50 menyesuaikan ekspektasi inflasi mereka sepanjang waktu maka trade-off antara
inflasi dan pengangguran akan bertahan dalam jangka pendek. Pembuat kebijakan tersebut tidak bisa mempertahankan inflasi di atas inflasi yang diharapkan
dengan demikian pengangguran di bawah tingkat alamiah selamanya. Secara berangsur-angsur, ekspektasi beradaptasi pada sebesar apapun tingkat inflasi yang
dipilih pembuat kebijakan tersebut. Dalam jangka panjang, dikotomi klasik berlaku, pengangguran kembali ke tingkat alamiah dan tidak ada trade-off antara
inflasi dan pengangguran.
Inflasi yang diharapkan
rendah Inflasi yang
diharapkan tinggi
Pengangguran, u Inflasi,
m
Gambar 9. Pergeseran dalam Trade-off Jangka Pendek
Sumber: Mankiw 2003
3.6. Otonomi Daerah
Otonomi daerah menurut UU No. 22 Tahun 1999 adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Berdasarkan penjelasan UU No. 25 Tahun 1999 disebutkan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan, NKRI
dibagi atas daerah-daerah provinsi, kabupaten dan kota. Dan tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus sendiri urusan
51 pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan
pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia dapat dipandang sebagai suatu
strategi yang memiliki tujuan ganda, yaitu 1 merupakan suatu strategi untuk merespon tuntutan masyarakat daerah terhadap sharing of distribution income dan
kemandirian sistem manajemen di daerah dan 2 memperkuat perekonomian daerah untuk memperkokoh perekonomian nasional dalam rangka menghadapi era
perdagangan bebas. Selain itu, otonomi daerah yang diberlakukan sejak awal Januari tahun 2001
juga memberikan kesempatan yang luas bagi daerah untuk meningkatkan kinerja daerah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat di daerah. Prinsip otonomi
bukanlah sistem sendiri, melainkan subsistem dari sistem pemerintahan nasional, dengan asas desentralisasi dilaksanakan secara bersama dengan dua asas lainnya
dekonsentrasi dan perbantuan. Kebijakan nasional di seluruh wilayah negara adalah mengikat dan harus dipatuhi daerah-daerah. Ini berarti kebijakan
pembangunan nasional dilakukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berhak menetapkan kebijakan daerah sebagai penjabaran dari kebijakan nasional.
Dasar acuan dari pelaksanaan otonomi daerah adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang direvisi menjadi UU No. 32 Tahun 2004
dan UU No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah yang selanjutnya direvisi menjadi UU No. 33 Tahun 2004. Pada
intinya UU No. 32 Tahun 2004 mendesentralisasikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mengambil keputusan mengenai perencanaan dan
pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan kepada pemerintah daerah,
52 sedangkan UU No. 33 tahun 2004 merubah secara mendasar keseimbangan
keuangan pusat dan pemerintah daerah melalui pembagian hasil revenue sharing baik dari pendapatan pajak maupun non pajak. Berlakunya undang-undang
tersebut akan memberikan tanggung jawab yang besar kepada daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pengelolaan daerah.
Kebijakan lain yang dikeluarkan pemerintah adalah pemerintah daerah diberi kewenangan yang lebih luas, nyata dan bertanggung jawab dalam
mengelola administrasi pemerintahan dan keuangan termasuk penanaman modal yang tertuang dalam UU No. 34 Tahun 2000. Undang-Undang tersebut lahir
sebagai penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997, yang intinya memberikan peluang kepada kabupaten dan kota dalam menggali potensi sumber-sumber
keuangannya dengan menetapkan jenis pajak dan retribusi daerah. Keleluasaan yang diberikan kepada pemerintah daerah untuk
mengoptimalkan Pendapatan Asli Daerah PAD melalui pajak dan retribusi daerah bagi sejumlah daerah berhasil meningkatkan PAD-nya. Namun di sisi lain
dapat menimbulkan pengaruh negatif yaitu akan menyebabkan ekonomi biaya tinggi high cost economy apabila penerapan pajak dan retribusi dimaksud
berlebihan dan tidak memperhitungkan daya dukung perekonomian lokal dan nasional. Contohnya 1 pengenaan pungutan atas lalu lintas barang dan
penumpang antar provinsi atau antar kabupaten dan 2 munculnya peraturan- peraturan daerah Perda yang disinyalir dapat menghambat perkembangan
investasi misalnya yang terjadi di Jawa Timur. Menurut hasil studi yang dilakukan BPM Jawa Timur dan UNAIR 2004 dapat diketahui bahwa terdapat
9 KabupatenKota yang mengeluarkan Perda-Perda yang dinilai memberatkan
53 investor, yaitu Kabupaten Gresik, Jombang, Blitar, Magetan, Probolinggo, Kediri,
Bondowoso, Pasuruan dan Kota Surabaya.Total Perda yang dikeluarkan adalah 17 Perda seperti yang tercantum dalam Lampiran 5. Kabupaten yang
mengeluarkan perda bermasalah terbanyak adalah Kabupaten Gresik. Salah satunya yaitu Perda No. 39 Tahun 2000 tentang Sumbangan Pihak Ketiga kepada
Pemerintah Kabupaten Gresik. Permasalahannya adalah 1 tidak seharusnya sumbangan di-Perda-kan, mengingat sumbangan bersifat sukarela dan 2 makin
diperkuatnya Perda tersebut dengan terbitnya surat Bupati Gresik Nomor 97021J403.632003 tertanggal 23 Maret Tahun 2003 perihal Permintaan
Sumbangan kepada para pengusaha di Kabupaten Gresik. Di sisi lain adanya otonomi daerah juga memberikan dampak positif
khususnya terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan kemudahan dalam hal perijinan. Dengan adanya otonomi daerah, perijinan penanaman modal dapat
diselesaikan di daerah yang sebelumnya harus dilakukan di pusat, contohnya ijin untuk PMA. Pelimpahan wewenang ini diharapkan dapat mempermudah proses
perijinan dengan biaya yang lebih murah sehingga iklim usaha di daerah menjadi lebih kondusif dan dapat menarik investor untuk berinvestasi di daerah tersebut.
Beberapa kotakabupaten yang mulai menerapkan sistem perijinan satu atap merupakan langkah awal untuk menuju proses perijinan yang cepat, transparan
dan mudah. Tidak terkecuali provinsi Jawa Timur, pada tahun 2008 hampir 80 persen daerah di Jawa Timur telah menerapkan pelayanan satu atap dalam sehari
atau one day service dalam pengurusan ijin berinvestasi Dinas Informasi dan Komunikasi Jatim, 2007. Penciptaan iklim investasi yang kondusif juga didukung
oleh regulasi pemerintah pusat yaitu dengan dikeluarkannya UU No. 1 Tahun
54 2007 tentang Perpajakan dan Peraturan Mendagri No. 24 Tahun 2006 tentang
Pedoman Pelayanan Satu Pintu. Kemudahan-kemudahan tersebut diharapkan dapat menarik investor untuk berinvestasi di Jawa Timur, yang pada akhirnya
dapat meningkatkan realisasi investasi baik PMDN maupun PMA. Adanya dampak positif dan negatif akibat pelaksanaan otonomi daerah juga
didukung oleh Bahl 1998 yang menyatakan bahwa terdapat pengaruh positif dan negatif dari otonomi daerah atau desentralisasi. Kelebihan atau pengaruh positif
desentralisasi adalah sebagai berikut 1 kesejahteraan akan lebih tinggi karena penyediaan jasa dan barang publik lebih cocok dengan permintaan penduduk,
2 pemerintah daerah lebih bertanggung jawab untuk kualitas barang dan jasa yang disediakan, 3 penduduk memiliki keinginan untuk membayar yang lebih
tinggi atas barang dan jasa publik karena preferensi mereka lebih dihargai dan 4 meningkatkan pendapatan pemerintah karena pemerintah daerah mengenal
objek pajak lebih baik sehingga pendapatan dari pajak lebih tinggi. Sedangkan kelemahan desentralisasi adalah 1 kontrol terhadap inflasi menjadi lebih sulit
karena pengeluaran oleh pemerintah daerah lebih sulit dikendalikan, 2 usaha untuk mengoptimalkan sumber dana dalam pembangunan pertanian, industri dan
infrastruktur publik akan lebih sulit dan 3 ketimpangan antar daerah menjadi lebih tinggi.
Selanjutnya, Martinez 2001 menyatakan bahwa desentralisasi berhubungan dengan efisiensi, distribusi sumberdaya regional dan stabilisasi
ekonomi makro. Pelaksanaan desentralisasi akan memperbaiki efisiensi ekonomi dan distribusi sumberdaya regional tapi mempersulit stabilitas ekonomi makro.
55
IV. METODOLOGI 4.1. Kerangka Pemikiran
Berdasarkan studi literatur dan kerangka teoritis yang digunakan, Dampak Investasi Terhadap Kinerja Perekonomian Jawa Timur: Studi Komparasi
Penanaman Modal Domestik PMDN dan Penanaman Modal Asing PMA banyak melibatkan variabel-variabel yang saling mempengaruhi satu dengan yang
lainnya. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari variabel endogen dan eksogen. Yang termasuk dalam variabel-variabel endogen
dalam penelitian ini adalah variabel PDRB, PMDN, PMA, tenaga kerja, inflasi, dan pengangguran. Sedangkan variabel-variabel eksogennya adalah angkatan
kerja, upah minimum provinsi, nilai tukar, suku bunga, produksi listrik yang dibangkitkan, panjang jalan dan dummy otonomi daerah. Keseluruhan variabel-
variabel tersebut beserta keterkaitannya satu sama lain menjadi dasar perancangan model ekonometrika yang akan digunakan.
Pada Gambar 10 menunjukkan hubungan ekonomi antara variabel yang terkait dengan kinerja perekonomian Jawa Timur. Adapun bentuk frame oval
menunjukkan bahwa variabel-variabel tersebut termasuk ke dalam endogenous variables
, sedangkan bentuk frame segi empat menggambarkan bahwa variabel- variabel tersebut adalah variabel eksogen exogenous variables. Garis panah
yang menuju ke suatu variabel menunjukkan bila variabel tersebut dipengaruhi variabel-variabel lainnya. Sedangkan garis panah yang meninggalkan variabel
tersebut mengindikasikan bahwa variabel tersebut mempengaruhi variabel lainnya. Hubungan simultan terlihat ketika suatu variabel mempengaruhi
sekaligus dipengaruhi oleh variabel lainnya.