5. SOARA BATAK Pers Di Tapanuli 1945 – 1950

dalam surat kabarnya bahwa beliau pernah ditangkap di tengah jalan sehinnga dia tidak diperbolehkan untuk pulang. Parada Harahap akhirnya ditahan dalam tahanan selama 2 hari, selanjutnya dia di keluarkan kembali karena berita yang dimuatnya telah dibaca oleh Residen yang menyebabkan Residen tersebut turun tangan. Akibat dari tindakan pemerintah kolonial Belanda terhadap dirinya, selanjutnya bukan membuat beliau menjadi jera bahkan berita-berita yang dimuat oleh surat kabarnya pun semakin radikal dan sangat keras menghantam pemimpinan Belanda di Tapanuli. Oleh sebab itu hal ini sangat dirasakan di kalangan pegawai-pegawai Belanda, untuk itu mereka menjadi sangat hati-hati terhadap apa saja yang dimuat oleh surat kabar Sinar Merdeka, sebab berita itu akan sampai kepada parket pokrol jendaral Jaksa Agung. Setiap nomor yang terbit selalu saja ada terdapat kolom yang digaris merah dan dikirim kepada pembesar justisi Belanda. Oleh karena itu wajar saja kalau masyarakat rendahan Suara Merdeka menjadi tumpuan harapan untuk menyampaikan segala keluh kesah mereka dan ratap tangis terhadap perbuatan serta tindakan sewenang-wenang para pegawai-pegawai Belanda. Dimana saat itu Tapanuli dalam suasana gelap dari keadilan. Tampilnya Parada Harahap oleh rakyat dianggap sebagai pahlawan pena yang sangat berperan dalam merebut kemenangan di medan perang. Selama 2 tahun Parada Harahap berada di Padang Sidempuan, maka tidak kurang 12 kali beliau menghadapi delik pers. Untuk itu tidak kurang dari 7 bulan juga ia harus keluar masuk penjara. 2. 2. 5. SOARA BATAK Tepat bulan November 1919 lahirlah sebuah surat kabar bernama “Soara Batak”. Surat kabar ini diterbitkan oleh Saban Sabtu oleh suatu badan hokum yang sengaja dibentuk sebagai oleh N.V. Soara Batak yang terbit di Tarutung. Tujuan dari penerbitan Universitas Sumatera Utara surat kabar ini adalah sebagai pembawa suara kumpulan “Hatopan Kristen Batak”. Surat kabar ini kemudian dicetak oleh Philemon bin Haroen Siregar di Tarutung, sedangkan yang menjadi pimpinan redaksinya adalah M.H Manulang, beliau adalah seorang tokoh yang sudah lama dikenal oleh masyarakat Tapanuli sebagai pemimpin rakyat, dimana sebelumnya beliau juga pernah mendirikan surat kabar tersebut di Balige. Terkesan dari nomor permulaan awal terbitnya, surat kabar ini lahir karena hasil dorongan hati yang keras supaya daerah tanah Batak memiliki sarana media pers sendiri. Soara Batak lahir karena masyarakat Kristen Batak di Tapanuli sudah mulai jenuh dan bosan terhadap dominasi yang berasal dari Rijnsche Zending, yakni sebuah organisasi Kristen Protestan yang berpusat di Barmen Jerman. Sehubungan dengan kesediaan pemerintah Hindia Belanda untuk menyerahkan konsesi perkebunan besar asing di wilayahnya kepada H.V.A.Handles Vereeniging Amsterdam yang sudah terdengar beritanya sejak tahun 1916 dan akhirnya terjadi juga. Oleh karena itu masyarakat Tapanuli hanya bisa terdiam melihat tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda di Tapanuli, khususnya bagi masyarakat di bagian Utara yang merupakan penduduk asli Batak yang homogen terhadap hukum-hukum adat yang sudah mereka rasakan dari abad ke abad. Maka dari itu, melalui surat kabar Soara Batak akhirnya M.H. Manullang berusaha untuk ikut bergerak memperjuangkan segala tindakan yang dilakukan oleh pemerintah Belanda yang dianggap telah merugikan rakyat Tapanuli. Perasaan anti kolonialisme M.H. Manullang sangat tajam sebagaimana dapat dilihat pada kupasan berikut: “Saudara-saudara kita jang menjadi koeli selamanja hidoep sebagai kerbau pedati dan kerbau badjak, kena hantam poekoel, tjoetji maki dan berbagai siksaan kaoem planters toean-toean keboen sedjak dari ketjil sampai chef-nja semoea memandang sebagai perkakas jang tidak berperasaan boleh dipengapakan sadja”. Universitas Sumatera Utara Gaya tulisan M.H. Manullang memang bisa dibilang provokatif untuk ukuran masa itu. Barangkali ini juga sebagai cerminan dari tipologi masyarakat Batak yang kalau bicara biasanya lugas dan tagas. Ketika Soara Batak pertama kali terbit, surat kabar ini juga sudah langsung menyatakan solidaritasnya dan menyindir pedas atas penangkapan dan penahanan terhadap Parada Harahap. Sebagaimana diketahui, Parada Harahap dikenal sebagai raja delik pers dari Sumatera Utara. Kehidupan bermasyarakat dan berpolitik yang ia lalui selama tujuh tahun 1910- 1917 di Pulau Jawa, membuat MH Manullang cukup matang untuk berjuang melawan kekejaman pemerintah kolonial dan gaya otoriterisme petinggi Zending. Pergaulannya dengan tokoh-tokoh Syarikat Islam seperti, H. Agus Salim, HOS Tjokroaminoto, dan Abdul Muis telah memberikan manifest baru dalam perjuangan. Dukungan mereka menebalkan tekad M.H. Manullang untuk meninggalkan sekolah Methodist, dan kembali ke Tarutung, Tapanuli, daerah asalnya. Model organisasi Syarikat Islamlah yang mengilhami M.H Manullang mendirikan Hatopan Kristen Batak Hatopan berarti Syarikat pada tahun 1918 di Tapanuli Utara. Dengan tema Hamajuon Bangso Batak dan Patanakkohon Hakristenon mewujud nyatakan kekristenan, organisasi ini segera mendapat sambutan luas. Atas dukungan teman-temannya, seperti Guru Polin Siahaan, Sutan Sumurung Lumbantobing, dan lain-lainnya, serta tokoh-tokoh Sarikat Tapanuli, HKB berkembang pesat sebagai komunitas yang gigih memperjuangkan perbaikan kehidupan sosial, ekonomi, politik dan agama. Maka langkah selanjutnya MH. Manullang bersama dengan pemimpin gereja setempat mengadakan pertemuan, rapat- rapat besar, kongres untuk mendesak perbaikan kehidupan dan hubungan yang harmonis antar masyarakat setempat dengan pemerintah Belanda. Di sisi lain, HKB banyak dihujat Universitas Sumatera Utara oleh pemerintah kolonial Belanda dan petinggi zending Jerman, yang menuduh M.H Manullang sudah ‘menjual’ imannya kepada pemeluk agama lain. Mereka yang menghujat tidak menyadari, bahwa Hatopan Kristen Batak menjadi poros para nasionalis Indonesia yang karismatis. Perjuangan M.H. Manulang dalam menentang penjajah semakin gigih setelah Pemerintah Belanda, melalui perantaraan kesultanan-kesultanan ciptaannya di daerah Sumatra Timur, membagi-bagi tanah pribumi kepada perkebunan besar tanpa menghiraukan hak rakyat. Tanah dinyatakan milik “kesultanan” yang kemudian disewakan kepada Belanda. Pemerintah kolonial memberikan konsesi kepada pemodal perkebunan untuk mengolahnya. Rakyat yang ingin menggarap tanah harus menyewa kepada Pemilik Afdeling. Penguasaan atas tanah ini menyengsarakan rakyat, karena merupakan sumber kehidupan bagi rakyat. Akal-akalan itulah yang ditentang oleh MH.Manullang. Beliau menyadarkan, menghimpun dan menyuarakan tuntutan masyarakatnya dengan menerbitkan surat kabar Soeara Batak pada tahun 1919. Dalam setiap pemberitaannya surat kabar Soara Batak juga banyak menulis tentang keberadaan pemerintah kolonial Belanda di Tapanuli seperti sentilan-sentilan tajam, “Kandang koeda assitent resident lebih cantik dari boei”. Dalam edisi perdananya, Manullang juga menulis sebuah manifesto, yang mencerminkan sikap anti kolonial sekaligus tumbuhnya kesadaran akan rasa nasionalismenya, yang kerap dicampurbaurkan dengan bangsa Tapanuli. Sebagaimana masa kolonialisme merupakan masa perubahan, pergerakan dan konflik yang ditujukan untuk mencapai hak-hak asasi manusia, persamaan hak, hak nasional, perkumpulan-perkumpulan muncul di mana-mana yang tujuannya untuk mencapai kemerdekaan dan kehidupan yang baik. Perkumpulan- Universitas Sumatera Utara perkumpulan bangsa Indonesia bermunculan bagaikan jamur dimusim hujan, dalam sebuah tulisan beliau mengatakan, “Dalam perjalanan waktu bahwa bangsaku, bangsa Batak, telah mulai mengerti arti solidaritas, bukankah begitu? ….. Saudara-saudaraku Lihatlah tanah kita yang disewakan oleh Guibernur Jenderal kepada para kapitalis karena kita tidak mengerjakannya. Tanah kita itu …. menghasilkan untung besar; semua pemegang saham Eropa dan Amerika dengan gembira membagi-bagi keuntungan yang berlipat ganda…….” Pada bulan Desember 1920, Manullang terkena delik pers ketika surat kabar Soara Batak memuat tulisan tentang konsesi “Pansoer Batu” 10 Manullang sendiri akhirnya dihadapkan ke raad van justisi Pengadilan Tinggi Padang. Sesudah perkaranya diproses selama kurang lebih setahun oleh raad van justisi, Manullang kemudian diputuskan untuk menjalani hukuman kurungan selama setahun di penjara Cipinang, Jakarta. Pengganti Manullang adalah Soetan Soemoeroeng, yang juga dikenal memiliki sikap anti kolonialis Belanda. Sama halnya dengan Manullang, Soemoeroeng juga terkena delik pers, ketika Soara Batak pada terbitan 2 dan 6 Juni tahun 1921 mengupas soal konsesi Sioebanoeban dan Pansoer Batoe. Soemoerong . Sebelum terkena pers delik pada surat kabar yang dipimpinnya, M.H. Manullang juga pernah menulis kasus Pansoer Batu pada surat kabar Poestaha, yang terbit di Padang Sidempuan. Pada Poestaha edisi 4 Juli 1919, M.H. Manullang menulis: “Teman-teman Batak Dengan sangat menyesal saya memberitahukan kepada Saudara-saudara: tanah di Pansurbatu di subdistrik Tarutung telah dicuri oleh pengisap darah kapitalis bermata putih. Ada ribuan pohon kemenyan dan ratusan bau lahan yang ditanami padi, milik saudara-saudara kita, tetapi pemerintah di Tapanuli tidak melarangnya ……. sekarang kita mengetahui bahwa pemerintah hanyalah bersandiwara”. 10 Pansoer Batu adalah areal tanah seluas 1.020 bau yang hendak disewakan erfacht kepada pengusaha perkebunan Eropa. Namun masyarakat Pansoer Batu menolak menyewakan tanah mereka dan tetap menanami tanah tersebut. Akibatnya sebanyak 12 orang pemimpin rakyat ditahan selama 12 hari dan disuruh membayar denda f 10 karena dituduh sebagai dalang yang mempengaruhi rakyat Pansoer Batoe untuk melawan kebijakan pemerintah Belanda. op. cit., hal.122 Universitas Sumatera Utara kemudian disidang oleh Pengadilan Kerapatan Besar Tarutung pada tanggal 7 Februari 1924. Kemudian diputuskan bahwa Soemoeroeng dihukum 1,5 tahun penjara karena dianggap telah melanggar pasal 207 dan 145 KUHP Hindia Belanda, yaitu memberi rasa malu dan menerbitkan bibit kebencian antara rakyat dan pemerintah. Maka pada tanggal 5 Juni 1924, Residen Sibolga memperteguh putusan rapat, dan setelah grasi Soemoeroeng ditolak Gubernur Jendral Hinda Belanda, maka pada tanggal 27 Oktober Soemoeroeng dibawa ke Sibolga untuk menjalani hukumannya. Akibatnya Soeara Batak tidak terbit lagi. M.H Manullang sendiri sekeluar dari penjara Cipinang pada tahun 1924, kemudian menerbitkan koran baru bernama Persamaan. Tahun 1928 merupakan tahun-tahun tersibuk yang penuh dengan kobaran semangat juang yang ditunjukan oleh rakyat dalam menumbuhkan rasa nasionalisme, maka sejalan dengan itu juga dunia persuratkabaran semakin melancarkan tugasnya sebagai pembawa dan pemberi berita terhadap rakyat Tapanuli khususnya. Untuk itu para tokoh-tokoh pers berupaya keras untuk tetap menerbitkan surat kabar baru menjelang dilaksanakannya sumpah pemuda pada tahun 1928 yang cukup menggugah kesadaran rakyat untuk bangkit melawan ketidakadilan di wilayahnya sendiri. Oleh karena itu adapun surat kabar yang pernah terbit di Tapanuli pada masa tersebut antara lain ; 2. 2. 6 Bendera Kita