still stable up to 8 weeks even the pH is started to decreased on week 6 th, while at teperature of 27 0C declining of pH was more early at week 4 th. In the temperature more than 27 0C (37 0C and 45 0C) the gel was more unstable. Viscosity of the gel was more stable at 15 0C compared to 27 0C.

Skin iri ttation assay of the gel showed that up to 5 week there was no evidence of erythema on all respondent, while stated in week 6th mild erythema was appeared in some respondent, this reaction due to the change of gel morphology to become more liquid and decreasing the pH and some mycotic growth.

Fourtyfive heads of DDY mice aged 4-6 weeks were used for animal models, the mice were divided into three groups. Group1( negative control ) received gel without treatment (placebo gel), Group 2( positive control )was treated by commercial gel, and Group 3 were treated by Ambon banana stem extrack gel.Each groups contained 15 mice and distributed into 5 observation days with 3 replication. All mice were aseptically incised 1-1,5 cm long on their dorso anterior skin in order to make artificial wound and given topically twice a day to the skin using sterile cotton buds. The wound healing process were observe grossly everyday while the microscopic lesion were observed on the 3rd, 5th, 7th, 14th and 21st days after skin incisition. The wounded skin were sampled after the mice were euthanized for further microscopic observation. The gross parameters were the existence of blood coagulation, scab formation, wound covering and wound size. The microscopic parameters observed include the infitration of macrophages, neutrophils and lymphocytes, neocapillary formation, the percentation of wound reepitelization and the the tickness of wound connective tissues (fibroblast). All quantitatives data were statistically analyzed using Analysis of Variance (ANOVA) and continued with Duncan Multiple Range Test. Gross lesion and the fibroblast thickness were descriptively analyzed as a qualitative data. Grossly, the Ambon banana stem extract showed that scab formation was faster than negative and positive control. Histophatological observation result that the Ambon banana stem extract showed the statistically analyzed was more significant (P<0,05) than the negative control. The fibroblast thickness on the skin wound treated Ambon banana stem extrack was high and the and the formation also faster than the negative and positive control. Based on the research the Ambon banana stem extrack in gel could be use in the acceleration of wound healing process.


(5)

AKTIVITAS DAN UJI STABILITAS SEDIAAN GEL EKSTRAK BATANG PISANG AMBON (Musa paradisiaca var sapientum)

DALAM PROSES PERSEMBUHAN LUKA PADA MENCIT (Mus musculus albinus)

BAYU FEBRAM PRASETYO B053050011

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Fakultas Kedokteran Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2008


(6)

Judul Tesis : Aktivitas dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (mus musculus albinus)

Nama : Bayu Febram Prasetyo

NRP : B053050011

Program Studi : Sains Veteriner

Disetujui Oleh: Komisi Pembimbing

Dr. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc Ketua

drh. Bambang Pontjo P, MS. Ph.D Drh.M.Iskandar,M.Sc

Anggota Anggota

Diketahui ,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Sains Veteriner

drh. Bambang Pontjo P, MS. Ph.D Prof. Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS


(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Teluk Betung pada tanggal 24 Februari 1977 dari pasangan Bapak Drs. Guntar Subagio dan Ibu Dwi Warni. Penulis merupakan putra kedua dari tiga bersaudara. Penulis menikah pada tanggal 16 Januari 2005 dengan Anisa Kusuma Dewi dan telah dikaruniai seorang putra yang bernama Dimas Achmad Assauqi Prasetyo.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Taman Siswa Teluk Betung pada tahun 1985 dan pendidikan lanjutan menengah pertama di SMPN 1 Teluk Betung hingga tahun 1992. Pada tahun 1995, penulis menyelesaikan pendidikan pendidikan lanjutan menengah atas di SMAN 2 Tanjung Karang dan pada tahun 2002 telah menyelesaikan Program Profesi Apoteker di Universitas Padjadjaran Bandung.

Pada tahun 2005 penulis diterima di Program Studi Sains Veteriner pada Program Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jendral Pendidikan Nasional melalui program Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS).

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Sub Bagian Farmasi - Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Aktivitas dan Uji Stabilitas Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon (Musa paradisiaca var.

Sapientum) dalam Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus

albinus)”. Penelitian ini dilakukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan kali ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu hingga tesis ini dapat diselesaikan, yaitu kepada :

1. Ibu Dr. Ietje Wientarsih, Apt, M.Sc, Bapak. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. dan Bapak. drh. M.Iskandar selaku komisi pembimbing tesis atas segala bimbingan, masukkan dan kesabarannya selama penelitian dan penyusunan tesis ini. 2. Bapak. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. selaku Ketua Program Studi

Sains Veteriner Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

3. Ibu Dr. drh. Eva Harlina, M.S selaku dosen penguji atas segala masukkan dan pertanyaannya dalam penelitian ini.

4. Istriku tercinta Anisa Kusuma Dewi dan anakku tersayang Dimas Achmad A Prasetyo yang selalu setia memberikan dukungan dan kasih sayang.

5. Papa Guntar dan Mama Dwi, Kakakku Guruh Anggono, adikku Wulan, Mbak Lena, si kecil Dinda, Oni dan seluruh keluarga Lampung yang selalu memberikan dukungan dan motivasinya.

6. Bapak Haji Uu Haeruman, Mama Euis, Teteh Rani, Aa Ima n, Aa Yadi, Teh Susi, si kecil Abi, Lia, Fadil dan keluarga Bandung yang selalu memberikan dukungan dan motivasinya.

7. Teman-temanku satu bagian yaitu Rini, Maulana, dan Lina yang selalu memberikan dukungan dan motivasinya.


(9)

8. Mita, mahasiswa Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor dan Achmad, mahasiswa Jurusan Farmasi Unversitas Pakuan yang telah membantu didalam penelitian ini.

9. Semua staf penunjang Bagian Patologi (Pak Endang, Pak Kas, Pak Soleh) dan staf penunjang Bagian Farma kologi (Pak Edy, Pak Khoer) atas bantuan dan kerjasamanya.

10.Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada mereka yang telah memberikan dukungan dan perhatiannya kepada penulis. Penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat bagi yang memerlukan. Amien.

Bogor, Agustus 2007


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan Penelitian ... 2

1.3. Hipotesa Penelitian ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 3

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Tanaman Pisang... 4

2.2. Taksonomi ... 5

2.3. Manfaat Pohon Pisang... 6

2.4. Kulit ... 7

2.5. Persembuhan Luka ... ... ... 8

2.5.1. Definisi... 8

2.5.2. Proses Persembuhan Luka... 9

2.6. Faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka... 12

2.7. Sediaan Gel... 13

2.8. Uji Stabilitas ... 14

2.9. Absorpsi Obat Topikal ... 15

III BAHAN DAN METODE 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 16

3.2. Alat dan Bahan ... 16

3.3.3. Alat ... 16

3.2.2. Bahan ... 16

3.2.1. Hewan Percobaan... 17

3.3 Metodelogi Penelitian ... 17

3.3.1. Ekstraksi Simplisia Batang Pisang Ambon ... 17

3.3.2. Pengujian potensi antibakteri ekstrak batang pisang ... 18


(11)

3.3.6 Pengujian iritasi kulit ... 20

3.4. Perlakuan pada mencit ... 20

3.5. Pengamatan patologi anatomi... 21

3.6. Pengambilan kulit ... 21

3.7. Pembuatan preparat histopatologi ... 22

3.8. Pengamatan histopatologi... 22

3.9. Analisa data ... 23

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil skrining fitokimia ... 23

4.2. Potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon... 24

4.3. Penentuan dosis efektif ... 24

4.4. Pembuatan sediaan gel ... 26

4.5. Pengujian sediaan gel ... 27

4.6. Pemeriksaan homogenitas ... 28

4.7. Pengujian viskositas ……... 30

4.8. Pengujian iritasi kulit ………... 31

4.9. Hasil pengamatan patologi anatomi... 31

4.10. Hasil pengamatan histopatologi... 35

4.10.1. Infiltrasi Sel Radang ... 37

4.10.2. Limfosit ... 37

4.10.3. Neutrofil ... 39

4.10.4. Makrofag ... 40

4.10.5. Re-epitelisasi... 41

4.10.6. Neokapilerisasi... 43

4.10.7. Fibroblas... 44

V KESIMPULAN DAN SARAN ... 47


(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Hasil uji fitokimia ekstrak batang pisang... 23

2. Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada penentuan dosis efektif antara mencit kontrol, perlakuan, dan ekstrak batang pisang ... 25

3. Formula sediaan gel ... 26

4. Evaluasi awal sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon ... 27

5. Evaluasi akhir sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon ... 27

6. Pemeriksaan homogenitas awal pada suhu 15, 27, dan 35 o C ... 28

7. Pemeriksaan homogenitas awal pada suhu 45 o C ... 28

8. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 15 o C... 29

9. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 27 o C... 29

10. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 37 o C.... ... 29

11. Pemeriksaan homogenitas akhir pada suhu 45 o C... 30

12. Pengukuran viskositas sediaan gel pada hari ke-3,5, dan 7... 30

13. Pengukuran viskositas sediaan gel minggu ke-1 sampa minggu ke-8... 30

14. Pengujian iritasi kulit minggu ke-1 sampai minggu ke-8 ... 31

15. Perbandingan patologi anatomi antara semua kelompok percobaan... 32

16. Perbandingan mikroskopik pasca perlukaan untuk semua kontrol ... 36

17. Perbandingan jumlah sel limfosit pada ketiga kelompok perlakuan ... 38

18. Perbandingan jumlah sel neutrofil pada ketiga kelompok perlakuan ... 40

19. Perbandingan jumlah sel makrofag pada ketiga kelompok perlakuan ... 40

20. Nilai rata-rata persentase re-epitelisasi ... 42

21. Perbandingan neokapilerisasi pada ketiga kelompok di daerah luka ... 43

22. Perbandingan ketebalan jaringan ikat pada ketiga kelompok di darah luka dengan pewarnaan MT dan pembesaran 400 x ... 44


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Pohon pisang Ambon ... 5

2. Histologi kulit ... 8

3. Gambaran pengujian antibakteri ekstrak batang pisang Ambon ... 24

4. Gambaran makroskopik luka pada penentuan dosis efektif ... 25

5. Gambar sediaan gel ... 26

6. Gambar sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon untuk pemeriksaan homogenitas setelah penyimpanan minggu ke-3... 28


(14)

I. PENDAHULUAN

I.I Latar Belakang

Tanaman yang tumbuh di Indonesia banyak sekali yang memiliki manfaat bagi kesehatan manusia diantaranya untuk meredakan panas, mengobati luka, menurunkan tekanan darah, mencegah penyakit jantung , dan lain sebagainya (Wijayakusuma,1998). Salah satu dari tanaman yang berguna bagi kesehatan yaitu pisang Ambon (Musa paradisiaca var sapientum). Pohon pisang yang sudah lama dikenal dan dibudidayakan merupakan pohon tropis Asia Tenggara yang memiliki berbagai manfaat yaitu buahnya dapat dimakan, daunnya digunakan untuk keperluaan rumah tangga, batangnyapun dapat digunakan sebagai pakan ternak dan kerajinan rumah tangga. Di Indonesia hampir setiap pekarangan rumah terdapat pohon pisang, hal ini dikarenakan tanaman pisang cepat menghasilkan, dapat berumur panjang, mudah ditanam, dan mudah dipelihara. Pohon pisang dibudidayakan oleh masyarakat Indonesia untuk dimanfaatkan buah, daun, kulit, maupun batangnya untuk upacara adat, keagamaan, upacara perkawinan dan untuk dikonsumsi, pisang juga dapat dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga maupun pakan ternak ruminansia (domba, kambing) pada saat musim kemarau dimana rumput kurang tersedia.

Secara tradisional batang pisang dapat digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan dekorasi, pembungkus tembakau dan untuk obat-obatan (Anonimous, 1977). Air yang keluar dari batang pisang yang baru ditebang biasa juga dipakai untuk mencuci rambut. Getahnya mengandung bahan yang tidak mudah luntur sehingga dapat menodai baju seperti halnya daun sirih (Rivai, 1976) dan juga getahnya sudah lama dipercaya sebagai obat persembuhan luka. Getah batang pohon pisang yang selama ini hanya dikenal sebagai limbah dan tidak pernah dimanfaatkan, dipercaya dapat digunakan untuk mengobati luka dengan hasil yang cukup baik. Pengujian secara ilmiah mengenai khasiat getah batang pohon pisang dalam persembuhan luka sejauh ini belum pernah dilaporkan. Pemanfaatan dan pengembangannya sebagai produk yang siap pakai guna mendukung swasembada obat dalam upaya meningkatkan kesehatan


(15)

Menurut Djulkarnain (1998) batang pohon pisang Ambon memiliki kandungan

saponin, antrakuinon, dan kuinon oleh karena itu dapat menghilangkan rasa sakit dan merangsang pembentukan sel-sel baru pada kulit. Lignin yang terkandung dalam batang pisang Ambon membantu peresapan senyawa pada kulit sehingga dapat digunakan untuk mengobati luka memar, luka bakar, bekas gigitan serangga, dan sebagai anti radang. Batang pohon pisang Ambon juga telah terbukti dapat digunakan sebagai obat-obatan seperti getahnya yang dihasilkan mampu untuk mengobati luka pada kulit karena getah tersebut mampu meningkatkan aliran darah ke daerah luka dan juga dapat menstimulasi fibroblas sebagai respon untuk persembuhan luka (Priosoeryanto et al.,

2003).

Penggunaan getah batang pisang pada proses persembuhan luka pada hewan coba mencit memperlihatkan hasil yang sangat baik dan secara histologik memberikan efek kosmetik dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut dan mempercepat proses re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan buluh darah baru (neokapilarisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang pada daerah luka. (Maiwahyudi, 1999).

Berdasarkan hasil penelitian tersebut maka getah batang pisang Ambon sebagai obat persembuhan luka memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan menjadi sediaan farmasi bentuk gel yang kemudian diuji kembali aktifitasnya terhadap persembuhan luka pada mencit.

Pemilihan bentuk sediaan gel pada penelitian ini dikarenakan pengujian ini menggunakan kontrol positif sebagai pembanding yaitu obat luka komersial yang juga berbentuk gel. Gel juga dipilih sebagai bentuk sediaan karena tahan lama, tidak cepat tengik, tidak berbau, tidak mengiritasi kulit dan mempunyai tampilan yang menarik .

I.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas dan stabilitas sediaan topikal dalam bentuk gel dari ekstrak batang pisang Ambon terhadap proses persembuhan luka pada mencit melalui pengamatan patologi anatomi dan histopatologi.


(16)

I.3 Hipotesa Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Pemberian ekstrak batang pohon pisang Ambon dalam sediaan gel dapat mempercepat proses persembuhan luka dan memiliki kestabilan selama penyimpanan.

I.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu metode pembuatan obat topikal alternatif dalam bentuk sediaan gel dari ekstrak batang pisang Ambon untuk persembuhan luka .


(17)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Tanaman Pisang

Pohon pisang merupakan tanaman yang berasal dari Asia dan tersebar luas di Spanyol, Italia, Indonesia, Amerika dan bagian dunia yang lain. Pohon pisang (Musa acuminata) merupakan tanaman yang sangat populer di Indonesia, jumlahnya melimpah karena kondisi iklim Indonesia yang sangat mendukung dalam pembudidayaannya (Venheij, 1987). Pohon ini menyukai daerah alam terbuka yang cukup sinar matahari, cocok tumbuh di dataran rendah sampai pada ketinggian 1000 meter lebih di atas permukaan laut. Pisang merupakan tanaman buah berupa herba yang berasal dari kawasan Asia Tenggara termasuk Indonesia, Madagaskar, Amerika Selatan dan Tengah. Pisang di Asia Tenggara diyakini berasal dari Semenanjung Malaysia dan Filipina. Pisang telah lama berkembang di India sejak 500 tahun sebelum Masehi dan menyebar sampai ke daerah Pasifik, Brasil, dan Indonesia juga salah satu negara pengekspor pisang yang terkenal (Kalangi, 2004).

Pada dasarnya pohon pisang merupakan pohon yang tidak memiliki batang sejati. Batang pohonnya terbentuk dari perkembangan pelepah-pelepah yang mengelilingi poros lunak panjang. Batang pisang yang sebenarnya terdapat pada bonggol yang tersembunyi di dalam tanah. Hampir setiap pekarangan rumah di Indonesia terdapat pohon pisang, hal ini dikarenakan tanaman cepat menghasilkan buah, berumur panjang, mudah ditanam, dan mudah dipelihara. Tanaman pisang melambangkan kesejahteraan pemiliknya dan merupakan bagian dari peradaban kehidupan manusia. Tanaman ataupun buah pisang sering digunakan dalam upacara keagamaan, perkawinan, pembangunan rumah, maupun dalam upacara kematian. Batang pohon pisang sudah sejak lama digunakan untuk berbagai tujuan antara lain untuk bahan dekorasi, pembungkus tembakau dan untuk obat-obatan. Air yang keluar dari batang pisang yang baru ditebang biasa juga dipakai untuk mencuci rambut (Rivai, 1996).


(18)

2.2 Taksonomi

Menurut Tjitrosoepomo (1994) Pisang Ambon diklasifikasikan sebagai berikut: Kingdom : Plant

Phylum : Angiospermae Kelas : Monocotyledoneae Ordo : Zingiberales Genus : Musa

Spesies : Musa paradisiaca

Varietas : Sapientum

Pisang Ambon tumbuh dan berkembang subur di daerah tropis (300 LU – 300 LS) dengan suhu 270 – 300 C dengan curah hujan antara 1400 – 2450 mm per tahun dengan penyebaran yang merata. Di daerah dengan musim kering yang panjang tanaman pisang memerlukan pengairan (Purwanto dan Sujiprihati, 1985).

Gambar 1 Pohon Pisang Ambon

Pohon pisang merupakan tanaman herba tahunan dengan sistem perakaran di bawah tanah (Gambar 1). Batangnya berada di dalam tanah sedangkan batang di atas permukaan tanah merupakan batang semu yang terdiri dari kumpulan seludang daun yang saling membungkus rapat. Daun berkembang dari bagian tengah batang semu dalam keadaan tergulung rapat sewaktu muncul dan akan berkembang sampai ukuran yang maksimum. Akar dan tunas samping keluar dari bonggol, sehingga


(19)

tunas-tunas inilah yang akan tumbuh ke atas membentuk batang semu. Tunas-tunas-tunas ini yang sering disebut sebagai anakan (Ernawati et al., 1994).

2.3 Manfaat Pohon Pisang

Getah pohon pisang bermanfaat dalam mempercepat proses persembuhan luka dan memberikan efek estetika dengan memperbaiki struktur kulit yang rusak tanpa meninggalkan jaringan bekas luka atau jaringan parut. Getah tersebut juga mempercepat re-epitelisasi jaringan epidermis, pembentukan pembuluh darah baru (neokapilerisasi), pembentukan jaringan ikat (fibroblas) dan infiltrasi sel-sel radang di daerah luka (Maiwahyudi, 1999). Getah batang pohon pisang sudah lama dipercaya sebagai obat persembuhan luka. Air yang keluar dari pangkal batang dapat digunakan untuk mengobati penyakit raja singa melalui penyuntikan saluran kemih, serta pengobatan disentri dan diare. Getah yang keluar dari bagian akar pohon pisang bersifat anti demam dan memiliki daya pemulihan kembali (Venheij, 1987).

Kandungan gizi buah pisang Ambon antara lain kaya akan mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi, dan kalsium. Pisang Ambon juga mengandung vitamin yaitu, B6, B kompleks, vitamin C, dan serotonin yang aktif sebagai neurotransmitter dalam kelancaran fungsi otak (Sunarjono, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak batang pohon pisang Ambon mengandung tannin, saponin dan flavonoid. Saponin merupakan glikosida yang terdistribusi secara luas pada tumbuhan dan biasanya bersifat sangat iritan terhadap mukosa tubuh. Saponin mempunyai aktivitas antisepti k dan pembersih serta meningkatkan kekebalan tubuh (Anonim, 2005).

Flavonoid merupakan senyawa polifenol yaitu satu golongan fenol alam yang terbesar dan bersifat polar sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti air, etanol, metanol, butanol, dan aseton. Flavonoid umumnya ditemukan dalam bentuk glikosida yang larut air.

Flavonoid mempunyai kemampuan bereaksi dengan komponen lainnya seperti allergen, virus dan karsinogen sehingga flavonioid dapat berfungsi sebagai anti alergi, antikanker dan anti inflamasi (Markham, 1988), sedangkan tannin adalah senyawa


(20)

polifenol dari kelompok flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan kuat, antikanker dan anti peradangan.

Tannin juga dikenal sebagai zat samak untuk pengawetan kulit, dimana efek tannin yang utama yaitu sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik atau estetika (Olivia et al., 2004).

2.4 Kulit

Kulit merupakan bagian tubuh yang menutupi permukaan dan memiliki fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui me kanisme biologis, seperti pemb entukan lapisan tanduk secara terus-menerus, respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Mutschler, 1991).

Kulit terdiri dari 3 lapisan, yaitu lapisan epidermis, lapisan dermis dan subkutis yang mempunyai bentuk dan fungsi yang spesifik (Gambar 2).

Lapisan epidermis adalah lapisan terluar dari kulit yang tersusun dari:

1. Lapisan tanduk atau stratum korneum yaitu lapisan paling terluar yang terdiri dari sel-sel pipih banyak lapis dan mengandung banyak keratin.

2. Lapisan jernih atau stratum lusidum yang berada di bawah stratum korneum. Lapisan ini terdiri dari dua atau tiga lapis sel, mengandung eleidin yang berasal dari butir keratohyalin yang tidak terpecah yang berada di bagian bawah lapisan penghubung.

3. Lapisan granula atau stratum granulosum atau terbentuk dari dua sampai lima baris sel epitel yang berbentuk rhomboid dan mempunyai sitoplasma yang berwarna gelap karena mengandung granula basofilik keratohyalin.

4. Lapisan malphigi atau stratum spinosum yang selnya seperti berduri.

5. Lapisan basal atau stratum germinativum, terbentuk dari sel silindris banyak baris. Pada bagian terbawah stratum ini terdapat lapisan basal yang terdiri dari sel kubus dan terdapat pigmen melanin.


(21)

Lapisan dermis terletak di bawah epidermis terbentuk dari jaringan yang kaya akan kolagen dan sel elastis yang memb uat kulit menjadi kuat dan elastis. Dermis terdiri dari lapisan papilari dan lapisan retikuler. Lapisan paling atas dari dermi s terbentuk dari jaringan ikat yang diantaranya terdapat jaringan elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik. Bagian bawah dari dermis terdiri atas lapisan retikuler yang membuat menjadi tebal dan terutama mengandung jaringan kolagen yang membantu penyebaran serabut elastis, pembuluh darah dan pembuluh limfatik dan adnexa dari epidermis.

Gambar 2. Histologi kulit

Adnexa mengandung struktur khusus yang berasal dari epidermis yang merupakan bagian penting dari dermis tapi dalam situasi tertentu dapat meluas ke bagian subkutis. Pada adnexa dapat ditemukan kelenjar keringat, kelenjar apokrin, kelenjar minyak, folikel rambut dan kelenjar khusus seperti kelenjar air mata.

Lapisan ketiga setelah epidermis dan dermis adalah subkutis. Subkutis kadangkala tidak selalu disebut bagian dari kulit. Lapisan ini berada di bawah kulit dan mengandung banyak jaringan ikat, syaraf dan pembuluh darah yang menuju dermis dan terdapat lemak dan otot.

2.5 Persembuhan Luka 2.5.1 Definisi

Persembuhan luka adalah kembali menjadi normalnya integritas kulit dan jaringan yang berada di bawahnya. Luka kulit adalah terdapatnya kerusakan morfologi

epidermis

dermis


(22)

luka adalah kembali normalnya kerusakan morfologi kulit dan jaringan yang lebih dalam dengan kembalinya integritas kulit dan jaringan yang berada di bawahnya melalui beberapa tahap peradangan akut (Slauson dan Cooper, 1990).

2.5.2 Proses Persembuhan Luka

Proses persembuhan luka terdiri dari tiga fase yaitu fase peradangan, fase fibroelastik serta fase pematangan dan perampingan jaringan (Jones et al., 1996). Proses peradangan pada perlukaan meningkatkan tekanan hidrostatik dan mengganggu keseimbangan dalam pembuluh darah. Keadaan ini menyebabkan lebih banyak cairan keluar meninggalkan pembuluh darah untuk memasuki jaringan. Dinding venula dan kapiler yang kehilanga n permeabilitasnya terhadap protein menyebabkan albumin, globulin dan fibrinogen tercurah menuju jaringan sehingga jaringan mengandung cairan dengan komposisi serupa plasma darah (Spector dan Spector,1980). Proses peradangan ditandai dengan beberapa faktor, seperti: vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan, kenaikan permeabilitas kapiler disertai dengan kebocoran cairan ke dalam ruang interstisial. Peradangan merupakan rangkaian reaksi yang menyebabkan jaringan yang luka diperbaiki dan diganti dengan jaringan baru serta reaksi yang menyebabkan musnahnya agen-agen yang membahayakan jaringan tubuh atau juga mencegah agar agen-agen tersebut tidak menyebar luas (Rukmono, 1973). Reaksi peradangan berhubungan erat dengan kerusakan jaringan. Sel-sel yang rusak atau mati akan diangkat dengan cepat dari tempatnya melalui fagositosis (Thomson dan Cotton 1997). Kehadiran leukosit polimorf nuklear dengan segera dan dalam jumlah besar di daerah radang merupakan pertahanan pertama terhadap infeksi.

Proses peradangan mencakup perekrutan sel-sel radang dari pembuluh darah menuju jaringan luka. Sel-sel yang menginfiltrasi daerah luka diantaranya adalah neutrofil, limfosit, dan makrofag.

1. Neutrofil

Sel neutrofil merupakan sel pertahanan pertama terhadap kontaminasi mikroba pada peradangan. Kehadiran sel ini pada daerah luka dipengaruhi oleh adanya


(23)

produk-bertugas membunuh dan memfagosit partikel-partikel asing yang terdapat pada luka dengan cara fagositosis (Vegad, 1995). Setelah memfagosit partikel asing (termasuk sisa nekrosa sel inang), neutrofil akan mati dan akan digantikan oleh makrofag sebagai sel pertahanan kedua.

2. Limfosit

Limfosit merupakan unsur kunci pada proses kekebalan tubuh. Limfosit dibentuk di sumsum tulang pasca kelahiran, tetapi sebagian besar dibentuk di dalam kelenjar limfe, timus dan limpa dari sel prekursor yang berasal dari sumsum tulang (Ganong, 2003). Limfosit tidak memiliki kemampuan untuk melakukan fagositosis dan hanya memiliki kemampuan untuk melakukan kemampuan kemotaksis yang terbatas. Dalam persembuhan luka, peran limfosit adalah melepaskan limfokin yang mempengaruhi populasi dari sel-sel radang lainnya. Beberapa limfokin yang dilepaskan limfosit berpengaruh terhadap makrofag dalam proses persembuhan luka (Handayani, 2006).

3. Makrofag

Makrofag merupakan salah satu sel radang dalam proses fagositosis. Makrofag mulai bermunculan setelah neutrofil menyelesaikan tugasnya. Menurut Kalangi (2004) makrofag mencerna dan memfagosit organisme patogen dan debris jaringan termasuk sel-sel neutrofil yang tidak berguna lagi.

Fase proliferasi meliputi aktivitas mitosis sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka (Singer dan Clarks,1999). Pada pengamatan patologi anatomi dalam fase ini, pada luka akan terlihat adanya jaringan granulasi yang ditandai dengan munculnya keropeng.

Re-epitelisasi merupakan tahapan perbaikan luka yang meliputi mobilisasi, migrasi, mitosis dan diferensiasi sel epitel. Tahapan-tahapan ini akan mengembalikan intregitas kulit yang hilang. Mitosis dan migrasi sel epitel akan berfungsi untuk mengembalikan integritas dari kulit.

Pada permulaan kulit re-epitelisasi akan terjadi melalui pergerakan sel-sel epitel dari tepi jaringan bebas menuju jaringan rusak. Sel-sel akan mengalami perubahan


(24)

yang meliputi retraksi tenofilamen intrasel, disolusi sebagian besar desmosom intrasel dan pembentukan filamen aktin sitoplasma perifer.

Perubahan ini akan memberikan mobilitas pada sel dan apparatus golgi sehingga sel-sel epidermis akan kehilangan polaritas apiko-basal dan menjulur dari kulit yang bebas menuju luka (Kalangi, 2004).

Pembentukan fibroblas berasal dari sel-sel mesenkim yang diisi oleh sel-sel radang, fibroblas, serat-serat kolagen dan kapiler-kapiler baru untuk membentuk jaringan kemerahan dengan permukaan yang tidak rata yang disebut jaringan granulasi.

Fibroplasia dalam proses persembuhan luka akan mengalami proliferasi dan migrasi ke dalam ruang luka. Fibroblas akan mengalami perubahan fenotip seperti retraksi retikulum endoplasma dan apparatus golgi dan pembentukan serabut aktin tebal. Setelah induksi dari perubahan fenotip maka miofibroblas akan bertambah kapasitas motilitas dan kontraktilitasnya. Bersamaan dengan itu miofibroblas bermigrasi ke dalam luka dan mendeposit matriks ekstraseluler longgar yang mengandung fibronektin dalam jumlah banyak. Sintesis fibronektin juga dapat dipengaruhi oleh trombin dan

epidermal growth factor (Kalangi, 2004).

Epidermal Growth Factor atau EGF merupakan faktor pertumbuhan epidermis yang bekerja secara positif. EGF memiliki sifat meningkatkan keratinisasi epitel dan mempercepat migrasinya melintasi permukaan. Protein kompleks ini bertindak sebagai prekursor dengan melepaskan enzim Arginin esterase. Enzim ini melepaskan peptida lain yang secara biologis aktif untuk cedera jaringan misalnya Kinin . Faktor pengontrol khas jaringan yang mencegah epitel membelah diri pada biakan in vitro dikenal dengan nama Khalon (Lewis,1986). Pada keadaan normal senyawa ini akan mencegah proliferasi berlebihan dan bila terjadi gangguan maka produksi Khalon akan menurun sehingga sel-sel bebas membagi diri hingga integritasnya dipulihkan (Mayasari, 2003).

Kontraksi luka berasal dari miofibroblas yang merupakan sel kontraktil. Miofibroblas merupakan jumlah terbesar dalam jaringan granulasi pada luka yang memperantarai kontraksi pada jaringan granulasi yang terlihat seperti otot (Kalangi, 2004).


(25)

Neovaskularisasi adalah pembentukan pembuluh darah baru ke dalam luka yang terjadi bersamaan dengan fibroplasia. Rangkaian proses neovaskularisasi meliputi vasodilatasi dan kongesti dari vascular bed, elongasi dari pembul uh yang berhubungan dengan perkembangan varikosa, sinus, atau perubahan struktur pilihan serta disolusi membran basal pembuluh darah. Neovaskularisasi juga meliputi pertunasan atau pertumbuhan endotel ke dalam jaringan sekitarnya, migrasi distal dari endotel menghadap sumber angiogenik dengan mitosis proksimal, proliferasi sel endotel, pembentukan lumen (kanalisasi), anastomosis dengan tunas endotel lainnya dan pembentukan simpul, perkembangan sirkulasi serta maturasi dan evolusi saluran-saluran dengan segmen-segmen arteri dan vena (Kalangi, 2004).

Fase pematangan ditandai dengan berkurangnya jumlah fibroblas secara berkala dan penurunan jumlah pembuluh-pembuluh kapiler. Serabut kolagen mengalami pertambahan jumlah dan menyusun diri sepanjang garis lebar luka. Secara berangsur-angsur luka meningkatkan kekuatan integritasnya terhadap tekanan. Pada fase pematangan ini matriks ekstraseluler sementara yang telah terbentuk pada fase sebelumnya digantikan oleh matriks kolagen dermis (Anonim, 2003).

Tahap akhir dari persembuhan luka ini merupakan tahap yang hampir bersamaan waktunya dengan tahap granulasi. Komposisi dan struktur matriks ektraseluler yang terbentuk pada masa jaringan granulasi akan terus menerus berubah. Perubahan ini akan bergantung pada waktu setelah terjadi perlukaan dan jarak tepi luka (Putriyanda, 2006).

2.6 Faktor yang Mempengaruhi Persembuhan Luka

Faktor yang dapat mempengaruhi persembuhan luka yaitu faktor endogen, dimana gangguan datang dari dalam tubuh sendiri dan faktor eksogen yang datang dari luar tubuh. Gangguan endogen biasanya berupa gangguan koagulasi, gizi dan gangguan sistem imun atau kekebalan tubuh. Gangguan eksogen dapat diakibatkan oleh penyinaran (pasca radiasi), obat-obatan, pengaruh lingkungan, luka gigitan dan luka artifisisal (Sjamsuhidajat dan de Jong, 1997).

Cedera pada individu muda akan lebih cepat mengalami persembuhan dibandingkan dengan yang lebih tua, hal ini terkait dengan kelancaran sirkulasi darah. Proses perbaikan jaringan akan terhambat pada keadaan yang terlalu panas dan terlalu


(26)

dingin karena keduanya akan menyebabkan kerusakan jaringan vaskular yang menyebabkan trombosis. Ukuran dan jumlah jaringan yang rusak merupakan faktor yang penting karena massa jaringan yang hilang akan mempengaruhi faktor pertumbuhan. Adanya benda asing di dalam luka akan menghambat proses persembuhan disebabkan bertahannya iritan dan infeksi dalam jaringan granulasi. Semakin besar kerusakan, semakin lama pula proses persembuhan sebab jaringan parut yang terbentuk akan semakin banyak (Aliambar,1996).

2.7 Sediaan Gel

Gel merupakan suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel terdiri dari satu atau dua fase padat dan sebuah fase cair (gel liofil) atau terdiri dari sebuah fase padat dan fase berbentuk gas (gel serofil) (Voight 1994). Gel merupakan koloid yang setengah kaku yaitu antara padat dengan cair. Selai, agar-agar, lem kanji, gelatin dan gel sabun adalah contoh dari gel yang beredar di pasaran. Gel dapat terbentuk dari suatu solid yang zat terdispersinya mengadsorpsi medium dispersinya sehingga terjadi koloid yang agak padat (Oktaviyanti, 2004).

Sediaan semi solid ini me miliki banyak keuntungan dibandingkan dengan sediaan semi solid lainnya karena praktis, mudah digunakan, tahan lama dan mudah diaplikasikan. Proses ekstraksi gel biasanya diikuti dengan proses stabilisasi (Morsy, 1991). Uji stabilisasi gel dapat dilakukan dengan berbagai cara, tergantung pada tujuan yang ingin dicapai, antara lain bertujuan untuk inaktivasi enzim, membunuh sel vegetatif dan mikroba pathogen atau spora mikroba pembusuk, khususnya yang anaerobik (Muchtadi, 1997). Proses stabilisasi gel dapat dilakukan dengan penambahan bahan-bahan kimia (misalnya zat pengawet, zat pengental, antioksidan dan sebagainya), penggunaan panas (proses termal), atau dengan kombinasi dari kedua cara tersebut (Morsy, 1991).


(27)

2.8 Uji stabilitas

Kestabilan suatu zat merupakan faktor yang harus diperhatikan dalam membuat sediaan farmasi. Hal ini penting mengingat suatu sediaan biasanya diproduksi dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang lama untuk sampai ketangan pasien yang membutuhkannya. Obat yang disimpan dalam jangka waktu yang lama dapat mengalami penguraian dan mengakibatkan dosis yang diterima oleh pasien berkurang, oleh karena itu perlu diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kestabilan suatu zat sehingga dapat dipilih suatu kondisi dimana kestabilan obat tersebut optimum.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan suatu zat antara lain adalah temperatur, cahaya, kelembaban, oksigen, pH, mikroorganisme dan bahan-bahan tambahan yang digunakan dalam formula sediaan obat tersebut. Dahulu untuk mengevaluasi kestabilan suatu sediaan farmasi dilakukan pengamatan pada kondisi di mana obat tersebut di simpan, misalnya pada temperatur kamar ternyata metode ini memerlukan waktu yang lama dan tidak ekonomis, dan pada saat ini untuk mempercepat analisis dapat dilakukan uji stabilitas dipercepat yaitu dengan mengamati perubahan konsentrasi pada suhu yang tinggi.

Pentingnya uji stabilitas pada pengembangan bentuk sediaan farmasi telah diakui dalam industri farmasi. Peningkatan jumlah pencatatan Abbreviated New Drug Application (ANDA) oleh produsen obat generik dan non generik telah menyebabkan peningkatan dalam jumlah pengajuan data stabilitas kepada Food and Drug Adminsration (FDA). Lachman (1989) menyatakan bahwa penerapan prinsip fisika kimia tertentu pada pelaksanaan pengkajian stabilitas telah terbukti sangat menguntungkan di dalam pengembangan kestabilan suatu sediaan. Bagi industri farmasi sangatlah penting untuk mendapatkan data dengan tepat mengenai uji stabilitas produk baru pada penyimpanan normal dan penyimpanan dalam kondisi yang melebihi keadaan normal dalam rangka meramalkan stabilitas pada penyimpanan selama jangka waktu lama, hal ini disebabkan karena keuntungan ekonomis besar yang diperoleh dari pemasaran produk baru secepat mungkin setelah formulasinya selesai.


(28)

2.9 Absorpsi obat topikal

Obat topikal dapat berpenetrasi ke kulit melalui dinding folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar lemak atau diantara sel-sel selaput tanduk. Penetrasi obat umumnya melalui lapisan epidermis, dan lebih baik daripada melalui folikel rambut atau kelenjar keringat, karena luas permukaan kedua bagian kulit yang terakhir ini lebih kecil dibandingkan dengan daerah kulit yeng tidak mengandung elemen anatomi. Absorpsi obat perkutan disebabkan penetrasi langsung obat melalui stratum corneum yang tebalnya 10-15 µm. Selanjutnya obat dapat terus melalui jaringan epidermis yang lebih dalam dan masuk ke dermis. Apabila obat mencapai lapisan pembuluh kulit maka obat tersebut siap untuk diabsorpsi ke dalam sirkulasi umum. Stratum corneum sebagai jaringan keratin akan berlaku sebagai membran buatan yang semi permebel dan molekul obat berpenetrasi dengan arah difusi pasif sehingga jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat, kelarutan dalam air dan koefisien partisi minyak atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam minyak dan air merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum corneum

seperti juga melalui epidermis dan lapisan kulit (Singer et al., 1999).

Bagian kulit yang paling berpengaruh untuk absorpsi obat adalah : bagian epidermis, kelenjar rambut, kelenjar keringat serta kelenjar minyak . Epidermis adalah lapisan kulit paling luar di mana gel tersebut dioleskan. Tebal epidermis tersebut berlainan tergantung dari letak kulit, sehingga sangat berpengaruh pada daya penyerapan obat. Bagian epidermis ini dilapisi oleh suatu lapisan film yang terdiri dari lemak-lemak, yang mempunyai pH sekitar 4,5 - 6,5 sehinga diperoleh absorpsi obat yang berbeda pula.


(29)

III. BAHAN dan METODE

3.1. Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Bagian Patologi dan Bagian Farmasi, Departemen Klinik Reproduksi dan Patologi (KRP), Fakultas Kedokteraan Hewan, Institut Pertanian Bogor dari bulan Agustus 2006 hingga April 2007.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1 Alat

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah mortar dan stamper untuk tempat membuat gel, alat soxlethasi untuk ekstraksi, rotary evaporator untuk mengentalkan ekstrak, cawan penguap untuk wadah ekstrak, oven, gelas tabung dan plat tetes untuk skrining fitokimia, Viscometer Brookfield untuk pengujian viskositas, kotak plastik (beralaskan sekam) dan kawat untuk kandang mencit, anaerobic jar untuk anasthesi, peralatan bedah (gunting anatomis untuk bedah, scalpel), plastik, penggaris, peralatan untuk membuat sedian histopatologi seperti mikrotom, gelas objek dan gelas penutup. Untuk pengamatan histopatologi digunakan mikroskop dan videomikrometer.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon, sediaan gel komersial, sediaan gel placebo yang terdiri dari Propilenglikol, Trietaolaminstearat, Aquadest dan Poligel. Bahan –bahan untuk skrining fitokimia adalah ammonia encer, kloroform, HCl 2 N, Reagen Mayer, Dragendorf, amil alkohol, gelatin 1 %, eter, anisaldehid-asam sulfat, Reagen Lieberman-Burchad, dan NaOH.

Eter untuk euthanasia, larutan neutral buffer formalin 10% untuk fiksasi, kapas dan bahan-bahan untuk pembuatan sediaan histopatologi yaitu larutan Mayer’s Hematoxylin, larutan Eosin, Xylol, alkohol dengan konsentrasi bertingkat (70%, 80%, 90%, 95%, 100%), larutan Lithium Carbonat, akuades, asam asetat 1%, Schiff Reagent, air sulfit, larutan Mordant, larutan Carrazi’s Hematoxylin, larutan Orange G 0,75%, larutan Ponceau Xylidine Fuchsin, larutan Phosphotungstic Acid 2,5%, Anilin Blue dan


(30)

parafin. Untuj pengujian potensi antibakteri menggunakan bahan-bahan antara lain: potongan cakram kertas saring dengan diameter 15 mm, ekstrak batang pisang, biakan yang terdiri dari Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa, dan media agar

lempengan Mueller-Hintomn.

3.2.3 Hewan Percobaan

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus musculus albinus) strain DDY umur 4-6 minggu. Mencit dipelihara di dalam kandang individual dari kotak plastik yang pada bagian atasnya diberi kawat kasa sebagai penutup sekaligus tempat pemberian pakan dan minum. Sebagai alas digunakan alas sekam yang berfungsi untuk menjaga suhu dan menyerap urine. Pakan yang diberikan yaitu pakan komersil berbentuk pellet dan minum secara ad libitum. Sekam pada kandang mencit diganti 3 hari sekali.

3.3 Metodelogi Penelitian

Penelitian pada tahap pertama dilakukan analisa terhadap kandungan bahan aktif ekstrak batang pisang Ambon, evaluasi mutu dan stabilitas sediaan kemudian dilanjutkan dengan pengujian aktivitas sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon terhadap persembuhan luka pada mencit .

3.3.1 Ekstraksi Simplisia Batang Pisang Ambon

Batang pohon pisang Ambon diperoleh di sekitar Darmaga, Bogor dan diambil dengan cara memotong batang pohon pisang Ambon yang berumur ± 1 tahun secara miring dan dipotong kecil-kecil kemudian dikeringkan di udara terbuka terlindung dari sinar matahari kemudian dideterminasi di Lembaga Biologi Nasional Bogor. Untuk mendapatkan ekstrak batang pisang Ambon dilakukan prosedur soxhletasi dari simplisia kering menggunakan pelarut alkohol 70% selama 4 jam, kemudian cairan ekstraksi dipekatkan menggunakan rotary evaporator .


(31)

Skrining fitokimia dilakukan untuk mengetahui kandungan bahan aktif ekstrak batang pisang Ambon dengan metode Harborne (1987) yaitu:

Alkaloid :

sampel + amonia encerà digerus + kloroformà filtrat + HCl 2 N kemudian lapisan dipisahkanà dibagi menjadi 3 bagian : a. Blangko b. Di tambahkan Rx Mayeràwarna putih dan c. Ditambahkan Reaksi Dragendorf àendapan jingga coklat .

Uji Flavonoid :

Simplisia dipanaskan + Mg + HClàdisaring dan hasil positif jika filtrat berwarna merah

Uji Saponin :

Sampel + air panaskan dikocok kuat. Hasil (+) jika timbul busa 10 menit kemudian

Uji Tanin dan Polifenol :

Sampel + air didihkan. Filtrat diberi 5 tetes FeCl3 1%. Hasil (+) tannin dan polifenol jika terbentuk warna biru tua atau hitam kehijauan. Hasil (+) tannin saja jika filtrat ditambahkan gelatin 1% terbentuk endapan putih

Uji Kuinon :

Sampel + air didihkan. Filtrat diberi NaOH 15%. Hasil (+) jika terbentuk warna merah

Uji Fenol :

sampel + 5 tetes FeCl3 1%. Hasil (+) jika terbentuk warna ungu, biru atau hijau.

3.3.2 Pengujian potensi antibakeri ekstrak batang pisang Ambon

Potensi antibakteri dari ekstrak batang pohon pisang Ambon diuji kepada bakteri

Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeuroginosa menggunakan metoda cakram kertas.

Pada uji ini cakram kertas dengan diameter tertentu dibasahi dengan ekstrak batang pisang, kemudian diletakkan pada lempengan agar yang telah di ino kulasi. Cara pengerjaan dan evaluasi cakram kertas sama dengan pengerjaan Antibiogram Metode Kirby-Bauer.


(32)

Prosedur kerja : Hari pertama

1. Tandai satu lempengan agar dengan nama, tanggal, dan mikroorganisme yang akan di uji.

2. Biakan mikroorganisme ini diencerkan sebanyak 1: 9 dengan NaCl fisiologis karena di alam bebas bakteri yang menginfeksi luka tidak sebanyak ini.

3. Celupkan tangkai kapas (cotton swab) dalam biakan mikroorganisme, kemudian putar bagian kapas ke sisi tabung agar cairan tidak menetes dari bagian kapas tersebut.

4. Sebar mikroorganisme pada seluruh permukaan lempengan agar. Untuk mendapatkan pertumbuhan yang merata, gores secara mendatar, kemudian putar lempengan 90° dan buat goresan kedua, putar 45° dan buat goresan ketiga. Diharapkan dari ketiga goresan yang dilakukan akan membuat pertumbuhan bakteri memenuhi selureuh permukaan lempengan agar yang digores.

5. Biarkan lempengan mongering selama 5 menit. Setelah selesai inokulasi ambil potongan cakram kertas saring dan celupkan ke dalam ekstrak. Hindarkan adanya cairan yang berlebihan pada kertas saring dengan cara mentiriskan kertas saring sesaat di pinggir cawan petri, supaya cairan tersebut turun kembali ke cawan dan tidak ada yang menetes lagi. Kemudian tempatkan cakram kertas yang berisi ekstrak batang pisang pada permukaan lempengan.

6. Cakram kertas ditekan dengan menggunakan pinset pada permukaan lempengan, sehingga terdapat kontak yang baik antara cakram dan lempengan agar. Cakram tidak perlu ditekan kuat-kuat sehingga melukai permukaan agar.

7. Inkubasi lempengan pada suhu 37° C selama 24 jam. Hari kedua

Evaluasi dilakukan dengan cara mengukur zona hambatan terhadap pertumbuhan bakteri yang terlihat di permukaan lempengan agar.


(33)

ekstrak hasil pengujian pendahuluan dosis efektif yang memiliki hasil yang lebih baik (Radini, 2003).

3.3.4 Uji pendahuluan dosis efektif

Konsentrasi ekstrak A%, B%, dan C% diuji aktivitasnya terhadap persembuhan luka mencit diamati 3,5, dan 7 hari. Pengamatan dilakukan secara makroskopik terhadap merapatnya kulit, keringnya luka dan keberadaan keropeng luka. ( Konsentrasi ekstrak tidak disebutkan dalam angka dikarenakan peneliti akan mengajukan hak paten )

3.3.5 Evaluasi Sediaan Gel

Sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon diperiksa kestabilannya pada suhu 150C, 270C, 370C, dan 450C. Pengamatan terhadap kestabilan suhu dan homogenitas dilakukan pada hari ke-1, 3, 7 selama 1 minggu (awal) dan setiap minggu ke-1 sampai minggu ke-8. Evaluasi akhir dilakukan terhada adanya pemisahan .

Untuk mengetahui kekentalan sediaan gel sebanyak 200 ml dimasukkan ke dalam wadah sampai tanda batas pada alat Viscometer Brookfield menggunakan spindle

no.4 dengan kecepatan 6 rpm. Pengukuran dilakukan tiga kali setiap formula pada hari ke 1,3,7, dan selanjutnya setiap minggu selama 8 minggu penyimpanan. (Voight, 1994)

3.3.6 Pengujian iritasi kulit

Pengujian iritasi kulit dilakukan menurut metode 21 day Cumulative Study (Block, 1990) terhadap 11 orang sukarelawan pria atau wanita.yang berumur 23-30 tahun. Gel dioleskan pada punggung tangan dan dibiarkan selama 5 menit, kemudian diamati reaksi yang mungkin terjadi yaitu kemerahan, bengkak dan diberi skor. Pengujian dilakukan selama tiga hari berturut-turut setelah pembuatan dan pada hari terakhir setelah penyimpanan selama 8 minggu.

3.4 Perlakuan pada Mencit

Mencit yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 45 ekor yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif diberi gel placebo,


(34)

pisang Ambon. Ketiga kelompok tersebut masing-masing dibagi lagi menjadi 5 kelompok kecil yang satu kelompoknya berjumlah 3 ekor. Pembagian kelompok kecil ditentukan berdasarkan dari waktu pengamatan histopatologi dan pengambilan sempel kulit yaitu pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21.

Sebelum perlukaan seluruh mencit diadaptasikan di kandang yang telah disiapkan. Mencit yang dikelompokkan ke dalam bagian kelompok kontrol positif diberi gel komersial pada bagian yang luka kemudian kelompok mencit kontrol negatif diberi gel placebo dan kelompok mencit terakhir diberi gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Seluruh mencit yang digunakan, disayat sepanjang 1-1,5 cm pada bagian punggungnya secara aseptis menggunakan skalpel. Sebelum penyayatan mencit dianestesi menggunakan eter dan rambut di sekitar daerah sayatan dicukur dan kemudian dibersihkan dengan alkohol.

Pemberian gel dilakukan secara topikal dengan cara mengoleskannya di bagian luka pada mencit perlakuan menggunakan kapas steril setiap hari, dari hari ke-1 sampai hari ke 21 setelah perlukaan sebanyak 2 kali sehari.

Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 mencit dieuthanasia dan dilakukan pengambilan sampel untuk pembuatan sediaan histopatologi.

3.5 Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

Pengamatan patologi anatomi dilakukan setiap hari mulai hari ke-1 hingga hari ke-21 setelah perlukaan pada seluruh mencit perlakuan pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dan dilakukan pengambilan sampel kulit. Pengamatan dilakukan dengan cara melihat langsung pada bagian luka. Pada hari ke-3, 5, 7, 14 dan 21 dilakukan pemotretan pada luka dengan menggunakan kamera digital.

Parameter yang diamati adalah adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka dan tidak dilakukan pengukuran pada persembuhan lukanya.

3.6 Pengambilan Kulit


(35)

dibersihkan dari bulu, kulit digunting sepanjang 1-1,5 cm2 dengan ketebalan ± 3 mm hingga mencapai sub cutan. Kulit yang diperoleh kemudian di fiksasi dengan larutan

neutral buffer formalin atau NBF 10% dibiarkan pada suhu kamar selama ± 48 jam untuk selanjutnya di buat sediaan histopatologi.

3.7 Pembuatan Preparat Histopatologi

Sediaan kulit yang telah difiksasi menggunakan larutan Neutral Buffer Formalin

(NBF) 10% lalu dilakukan trimming organ dan dimasukkan ke dalam cassette tissue

dari plastik. Tahap selanjutnya dilakukan proses dehidrasi alkohol menggunakan konsentrasi alkohol yang bertingkat yaitu alkohol 70 %, 80 %, 90 %, alkohol absolut I, alkohol absolut II, kemudian dilakukan penjernihan menggunakan xylol I dan xylol II. Proses pencetakan atau parafinisasi dilakukan menggunakan parafin I dan parafin II. Sediaan dimasukkan ke dalam alat pencetak yang berisi parafin setengah volume dan sedian diletakkan ke arah vertikal dan horizontal sehingga potongan melintang melekat pada dasar parafin. Setelah mulai membeku, parafin ditambahkan kembali hingga alat pencetak penuh dan dibiarkan sampai parafin mengeras.

Blok-blok parafin kemudian dipotong tipis setebal 5 mikrometer dengan menggunakan mikrotom. Hasil potongan yang berbentuk pita (ribbon) tersebut dibentngkan di atas air hangat yang bersuhu 460C dan langsung diangkat yang berguna untuk meregangkan potongan agar tidak berlipat atau menghilangkan lipatan akibat dari pemotongan. Sediaan tersebut kemudian diangkat dan diletakkan di atas gelas objek dan dikeringkan semalaman dalam inkubator bersuhu 600 C sehingga dapat dilakukan pewarnaan umum Hematoxyllin Eosin (HE) dan pewarnaan khusus Masson Trichrome

(MT) untuk melihat jaringan fibroblas.

3.8 Pengamatan Histopatologi.

Pengamatan histopatologi menggunakan metode penghitungan menurut cara Maiwahyudi (1999) dan Low et al (2001) dengan menghitung jumlah sel yang diamati. Parameter yang digunakan adalah merapatnya lapis epidermis (re-epitelisasi), banyaknya sel-sel radang (makrofag, limfosit dan neutrofil), pembentukan neokapiler


(36)

dan sel-sel fibroblas yang ada dalam luka. Pengamatan histopatologi dilakukan menggunakan mikroskop cahaya (Olympus tipe BH-2, Olympus Corp, Jepang).

Rumus Penghitungan % Re -epitelisasi (Penghitungan menggunakan Video Measuring Device)

% Re-epitelisasi = Panjang luka yang ditutupi epitel X 100% Panjang Luka Total

Sumber : Maiwahyudi (1999)

3.9 Analisa data

Data hasil uji evaluasi mutu sediaan dan stabilitas disajikan dalam bentuk deskriptif berupa tabel. Data yang didapat dari perhitungan jumlah sel-sel radang dan jumlah neokapiler diuji secara statistika menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang dilanjutkan dengan uji wilayah berganda Duncan untuk melihat ada tidaknya perbedaan yang nyata (P< 0.05). Hasil pengamatan patologi anatomi dan kepadatan jaringan dianalisis secara deskriptif.


(37)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil pengujian skrining fitokimia menunjukan bahwa ekstrak yang dioleskan pada hewan coba mengandung tannin, saponin, dan flavonoid (Tabel 1). Pada uji alkaloid sampel menunjukan hasil negatif terhadap ketiga pereaksi (Wagner, Mayer, dan Dragendorf). Hasil uji saponin menunjukan tinggi busa ± 1,5 cm. Adanya flavonoid ditunjukan dengan terbentuknya warna merah jingga setelah ditambahkan serbuk Mg, 1 ml HCl pekat dan 20 tetes amil alkohol lalu dikocok kua t. Pada uji steroid dan triterpenoid tidak terbentuk warna hijau sehingga ekstrak batang pisang tidak mengandung senyawa tersebut. Ekstrak mengandung senyawa tannin ditunjukan dengan terbentuknya warna biru tua atau hitam kehijauan setelah ditambahkan 2 te tes pereaksi FeCl3.

Tabel 1. Hasil uji fitokimia ekstrak batang pisang Ambon

Uji Hasil analisis ekstrak batang pisang

Alkaloid -

Saponin + +

Flavonoid +

Steroid -

Tanin +

Triterpenoid -

Efek tannin sebagai astringensia yang banyak digunakan sebagai pengencang kulit dalam kosmetik atau estetika (Olivia et al., 2004). Saponin berkhasiat sebagai antiseptik dan pembersih sedangkan flavonoid memiliki kemampuan bereaksi dengan komponen seperti allergen, virus dan karsinogenik sehingga flavonoid dapat berfungsi sebagai anti alergi, antikanker dan antiinflamasi (Lewis et al., 1999).


(38)

4.2 Potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon

Berdasarkan hasil pengujian potensi antibakteri ekstrak batang pisang Ambon dosis C menggunakan metode cakram kertas didapatkan hasil bahwa ekstrak batang pisang Ambon memiliki potensi antibakteri terhadap Staphilycoccus aureus dan

Pseudomonas aeuroginosa hal ini dibuktikan dengan tidak tumbuhnya bakteri disekitar cakram kertas .

Gambar 3. Gambar A adalah hasil pengujian antibakteri Staphylococcus aeureus dari ekstrak batag pisang Ambon. Gambar B adalah pengujian pengujian antibakteri Pseudomonas aeuroginosa ekstrak batang pisang Ambon.

Potensi antibakeri yang dimiliki ekstrak batang pisang Ambn dikarenakan terdapatnya kandungan saponin yang terdapat di ekstrak batang pisang Ambon. Saponin merupakan senyawa metabolit sekunder yang berfungsi sebagai antiseptik sehingga memiliki kemampuan antibakteri.

4.3 Penentuan Dosis Efektif

Berdasarkan hasil penentuan dosis efektif dari ekstrak batang pohon pisang didapat bahwa dosis yang paling baik memberikan pengaruh terhadap kualitas/ percepatan persembuhan luka adalah sediaan dengan dosis C (Tabel 2). Dosis C inilah yang selanjutnya digunakan sebagai dosis uji untuk sediaan gel dan aktivitas persembuhan luka.


(39)

Tabel 2 Perbandingan patologi anatomi persembuhan luka kulit pada penentuan dosis efektif antara mencit kontrol, mencit perlakuan dengan ekstrak batang pisang

Hari ke-

Kontrol Negatif

Dosis Ekstrak Batang Pisang

A B C

1 luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat.

luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat.

luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat.

luka masih terlihat lebar dan basah, serta keropeng masih sangat jelas terlihat.

3 Luka berwarna merah

dan basah, ada gumpalan darah, luka masih terbuka dan tepi luka masih terpisah

Luka berwarna merah, basah, merah dan ada gumpalan darah, luka masih terbuka dan tepi luka masih terpisah

Luka berwarna merah dan agak basah, ada gumpalan darah, luka terbuka dan tepinya masih terpisah

Luka berwarna merah pucat dan mulai mengering, ada gumpalan darah, luka terbuka dan tepinya masih terpisah

5 Luka berwarna merah

pucat dan mulai kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka

Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka

Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih terbuka

Luka berwarna merah pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka mulai tertutup

7 Luka berwarna merah

pucat dan kering, tepi luka mulai kering, luka masih sedikit terbuka

Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka masih sedikit terbuka, kulit tepi luka mulai mengeras

Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka mulai menyempit, kulit tepi luka mulai mengeras

Luka kering dan pucat, tepi luka kering, luka menutup, kulit tepi luka keras

Dari tabel 2 di atas tampak bahwa gambaran patologi anatomi secara garis besar memperlihatkan bahwa pemberian ekstrak batang pohon pisang dengan dosis C memberikan hasil persembuhan yang paling baik berdasarkan parameter makroskopik. Ekstrak batang pohon pisang memberikan hasil yang lebih baik dalam mengembalikan keutuhan kulit akibat luka sayatan dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi apa-apa, hal ini menunjukkan bahwa proses persembuhan luka dipercepat dengan pemberian ekstrak batang pohon pisang terutama pada dosis C seperti disajikan pada Gambar 3.

Gambar 4. Gambaran makroskopik dari luka kulit pada mencit (A), tampak warna luka merah pucat pada dosis C (a), B (b) dan A (c). Gambar (B) menunjukkan tampakan histopatologik dari luka

a b c

A


(40)

kulit pada mencit kontrol yang tidak diberi apa-apa dan terlihat keropeng masih cukup besar. Gambar (C) memperlihatkan luka secara kualitas lebih baik dan keropeng lebih kecil serta homogen. Gambar B & C diwarnai dengan HE, pembesaran 40 X.

4.4 Pembuatan Sediaan Gel.

Ekstrak batang pohon pisang telah berhasil dibuat dalam sediaan gel dengan konsentrasi ektrak dalam gel sebesar dosis C (sesuai hasil uji penentuan dosis efektif di atas) dan sediaan inilah yang digunakan sebagai bahan uji. Bahan dan formula yang digunakan untuk pembuatan sediaan gel adalah poligel, trietanolamin, gliserin,

propilenglikol dan ekstrak (Tabel 3). Gambar sediaan gel ditampilkan pada Gambar 4. Tabel 3 Formula Sediaan Gel

No Bahan Konsentrasi (%)

1 Poligel 8

2 Ekstrak C

3 Gliserin 2

4 TEA 1,5

5 Propilen glikol 9

6 Aqua DM Ad 100

Keterangan :

C = Dosis terpilih dari ekstrak batang pisang

Gambar 5. Sediaan gel placebo (A); sedian gel ekstrak batang pisang (B); sediaan obat komersial (C).


(41)

4.5 Pengujian Sediaan Gel.

Hasil evaluasi awal sedian gel ekstrak batang pisang dengan dosis C pada suhu 15 0C dan 27 0C pada hari ke-1,3 dan 7 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37 o

C juga menunjukan tidak terjadi pemisahan pada hari ke-1 dan ke-3 sedangkan pada hari ke-7 mulai terjadi pemisahan. Pada suhu 45 0C pada hari ke-1 tidak menjukan pemisahan tetapi pada hari ke-3 dan 7 mulai menunjukan pemisahan ditandai dengan terdapat lapisan air, hal ini disebabkan karena suhu yang tinggi dan sediaan gel yang memang berbasis poligel larut air dan tidak tahan panas (Tabel 4)

Tabel 4 Evaluasi Awal Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Ambon

Suhu (T0C)

Pemisahan (Hari ke-)

1 3 7

15 - - -

27 - - -

37 - - +

45 - + +

Keterangan :

+ = Terjadi Pemisahan - = Tidak terjadi pemisahan

Evaluasi akhir sediaan gel pada suhu 15 dan 27 0C minggu ke-1,2 dan 3 hingga minggu ke-8 tidak terjadi pemisahan, kemudian pada suhu 37 0 C minggu ke-1, dan 2 belum terlihat pemisahan dan baru pada minggu ke-3 hingga ke-8 menujukan tanda pemisahan, sedangkan pada suhu 45 0C pada minggu ke-1, 2 dan 3 sudah menunjukan pemisahan hingga minggu ke-8 (Tabel 5 )

Tabel 5Evaluasi Akhir Sediaan Gel Ekstrak batang Pisang Ambon

Suhu (T0C)

Pemisahan (Minggu ke-)

1 2 3 4 5 6 7 8

15 - - - -

27 - - - -

37 - - + + + + + +

45 + + + + + + + +

Keterangan :

+ = Terjadi Pemisahan - = Tidak terjadi pemisahan


(42)

4.6 Pemeriksaan Homogenitas

Pemeriksaan homogenitas awal melalui pengamatan organoleptis berupa pH, bau dan warna menujukan sediaan gel pada suhu 15 0C, 27 0C dan 37 0C yang diamati pada hari ke-1,3 dan 7 menujukkan hasil yang sama yaitu pH 7,3 , bau khas ekstrak, dan warna coklat (Tabel 6 ), sedangkan pada suhu 45 0C pada hari ke-1 memiliki pH 7,3 hari ke-3 pH 7 dan hari ke-7 pH 6,8 dan bau khas, serta pada hari ke-1, dan 3 warna masih terlihat coklat dan mulai berubah menjadi coklat muda pada hari ke-7 karena mulai ditandai terjadinya pemisahan akibat faktor suhu yang tinggi (Tabel 7).

Tabel 6 Pemeriksaan Homogenitas Awal suhu 15, 27, dan 37 0C

Homogenitas Hari

1 3 7

pH 7,3 7,3 7,3

Bau Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat Coklat

Tabel 7Pemeriksaan Homogenitas Awal Pada Suhu 45 0C

Homogenitas Hari Ke -

1 3 7

pH 7,3 7 6,8

Bau Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat Coklat muda

Gambar 6. Sediaan gel ekstrak batang pisang untuk pemeriksaan homogenitas setelah penyimpanan minggu ke-3. Pada suhu 15 0C (A); pada suhu 27 0C (B); pada suhu 37 0C (C) dan pada suhu 45 0C (D).


(43)

Pemeriksaan homogenitas akhir melalui pengamatan organoleptis berupa pH, bau dan warna menunjukan sediaan gel pada suhu 15 0C, 27 0C dan 37 0C yang diamati pada minggu ke-1, 2 menunjukan hasil yang sama yaitu pH 7,3 , bau khas ekstrak, dan warna coklat (Tabel 8, 9 dan 10 ), pada suhu 37 0C minggu ke-3 menujukan perbedaan yaitu pH 7 dan warna yang terbentuk coklat muda hal ini disebabkan pada penyimpanan minggu ke-3 sediaan ekstrak menujukan pemisahan (Gambar 6). Pada suhu 45 0C minggu ke-1menunjukan hasil pH 6,8 ,bau khas dan warna coklat, pada minggu ke-2 dan 3 menunjukan hasil pH 6,7 dan bau khas, serta warna coklat muda (Tabel 11)

Tabel 8 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 15 0C

Homogenitas Minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

pH 7,3 7,3 7,3 7,3 7,2 7,0 7,0 6,8

Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

Tabel 9 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 27 0C

Homogenitas

Minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

pH 7,3 7,3 7,3 7,0 6,7 6,7 6,7 6,7

Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat Coklat

Tabel 10 Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 37 0C

Homogenitas Minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

pH 7,3 7,3 7,0 6,0 6,0 5,7 5,7 5,7

Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat Coklat muda

Coklat muda

Coklat muda

Coklat muda

Coklat muda

Coklat muda


(44)

Tabel 11Pemeriksaan Homogenitas Akhir Sediaan Gel Ekstrak Batang Pisang Pada Suhu 45 0C

Homogenitas Minggu

1 2 3 4 5 6 7 8

pH 6,8 6,7 6,7 6,0 6,0 5,6 5,3 5,0

Bau Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas Khas

Warna Coklat Coklat

muda Coklat muda Coklat muda Coklat muda Coklat muda Coklat muda Coklat muda

4.7 Pengujian Viskositas

Pengujian viskositas tidak dilakukan untuk suhu 450C pada minggu ke-2 hingga minggu ke-8 karena sediaan gel tersebut sudah mulai mencair (rusak) akibat faktor suhu yang tinggi (Tabel 12 dan 13). Adanya penurunan sediaan gel ekstrak batang pisang diakibatkan karena suhu dan lamanya penyimpanan, sehingga menyebabkan menurunnya viskositas, selain itu jumlah air yang ditambahkan ke dalam campuran sediaan gel ekstrak batang pisang juga sangat mempengaruhi viskositas.

Tabel 12 Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang hari ke-3,5, dan 7

Waktu Uji ( Hari)

Perlakuan (centi poise)

15 0C 27 0C 37 0C 45 0C

3 17890 16680 15580 8980

5 16870 15060 10900 7890

7 12780 10500 8650 6980

Tabel 13Pengukuran viskositas sediaan gel ekstrak batang pisang minggu ke1 sampai ke-8.

Waktu Uji (Minggu)

Perlakuan (centi poise)

15 0C 27 0C 37 0C

1 12780 10500 8650

2 10600 9600 7280

3 9680 8560 6830

4 8980 7890 4560

5 7590 6500 2460


(45)

4.8 Pengujian Iritasi Kulit

Pada uji iritasi kulit untuk ke-11 responden rata-rata tidak mengalami reaksi eritema hingga minggu ke-5, dan mulai muncul reaksi eritema berupa gatal pada minggu ke-6 hal ini disebabkan sedian gel batang pisang sudah mengalami degradasi dengan munculnya jamur dan mulai terbentuknya cairan sehingga konsistensi dari gelnya pun mulai mencair dan pH nya juga cenderung ke asam. Pengujian untuk iritasi kulit hanya dilakukan untuk sediaan gel ekstrak batang pisang dengan penyimpanan pada suhu kamar hal ini disebabkan biasanya masyarakat kita menyimpan obat pada kotak obat yang mana suhunya adalah suhu kamar . Pengujian tidak dilakukan pada suhu 370C dan suhu 450C dikarenakan pada suhu tersebut sediaan gel sudah mengalamai degradasi dan terlihat sudah terjadi pemisahan sehingga konsistensinya menjadi lebih encer dan tidak layak untuk dicoba. (Tabel 14 )

Tabel 14 Hasil Pengujian iritasi pada kulit pada Minggu ke-1 sampai ke-8

Responden Minggu ke-

1 2 3 4 5 6 7 8

1 0 0 0 0 0 1 1 1

2 0 0 0 0 0 0 1 1

3 0 0 0 0 0 1 1 1

4 0 0 0 0 0 1 1 1

5 0 0 0 0 0 0 1 1

6 0 0 0 0 0 1 1 1

7 0 0 0 0 0 1 1 1

8 0 0 0 0 0 1 1 1

9 0 0 0 0 0 1 1 1

10 0 0 0 0 0 1 1 1

11 0 0 0 0 0 1 1 1

4.9 Hasil Pengamatan Patologi Anatomi

Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng merupakan tahap awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna


(46)

merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka.

Hasil pengamatan patologi anatomi terhadap proses persembuhan luka pada hewan coba mencit untuk kelompok perlakuan dengan gel placebo (kontrol negatif), kelompok perlakuan dengan gel komersial (kontrol positif), serta kelompok perlakuan dengan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon disajikan dalam tabel 15. Tabel disajikan berdasarkan parameter tertentu, yaitu: adanya pembekuan darah, terbentuknya keropeng, penutupan luka, dan ukuran luka.

Tabel 15 Perbandingan Patologi Anatomi antara kelompok kontrol negatif (gel placebo), kelompok kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon.

Hari ke- Kontrol negatif (Gel Placebo) Kontrol positif (Gel Komersil)

Gel ekstrak batang pisang ambon 3 Luka terlihat terbuka lebar

dan basah. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka.

Luka terlihat terbuka lebar dan mulai mengering. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka.

Luka terlihat terbuka lebar dan basah. Tepi masih terpisah, belum terjadi pembekuan darah serta masih tampak merah pada daerah luka.

5 Luka masih terlihat terbuka. Tepi masih terpisah. Luka sudah mulai mengering walau ada bagian yang masih basah.

Luka masih terlihat terbuka. Tepi masih terpisah. Luka sudah mulai mengering. Ada pembekuan darah.

Luka masih terlihat terbuka dan mengering namun agak lembab. Tepi masih terpisah. Luka berwarna kehitaman.


(47)

7 Luka masih terbuka dan belum terjadi pengecilan diameter, tetapi terlihat adanya keropeng. Luka sudah mengering.

Luka masih terbuka tetapi terjadi pengecilan diameter. Terlihat adanya keropeng dan luka sudah mengering. Tepi luka mengeras.

Luka masih terbuka tetapi terjadi pengecilan diameter. Terlihat adanya pengelupasan keropeng dan luka sudah mengering. Te pi luka mengeras.

14 Luka sudah mulai terlihat tertutup dan terjadi pengecilan diameter. Luka sudah mengering.

Luka sudah tertutup. Bekas luka sudah tidak terlihat. Sudah terjadi proses persembuhan luka.

Luka sudah tertutup. Bekas luka sudah tidak terlihat. Sudah terjadi proses persembuhan luka.

21 Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu.

Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu secara merata.

Luka sudah tertutup dan bekas luka sudah menghilang. Area bekas luka sudah tertutupi bulu secara merata.

Hasil pengamatan patologi anatomi pada ketiga kelompok pada awal perlakuan masih terlihat sama, dimana luka masih terlihat terbuka, luka basah dan belum terjadinya penggumpalan darah serta luka masih terlihat merah (Tabel 15). Luka yang terbuka memperlihatkan hasil kulit yang tersayat oleh benda tajam dan akan kehilangan kekuatan retraksinya dengan membentuk celah. Luka yang berwarna merah


(48)

menunjukkan reaksi peradangan terhadap penyayatan pada kulit, reaksi ini berupa vasokonstriksi sesaat dari pembuluh darah yang diikuti oleh vasodilatasi dari pembuluh darah (Vegad 1995). Vasodilatasi dari pembuluh darah ini dikenal dengan hiperemi dengan penampakan yang berwarna merah pada daerah luka. Pembuluh darah baru yang mulai terbentuk di daerah luka sejak hari pertama perlukaan menyebabkan peningkatan asupan darah yang membawa benang-benang fibrin, dimana benang fibrin ini juga memberikan fasilitas pada sel-sel radang untuk bermigrasi. Darah yang menggumpal merupakan reaksi platelet yang teraktivasi dan protein fibrinogen yang banyak dikeluarkan pembuluh darah akibat rangkaian reaksi peradangan (Anonim 2003). Sampai pada hari ke-5 pada semua kelompok mengalami fase peradangan, dimana pada fase ini tubuh akan berusaha menghentikan peradangan setelah terjadinya luka dengan vasokonstriksi, pengerutan ujung pembuluh yang putus (retraksi) dan reaksi hemostasis. Hemostasis terjadi karena trombosit yang keluar dari pembuluh darah saling melekat dan bersama dengan benang fibrin terbentuk terjadinya pembekuan darah (Sjamsuhidajat dan de Jong,1997). Kandungan tannin dan flavonoid yang berfungsi sebagai anti peradangan di dalam sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dan gel komersil dapat mempercepat terjadinya pembekuan darah.

Kecepatan terbentuknya keropeng di ketiga kelompok menandakan kecepatan dari persembuhan luka. Menurut Singer dan Clarks (1999) keropeng me rupakan tahap awal dari fase proliferasi yang meliputi aktivitas mitosis dari sel-sel epidermis, sel-sel endotel dan sel-sel fibroblas. Fibroblas, sel-sel radang dan pembuluh darah baru memenuhi jaringan luka dan membentuk jaringan granulasi yang akan terlihat berwarna merah muda dan bergranulasi. Pada fase ini mulai terjadi proses re-epitelisasi dimana sel-sel epitel mulai bermigrasi dan berproliferasi ke jaringan luka. Terbentuknya keropeng pada kelompok kontrol negatif berbeda dengan kelompok perlakuan kontrol positif (gel komersil) dan kelompok gel ekstrak batang pohon pisang Ambon. Pada kelompok kontrol negatif keropeng terbentuk pada hari ke-7 dimana pada kelompok perlakuan kontrol positif dan sediaan gel pisang Ambon, keropeng telah terbentuk dari hari ke-6. Pada kelompok perlakuan gel ekstrak pisang Ambon, pada hari ke-7 keropeng sudah terlihat ada yang terlepas (Tabel 15).


(1)

pohon pisang Ambon yang mengindikasikan proses penutupan luka yang lebih cepat dibandingkan kelompok lainnya. Pada hari ke-21 semua kelompok mengalami kepadatan fibroblas yang sudah sempurna.

Kepadatan jaringan ikat yang lebih padat pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon menunjukkan bahw a pengecilan besar luka lebih cepat terjadi pada kelompok ekstrak batang pohon pisang Ambon, ini dikarenakan semakin banyaknya jaringan ikat pada luka maka semakin besar daya kontraksi luka sehingga sisi luka akan tertarik dan menyebabkan besar luka menjadi mengecil.


(2)

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah :

1. Sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon memiliki aktivitas mempercepat proses persembuhan luka, mempercepat proses neokapilerisasi, mempengaruhi sel radang, mempercepat re-epitelisasi, dan meningkatkan pembentukan jaringan ikat pada kulit.

2. Sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon dapat digunakan sebagai obat topikal untuk persembuhan luka.

3. Pemberian sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon menunjukkan adanya efek kosmetik dengan menghilangnya bekas luka secara makroskopis.

4. Sediaan gel ekstrak batang pohon pisang Ambon masih tetap stabil sampai minggu ke-8 terutama pada suhu 27 0C.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan pada penelitian ini adalah:

1. Perlu dilakukan penelitian bentuk sediaan topikal lainnya seperti salep atau cream yang mengandung ekstrak batang pohon pisang Ambon untuk persembuhan luka.

2. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai reformulasi sediaan gel ekstrak batang pisang Ambon yang memberikan kestabilan dan ketahananan terhadap sediaan tersebut.

3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut menganai efek persembuhan luka dari tanaman lain yang bersifat anti jamur, analgesik, yang digabungkan dengan tanaman pisang Ambon.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjut mengenai aktivitas sediaan topikal ekstrak batang pisang Ambon untuk luka infeksi dan luka pada hewan yang diabetes.


(3)

VI. DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. Lembaga Biologi Nasional – LIPI. 1977. Buah-buahan. Proyek Sumberdaya Ekonomi Lembaga Biologi Nasional – LIPI. Bogor.

_________. 2005. www. Magnet. Fsu. Edu/phytochemicals/pages/saponin.htm. [10 Januari 2007].

Ansel,1989. Pengantar Sediaan Farmasi. Jakarta: UI Press. Anonim.2003 Apoptosis in Skin Wound Healing.

http://www.medscape.com/viewarticle/457929_6. html [12 Maret 2007].

Aliambar SH. 1996. Pedoman Kuliah Ilmu Bedah Umum. Bogor: Bagian Klinik Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Block HL. Medicated Applications. Dalam : Gennaro RA, ed. Remington Pharmaceutical Sciences, 18 th ed. Easton, Pennsylvania : Mack Publishing Company, 1990; 1596-608

Djulkarnain HB.1998. Pohon Obat Keluarga.Intisari.Jakarta

Dharmajono. 2002. Kaoita Selekta Kedokteran (Hewan Kecil) 2. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Ernawati A, Purwito A, Suketi K. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Rajabulu, Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan Teknik Kultur Jaringan Tanaman. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor.

Guyton AC, JE Hall. 1996. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed ke-9. Setiawan I, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Ganong WF. 2003. Buku Ajar Fisisologi Kedokteran. Ed ke-20. Widjajakusumah MD, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Handayani I. 2006. Aktivitas Sediaan Gel dari Ekstrak Lidah Buaya (Aloe Barbadensis Miller) untuk Proses Persembuhan Luka pada Mencit (Mus musculus) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Jones, T.J, R.D. Hunt and N.W. King. 1996. Veterinary Pathology. 6 th. Ed. Williams and Wilkins.


(4)

Kalangi SJR. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. http://www.dexa-medica.com/test/htdocs/dexamedica/article_files/kolagen.pdf. html [15 Desember 2006]

Lachman,L.,H.A.Lieberman,J.L.Kanig.1989.Teori dan Praktek Farmasi Industri.UI Press.Jakarta

Lewis, G.P. 1986. Mediator of Inflamation. Wright, Bristol.

Maiwahyudi. 1999. Aktivitas getah batang pohon pisang (Musa acuminata) dalam mempercepat proses persembuhan luka pada mencit (Mus musculus). Skripsi S-1. Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Markham KR. 1988. Cara Mengidentifikasi Flavonoid. Bandung: Penerbit ITB.

Mutschler E. 1991. Dinamika Obat. Ed ke-5. Mathilda B, Widianto, Ranti AS; editor. Bandung: Penerbit ITB.

Mayasari NLPI. 2003. Kajian Patologi Khasiat Tanaman Lidah Buaya (Aloe vera) dalam Proses Persembuhan Luka Kulit pada Mencit (Mus musculus albinus) [Skripsi]. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan. Institut Pertanian Bogor.

Morsy, E. M. 1991. The Final Technical Report on: Aloe Vera Stabilization and

Processing for The Cosmetic, Bevearage and Food Industries (5rd ed). CITA

International, USA.

Muchtadi, T. R. 1997. Petunjuk Laboratorium Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor.

Oktaviyanti, D. 2004. Kajian Penggunaan Gel Lidah Buaya (Aloe Vera) pada Pembuatan Hand and Body Cream [Tesis]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Olivia F., Syamsir A., Iwan H. 2004. Seluk Beluk Food Supplement. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Priosoeryanto BP, Huminto H, Wientarsih I, Estuningsih S. 2006. Aktivitas Getah Batang Pohon Pisang dalam Proses Persembuhan Luka dan Efek Kosmetiknya pada Hewan. Lembaga Penelitian dan Pemberdayan Masyarakat. Institut Pertanian Bogor.


(5)

Purwanto R, Sujiprihati S. 1985. Studi Pengaruh Jenis Bibit Serta Taraf Pemupukan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Pisang. Laporan Penelitian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rivai, M.A. 1996. Pohon Pisang Sebuah Tinjauan Etnobotani dalam Pohon Berguna Indonesia. Perpustakaan LIPI. Jakarta.

Russell, A.D. 1984. The Revival of Injured Microbes. New York: Academica Press. Thomson, AD. and RE. Cotton. 1997. Catatan Kuliah Pathology. Ed ke-3. Jakrta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Rivai, M.A. 1976. Pendayagunaan Tanaman Pisang. Sebuah Tinjauan Etnobotani dalam Tanaman Berguna Indonesia. Perpustakaan LIPI. Jakarta.

Rukmono. 1973. Kumpulan Kuliah Patologi. Bagian Patologi Anatomik Fakultas Kedokteran. Jakarta: Universitas Indonesia.

Radini T, 2003. Formulasi Masker Gel dari Lendir lidah buaya (Aloevera Linn) [Tesis] Bandung: Jurusan Farmasi. Universitas Padjadjaran.

Sunarjono H. 2002. Budi Daya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Jakarta: Penebar Swadaya.

Smith HA dan Jones TC. 1961. Veterinary Pathology. Philadelphia: Lea dan Febiger. Slauson, D.O. and B.J. Cooper. 1990. Mechanisms of Disease : A textbook of

comparative general pathology. 2nd ed. Williams and Wilkins, Baltimore, USA. Sonny JRK. 2004. Peran Kolagen pada Persembuhan Luka. Dexa Media 4:168-173. Singer AJ, Clark RAF. 1999. Cutaneus Wound Healing. N England J Med. 341

(10):738-154.

Sjamsuhidajat R, W de Jong. 1997. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed Revisi. Jakrta:Penerbit Buku Kedokteran.

Venheij, E.W.M. 1976. Buah-buahan dan buah geluk yang dapat dimakan. Perpustakaan Botani. LIPI. Bogor.

Vegad JL. 1995. A Textbook of Veterinary General Pathology; Healing and Repair. New Delhi: Vikas Publishing House Put. Ltd. Hlm. 134-153.


(6)

Voight R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Wijayakusuma, H.1998.Pisang berkhasiat obat Indonesia, Manfaat dan Penggunannya Rempah,rimpang,dan umbi.Milenia Populer,Jakarta