Model-model Implementasi Kebijakan Pendidikan

25 dan konsistensi consistency. Dimensi transformasi menghendaki agar kebijakan dapat ditranformasikan kepada para pelaksana, kelompok sasaran, dan pihak lain yang terkait dengan kebijakan. Dimensi kejelasan clary menghendaki agar kebijakan ditransmisikan kepada para pelaksana, target grup, dan pihak lain yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung terhadap kebijakan dapat diterima dengan jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, dan sasaran serta substansi dari kebijakan tersebut. b Sumber Daya Resource Edward III mengemukakan bahwa faktor sumber daya juga mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Lebih lanjut Edward III menegaskan bahwa bagaimanapun jelas dan konsistennya ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan, serta bagaimanapun akuratnya penyampaian kententuan-ketentuan, jika para pelaksana kebijakan bertanggung jawab untuk melaksanakan kebijakan kurang mempunyai sumber-sumber daya untuk melakukan pekerjaan secara efektif, maka implementasi kebijakan tersebut tidak akan efektif. Sumber daya sebagaimana telah disebutkan meliputi sumber daya manusia, sumber daya keuangan, sumber daya peralatan yang dipelukan dalam melaksanakan kebijakan : 26 1 Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kebijakan. Sumber daya manusia atau staff, harus cukup dari segi jumlah dan kualitas atau keahliannya. Selain itu Edward juga menjelaskan bahwa sumber daya manusia harus mengetahui apa yang harus dilakukan knowing what to do. Oleh karena itu, sumber daya manusia pelaku kebijakan implementators tersebut juga membutuhkan informasi yang cukup tidak saja berkaitan dengan bagaimana cara melaksanakan kebijakan, tetapi juga mengetahui arti penting esensi data mengenai kepatuhan pihak lain yang terlibat dalam pelaksanaan kebijakan Joko Widodo 2012: 98-99. 2 Sumber Daya Anggaran Sumber daya anggaran diperlukan untuk membiayai operasionalisasi pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya sumber daya anggaran, akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping itu program tidak akan berjalan secara optimal, terbatasnya anggaran juga menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah, bahkan akan terjadi goal displacement yang dilakukan oleh pelaku kebijakan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran kebijakan yang telah ditetapkan. Joko Widodo, 2012: 100-101. 27 3 Sumber Daya Peralatan facility Sumber daya peralatan meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III Joko Widodo, 2012: 102 menegaskan bahwa : “physical facilities may also be critical resources in implementation. An implementator may have sufficient staff, may understand what he is supposed to do, may have authorityto exercise his task, but without the necessary bulding,equipment, supplies, and even green space implementation won’t succed”. Dengan demikian, terbatasnya fasilitas dan peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan kebijakan, menyebabkan gagalnya pelaksanaan kebijakan. Terbatasnya fasilitas yang tersedia, kurang menunjang efisiensi dan tidak mendorong motivasi para pelaku dalam melaksanakan kebijakan. 4 Sumber Daya Informasi dan Kewenangan Sumber daya informasi juga menjadi faktor yang penting dalam implementasi kebijakan. Terutama, informasi yang relevan dan cukup tentang bagaimana cara mengimplementasikan suatu kebijakan serta kerelaan atau kesanggupan dari berbagai pihak yang terlibat dalam implementasi kebijakan tersebut. Hal tersebut dimaksudkan agar pelaksana kebijakan tidak akan melakukan suatu kesalahan dalam menginterpretasikan tentang bagaimana cara mengimplementasikan atau melaksanakan kebijakan tersebut. 28 Kewenangan menurut Geore E. Edward III menegaskan bahwa kewenangan authority yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan. c Disposisi Disposition Edward III merupakan kemauan, keinginan, dan kecendurungan para pelaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan secara sungguh-sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan Joko Widodo, 2012: 104. Disposisi akan muncul diantara para pelaku kebijakan, manakala akan menguntungkan tidak hanya organisasi, tetapi juga dirinya. mereka akan tahu hal tersebut manakala mereka cukup pengetahuan dan mereka sangat mendalami dan memahami. Pengetahuan, pendalaman, pemahaman kebijakan ini akan menimbulkan sikap menerima, acuh tak acuh dan menolak terhadap kebijakan. d Struktur Birokrasi Bureaucratic Structure Struktur birokrasi mencakup aspek-aspek seperti struktur organisasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-unit organisasi yang ada dalam organisasi yang bersangkutan, dan 29 hubungan organisasi dengan organisasi luar dan sebagainya. Oleh karena itu, struktur birokrasi mencakup dimensi fragmentasi fragmentation dan standar prosedur operasi standard operating procedure yang akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya. Dimensi fregmentasi fragmentation menegaskan bahwa struktur birokrasi yang terfragmentasi dapat meningkatkan gagalnya komunikasi, dimana para pelaksana kebijakan akan mempunyai kesempatan yang besar beritainstruksinya akan terdistorsi. Organisasi pelaksana yang terfragmentasi terpecah- pecah atau tersebar akan menjadi distorsi dalam pelaksanaan kebijakan. semakin terfragmentasi organisasi pelaksana semakin membutuhan koordiasi yang intensif. Keberhasilan implementasi kebijakan yang kompleks, perlu adanya kerjasama yang baik dari banyak orang.

3. Konsep Pendidikan Etika Lalulintas

a. Pengertian Pendidikan Etika Lalu lintas

Menurut Undang-undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan jalan, khususnya dalam Pasal 208 Ayat 2 menyatakan bahwa untuk membangun dan mewujudkan budaya Keamanan dan Keselamatan Lalau Lintas dan Angkutan Jalan dapat dilakukan melalui pelaksanaan pedidikan berlalu lintas sejak usia dini, 30 serta adanya sosialisasi dan internalisasi tata cara dan etika berlalu lintas serta program Keamanan dan Keselamatan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pendidikan etika lalu lintas Pasal 1 Ayat 1Pergub DIY 542011 adalah penanaman budaya tertib berlalu lintas yang dimulai dari pembiasaan-pembiasaan di satuan pendidikan.

b. Bentuk dan Ruang Lingkup Pendidikan Etika Lalu Lintas

1 Pengintegrasian dalam mata pelajaran Pengintegrasian merupakan suatu proses penyatuan materi etika berlalu lintas ke dalam mata pelajaran yang menjadi bagian dari kompetensi dasar. Dalam pelaksanaan pengintegrasian, pendidik melakukan analisis pemetaan SKKD dengan memperhatikan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan SKL. Hasil analisis pemetaan ditindaklanjuti dalam pengembangan Silabus dan Rencana Pelaksana Pembelajaran RPP. Tata cara penyusunan analisis pemetaan ditetapkan dengan keputusan kepala dinas. 2 Pengembangan diri dan budaya satuan pendidikan Pengembangan diri dalam pendidikan etika berlalulintas dapat dilaksanakan melalui program pembiasaan dan atau kegiatan ekstrakurikuler di satuan pendidikan. Pembiasaan dilaksanakan melalui penanaman nilai-nilai ketaladanan, kedisiplinan, tanggung jawab, dan kepedulian lingkungan. Kegiatan ekstrakurikuler dilaksanakan melalui patroli keamanan sekolah, kepramukaan dan kegiatan ekstrakurikuler lainya yang berkaitan. Pengembangan diri 31 dalam pendidikan etika berlalulintas dilaksanakan oleh seluruh warga satuan pendidikan dengan dukungan dari masyarakat. 3 Pedoman penilaian etika berlalu lintas Penilaian etika berlalu lintas sebagaimana dilaksanakan pada waktu proses pembelajaran, dan atau akhir kegiatan pembelajaran. Penilaian etika berlalu lintas dilaksanakan oleh pendidik, masyarakat satuan pendidikan, dan atau pemangku kepentingan. Penilaian etika berlalu lintas yang meliputi aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap dilakukan dengan cara tes dan nontes. Hasil penilaian etika berlalu lintas menjadi salah satu pertimbangan dalam pengambilan keputusan nilai kepribadian peserta didik.

c. Tujuan Pendidikan Etika Lalu Lintas

Adapun tujuan pendidikan etika lalu lintas antaralain sebagai berikut : 1 Menumbuhkembangkan norma etika berlalu lintas bagi peserta didik melalui pengembangan pengetahuan dan pembiasaan etika lalu lintas. 2 Meningkatkan keamanan, keselamatan dan ketertiban berlalu lintas. 3 Meningkatkan kelancaran dan kenyamanan dalam berlalu lintas. 4 Mewujudkan budaya tertib berlalu lintas yang santun dan bermartabat bagi sesama. 32

d. Landasan Hukum

1 Undang-undang RI Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional. 2 Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan angkutan jalan. 3 Keputusan bersama antara Menteri Pendidikan Nasional dan Kepala Kepolisian Negara RI, Nomor 03IIIKB2010 dan Nomor B9III2010 tentang Mewujudkan Pendidikan Berlalu Lintas dalam Pendidikan Nasional, perlu pelaksanaan pendidikan berlalu lintas sejak usia dini. 4 Peraturan pemerintah RI Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. 5 Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006 tentang Standar Isi. 6 Peraturan daerah kota yogyakarta Nomor 5 Tahun tentang, Sistem Pelayanan Pendidikan. 7 Peraturan Gubernur Nomor 54 Tahun 2011 tentang, Penididikan Etika Lalu Lintas pada Satuan Pendidikan. 8 Peraturan Walikota Nomor 40 Tahun 2010 tentang, Pelaksanaan Pendidikan Etika Beralu Lintas di Kota Yogyakarta Naskah Akademik pendidikan etika lalu lintas, 2: 2013.

B. Penelitian yang Relevan

1. Penelitian yang dilakukan oleh Lina Purnawati yang berjudul Efektifitas Pembelajaran Etika Lalu Lintas Melalui Pendidikan Kewarganegaraan di SMA Gita Bahari Semarang. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana cara penerapan dan efektivitas pembelajaran Etika Berlalu Lintas melalui pendidikan kewarganegaraan. Jenis penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif. Sumber data diperoleh dari responden dan dokumentasi. Hasil penelitan yang diperoleh yaitu pembelajaran etika berlalu lintas telah dilaksanakan setelah adanya pedoman pembelajaran etika berlalu lintas, pembelajaran etika berlalu lintas adalah usaha sadar untuk menumbuhkan kesadaran tertib lalu lintas, sehingga peserta didik mampu mengendalikan atau mengurangi 33 timbulnya kecelakaan lalu lintas. Efektivitas pembelajaran etika berlalu lintas dilihat dari adanya ketercapaian indikator pembelajaran etika lalu lintas atau sesuai dengan standar kelulusan pada mata pelajaran PKN.

C. Kerangka Berpikir

Pemerintah provinsi daerah istimewa yogyakarta membuat kebijakan melalui Peraturan gubernur daerah istimewa yogyakarta nomor 54 tahun 2011 tentang pendidikan etika lalu lintas pada satuan pendidikan. Kebijakan tersebut juga didukung oleh pemerintah kota yogyakarta dengan menerbikan peraturan walikota nomor 40 tahun 2012 tentang pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas pada satuan pendidikan. Kemudian kebijakan tersebut ditindak lanjuti oleh pihak SMA Negeri 5 Yogyakarta sebagai pelaksana kebijakan dengan mengeluarkan Keputusan Kepala Sekolah nomor 875750 tentang pelaksanaan tugas kebijakan pendidikan etika lalu lintas.