Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur

(1)

MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN

MODAL ASING DI JAWA TIMUR

HERNY KARTIKA WATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

HERNY KARTIKA WATI. Investment Impact on The Economic Performance: A Comparative Study of Domestic and Foreign Investment in East Java (DEDI BUDIMAN HAKIM as Chairman and HERMANTO SIREGARas member of Advisory Commiittee).

Domestic and foreign investment play an important role in the East Java economy. However, within these past five years the growth of both types of investment has been fluctuated and tends to decrease. One of the objectives research is to analyze factors affected economic variables of East Java province: Gross Regional Domestic Product (GRDP), inflation and unemployment. This research is conducted using econometric model that formulated in simultaneously equation with approximated Two Stage Least Squares (2SLS). Results of this study show that GRDP is influenced by real domestic investment, a change in real foreign investment, time trend, dummy of decentralization and the last year GRDP. Inflation is influenced by GRDP, time trend and the last year inflation. Unemployment is affected by real domestic investment, time trend and the last year unemployment. The simulation also shows that an increase in domestic and foreign investment have the same positif impact on GRDP and inflation but negative impact on unemployment. Further, foreign invesment has a greater impact on GRDP and unemployment compared to domestic invesment, conversly.

Keyword: domestic investment, foreign investment, GRDP, inflation, unemployment


(3)

RINGKASAN

Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari data Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi dan tingkat pengangguran. Salah satu upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi adalah melalui investasi. Investasi merupakan kunci utama dalam mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi produksi, sehingga meminimalkan ongkos produksi dan penggalian sumberdaya alam, serta mendorong industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002).

Perkembangan investasi, khususnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tahun 2000-2006, belum menunjukkan perkembangan seperti yang diharapkan. Padahal sebagai pusat utama wilayah Kawasan Timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan perdagangan nasional, Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi (Badan Penanaman Modal (BPM) Provinsi Jawa Timur, 2004).

Kondisi Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun. Bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan dari tahun 2001-2006, atau dengan kata lain terjadi anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan inflasi Jawa Timur cenderung berfluktuasi dari tahun 2000-2006. Di sisi lain pertumbuhan pengangguran di Jawa Timur cenderung naik 11.8 persen per tahun.

Oleh sebab itu tujuan dari penelitian ini adalah (1) untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur, (2) mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur dan (3) menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi dan pengangguran di Jawa Timur.

Penelitian ini menggunakan data time series tahun 1980-2006 yang bersumber dari publikasi resmi lembaga pemerintah daerah provinsi Jawa Timur IMF, BPS, harian terbitan Jakarta, internet, serta laporan dan publikasi lain. Sedangkan model yang digunakan untuk menjawab tujuan penelitian adalah


(4)

model persamaan simultan dinamik dan dirumuskan dalam persamaan linear additive. Model terdiri dari 5 persamaan struktural dan 1 persamaan identitas. Berdasarkan syarat order, maka setiap persamaan struktural berstatus over identified. Oleh sebab itu metode pendugaan yang digunakan adalah 2SLS. Pengolahan data untuk menduga model digunakan program software komputer SAS versi 6.12. Sedangkan simulasi ex-post tahun 1993-2006 meliputi kebijakan peningkatan PMDN sebesar 15 persen, PMA sebesar 15 persen, Upah Minimum Provinsi sebesar 18 persen dan peningkatan suku bunga sebesar 1.5 persen, serta kombinasinya.

Kesimpulan yang dapat diambil bahwa PDRB dipengaruhi oleh PMDN riil, perubahan PMA, dummy otonomi daerah, tren waktu dan PDRB tahun sebelumnya. Inflasi dipengaruhi secara nyata oleh PDRB, tren waktu dan inflasi tahun sebelumnya. Sedangkan pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya.

Berdasarkan hasil simulasi, maka peningkatan PMDN 15 persen berdampak positif terhadap PDRB dan negatif terhadap pengangguran, yaitu sebesar 0.01 dan -0.05. Dampak lain kenaikan PDRB tersebut mendorong naiknya inflasi sebesar 0.05 persen. Sedangkan peningkatan PMA 15 persen menstimulasi peningkatan PDRB sebesar 0.44 persen, mendorong naiknya inflasi sebesar 1.38 persen dan menurunkan pengangguran sebesar 0.44 persen. Dampak terbaik terhadap kinerja perekonomian Jawa Timur diperoleh dengan meningkatkan PMA sebesar 15 persen. Kenaikan PMA dapat mendorong peningkatan PDRB dan mengurangi pengangguran yang relatif lebih tinggi daripada PMDN.

Pengembangan investasi PMA di Jawa Timur menjadi pilihan tepat untuk mengatasi masalah pengangguran, sekaligus meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Adapun upaya-upaya yang perlu dilakukan dalam mengembangkan PMA antara lain (1) menyelaraskan dan mencabut Perda-Perda yang dinilai menjadi penyebab biaya ekonomi tinggi, (2) memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi investor dan (3) menyediakan sarana dan prasarana infrastruktur yang lebih memadai bagi investor.


(5)

MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN

MODAL ASING DI JAWA TIMUR

HERNY KARTIKA WATI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(6)

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa segala pernyataan dalam tesis

saya yang berjudul:

Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur

Merupakan gagasan atau hasil penelitian tesis saya sendiri, atas bimbingan Komisi

Pembimbing kecuali yang dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum

pernah diajukan untuk memperoleh gelar pada program sejenis di perguruan

tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara

jelas dan dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, Juli 2008

Herny Kartika Wati Nrp A151040061


(7)

HERNY KARTIKA WATI. Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian: Studi Komparasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing di Jawa Timur (DEDI BUDIMAN HAKIM sebagai Ketua dan HERMANTO SIREGAR sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dan Penanaman Modal Asing (PMA) mempunyai peran penting dalam perekonomian Jawa Timur. Namun dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan kedua jenis investasi swasta tersebut berfluktuasi dan cenderung menurun. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja perekonomian Jawa Timur, mengetahui dampak PMDN dan PMA serta menganalisis investasi mana yang mempunyai dampak terbesar dalam kinerja perekonomian Jawa Timur tersebut. Kinerja perekonomian dapat diketahui dari data PDRB, inflasi dan pengangguran. Model yang dirumuskan adalah model ekonometrika dalam bentuk persamaan simultan. Sedangkan metode analisis yang digunakan adalah 2 SLS dan simulasi kebijakan ekonomi.

Berdasarkan hasil pendugaan parameter model diketahui bahwa PDRB dipengaruhi secara nyata oleh Penanaman Modal Dalam Negeri riil, Perubahan Penanaman Modal Asing, dummy otonomi daerah, tren waktu, dan PDRB tahun sebelumnya.Sedangkan inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tren waktu, dan laju inflasi tahun sebelumnya. Pengangguran dipengaruhi oleh PMDN riil, tren waktu, dan pengangguran tahun sebelumnya. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan PMDN dan PMA berdampak positif terhadap PDRB dan inflasi serta berdampak negatif terhadap pengangguran. Namun dampak PMA terhadap peningkatan PDRB dan penurunan pengangguran lebih besar daripada PMDN. Oleh sebab itu untuk menstimulasi peningkatan PDRB dan sekaligus menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur maka pengembangan PMDN dan PMA merupakan pilihan yang tepat untuk dilakukan.

Kata Kunci : PMDN, PMA, PDRB, inflasi, pengangguran, sistem persamaan simultan


(8)

@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau


(9)

MODAL DALAM NEGERI DAN PENANAMAN

MODAL ASING DI JAWA TIMUR

HERNY KARTIKA WATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(10)

Penanaman Modal Asing di Jawa Timur Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati

Nomor Pokok : A151040061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui

1. Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec Ketua Anggota

Mengetahui

2. Ketua Program Studi 3. Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr.Ir.Bonar M.Sinaga, M.A Prof. Dr.Ir.Khairil A.Notodiputro, M.S

Tanggal Ujian: 18 Juni 2008 Tanggal Lulus:


(11)

Penulis dilahirkan pada tanggal 2 Mei 1973 di Magetan, Provinsi Jawa

Timur, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan

Drs. Soekarno, MM dan Kasini.

Tahun 1985, Penulis lulus dari Sekolah Dasar Negeri (SDN) Karah II di

Kotamadya Surabaya, Lulus SMPN 21 pada tahun 1989 di Kotamadya Surabaya

dan Lulus SMA Negeri 5 di Kotamadya Surabaya tahun 1991. Pada tahun yang

sama penulis melanjutkan ke Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya

(UNIBRAW), Malang dan lulus pada tahun 1996. Kemudian pada tahun 2004,

penulis mendapatkan beasiswa dari Badan Pengembangan SDM Pertanian

(BPSDMP), Departemen Pertanian untuk melanjutkan pendidikan S2 Program

Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Selama mengikuti perkuliahan penulis menjadi asisten mata kuliah Teori

Ekonomi Makro pada tahun ajaran 2004/2005 di Departemen Sosial Ekonomi

Industri Peternakan, Fakultas Peternakan, IPB.

Tahun 1997, Penulis diterima sebagai pegawai di Badan Agribisnis,

Departemen Pertanian sampai dengan tahun 2001. Pada tahun yang sama penulis

dipindahtugaskan ke Direktorat Jenderal Bina Pemasaran dan Pengolahan Hasil

Pertanian, Departemen Pertanian sampai saat ini.

Pada tahun 2006, Penulis menikah dengan Wienny Wahyu Wijaya, ST dan

dikaruniai seorang putra bernama Kevin Abiyyu Kartika Wijaya yang berusia 15

bulan pada saat penulisan tesis ini. Selain itu, pada saat yang sama penulis sedang


(12)

Dengan memanjatkan puji syukur Kehadirat Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan pendidikan di sekolah pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada komisi pembimbing Dr. Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec selaku ketua komisi pembimbing dan Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Anggota Komisi Pembimbing atas kesungguhan, ketekunan, ketulusan dan kesabaran dalam memberikan bimbingan kepada penulis. Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi pada saat ujian tesis.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr.Ir. Herry Suhardiyanto, M.Sc selaku Rektor IPB, Prof. Dr. Ir. Bonar M Sinaga, M.A sebagai Ketua Program Studi EPN dan kepada segenap Pimpinan di Departemen Pertanian khususnya Dirjen Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian dan Kepala Badan Pengembangan SDM Pertanian, Departemen Pertanian yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan studi di sekolah pascasarjana, IPB.

Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada orang tua penulis (Drs. Soekarno, MM dan Kasini) serta bapak ibu mertua (Drs. Narto Soehardjo, M.Pa dan Dra. Sunarti ) atas dorongan semangat,

ketulusan dan doa yang tiada henti-hentinya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar ini dengan baik.

Kepada suami tercinta Mas Wienny dan ananda Kevin, terima kasih atas pengertiannya, kasih sayang, dorongan semangat, inspirasi dan doa yang tulus


(13)

(Mayor Czi. Herfin Kartika Aji beserta keluarga dan Herdyane Kartika Dewi, SH) atas doa dan dukungannya selama ini.

Terima kasih juga disampaikan kepada staf program studi EPN: Mbak Santi, Ruby, Yani dan Aam atas bantuan administrasinya sehingga penulis dapat menjalani tugas belajar dengan baik, teman-teman di Graha Matudhilipa terutama Dwi, Citra, Niken dan Fia atas kebersamaan dan bantuan yang sangat berarti yang telah diberikan kepada penulis selama ini. Demikian pula kepada teman-teman EPN satu angkatan khususnya Ilham, Iwan dan Ria atas dorongan semangat dan kebersamaan dalam menjalani perkuliahan di EPN. Tak lupa ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mbak Niken.W dan Dian atas segala bantuannya serta Pak Darsono dan Pak Yundhy atas segala saran dan kritiknya.

Kepada segenap staf di instansi pemerintah di Provinsi Jawa Timur terutama Disnaker, BPS dan BPM serta Ibu Wiwin di PSE Bogor, terima kasih atas kemudahan yang diberikan kepada penulis dalam mengumpulkan data dan informasi serta terima kasih kepada pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu dalam tesis ini. Kiranya Allah SWT sendiri yang dapat memberi balasan berkah kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna, namun demikian penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi pengembangan investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur.

Bogor, Juli 2008


(14)

Penanaman Modal Asing di Jawa Timur

Nama Mahasiswa : Herny Kartika Wati

Nomor Pokok : A151040061

Program Studi : Ilmu Ekonomi Pertanian

Menyetujui

2. Komisi Pembimbing

Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim, M.Ec Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec

Ketua Anggota

Mengetahui

Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S

Tanggal Ujian : 18 Juni 2008 Tanggal Lulus:


(15)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 9

1.3. Tujuan ... 13

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 14

1.5. Kegunaan Penelitian ... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 16

2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta ... 16

2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur ... 18

2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi ... 18

2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri Dan Penanaman Modal Asing ... 21

2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur ... 24

2.2.4. Inflasi ... 26

2.2.5. Pengangguran ... 28

2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian ... 32

2.4. Tinjauan Studi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 36

2.5. Posisi Penelitian ... 39

III. KERANGKA TEORITIS ... 40

3.1. Produk Domestik Bruto... 40

3.2. Investasi ... 41

3.3. Inflasi ... 43


(16)

3.5. Hubungan Antar Variabel Makroekonomi ... 47

3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran ... 47

3.5.2. Trade-off Antara Inflasi dan Pengangguran ... 48

3.6. Otonomi Daerah ... 50

IV. METODOLOGI ... 55

4.1. Kerangka Pemikiran ... 55

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 56

4.3. Spesifikasi Model ... 57

4.4. Identifikasi Model ... 65

4.5. Pendugaan Parameter Model ... 65

4.6. Pengujian Hipotesis ... 66

4.7. Validasi Model ... 67

4.8. Simulasi Model ... 68

4.9. Definisi Operasional ... 70

V. ANALISIS EKONOMETRIKA DAMPAK INVESTASI TERHADAP KINERJA PEREKONOMIAN JAWA TIMUR 72

5.1. Analisis Umum Pendugaan Model ... 72

5.2. Hasil Pendugaan Model ... 72

5.2.1. Produk Domestik Regional Bruto ... 73

5.2.2. Penanaman Modal Dalam Negeri ... 75

5.2.3. Penanaman Modal Asing ... 78

5.2.4. Inflasi ... 81

5.2.5. Pengangguran ... 83

5.3. Sintesis Terhadap Hasil Analisis ... 85

VI. HASIL SIMULASI DAN PEMBAHASAN ALTERNATIF KEBIJAKAN ... 91

6.1. Validasi Model ... 91

6.2. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Per- ekonomian Jawa Timur ... 92

6.2.1. Peningkatan Penanaman Modal Dalam Negeri Sebesar 15 Persen ... 92


(17)

6.2.2. Peningkatan Penanaman Modal Asing Sebesar

15 Persen ... 93

6.2.3. Peningkatan Upah Minimum Provinsi Sebesar 18 Persen ... 94

6.2.4. Peningkatan Suku Bunga Sebesar 1.5 Persen ... 94

6.2.5. Kombinasi Kebijakan ... 95

6.3. Studi Komparasi Peranan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Terhadap Kinerja Perekonomi- an Jawa Timur ... 100

6.4. Implikasi Kebijakan ... 102

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 106

7.1. Simpulan ... 106

7.2. Saran ... 107

DAFTAR PUSTAKA ... 109


(18)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia

Tahun 1997-2005 ... 4 2. Nilai Neto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia

Tahun 1997-2004 ... 4 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal

Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 5 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal

Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 6 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal

Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun

2001-2006 ... 10 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio

Tenaga Kerja Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing

Tahun 1969-2004 ... 11 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan

Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006 ... 12 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006 ... 20 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar

Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006 ... 21 10. Jenis dan Sumber Data ... 57 11. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Produk Domestik

Regional Bruto ... 73 12. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal

Dalam Negeri ... 76 13. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Penanaman Modal

Asing ... 78 14. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Inflasi ... 82 15. Hasil Pendugaan Parameter Persamaan Pengangguran ... 84 16. Hasil Validasi Model Dampak Investasi Terhadap Kinerja

Perekonomian Jawa Timur ... 92 17. Hasil Simulasi Peningkatan Penanaman Modal Dalam

Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 93 18. Hasil Simulasi Peningkatan Upah Minimum Provinsi dan

Suku Bunga ... 95


(19)

Nomor Halaman 19. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal

Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 96 20. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal

Dalam Negeri dan Upah Minimum Provinsi ... 97 21. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal

Dalam Negeri dan Suku Bunga ... 97 22. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal

Asing dan Upah Minimum Provinsi ... 98 23. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Penanaman Modal

Asing dan Suku Bunga ... 99 24. Hasil Simulasi Kombinasi Peningkatan Upah Minimum

Provinsi dan Suku Bunga ... 100 25. Perbandingan Hasil Simulasi PMDN dan PMA Terhadap


(20)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan 2000

di Jawa Timur Tahun 1980-2006 ... 19 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur

Tahun 1980-2006 ... 22 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006 22 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006 ... 27 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa

Timur Tahun 1980-2006 ... 29 6. Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun

1980-2006 ... 30 7. Hubungan antara Tingat Bunga Riil dengan Kuantitas

Investasi ... 42 8. Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran 49 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek ... 50 10. Kerangka Pemikiran Dampak Investasi Terhadap Kinerja

Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi Penanaman

Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing ... 56 11. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kurva

Penawaran Agregat ... 86 12. Pertumbuhan Ekonomi Akibat Pergeseran Kuva

Permintaan Agregat ... 86 13. Pertumbuhan Yang Bersumber Pada AD Harus Diimbangi

oleh Peningkatan AS ... 87


(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Nama dan Keterangan Variabel-Variabel yang Digunakan 114 2. Data Penelitian Dampak Investasi Terhadap Kinerja

Perekonomian Jawa Timur ... 115 3. Program dan Hasil Estimasi Model Ekonometrika

DampakInvestasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa

Timur dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 117 4. Program dan Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak

Investasi Terhap dap Kinerja Perekonomian Jawa Timur

dengan Menggunakan Metode 2SLS ... 124 5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang

DinilaiMemberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA ... 131


(22)

1.1. Latar Belakang

Kinerja perekonomian di suatu wilayah dapat diketahui dari perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB), inflasi, dan tingkat pengangguran. Sasaran yang ingin dicapai adalah tingginya pertumbuhan ekonomi yang diukur dengan pertumbuhan PDB, stabilnya inflasi atau tercapainya inflasi yang sesuai dengan kemampuan ekonomi serta rendahnya tingkat pengangguran.

Salah satu upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi yaitu melalui penyelenggaraan penanaman modal atau investasi. Investasi merupakan kunci utama untuk mencapai peningkatan pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari kemampuannya meningkatkan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan. Semakin besar investasi suatu negara akan semakin besar pula tingkat pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi merupakan fungsi investasi (Haryanto, 2005). Selain itu investasi juga memperluas kesempatan kerja, mendorong kemajuan teknologi dan spesialisasi dalam produksi sehingga meminimalkan ongkos produksi serta penggalian sumberdaya alam, industrialisasi dan ekspansi pasar yang diperlukan bagi kemajuan perekonomian daerah (Machmud, 2002). Pendapat tersebut didukung dengan adanya UU Penanaman Modal No. 25 Tahun 2007 yang menyebutkan bahwa salah satu tujuan dari penyelenggaraan investasi baik investasi PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) maupun PMA (Penanaman Modal Asing) adalah meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.

Selain itu, secara khusus Wiranata (2004) menyampaikan bahwa investasi asing dalam hal ini PMA dapat dianggap sebagai salah satu modal pembangunan


(23)

ekonomi yang penting. Semua negara yang menganut ekonomi terbuka pada umumnya memerlukan investasi asing, terutama perusahaan yang menghasilkan barang dan jasa untuk kepentingan ekspor. Di negara maju seperti Amerika, modal asing terutama dari Jepang dan Eropa Barat tetap dibutuhkan guna memacu pertumbuhan ekonomi domestik, menghindari kelesuan pasar dan penciptaan lapangan kerja. Apalagi di negara berkembang seperti Indonesia, modal asing sangat diperlukan sebagai akibat dari modal dalam negeri yang tidak mencukupi.

Peran penting investasi terhadap pertumbuhan ekonomi dapat diketahui dari perkembangan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi tahun 1997. Walaupun satu atau dua tahun setelah krisis ekonomi, Indonesia kembali menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang positif, namun sampai saat ini rata-rata pertumbuhan per tahunnya relatif masih lambat dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang juga terkena krisis, seperti Thailand dan Filipina. Pada Tahun 1999 Thailand mampu mendorong pertumbuhan ekonominya sebesar 4.4 persen sedangkan Indonesia hanya 0.8 persen Demikian juga dengan Filipina, pada tahun 2001 pertumbuhan ekonominya hanya 1.8 persen, tetapi tiga tahun kemudian pertumbuhan ekonominya menanjak hingga 6.1 persen sedangkan Indonesia hanya 5.1 persen. Salah satu penyebab rendahnya pertumbuhan ekonomi di Indonesia adalah belum intensifnya kegiatan investasi, termasuk arus investasi dari luar terutama dalam bentuk PMA.

Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), diketahui bahwa setelah krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA sempat mengalami peningkatan. Akan tetapi setelah tahun 2000 jumlahnya menurun dan cenderung berkurang terus kecuali pada tahun 2005 yang mengalami


(24)

peningkatan persetujuan investasi menjadi 1 648 proyek. Satu hal menarik dari data BKPM tersebut bahwa sejak krisis ekonomi tahun 1997, jumlah proyek baru PMA lebih tinggi dari PMDN (Tabel 1). Kondisi tersebut menandakan bahwa bagi perkembangan investasi langsung dalam negeri khususnya periode pasca krisis, peran PMA lebih penting daripada PMDN. Namun demikian apabila dilihat dari nilai nettonya (arus investasi masuk dikurangi arus keluar), kondisi PMA setelah krisis lebih memprihatinkan, walaupun pada tahun 2002 dan 2004 sempat kembali positif seperti yang terlihat dalam Tabel 2 (Tambunan, 2006). Lebih banyaknya arus PMA yang keluar daripada masuk mencerminkan buruknya iklim investasi di Indonesia, khususnya perusahaan-perusahaan asing di industri-industri yang sifat produksinya footloose seperti elektronik, tekstil dan pakaian jadi, sepatu dan lainnya yang tidak terlalu tergantung pada sumber daya alam atau bahan baku lokal di Indonesia. Perusahaan-perusahaan tersebut dengan mudahnya pindah ke negara-negara tetangga jika melakukan produksi di dalam negeri sudah tidak menguntungkan lagi.

Beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap baik buruknya iklim investasi di Indonesia adalah (1) adanya stabilitas politik dan sosial, (2) stabilitas ekonomi, (3) kondisi infrastruktur dasar (listrik, telekomunikasi dan prasarana jalan dan pelabuhan), (4) berfungsinya sektor pembiayaan dan pasar tenaga kerja (termasuk isu-isu perburuhan), (5) regulasi dan perpajakan, birokrasi (dalam

waktu dan biaya yang diciptakan), dan (6) masalah good governance termasuk

korupsi, konsistensi dan kepastian dalam kebijakan pemerintah yang langsung maupun tidak langsung mempengaruhi keuntungan netto atas biaya resiko jangka


(25)

panjang dari kegiatan investasi dan hak milik mulai dari tanah sampai kontrak (Tambunan, 2006).

Tabel 1. Perkembangan Persetujuan Rencana Investasi di Indonesia Tahun 1997-2005

PMDN PMA Tahun

Proyek Nilai

( Rp. Milyar) Proyek

Nilai (US$ Juta)

1997 719 119 320.5 778 33 665.7

1998 323 57 999.2 958 13 635.0

1999 239 53 930.8 1 179 10 894.3

2000 415 95 643.0 1 599 16 014.9

2001 270 59 881.5 1 375 15 201.9

2002 196 25 935.7 1 238 9 955.4

2003 232 55 120.9 1 238 14 278.1

2004 199 44 101.4 1 226 10 415.6

2005 218 50 577.3 1 648 13 579.2

Sumber: BKPM (2005)

Tabel 2. Nilai Netto Arus Penanaman Modal Asing ke Indonesia Tahun 1997-2004

Tahun Nilai (US$ Juta)

1997 4 667

1998 -356

1999 -2 745

2000 -4 550

2001 -2 978

2002 145

2003 -597

2004 423

Sumber: Bank Indonesia dalam Tambunan (2006)

Kondisi perkembangan investasi PMDN dan PMA di Provinsi Jawa Timur juga mengalami hal yang serupa dengan kondisi perkembangan investasi nasional. Perkembangan investasi tahun 2000-2006 belum menunjukkan kemajuan seperti yang diharapkan, padahal Jawa Timur mempunyai potensi untuk pengembangan investasi dengan beberapa alasan sebagai berikut, (1) sebagai pusat utama wilayah

kawasan timur Indonesia untuk perkembangan sistem industry processing dan

perdagangan nasional. Jawa Timur memiliki prospek yang sangat bagus untuk wilayah investasi, seperti investasi properti, pusat perbelanjaan dan hiburan,


(26)

perbankan dan lembaga keuangan bukan bank, transportasi dan lain sebagainya (Badan Penanaman Modal atau BPM Jatim dan Universitas Airlangga atau UNAIR, 2004), (2) posisi Jawa Timur yang relatif dekat dengan Jakarta tapi belum padat seperti Tangerang dan Bekasi, upah buruh yang rendah dibandingkan dengan Bandung dan Tangerang, serta dengan dukungan investasi lahan yang relatif masih murah merupakan daya tarik tersendiri bagi pengusaha (Wahyuni, 2007), (3) mempunyai fasilitas pelabuhan laut dan udara yang cukup memadai dan (4) adanya pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001. Dengan otonomi tersebut diharapkan dapat menciptakan iklim investasi yang kondusif melalui efisiensi dan kemudahan dalam prosedur perijinan sehingga dapat menarik investor lebih banyak daripada tahun-tahun sebelumnya ke Jawa Timur.

Tabel 3. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006

Jumlah Proyek Investasi (Rp Juta)

Tahun

Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %

2000 50 21 42 2 642 522 628 373 24

2001 32 10 31 2 741 897 428 673 16

2002 9 0 0 137 851 0 0

2003 22 5 23 634 367 132 477 21

2004 13 1 8 262 984 9 000 3

2005 4 0 0 283 552 0 0

2006 27 3 11 154 412 036 152 668 828 99

Rata-rata 23 32.6

Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)

Pada Tabel 3, terlihat bahwa perkembangan realisasi investasi PMDN di Jawa Timur sejak tahun 2000-2006 berfluktuasi dan cenderung menurun kemudian berangsur-angsur naik. Penurunan yang cukup tajam terjadi pada tahun 2002 dan 2005, dari 21 proyek di tahun 2000 dengan nilai investasi sebesar Rp 628.37 milyar menjadi tidak ada proyek sama sekali. Akan tetapi, pada tahun 2006 kondisi investasi PMDN membaik dan mengalami peningkatan menjadi 3 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 152 668.83 milyar. Selain itu, realisasi


(27)

proyek PMDN tersebut lebih rendah daripada yang direncanakan yaitu rata-rata per tahunnya sebesar 23 persen sedangkan realisasi nilai investasinya sebesar 32.6 persen per tahun. Hal tersebut menandakan bahwa banyak proyek-proyek yang telah disetujui tidak jadi dilaksanakan atau dengan kata lain banyak investor yang membatalkan rencana investasinya.

Serupa dengan PMDN, perkembangan PMA tahun 2000-2006 baik dari jumlah proyek maupun nilai investasinya cenderung menurun. Walaupun pada tahun 2005, sempat mengalami kenaikan yang cukup berarti yaitu dari 8 proyek pada tahun 2004 menjadi 13 proyek dengan nilai investasi sebesar US$ 617.47 juta. Secara umum realisasi investasi baik dari segi jumlah proyek maupun nilainya lebih rendah dari rencana investasi dan cenderung menurun yaitu 27.48 persen dan 66.99 persen per tahun. Perkembangan realisasi investasi PMA secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Asing di Provinsi Jawa Timur Tahun 2000-2006

Jumlah Proyek Investasi (US$ Juta)

Tahun

Rencana Realisasi % Rencana Realisasi %

2000 92 34 37 960.77 101.23 11

2001 59 27 46 136.36 109.95 81

2002 55 22 40 98.07 49.00 50

2003 71 16 23 357.38 19.33 5

2004 42 8 19 170.43 5.94 3

2005 68 13 19.11 193.94 617.47 318.38

2006 58 5 8.26 471.89 2.58 0.55

Rata-rata 27.48 66.99

Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)

Rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur tersebut menunjukkan bahwa daya serap Jawa Timur terhadap investasi relatif rendah. Apabila dibandingakan realisasi antara PMDN dan PMA maka ternyata realisasi investasi PMA per tahun lebih tinggi daripada PMDN. Ini menandakan bahwa


(28)

bagi perkembangan investasi langsung di Jawa Timur khususnya pada periode tahun 2000-2006, peran PMA jauh lebih penting daripada PMDN dan menunjukkan bahwa perencanaan investor asing (PMA) lebih baik dan mantap dibandingkan PMDN dalam menanamkan modalnya di Jawa Timur.

Sementara itu, dari segi penyebaran investasi berdasarkan lokasinya maka lokasi PMDN sebagian besar berada di wilayah Surabaya kemudian Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki PMDN adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Untuk PMA tidak jauh berbeda dengan PMDN, sebagian besar berlokasi di Surabaya kemudian Sidoarjo, Gresik dan Pasuruan. Wilayah yang tidak dimasuki PMA adalah Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Apabila dibandingkan menurut pola penyebarannya maka penyebaran PMDN lebih merata daripada PMA.

Berdasarkan bidang usaha yang diminati pada dasarnya antara PMDN dan PMA juga tidak jauh berbeda. Untuk PMDN bidang usaha yang diminati dari yang tertinggi jumlah proyeknya adalah industri kimia, makanan, barang logam, kayu dan industri tekstil. Sedangkan untuk PMA bidang usaha yang diminati adalah industri kimia, barang logam, perdagangan, industri makanan, kayu dan tekstil. Apabila dicermati ternyata industri tekstil menempati urutan ke-lima dalam Bidang usaha yang diminati PMDN dan urutan ke-enam dalam PMA. Ini menunjukkan bahwa PMA tidak hanya berinvestasi pada usaha yang padat modal saja tetapi juga turut berkontribusi pada bidang usaha yang relatif padat karya, seperti industri tekstil.


(29)

Penyebab fluktuatifnya PMDN dan menurunnya PMA di Jawa Timur antara lain ialah (1) adanya krisis ekonomi yang berkepanjangan, kurang kondusifnya kehidupan politik, serta ancaman gangguan keamanan seperti meledaknya bom di Bali, kerusuhan di Ambon dan Poso. Walaupun hal ini bersifat nasional tapi turut berpengaruh terhadap besarnya investasi PMDN dan PMA di Jawa Timur, (2) kurs rupiah yang senantiasa berfluktuasi terhadap mata uang asing (cenderung depresiasi), (3) tidak adanya kepastian hukum maupun lemahnya perlindungan hukum bagi investor dalam negeri maupun asing, (4) rendahnya kapasitas calon investor atau rendahnya kemampuan modal sendiri untuk mendukung investasi yang direncanakan yang menyebabkan struktur modal investasinya terlalu didominasi oleh dana pinjaman. Sehingga apabila penerimaan yang diharapkan tidak lebih besar dari biaya modal maka calon investor akan cenderung membatalkan niat investasinya, (5) adanya peningkatan biaya melakukan bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah. Contohnya pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dengan alasan untuk meningkatkan penerimaan asli daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), (6) terbatasnya informasi investasi bagi para investor, (7) menurunnya kondisi infrastruktur, misalnya banyaknya jalan yang berlubang serta bencana luapan lumpur Sidoarjo dan (8) belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007).

Kondisi perkembangan Investasi PMDN dan PMA yang tidak sesuai dengan harapan tersebut pada kenyataanya tidak menyebabkan pertumbuhan ekonomi turut menurun, bahkan sebaliknya, terus mengalami peningkatan. Pertumbuhan ekonomi dalam tataran daerah diukur dengan pertumbuhan PDRB. Peningkatan


(30)

pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilihat dari perkembangan PDRB Jawa Timur atas dasar harga konstan (tahun 2000=100) yang mengalami kenaikan dari Rp 169 680 milyar pada tahun 2000 menjadi Rp 470 627 milyar pada tahun 2006. Hal ini menunjukkan adanya anomali antara investasi dan pertumbuhan ekonomi.

Selain PDRB, indikator lain yang cukup penting dalam mengukur kinerja perekonomian adalah pengangguran. Jumlah penganggur di Provinsi Jawa Timur cenderung mengalami kenaikan dari 845 590 jiwa pada tahun 2000 meningkat menjadi 1 502 903 jiwa tahun 2006. Sedangkan kemampuan PMDN untuk menyerap tenaga kerja pada tahun 2006 sebesar 8 386 jiwa dan PMA sebesar 124 jiwa. Sehingga apabila dilihat dari segi jumlah maka peran kedua jenis investasi tersebut dalam mengurangi jumlah pengangguran relatif masih kecil.

Dengan adanya peran penting investasi PMDN dan PMA dalam perekonomian khususnya pertumbuhan ekonomi, meskipun pada kenyataanya di Jawa Timur terjadi anomali, serta adanya peran investasi dalam menciptakan lapangan kerja yang diharapkan dapat menurunkan angka pengangguran di Jawa Timur, maka penelitian mengenai dampak investasi terhadap kinerja perekonomian di Jawa Timur merupakan sesuatu yang menarik untuk dilakukan. 1.2. Perumusan Masalah

Investasi merupakan kunci utama dalam upaya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Haryanto, 2005). Pendapat tersebut dilengkapi dengan penjelasan mengenai arti penting investasi dalam menentukan pertumbuhan ekonomi oleh Rostow dan Domar (Todaro, 2000). Menurut Rostow, setiap upaya tinggal landas mengharuskan adanya mobilisasi tabungan dalam dan luar negeri dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat


(31)

pertumbuhan ekonomi. Pada model pertumbuhan Harrod Domar, arti penting investasi lebih ditekankan, khususnya mengenai watak ganda yang dimiliki investasi. Pertama investasi menciptakan pendapatan dan kedua investasi memperbesar kapasitas produksi perekonomian dengan cara meningkatkan stok kapital.

Pada kenyataannya perkembangan investasi PMDN dan PMA tahun 2000-2006 di Jawa Timur masih jauh dari harapan, yaitu berfluktuasi cenderung menurun. Namun demikian kondisi tersebut tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonominya seperti yang terlihat dalam Tabel 5. Pertumbuhan ekonomi Jawa Timur mengalami pertumbuhan positif dari tahun ke tahun. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya pertumbuhan di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri, pengangkutan dan sektor keuangan (Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim, 2004). Sehingga pertanyaan yang muncul adalah seberapa besar peranan investasi PMDN dan PMA dalam pembentukan PDRB di Jawa Timur?

Tabel 5. Perkembangan Realisasi Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri, Penanaman Modal Asing dan Produk Domestik Regional Bruto di Provinsi Jawa Timur Tahun 2001-2006

PMDN PMA Tahun Jumlah Izin

Usaha Tetap yang Dikeluarkan Nilai Realisasi Investasi ( Rp Milyar)

Jumlah Izin Usaha Tetap yang Dikeluarkan Nilai Realisasi Investasi (US$ Juta )

Produk Domestik Regional Bruto (Harga Konstan Tahun 2000) Pertumbuhan Ekonomi (%)

2001 10 428.67 27 109.95 210 448.57 3.26

2002 0 0.00 22 49.00 218 452.39 3.80

2003 5 132.48 16 19.33 228 884.45 4.78

2004 1 9.00 8 5.94 242 228.89 5.83

2005 0 0.00 13 617 .47 256 374.73 5.84

2006 3 152 668.83 5 2.58 271 237.67 5.80

Sumber: BPM Provinsi Jatim (2004) dan Analisis Indikator Makro Provinsi Jatim (2004)

Kenaikan PDRB atau pertumbuhan ekonomi tersebut diikuti dengan naiknya inflasi Jawa Timur walaupun kenaikannya cenderung berfluktuasi yaitu


(32)

berturut-turut dari tahun 2000-2006 adalah 9.62, 14.10, 9.38, 3.59, 6.24, 15.89, dan 6.76 persen ( BPS, berbagai tahun terbit). Inflasi yang tertingi terjadi pada tahun 2005 yang dipicu oleh inflasi pada kelompok perumahan, kesehatan dan pendidikan, rekreasi dan olah raga.

Selain sebagai salah satu faktor dalam menunjang pertumbuhan ekonomi, investasi juga berperan dalam penyerapan tenaga kerja sehubungan dengan kemampuannya untuk menciptakan lapangan kerja seperti pada Tabel 6.

Apabila dicermati pada Tabel 6, memperlihatkan bahwa rasio tenaga kerja PMDN dan PMA fluktuatif cenderung menurun. Secara agregat rasio tenaga kerja pada PMDN relatif sama dengan PMA. Ini berarti bahwa pada kurun waktu tujuh tahun kemampuan PMDN dan PMA dalam menyerap tenaga kerja hampir sama. Tabel 6. Jumlah Investasi, Tenaga Kerja yang Diserap dan Rasio Tenaga Kerja

Terhadap Investasi Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing Tahun 2000-2006

PMDN PMA Tahun Jumlah

Investasi Riil (Rp Juta) Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) Rasio Pekerja/ Investasi (Jiwa/Rp Juta) Jumlah Investasi Riil (Rp Juta) Jumlah Tenaga Kerja (Jiwa) Rasio Pekerja/ Investasi (Jiwa/Rp Juta)

2000 628 435.84 9 734 0.015 850 322 4 936 0.006

2001 485 900.85 5 472 0.011 1 221 714 3 745 0.003

2002 0.00 0 0.000 544 725 2 698 0.005

2003 178 963.18 1 767 0.010 206 581 1 266 0.006

2004 12 963.60 17 035 0.005 68 302 987 0.014

2005 0.00 0 0.000 8 240 002 4 664 0.001

2006 265 170 487 8 386 0.000 35 883 124 0.003

Total 266 476 751 2541 0.041 11 167 529 18420 0.038

Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006) diolah

Penyerapan tenaga kerja erat kaitannya dengan pengangguran. Semakin besar tenaga kerja yang terserap maka jumlah pengangguran makin menurun.

Kombinasi rendahnya realisasi investasi PMDN dan PMA selama tahun 2000-2006 di Jawa Timur yang disertai dengan menurunnya nilai investasi


(33)

kesempatan kerja. Keadaan tersebut menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran yang tercermin pada meningkatnya tingkat pengangguran terbuka terutama pada tahun 2003, sebesar 8.68 persen seperti dalam Tabel 7.

Tabel 7. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja, Kesempatan Kerja dan Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 2000-2006

Tahun Tingkat Partisipasi

Angkatan Kerja (%)

Tingkat Kesempatan Kerja (%)

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

2000 65.16 95.17 4.83

2001 68.22 94.93 5.07

2002 68.87 93.57 6.43

2003 66.64 91.32 8.68

2004 69.20 92.31 7.69

2005 69.17 91.55 8.45

2006 67.36 92.28 7.72

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (2004)

Faktor lain yang mendorong tingginya angka pengangguran adalah (1) ketidaksesuaian antara pendidikan/ketrampilan pencari kerja dengan

kebutuhan pasar tenaga kerja, (2) penyebaran informasi kesempatan kerja yang belum optimal, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia, (4) masih rendahnya angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja secara mandiri, (5) adanya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dari berbagai usaha seperti industri garmen, tekstil, sepatu dan kayu dan (6) pemulangan (deportasi) Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ilegal.

Banyaknya tenaga kerja yang bekerja ke luar negeri menggambarkan sulitnya mencari pekerjaan di negeri sendiri atau tingkat upah yang belum sepenuhnya memberikan kepuasan bagi mereka. Hal tersebut menyebabkan sebagian warga Indonesia memaksakan diri untuk menjadi TKI walaupun tidak memiliki persyaratan yang lengkap baik administrasi maupun keahlian (Pemprov Jatim dan BPS Jatim, 2005). Selanjutnya, pertanyaan yang muncul adalah


(34)

seberapa besar peran atau pengaruh investasi PMDN dan PMA terhadap pengurangan pengangguran? dan investasi mana yang paling berperan, apakah PMDN atau PMA?

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Faktor-faktor apa yang berpengaruh terhadap kinerja perekonomian Jawa

Timur yang tercermin dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran?

2. Seberapa besar dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan

ekonomi, inflasi dan pengangguran?

3. Investasi mana yang memberikan dampak paling besar terhadap pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran, investasi PMDN atau PMA?

1.3. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi,

inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.

2. Mengetahui dampak investasi PMDN dan PMA terhadap pertumbuhan

ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.

3. Menganalisis investasi PMDN atau PMA yang mempunyai dampak

terbesar dalam pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan pengangguran di Jawa Timur.


(35)

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Kinerja perekonomian Jawa Timur meliputi pertumbuhan ekonomi yang tercermin dari pertumbuhan PDRB, inflasi, dan tingkat pengangguran.

Investasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah realisasi investasi swasta yang memperoleh fasilitas baik dari dalam negeri (PMDN) maupun luar negeri (PMA) di provinsi Jawa Timur.

Cakupan analisis menggunakan data regional dengan rentang waktu tahun 1980-2006 (27 tahun). Model ekonometrik deret waktu yang digunakan adalah model persamaan simultan.

Keterbatasan dalam penelitian ini adalah data realisasi investasi yang dianalisis belum menggambarkan seluruh kegiatan investasi yang terdapat di Jawa Timur. Hal ini disebabkan data realisasi investasi PMDN dan PMA yang tersedia belum memasukan investasi di sektor minyak dan gas bumi, perbankan, lembaga keuangan non bank, asuransi, sewa guna usaha, pertambangan dalam rangka kontrak karya, perjanjian karya perusahaan pertambangan batubara, investasi yang perizinannya dikeluarkan oleh instansi teknis/sektor, investasi portofolio (pasar modal) dan investasi rumah tangga.

Selain itu, lemahnya dokumentasi data tentang investasi yang bersifat non fasilitas yaitu investasi yang dilakukan oleh pengusaha atau masyarakat yang umumnya berskala kecil dan menengah sehingga investasi tersebut tidak bisa diakomodir dalam penelitian ini. Walaupun diperkirakan investasi jenis ini mempunyai peranan yang cukup besar dalam perekonomian Jawa Timur.


(36)

1.5. Kegunaan Penelitian

1. Sebagai bahan pertimbangan dalam merencanakan kebijakan tentang

investasi khususnya PMDN dan PMA dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan tingkat inflasi yang rendah dan mengurangi angka pengangguran di Jawa Timur.


(37)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jenis-Jenis Investasi Swasta

Investasi swasta terdiri dari: investasi yang memperoleh fasilitas dan yang tidak memperoleh fasilitas (non fasilitas). Perbedaan ini mempunyai implikasi pada perbedaan prosedur dan perijinan serta perolehan fasilitas investasi terutama di bidang fiskal.

Investasi yang memperoleh fasilitas menurut UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal adalah investasi yang sekurang-kurangnya memenuhi

salah satu kriteria sebagai berikut, (1) menyerap banyak tenaga kerja, (2) termasuk skala prioritas tinggi, (3) termasuk pembangunan infrastruktur, (4) melakukan alih teknologi, (5) melakukan industri pionir, (6) berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu, (7) menjaga kelestarian hidup, (8) melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi, (9) bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi dan (10) industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

Berdasarkan UU No. 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal, bentuk fasilitas yang diberikan kepada investasi yang memenuhi syarat untuk memperoleh fasilitas adalah (1) pajak penghasilan melalui pengurangan

penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap penanaman modal yang

dilakukan dalam waktu tertentu, (2) pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi dalam negeri, (3) pembebasan atau keringanan bea masuk bahan


(38)

baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu, (4) pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri dalam jangka waktu tertentu, (5) penyusutan atau amortisasi yang dipercepat dan (6) keringanan pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu; serta kemudahan pelayanan dan/atau perijinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh hak atas tanah, fasilitas pelayanan keimigrasian dan fasilitas perijinan impor.

Berdasarkan kepemilikan dan sumber pendanaannya, investasi yang memperoleh fasilitas dibedakan menjadi dua, yaitu (1) PMDN adalah apabila kepemilikan dan sumber modalnya berasal dari dalam negeri, dan (2) PMA apabila kepemilikan dan modalnya lebih banyak bersumber dari modal asing atau luar negeri. Untuk PMDN dan PMA, perijinannya dilakukan melalui BKPM yang berada di pusat (Jakarta) atau Badan Penanaman Modal (BPM) yang terdapat di seluruh Provinsi di Indonesia.

Menurut Salvatore (1997) PMA tediri atas (1) investasi portofolio (portfolio investment), yakni investasi yang melibatkan hanya aset-aset finansial saja, seperti obligasi dan saham yang didenominasikan atau ternilai dalam mata uang nasional. Kegiatan-kegiatan investasi portofolio atau finansial ini biasanya berlangsung melalui lembaga-lembaga keuangan seperti bank, perusahaan dana investasi,

yayasan pensiun dan sebagainya, dan (2) investasi asing langsung (Foreign


(39)

secara nyata berupa pembangunan pabrik-pabrik, pengadaan berbagai macam barang modal, pembelian tanah untuk keperluan produksi dan lain sebagainya.

Investasi non fasilitas adalah investasi swasta yang tidak memerlukan fasilitas pemerintah dan mempunyai skala menengah dan kecil. Pada umumnya, jenis investasi ini dilakukan oleh pengusaha dalam negeri dimana usaha yang dilakukan sangat rendah kandungan impornya sehingga tidak memerlukan fasilitas impor bahan baku dan fasilitas lainnya. Perijinan investasi non fasilitas tersebar di berbagai instansi sesuai dengan jenis investasinya mulai dari departemen teknis hingga di bagian perekonomian Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota.

2.2. Perkembangan Perekonomian Jawa Timur 2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi

Untuk melihat pertumbuhan ekonomi suatu wilayah digunakan suatu indikator yang disebut dengan PDRB. Menurut definisi, PDRB adalah total nilai produk barang dan jasa yang diproduksi di suatu wilayah tertentu dalam waktu tertentu tanpa melihat faktor kepemilikan (Analisis Indikator Makro Prov. Jawa Timur, 2004). Pertumbuhan ekonomi suatu wilayah merupakan kenaikan PDRB atas dasar harga konstan yang mencerminkan kenakan produksi barang dan jasa di suatu wilayah.

Berdasarkan data PDRB riil atas dasar harga konstan tahun 2000, maka pada tahun 1980 sampai dengan 1997 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi Jawa Timur cukup baik, dengan rata-rata pertumbuhan 7.69 persen per tahun. Pada tahun 1997 Jawa Timur berhasil mencapai PDRB riil sebesar Rp 172.91 trilyun. Akan tetapi dengan adanya krisis ekonomi tahun 1998 telah membawa dampak


(40)

serius bagi pertumbuhan ekonomi Jawa Timur. PDRB riil turun drastis sebesar 14.33 persen menjadi Rp 148.13 trilyun (Gambar 1).

0 30 60 90 120 150 180 210 240 270 300

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun

T

ri

ly

u

n R

u

pi

a

h

PDRB Riil

Gambar 1. Perkembangan PDRB Riil Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000 di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur ( Berbagai Tahun Terbit) diolah

Pada saat kondisi fundamental ekonomi yang lemah, tekanan-tekanan kenaikan harga justru semakin tinggi disertai pula oleh gejolak nilai tukar yang tajam dan ekspansi uang beredar yang tinggi maka membuat laju inflasi melonjak tinggi. Akibatnya kegiatan produksi dan investasi juga turut menurun dengan drastis. Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa perekonomian Jawa Timur mengalami krisis yang mendalam yang mengakibatkan meluasnya pengangguran dan kemiskinan.

Sejak tahun 1999, tejadi pemulihan ekonomi secara berangsur-angsur. PDRB riil pada tahun 1999 mengalami kenaikan sebesar 3.67 persen. Bahkan sejak tahun 2001-2006 PDRB Jawa Timur mengalami pertumbuhan yang positif seperti yang tercantum dalam Tabel 8.


(41)

Pada tahun 2005 terjadi pertumbuhan PDRB (atas dasar harga konstan) yang tertinggi sebesar 5.85 persen. Pertumbuhan tersebut lebih banyak diakibatkan oleh meningkatnya aktivitas hampir di semua sektor ekonomi terutama oleh sektor perdagangan, industri, pengangkutan, keuangan dan sektor pertanian.

Tabel 8. Pertumbuhan Ekonomi Jawa Timur Tahun 2001-2006

Tahun

PDRB

Atas Dasar Harga Berlaku (Rp Milyar)

PDRB Atas Dasar Harga Konstan Tahun 2000

(Rp Milyar)

Pertumbuhan Ekonomi

(%)

2001 233 881.585 210 448.570 3.26

2002 267 157.716 218 452.389 3.80

2003 300 609.857 228 884.458 4.78

2004 341 065.251 242 228.892 5.83

2005 403 392.350 256 374.726 5.85

2006 470 627.493 271 237.674 5.80

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)

Faktor lain yang menyebabkan peningkatan PDRB periode tahun 2001-2006 adalah diberlakukannya otonomi daerah sejak tahun 2001 yang

memungkinkan setiap daerah menambah penerimaannya dari dana bagi hasil dan dana Alokasi umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi yang bermuara pada meningkatnya PDRB atau pendapatan masyarakat.

Apabila ditinjau dari pertumbuhan sektoral seperti yang tercantum dalam Tabel 9 dapat diketahui bahwa terdapat beberapa sektor yang mengalami penurunan dalam pembentukan PDRB selama periode tahun 2002-2006 yaitu sektor lisrik, gas dan air bersih serta sektor perdagangan, hotel dan restoran. Bahkan sektor indstri pengolahan pada tahun 2002 sempat mengalami kontraksi sebesar 0.73 persen sebagai akibat langsung dan tidak langsung dari kenaikan


(42)

cukai rokok. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan yaitu sektor pertanian, pertambangan dan penggalian, pengangkutan serta komunikasi.

Tabel 9. Pertumbuhan PDRB Sektoral di Jawa Timur Atas Dasar Harga Konstan 2000 Tahun 2002-2006

Tahun Sektor

2002 2003 2004 2005 2006

1. Pertanian 2.02 1.91 2.82 3.16 3.92

2. Pertambangan dan Penggalian 2.76 2.21 1.84 9.32 8.58

3. Industri Pengolahan -0.73 4.46 5.28 4.61 3.05

4. Listrik, Gas dan Air Bersih 10.97 10.01 12.23 6.18 4.07

5. Konstruksi 8.32 7.92 9.25 9.15 9.65

6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 13.03 5.78 6.77 5.00 6.77 7. Pengangkutan dan Komunikasi 5.1 3.58 6.76 7.49 7.46 8. Keuangan, Sewa dan Jasa Perusahaan 3.95 3.41 3.44 4.23 5.27

9. Jasa-jasa 5.46 4.89 6.02 6.11 6.06

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)

2.2.2. Perkembangan Penanaman Modal Dalam Negeri dan Penanaman Modal Asing

Pada Gambar 2 dan 3 dapat diketahui bahwa sebelum krisis ekonomi, perkembangan investasi PMDN dan PMA sangat berfluktuasi. Investasi PMDN tertinggi dicapai tahun 1994 dengan nilai sebesar Rp 9.14 trilyun dan PMA tertinggi dicapai pada tahun 1995 dengan nilai sebesar US$ 3.18 milyar. Namun sejak krisis ekonomi tahun 1998 menyebabkan tekanan inflasi semakin tinggi dan daya beli masyarakat menurun. Ditambah dengan fungsi intermediasi perbankan praktis terhenti akibat memburuknya kepercayaan terhadap perbankan nasional dan kondisi ketidakpastian yang meningkat telah menyebabkan kegiatan produksi dan investasi di hampir seluruh sektor ekonomi mengalami penurunan nyata. Investasi PMDN riil mengalami penurunan dari Rp 4.4 trilyun menjadi Rp 0.29 milyar, sedangkan PMA dari US$ 630.31 juta menjadi US$ 393.92 juta. Walaupun apabila diriilkan dan dikonversi dalam mata uang Rupiah, justru PMA tahun 1998 mengalami kenaikan seiring dengan melemahnya nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat yaitu dari Rp 620 milyar menjadi Rp 1.4 trilyun.


(43)

Gambar 2. Perkembangan PMDN Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)

Penurunan masih terjadi pada tahun berikutnya dan meningkat kembali pada tahun 2000 baik untuk PMDN maupun PMA seiring dengan membaiknya kondisi perekonomian nasional dan Jawa Timur. Akan tetapi peningkatan tersebut tidak berlangsung lama karena pada tahun-tahun berikutnya perkembangan PMDN dan PMA berfluktuatif dan cenderung menurun.

Gambar 3. Perkembangan PMA Riil di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPM Provinsi Jawa Timur (2006)

Perkembangan PMDN dan PMA yang berfluktuasi dan senderung menurun tidak terlepas dari iklim investasi yang belum kondusif seperti kondisi politik dan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006

Tahun T ri ly un Rupi a h PMDN Riil 0 1,000 2,000 3,000 4,000 5,000 6,000 7,000 8,000 9,000 10,000

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun M ilyar R u p ia h PMA Riil


(44)

keamanan yang belum sepenuhnya stabil, belum terwujudnya good governance,

lemahnya jaminan dan kepastian hukum, adanya peningkatan biaya melakukan

bisnis yang timbul karena ekses pelaksanaan otonomi daerah (BPM Jatim dan UNAIR, 2004), terbatasnya informasi investasi bagi para investor, menurunnya kondisi infrastruktur dan belum terjaminnya kontinuitas bahan baku serta pasokan listrik (Wahyuni, 2007).

Selanjutnya apabila ditinjau berdasarkan lokasinya, maka sebagian besar lokasi PMDN berada di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Pasuruan, Mojokerto dan Malang. Wiayah yang tidak dimasuki oleh PMDN adalah Trenggalek, Ngawi dan Pamekasan. Jumlah Proyek PMDN tahun 1980-2006 yang tersebar di 31 lokasi mencapai 449 proyek dengan nilai investasi sebesar Rp 187.17 trilyun. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 291 352 jiwa tenaga kerja Indonesia dan 306 tenaga kerja asing. Bidang usaha yang diminati oleh PMDN adalah industri kimia, pengolahan makanan, industri barang logam, industri kayu dan industri tekstil.

Untuk PMA, penyebarannya tidak merata dan sebagian besar berada di Surabaya, Sidoarjo, Gresik dan Malang. Wilayah yang tidak dimasuki oleh PMA adalah: Bojonegoro, Tulungagung, Nganjuk, Trenggalek, Ngawi, Magetan, Ponorogo, Pacitan, Pamekasan dan Sampang. Jumlah proyek PMA di Jawa Timur Tahun 1980-2006 mencapai 501 proyek dengan nilai investasi mencapai US$ 11.99 milyar. Jumlah tenaga kerja yang terserap adalah sebesar 176 556 tenaga kerja Indonesia dan 989 tenaga kerja asing.

Bidang usaha yang diminati oleh PMA adalah industri kimia, industri barang logam, perdagangan, pengolahan makanan, industri kayu dan industri tekstil.


(45)

Apabila ditinjau dari jumlah proyeknya maka Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Singapura dan Hongkong menduduki peringkat 5 besar. Sedangkan bila dilihat dari nilai investasinya sejak tahun 1967 sampai 31 Maret tahun 2004, maka Inggris menduduki peringkat pertama dengan nilai investasi sebesar US$ 6.78 milyar dan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia sebesar 16.393 jiwa dan tenaga kerja asing sebesar 331 jiwa. Peringkat kedua adalah Hongkong dan berikutnya Jepang (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).

Apabila ditelaah lebih lanjut, ternyata baik investor asing maupun dalam negeri yang masuk ke Jawa Timur lebih tertarik menanamkan modalnya di wilayah Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang dan Pasuruan walaupun untuk PMDN penyebarannya lebih merata. Hal ini disebabkan oleh tersedianya sarana dan prasarana yang memadai seperti pelabuhan laut, terminal peti kemas, bandara internasional Juanda, lembaga keuangan perbankan, asuransi, jalan tol dan tersedianya tenaga kerja terampil dalam jumlah yang memadai.

2.2.3. Potensi Investasi di Jawa Timur

Prospek investasi di Jawa Timur pada dasarnya cukup baik. Selain lokasinya yang strategis sebagai pintu gerbang wilayah Indonesia Timur, Jawa Timur juga mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang cukup besar serta memiliki sarana dan prasarana untuk pengembangan investasi yang memadai. Potensi sumber daya alam tersebut antara lain kehutanan, pertanian, perkebunan, bahan-bahan tambang, perikanan laut, dan sumber daya minyak dan gas bumi yang potensial.

Sarana dan prasarana yang tersedia untuk pengembangan investasi di Jawa Timur antara lain (1) bandar udara internasional Juanda, (2) pelabuhan laut


(46)

internasional Tanjung Perak Surabaya dan Banyuwangi serta pelabuhan laut Probolinggo dan Gresik, (3) stasiun kereta api, (4) terminal bis di berbagai kota, (5) terminal peti kemas, (6) jalan tol Surabaya-Gresik, (7) jaringan listrik, telepon, gas dan air minum, (8) Bursa Efek Surabaya dan (9) lembaga keuangan perbankan dan non perbankan. Dukungan yang lain, yaitu adanya investasi pemerintah dalam membangun jembatan nasional Suramadu (Surabaya-Madura), pasar induk agribisnis Jemundo, jalan lintas selatan Jawa Timur, jalan tol Waru-Mojokerto, pendirian PT Jatim Investment Management, terminal peti kemas, melanjutkan proyek KA komuter dan rencana menerapkan konsep East Java Incorporated dan East Java Integrated Industries Zone.

Selain itu, Jawa Timur juga mempunyai potensi industri dengan produk-produk yang bisa dikembangkan sebagai produk-produk yang mempunyai daya saing yang tinggi dalam pasar nasional maupun internasional. Industri tersebut antara lain (1) supporting industries, pada saat ini terdapat 169 unit usaha yang termasuk dalam supporting industries dan 71 di antaranya khusus memproduksi komponen otomotif roda dua. Lokasi dari unit usaha tersebut tersebar di beberapa kabupaten atau kota yaitu Surabaya, Pasuruan, Sidoarjo, Malang, Gresik, Kediri dan Mojokerto, (2) industri perhiasan, mulai dari perhiasan emas, perak dan batu mulia. Terdapat 19 perusahaan menengah besar dan 1 500 unit usaha kecil pada sentra-sentra industri perhiasan emas, perak dan batu mulia yang tersebar di Surabaya, Gresik, Sidoarjo, Malang, Mojokerto, Lamongan, Pasuruan, Lumajang, Nganjuk, Pamekasan, Banyuwangi, Bangkalan, Ponorogo dan Pacitan. Sampai saat ini kontribusi produk perhiasan Jawa Timur terhadap nasional sebesar 25


(47)

persen, (3) industri kulit dan produk kulit, (4) industri makanan dan minuman dan (5) industri aromatik.

Untuk industri kulit, produk yang menonjol antara lain penyamakan kulit, alas kaki, tas, jaket, dan hasil kerajinan, misalnya wayang. Lokasi untuk produk alas kaki (sandal) adalah di Wedoro, Sidoarjo. Sedangkan untuk produk tas di kecamatan Tanggulangin kabupaten Sidoarjo dan produk sepatu di Mojokerto dan Magetan.

Produk industri makanan dan minuman yang mempunyai potensi untuk dikembangkan adalah produk olahan pertanian yaitu aneka kripik umbi-umbian dan buah-buahan, sari mengkudu dan kopi jahe serta produk olahan hasil laut yaitu krupuk udang, petis, terasi, teripang dan ikan asin. Jumlah industri makanan dan minuman tersebut berkisar 40 970 unit usaha yang tersebar di wilayah Surabaya, Sidoarjo, Kediri, Malang, Batu, Jombang, Pasuruan, Gresik, Lamongan, Banyuwangi, Pacitan, Jember dan Lumajang. Tenaga kerja yang terserap pada tahun 2004 sebesar 102 500 jiwa (BPM Jatim dan UNAIR, 2004).

Selain itu dengan upah minimum provinsi yang relatif lebih rendah daripada Bandung dan Tangerang serta adanya pelaksanaan pelayanan satu atap dalam satu hari (one day service) sebagai akibat adanya otonomi daerah diharapkan dapat menambah daya tarik Jawa Timur sebagai wilayah investasi.

2.2.4. Inflasi

Laju inflasi di Jawa Timur sejak tahun 1980-2006 berfluktuatif. Pada saat puncak krisis pada tahun 1998, inflasi melonjak mencapai 87.60 yang merupakan inflasi tertinggi pada kurun waktu 27 tahun tersebut. Bahkan lebih tinggi daripada inflasi nasional pada tahun yang sama yaitu sebesar 77.50 persen (Gambar 4).


(48)

Gambar 4. Laju Inflasi Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)

Inflasi pada tahun 1998, terutama bersumber dari terganggunya kegiatan produksi dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok. Khususnya kelompok bahan makanan. Nilai tukar yang lemah sebesar Rp 9 804.30 per Dollar AS telah mengakibatkan mahalnya harga barang impor yang kemudian mendorong kanaikan harga secara umum. Apalagi cukup banyak industri yang menggunakan bahan baku impor. Kerusuhan Mei tahun 1998 juga telah mengakibatkan rusaknya sentra-sentra perdagangan dan terganggunya jalur distrbusi. Di samping ekspansi moneter yang sangat besar juga ikut memberikan tekanan terhadap inflasi (Yudhoyono, 2004). Walaupun kejadian kerusuhan tersebut terjadi di Jakarta tetapi dampaknya terasa sampai di daerah terutama Jawa Timur.

Setelah sempat menurun pada tahun 1999 dan 2000, pada tahun 2001 inflasi di Jawa Timur meningkat kembali mencapai 14.10 persen. Meningkatnya tekanan inflasi ini bersumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan pemerintah pusat di bidang harga dan pendapatan yang meliputi kenaikan beberapa jenis bahan

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 Tahun

P

ers

en


(49)

bakar minyak (BBM), angkutan, listrik, air, minuman, rokok, serta kenaikan upah minimum provinsi dan gaji pegawai negeri.

Selanjutnya, pada tahun 2002 dan 2003 inflasi menurun menjadi 9.38 persen dan 3.59 persen. Kemudian naik kembali pada tahun 2004 dan bahkan pada tahun 2005 meningkat tajam menjadi 15.89. Kenaikan inflasi ini dipicu oleh kenaikan harga-harga di kelompok pendidikan, trasportasi dan kesehatan.

2.2.5. Pengangguran

Jumlah pengangguran terbuka di Jawa Timur antara tahun 1882-1992 relatif konstan pada angka 300 ribu jiwa. Pada tahun 1994 dan 1995 sempat terjadi lonjakan jumlah pengangguran, tetapi pada tahun 1996 dan 1997 jumlah pengangguran berhasil ditekan. Hal tersebut tidak berlangsung lama, sebab sejak tahun 1998 jumlah pengangguran terus meningkat hingga pada tahun 2005 yang jumlahnya mencapai 1.6 juta jiwa. Pada tahun 2006 jumlah pengangguran mengalami penurunan menjadi 1.5 juta jiwa.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 menyebabkan lumpuhnya dunia usaha. Kenaikan biaya produksi akibat penggunaan bahan baku impor di satu sisi, serta melemahnya daya serap pasar di sisi lain, telah memaksa berbagai sektor mengurangi skala usahanya. Akibatnya banyak terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga jumlah pengangguran meningkat. Jumlah pengangguran yang sempat menurun pada tahun 1996 dan 1997 meningkat kembali pada tahun 1998. Pada tahun yang sama pengangguran mencapai 720 ribu jiwa atau 4.10 persen dari total angkatan kerja lebih besar daripada jumlah peengangguran pada tahun 1997, yaitu 569 ribu jiwa atau 3.32


(50)

persen. Perkembangan jumlah pengangguran terbuka dan tingkat pengangguran terbuka di Jawa Timur tahun 1980-2006 dapat dilihat dalam Gambar 5 dan 6.

0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 1.8

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006

Tahun

Ju

ta J

iw

a

Jumlah Pengangguran Terbuka

Gambar 5. Perkembangan Jumlah Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit)

Pada tahun 2000 perekonomian Indonesia menunjukkan sedikit penguatan. Situasi ekonomi dunia membaik disertai dengan permintaan domestik yang meningkat telah memungkinkan sejumlah sektor ekonomi, termasuk usaha kecil dan menengah meningkatkan kegiatan usaha mereka. Akan tetapi dampak positif peningkatan perekonomian Indonesia tersebut kurang dirasakan di Jawa Timur terutama dari sisi penyerapan tenaga kerja. Hal ini terbukti dengan semakin meningkatnya jumlah pengangguran terbuka dari tahun 2000-2006. Pada tahun 2003, jumlah persentase jumlah pengangguran mencapai angka yang tertinggi yaitu 8.68 persen dari total angkatan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 5.83 persen belum mampu menciptakan tambahan lapangan kerja, lapangan kerja atau kesempatan kerja malah menurun menjadi 485 814 jiwa. Walaupun pada tahun yang sama jumlah angkatan kerja juga menurun sekitar 179 973 jiwa. Oleh


(51)

karena penurunan kesempatan kerja lebih besar daripada penurunan angkatan kerja maka jumlah pengangguran meningkat.

0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0

1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006

Tahun

P

e

rsen Tingkat

Pengangguran Terbuka

Gambar 6: Tingkat Pengangguran Terbuka di Jawa Timur Tahun 1980-2006

Sumber: BPS Provinsi Jawa Timur (Berbagai Tahun Terbit) diolah

Peningkatan jumlah pengangguran ini tidak terlepas dari faktor kurang kondusifnya kondisi dunia usaha dan iklim investasi di Indonesia terutama di Jawa Timur. Berbagai permasalahan struktural dan ketidakpastian aturan dan hukum di Indonesia maupun di daerah mengakibatkan investor enggan menanamkan modalnya sehingga berdampak pada lambatnya penciptaan lapangan kerja baru dan meningkatnya jumlah pengangguran. Hal ini ditunjukkan dengan rendahnya realisasi PMDN dan PMA tahun 2003 sebesar 23 persen. Faktor lain yang menyebabkan tingginya angka pengangguran adalah (1) rendahnya kualitas tenaga kerja Jawa Timur yang disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana pelatihan yang dimiliki, terbatasnya kuantitas dan kualitas instruktur yang memenuhi kebutuhan pelatihan dan terbatasnya kompetensi tenaga kerja yang dibutuhkan. Kualitas angkatan kerja yang rendah ini berpengaruh pada rendahnya daya serap atau adaptabilitas teknologi dan berdampak pada kurang


(52)

berkembangnya teknologi, (2) ketidaktahuan pasar kerja akibat belum optimalnya penyebaran informasi pasr kerja, (3) kurangnya kepedulian dunia usaha dalam melaporkan dan mempublikasikan lowongan pekerjaan yang tersedia dan (4) masih rendahnya minat angkatan kerja untuk menciptakan lapangan kerja yang mandiri (Dinas Tenaga Kerja Jawa Timur, 2005).

Secara keseluruhan kondisi tersebut berpengaruh pada rendahnya tingkat upah, tingginya tingkat PHK, serta rendahnya jaminan kesejahteraan karena tenaga kerja tidak memiliki bargaining power akibat keterbatasan kompetensi dan kualifikasi yang dimiliki. Rendahnya upah di Jawa Timur juga didukung oleh pernyataan Ritongga (2005) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2006 dari 17 provinsi yang sudah menetapkan UMP-nya, DKI Jakarta mencatat UMP tertinggi yaitu Rp 819 100 dan Jawa Timur sebesar Rp 390 000 yang merupakan UMP terendah. Dengan keadaan UMP yang rendah tersebut di satu sisi menyiratkan tingginya pengangguran dan di sisi lain menunjukkan bahwa pada tingkat upah berapapun tenaga kerja di Jatim mau bekerja. Sehingga adanya kenaikan upah akan dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Karena pemintaan tenaga kerja berkurang sementara penawarannya semakin bertambah. Namun apabila Pemprov Jatim dapat memanfaatkan peluang ini maka dengan infrastruktur (listrik dan jalan) yang lebih baik dan tenaga kerja yang lebih murah maka Jawa khususnya Jawa Timur menjadi lebih kompetitif bagi investor dibanding propinsi lain di luar Jawa terutama Sumatera yang dikenal mempunyai upah yang tinggi dengan kondisi infrastruktur yang kurang baik.

Pada dasarnya sistem penetapan upah dilakukan untuk mengurangi eksploitasi buruh dan sebaliknya supaya pengusaha tidak mendapat tekanan dari


(53)

aktivis gerakan buruh. Ketentuan UMP itu sendiri hanya diberlakukan bagi pekerja dengan masa kerja kurang dari setahun. Sedangkan upah bagi pekerja lama diserahkan sepenuhnya kepada keputusan bipatrit (pekerja dan majikan). Secara logis UMP yang lebih tinggi akan mendorong pekerja senior meminta kenaikan upah. Ada yang menyebut dengan istilah upah sundulan. Oleh karena itu pengusaha berharap kenaikan UMP seminimum mungkin, karena akan membuat buruh lama menuntut upah yang lebih tinggi.

Penetapan upah buruh di Indonesia dilaksanakan setiap tahun melalui proses yang panjang. Pada awalnya Dewan Pengupahan daerah (DPD) yang terdiri dari birokrat, akademisi, buruh dan pengusaha mengadakan pertemuan, membentuk tim survei dan turun ke lapang untuk mencari tahu harga kebutuhan pokok. Setelah survei di sejumlah kota dianggap representatif diperoleh angka Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dulu disebut Kebutuhan Hidup Minimum (KHM). Berdasarkan KHL, DPD mengusulkan UMP ke Gubernur. Kemudian berdasarkan UMP baru ditetapkan pula upah minimum provinsi sektoral (UMPS). Setelah otonomi diberlakukan, dikenal pula istilah upah minimum kabupaten/kota (UMK). Angkanya merupakan hasil perhitungan Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota (DPK). Selanjutnya DPK menggunakan UMP dan hasil survei KHL sebagai bahan pertimbangan menghitung dan mengusulkan UMK kepada Pemerintah Kabupaten/Kota.

2.3. Tinjauan Studi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Tinjauan studi dampak investasi baik swasta maupun pemerintah terhadap kinerja perekonomian adalah sebagai berikut: studi yang dilakukan oleh Macmud (2002) mengenai Analisis Investasi dan Pertumbuhan Ekonomi di Sumatera


(54)

Selatan dengan menggunakan model Rana Dowling. Dari hasil studi tersebut diketahui bahwa variabel Bantuan Pemerintah Pusat (BPP) dalam bentuk-bentuk program sektoral di Provinsi Sumatera Selatan, investasi swasta, tabungan daerah, ekspor daerah, pertumbuhan dan angkatan kerja mempunyai pengaruh positif dan nyata terhadap pertumbuhan ekonomi. Selain itu, berdasarkan hasil estimasi fungsi tabungan dapat dilihat bahwa variabel bantuan pemerintah pusat, investasi swasta, dan ekspor daerah mempunyai pengaruh positif dan signifikan (nyata) terhadap tabungan daerah Sumatera Selatan.

Selanjutnya Susanti (2003) melakukan studi tentang Dampak Perubahan Investasi dan Produktivitas Sektor Perikanan terhadap Kinerja Ekonomi Makro dan Sektoral di Indonesia menyimpulkan bahwa pengaruh peningkatan investasi output sektor perikanan terhadap kinerja sektor perekonomian secara umum berpengaruh positif, yaitu meningkatkan output sektoral. Hasil yang sama diperoleh dari sisi perubahan produktivitas, perubahan produktivitas baik produktivitas total, kapital maupun tenaga kerja berpengaruh dalam peningkatan output sektor perekonomian. Apabila investasi dan produktivitas dirubah secara bersama-sama maka perubahan output yang terjadi di sektor perikanan relatif lebih besar dibandingkan bila dirubah secara parsial.

Konsumsi rumah tangga sektoral juga mengalami peningkatan akibat peningkatan investasi dan produktivitas. Harga output pada sektor perikanan, mengalami penurunan akibat adanya peningkatan output. Harga output pada sektor perekonomian lain bergerak mengikuti mekanisme permintaan penawaran.

Dalam perekonomian makro, peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan memberikan kontribusi positif bagi peningkatan GDP, laju


(55)

inflasi juga mampu ditekan dengan adannya peningkatan investasi dan produktivitas di sektor perikanan. Konsumsi agregat dan penyerapan tenaga kerja agregat juga mengalami peningkatan. Laju peningkatan ekspor meningkat jika dibandingkan dengan laju peningkatan impor akibat perubahan investasi dan produktivitas sektor perikanan sehingga neraca perdagangan positif.

Panjaitan et. al. (2004) melakukan penelitian tentang Dampak

Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian Daerah Sumatera Utara: Pendekatan Ekonometrika. Berawal dari adanya pemikiran bahwa dengan munculnya UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah sebagai konsekuensi logis dari otonomi daerah memungkinkan daerah untuk menambah penerimaanya dari Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dengan bertambahnya penerimaan daerah berarti bertambah juga pengeluaran daerah baik untuk keperluan rutin maupun pembangunan seperti pembangunan infrastruktur: jalan, jaringan listrik, sarana air bersih dan lain-lain. Pengeluaran pemerintah untuk pembangunan dikenal pula dengan istilah investasi pemerintah. Pengeluaran pemerintah yang lebih besar akan meningkatkan permintaan agregat yang pada gilirannya akan meningkatkan transaksi ekonomi. Peningkatan tersebut akan meningkatkan pendapatan masyarakat dan kesempatan kerja yang pada akhirnya akan memberikan kepastian ekonomi dan politik.

Dari studi tersebut diperoleh hasil seperti yang diharapkan bahwa kebijakan desentralisasi fiskal memberikan dampak positif terhadap PDRB, kesempatan kerja dan distribusi pendapatan antar daerah di Sumatera Utara serta memberikan dampak negatif terhadap tingkat inflasi di Sumatera Utara. Selain itu dapat


(56)

diketahui juga bahwa inflasi dipengaruhi oleh PDRB, tingkat investasi, tingkat

upah daerah, defisit fiskal dan dummy krisis tahun 1998. Sedangkan tingkat

investasi itu sendiri dipengaruhi secara positif tetapi tidak signifikan oleh PDRB, secara negatif dan signifikan dipengaruhi oleh tingkat upah dan tingkat suku bunga.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Riyanto dan H. Siregar (2005) dengan mengambil judul: Dampak Dana Perimbangan terhadap Perekonomian Daerah dan Pemerataan antar Wilayah. Hasil dari studi tersebut adalah (1) tidak berbeda dengan kondisi sebelum desentralisasi fiskal, porsi dana perimbangan rata-rata mencapai sekitar 80 persen dari penerimaan daerah. Jadi dana perimbangan masih merupakan sumber utama penerimaan daerah, (2) berdasarkan hasil analisis model ekonometrika ditemukan bahwa setelah desentralisasi fiskal, dampak dana perimbangan cukup signifikan meningkatkan anggaran pemerintah daerah (APBD), tetapi tidak berdampak secara signifikan terhadap perekonomian daerah. Hal ini disebabkan oleh belanja rutin yang masih dominan dalam komponen APBD, kemungkinan terjadinya birokrasi pemerintah yang tidak efisien, dan proses pembangunan perencanaan pembangunan di daerah yang kurang baik dan (3) dampak dana perimbangan belum mencapai kondisi pemerataan pembangunan wilayah walau secara fiskal terjadi pemerataan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah, serta antar pemerintah daerah. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa kesenjangan perekonomian antara daerah bukan semata-mata di tentukan oleh besarnya kecilnya dana perimbangan di suatu daerah, penyebaran investasi yang sangat terbatas, juga merupakan faktor kesenjangan dan rendahnya pertumbuhan ekonomi daerah.


(1)

127

Lampiran 4b. Hasil Validasi Model Ekonometrika Dampak Investasi

Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur

The SAS System SIMNLIN Procedure

Model Summary

Model Variables 6

Endogenous 6

Parameters 37

RANGE Variable TAHUN Equations 6

Number of Statements 6

The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Summary Dataset Option Dataset DATA= INVEST OUT= HASIL Variables Solved 6

Solution RANGE TAHUN First 1993

Last 2006

Solution Method NEWTON CONVERGE= 1E-8 Maximum CC 2.1176E-10 Maximum Iterations 2

Total Iterations 28

Average Iterations 2

Observations Processed Read 14

Solved 14

First 14

Last 27


(2)

Lampiran 4b. Lanjutan

The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1993 To 2006

Descriptive Statistics Actual Predicted

Variable Nobs N Mean Std Mean Std PDRB 14 14 187291 46300 194060 44788 PMDNR 14 14 3889003 768460 4463617 784629 PMAR 14 14 495889 369752 517814 337476 INF 14 14 10.1250 5.7257 11.5936 4.7596 UN 14 14 968725 419477 942843 371038 TK 14 14 16744449 679033 16770331 694203

Statistics of Fit

Mean Mean % Mean Abs Mean Abs % RMS RMS %

Variable N Error Error Error Error Error Error R-Square

PDRB 14 6769 4.1163 8493 4.96426 10888 6.7143 0.9404 PMDNR 14 574614 18.4401 844391 24.98530 995781 33.3038 -0.8083 PMAR 14 21925 22.4485 124868 34.41996 170045 61.1348 0.7722 INF 14 1.4686 24.8875 3.2038 39.71857 3.8683 52.4021 0.5084 UN 14 -25882 0.3931 139893 15.74847 165470 18.0448 0.8324 TK 14 25882 0.1564 139893 0.84013 165470 0.9958 0.9360

Theil Forecast Error Statistics

MSE Decomposition Proportions Inequality Coef

Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

PDRB 14 118542930 0.982 0.387 0.003 0.610 0.018 0.596 0.0566 0.0278 PMDNR 14 9.91581E11 0.410 0.333 0.207 0.460 0.000 0.667 0.2515 0.1173 PMAR 14 2.89152E10 0.881 0.017 0.004 0.979 0.033 0.950 0.2785 0.1391 INF 14 14.96406 0.764 0.144 0.009 0.847 0.058 0.798 0.3355 0.1612 UN 14 2.73804E10 0.915 0.024 0.006 0.970 0.080 0.896 0.1576 0.0804 TK 14 2.73804E10 0.970 0.024 0.043 0.932 0.008 0.968 0.0099 0.0049


(3)

129

Lampiran 4b. Lanjutan

The SAS System SIMNLIN Procedure Simultaneous Simulation Solution Range TAHUN = 1993 To 2006 Theil Relative Change Forecast Error Statistics

Relative Change MSE Decomposition Proportions Inequality Coef Variable N MSE Corr Bias Reg Dist Var Covar U1 U (R) (UM) (UR) (UD) (US) (UC)

PDRB 13 0.00444 0.764 0.388 0.087 0.524 0.314 0.298 0.6899 0.3237 PMDNR 13 0.07346 0.670 0.283 0.001 0.715 0.114 0.603 0.8641 0.4459 PMAR 13 0.16405 0.709 0.067 0.041 0.892 0.035 0.898 0.7089 0.3623 INF 13 0.20645 0.124 0.139 0.256 0.606 0.033 0.829 1.1464 0.5441 UN 13 0.04268 0.282 0.039 0.031 0.930 0.299 0.663 0.8448 0.5521 TK 13 0.0001051 0.937 0.031 0.041 0.928 0.141 0.827 0.3360 0.1759


(4)

Lampiran 4c. Hasil Simulasi Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur

Variabel Simulasi Dasar

Simulasi 1

Simulasi 2

Simulasi 3

Simulasi 4

Simulasi 5

Simulasi 6

Simulasi 7

Simulasi 8

Simulasi 9

Simulasi 10

PDRB 194 060 0.012 0.441 -0.681 -0.020 0.375 -0.537 -0.006 0.449 0.442 -0.701

PMDNR 4 463 617 - 1.240 -2.082 -0.042 - - - 1.078 1.257 -2.125

PMAR 517 814 0.000 - -15.795 -0.486 - -15.795 -0.486 - - -16.282

INF 11.594 0.052 1.378 -2.689 -0.060 1.101 -2.086 0.003 0.784 1.383 -2.750

UN 942 843 -0.053 -0.442 2.400 0.011 -0.158 1.782 -0.053 1.437 -0.446 2.411

TK 16 770 331 0.003 0.025 -0.135 -0.001 0.009 -0.100 0.003 -0.081 0.025 -0.136

Keterangan :

Simulasi 1 :

Peningkatan PMDN sebesar 15 %

Simulasi 2 :

Peningkatan PMA sebesar 15 %

Simulasi 3 :

Peningkatan upah Minimum Provinsi sebesar 18 %

Simulasi 4 :

Peningkatan Suku Bunga sebesar 1.5 %

Simulasi 5 :

Kombinasi (1) dan (2)

Simulasi 6 :

Kombinasi (1) dan (3)

Simulasi 7 :

Kombinasi (1) dan (4)

Simulasi 8 :

Kombinasi (2) dan (3)

Simulasi 9 :

Kombinasi (2) dan (4)

Simulasi 10 :

Kombinasi (3) dan (4)


(5)

131

Lampiran 5. Beberapa Peraturan Daerah Kabupaten/Kota yang Dinilai

Memberatkan Bagi Investor PMDN dan PMA

1.

Peraturan Daerah Kabupaten Gresik :

a.

Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000 tentang Retribusi Ijin Gangguan

(HO).

b.

Peraturan Daerah Nomor 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga

kepada Pemerintah Kabupaten Gresik.

c.

Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2001 tentang Pengenaan Pajak Parkir.

d.

Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Ijin Pemanfaatan Air

Bawah Tanah (ABT) dan Air Pemukiman.

e.

Peraturan Daerah Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pegelolaan Sumber

Energi dan Ketenagalistrikan.

2. Peraturan Daerah Kota Surabaya Nomor 1 Tahun 2003 tertanggal 18 Januari

2003 tentang Retribusi Pelayanan di Bidang Ketenagakerjaan.

3.

Peraturan Daerah Kabupaten Jombang :

a.

Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Penggunaan

Jalan.

b. Peraturan Daerah Nomor 6 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Masuk Kota.

4.

Peraturan Daerah Kabupaten Blitar :

a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kartu Ternak.

b.

Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Pemeriksaan Daging

yang Berasal dari Luar Daerah dan Dipasarkan di Kabupaten Blitar.

5.

Peraturan Daerah Kabupaten Magetan :

a. Peraturan Daerah Nomor 23 Tahun 2000 tentang Retribusi Kepemilikan

Kartu Ternak.

b. Peraturan Daerah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Retribusi Pemeliharaan

Jalan.

6.

Peraturan Daerah Kabupaten Probolinggo :

a. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2001 tentang Retribusi Kartu Ternak

b. Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2001 tentang Retribusi Ijin Dispensasi

Penggunaan Jalan Kabupaten Probolinggo.

7.

Peraturan Daerah Kabupaten Kediri Nomor 18 Tahun 2001 tentang Retribusi

Ijin Dispensasi Kelas Jalan.


(6)

Lampiran 5. Lanjutan

8.

Peraturan Daerah Kabupaten Bondowoso Nomor 10 Tahun 2000 tentang

Retribusi Kartu Identitas Ternak.

9.

Peraturan Daerah Kabupaten Pasuruan Nomor 18 Tahun 2001 tentang

Retribusi Kartu Ternak.