Sumber Daya Faktor – faktor yang Mempengaruhi Implementasi Kebijakan

67 kesulitan dapat disampaikan dalam forum MGMP” SF18-9- 2013. Berdasarkan penuturan di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pendidikan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaannya akan membantu untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya serta akan meminimalisir kendala-kendala yang ada. Sejalan dengan hal tersebut menurut George C. Edward III sumber daya manusia harus memiliki ketepatan dan kelayakan antara jumlah staf yang dibutuhkan dan keahlian yang dimiliki sesuai dengan tugas pekerjaan yang ditanganinya Joko Widodo 2012: 99 . 2. Sumber Daya Anggaran Sumber daya anggaran atau dana merupakan bagian dari sumber daya yang mempengaruhi efektifitas pelaksanaan kebijakan, karena sumber dana diperlukan untuk membiayai operasional pelaksanaan, kebijakan. Sumber dana dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta diperoleh dari beberapa pihak, seperti yang disampaikan oleh SS: “Ada bantuan sekitar 8 juta rupiah dari Astra Honda dan Dinas Pendidikan, masing-masing sekolah yang dijadikan model, sekolah model itu kalau SMA ya SMA 5,6 kemudian kalau SMP, SMP 9” SS21-9-2013. SS menyampaikan bahwa tidak semua sekolah mendapatkan dana, hanya sekolah yang dijadikan sebagai sekolah model yang 68 mendapatkan dana sebesar 8 juta rupiah, dan sumber dana tersebut diberikan oleh Astra Honda. Hal serupa juga di sampaikan SF: “Kami mendapatkan bantuan dana dari Astra Honda Motor berapa juta rupiah, kemarin itu 5 juta rupiah untuk pembuatan perangkat untuk setiap MGMP dan bukan masing-masing sekolah. Setiap MGMP fisika sekota dikasih 5 juta rupiah, MGMP matematika sekota dikasih 5 juta rupiah” SF18-9- 2013. SF menuturkan bahwa sumber dana yang didapatkan untuk menunjang pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas disekolah berasal dari Astra Honda Motor yang berjumlah 5 juta rupiah, yang mana dana tersebut dibagikan kepada setiap MGMP kota untuk pembuatan perangkat pembelajaran. Sumber dana menjadi kendala ketika belum adanya kelanjutan bantuan dana tersebut, hal ini disampaikan oleh WS: “Dahulu sekolah pernah mendapatkan dana akan tetapi sekarang belum ada lagi. Itu dananya saja habis digunakan untuk perlengkapan anak-anak seperti kegiatan ekstra patroli keamanan sekolah kemudian untuk sosialisasi dari pihak kepolisian terutama untuk konsumsi dan untuk membuat perangkat pembelajaran” WS17-9-2013. Belum dianggarkannya sumber dana kedalam APBS menjadi fakor yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas, hal tersebut disampaikan SR: “Untuk mensosialisasikan yang terlalu sering itu terutama dalam implementasinya memerlukan suatu dana, mungkin dana untuk kegiatan sekolah yang belum mencukupi karena belum dianggarkan dalam APBS” SR21-9-2013. Pernyataan tersebut diperkuat oleh penuturan JM: 69 “Pernah kami mendapatkan bantuan dana, sekarang kalau tidak ada bantuan dana, kami mau mengadakan kegiatan tidak dapat dianggarkan di APBS, sehingga ketika tidak ada dana ya berhenti, Cuma paling-paling contoh-contoh dalam kehidupan sehari-hari, tetapi kalau kegiatan yang membutuhkan dana tidak dapat dilaksanakan karena belum dianggarkan dalam APBS” JM16-9-2013. Berdasarkan pernyataan dari beberapa narasumber di atas dapat disimpulkan bawa setiap sekolah yang menjadi sekolah model pelaksana pendidikan etika lalu lintas mendapatkan dana sebesar 8 juta rupiah dari Astra Honda dan Dinas Pendidikan, selain itu untuk menunjang opresional pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas setiap MGMP juga mendapatkan dana sebesar 5 juta rupiah salah satunya untuk pembuatan perangkat pembelajaran. Sumber dana menjadi kendala dalam pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas karena saat ini hanya mengandalkan bantuan selain itu juga belum dianggarkannya kedalam APBS. Sejalan dengan hal tersebut George C. Edward III menegaskan bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan Joko Widodo 2012: 101. 3. Sumber Daya peralatan Sumber daya peralatan atau fasilitas sarana yang digunakan dalam mengoptimalisasikan implementasi kebijakan yang meliputi gedung, tanah,dan sarana lainnya. Sarana prasarana atau fasilitas yang dimiliki sekolah untuk mendukung pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas disekolah masih sebatas pengadaan rambu-rambu 70 lalu lintas, seperti yang diungkapkan BS selaku wakil kepala sekolah bidang sarana prasarana BS menuturkan: “Pengadaan rambu-rambu lalu lintas dilingkungan sekolah seperti di tempat parkir serta slogan-slogan tentang tata tertib” BS19-9-2013. Hal senada juga diungkapkan WS: “Mengenai rambu-rambu lalu lintas disekolah lingkupnya kan sedikit hanya dari pintu masuk sampai ke tempat parkir sehingga rambu-rambu lalu lintas kami tempatkan ditempat parkir dan arah jalan ke parkir hanya itu saja, ada juga tidak boleh berkendara disamping guru piket itu sudah kami terapkan atau tempel disana” WS17-9-2013. Selain itu sekolah juga memberikan fasilitas pengadaan SIM massal bagi siswa seperti yang diungkapkan JM: “Sejak dulu kami sudah biasa mengadakan SIM massal, sebagai suatu langkah kami untuk menegakkan siswa supaya mempunyai surat ijin mengemudi, itu sejak awal sebelum ada program pendidikan etika lalu lintas, kami sudah tegakkan itu” JM16-9-2013. Berdasarkan hasil wawancara dari narasumber di atas dapat disimpulkan bahwa sarana prasarana atau fasilitas yang ada dalam mendukung pelaksanaan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta masih sebatas pada pengadaan rambu-rambu lalu lintas, tempat parkir serta adanya fasilitas bagi siswa yang berupa pengadaan SIM secara massal yang dilakukan sekolah untuk memberikan sarana bagi siswa yang belum memiliki surat ijin mengemudi atau SIM. 71 4. Kewenangan George C. Edward III menegaskan bahwa kewenangan authority yang cukup untuk membuat keputusan sendiri dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga tersebut dalam melaksanakan kebijakan. Kewenangan yang didapat oleh SMA Negeri 5 Yogyakarta dalam pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas adalah dalam hal pengelolaan dana, hal ini diungkapkan oleh SS : “Dinas Pendidikan kota yang bekerjasama dengan Astra Honda memberikan dana, kemudian dana tersebut dikelola oleh sekolah untuk keperluan pelaksanaan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, tetapi kami juga diharuskan melaporkan penggunaan dananya” SS21-9-2013. Selain kewenangan masalah pengelolaan dana yang diberikan dari Dinas Pendidikan, sekolah juga diberikan kebebasan dalam menyusun rencana pembelajaran , seperti yang diungkapkan SF: “Kami membuat perangkatnya silabus dan RPP, karena sudah ada contoh-contoh dari tim yang sudah membuat, tim dari pendidikan etika lalu lintas tersebut”SF18-9-2013. Pembuatan dan penyusunan perangkat pembelajaran menjadi tanggung jawab dari para pendidik, hal serupa juga diungkapkan BS: “Mengembangkan sendiri yang tepat materi apa, maka dimasukkan kedalam silabus” BS19-9-2013. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa bentuk-bentuk kewenangan sekolah untuk pelaksanaan 72 kebijakan pendidikan etika lalu lintas adalah kewenangan dalam hal pengelolaan dana dan pembuatan perangkat pembelajaran.

c. Disposisi Disposition

Warga sekolah menunjukkan sikap positif atau mendukung kebijakan pendidikan etika lalu lintas hal ini dikarenakan penanaman ketertiban sekolah yang sudah terbangun menjadi faktor pendukung mereka dalam merespon kebijakan pendidikan etika lalu lintas, seperti yang diungkapkan WS: “Ya responnya cukup bagus, artinya apa karena dilain pihak sudah terbiasa dengan kegiatan ketertiban. Apalagi SMA 5 juga menegakkan ketertiban disana juga sebelum adanya program pendidikan etika lalulintas kami sudah lebih awal menekankan ketertiban kendaraan artinya kelengkapan kendaraan bermotor harus ada tidak boleh suaranya keras, kaca spion harus ada dan motor tidak boleh dimodifikasi sehingga mengurangi kenyamanan pengendara sepeda motor itu sendiri” WS17-9- 2013. Sikap positif juga diungkapkan oleh BS: “Respon sekolah sangat baik, salah satu contoh yang sangat besar peranannya adalah sekolah mengeluarkan kebijakan kepada kelas 10 untuk tidak boleh membawa sepeda motor ke sekolah, karena sesuai aturan ia belum berhak memiliki surat ijin mengemudi SIM, oleh sebab itu supaya tidak menjadi masalah dan kami mendukung pendidikan etika lalu lintas” BS19-9-2013. Respon positif implementator terhadap kebijakan diakibatkan karena sekolah telah menanamkan kebiasaan terhadap tata tertib sekolah, sehingga dengan penanaman tersebut mereka dapat menerima kebijakan. Selain itu dukungan sekolah sebagai instansi pelaksana kebijakan sangat dibutuhkan demi keberhasilan kebijakan pendidikan etika lalu lintas. 73

d. Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi mencakup dimensi standar prosedur operasi standard operating procedure dan mencakup dimensi fragmentasi fragmentation. 1 Standar Prosedur Operasi Standar prosedur operasi akan memudahkan dan menyeragamkan tindakan dari para pelaksana kebijakan dalam melaksanakan apa yang menjadi bidang tugasnya. Terkait dengan standar prosedur operasi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas, WS menuturkan : “Standarnya mengacu pada pedoman dari Dinas Pendidikan kota dan Peraturan Wali Kota” WS17-9-2013. Hal serupa juga diungkapkan oleh SS: “Ada petunjuk-petunjuk dari Dinas Pendidikan, melalui tim dan SK” SS21-9-2013. Berdasarkan hasil wawancara di atas dapat disimpulkan bahwa standar prosedur operasi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilaksanakan berdasarkan petunjuk-petunjuk atau pedoman penyelenggaraan pendidikan etika lalu lintas yang berasal dari Peraturan Walikota dan Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta yang bekerjasama dengan Astra Honda Motor. 74 2 Fregmentasi Persebaran tanggung jawab pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilakukan dengan koordinasi dengan pihak-pihak lain, hal tersebut dilakukan supaya untuk melaksanakan kebijakan pendidikan etika lalu lintas dapat berhasil, seperti yang disampaikan oleh JM: “Sekolah bekerjama dengan kepolisian mengadakan safety riding yang dulu pernah dilakukan di Dinas Pendidikan” JM16-9-2013. Hal serupa juga diungkapkan SF: “Dinas Pendidikan dan kepolisian dalam membuat perangkat pembelajaran” SF18-9-2013. Berdasarkan pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk melaksanakan kebijakan pendidikan etika lalu lintas, sekolah bekerjasama atau berkoordinasi dengan pihak-pihak lain dalam mendukung dan mengoptimalkan pelaksanaan kebijakan dengan berkoordinasi dengan Dinas Pendidikan dan kepolisian. Persebaran tanggung jawab terkait dengan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta dilakukan dengan berbagai pihak. Koordinasi dilakukan oleh sekolah dengan dinas pendidikan, kepolisian dan Astra Honda Motor.

B. Pembahasan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas dan untuk mengetahui faktor-faktor yang 75 mempengaruhi implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta. Hasil penelitian di temukan sebagai berikut :

1. Implementasi Kebijakan Pendidikan Etika lalu lintas di SMA Negeri 5

Yogyakarta Berdasarkan hasil dari penelitian di atas maka dapat diketahui bahwa implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lintas di SMA Negeri 5 Yogyakarta, dilaksanakan melalui beberapa tahap yaitu : a. Integrasi dalam mata pelajaran Implementasi kebijakan pendidikan etika lalu lalu lintas diintegrasikan kedalam mata pelajaran, dilakukan melalui tahap perencanaan dalam tahap ini setiap guru atau pendidik yang mengintegrasikan pendidikan etika lalu lintas membuat silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran, tahap selanjutnya adalah pendidik menyiapkan bahan ajar atau materi yang bermuatan etika lalu lintas dan tahap yang terakhir adalah melakukan penilaian terhadap hasil belajar siswa. Pengembangan silabus dan RPP pendidikan etika lalu lintas yang terintegrasi pada mata pelajaran dilakukan dengan cara melakukan pemetaan standar kompetensi dan kompetensi dasar pendidikan etika lalu lintas, mengidentifikasi materi pendidikan etika lalu lintas yang relevan dengan penambahan materi sesuai dengan kompetensi dasar 76 yang diharapkan, menentukan kegiatan pembelajaran, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar. b. Budaya Sekolah Budaya sekolah yang dibangun dalam menanamkan etika lalu lintas melalui kegiatan rutin, keteladanan dan pengkondisian. Media pemasangan pamflet rambu-rambu lalu lintas dan pemanfaatan sarana parkir sekolah bagi pengendara bermotor serta adanya sangsi terhadap pelanggaran merupakan bagian dan upaya sekolah untuk membiasakan penanaman disiplin dan etika lalu lintas. Penanaman etika lalu lintas juga dilakukan melalui kegiatan rutin sekolah dengan adanya petugas satpam yang bertugas untuk mengatur lalu lintas jalan raya depan sekolah setiap pagi dan siang hari, selain itu dengan adanya kegiatan pagi simpati, dimana setiap pagi terdapat guru yang menyambut para siswa yang masuk kesekolah, dalam kegiatan ini dilakukan guru untuk melihat kerapian dan kedisiplinan siswa yang memasuki lingkungan sekolah. Guru sebagai pelaksana kebijakan pendidikan etika lalu lintas juga memiliki peran yang sangat strategis dalam menanamkan dan membudayakan etika lalu lintas di sekolah, salah satunya dengan menjadi teladan bagi siswa. Bentuk-bentuk keteladanan guru dalam menamkan etika lalu lintas disekolah adalah dengan melengkapi kendaraan, membawa surat kendaraan STNK, SIM dan mamakai alat