Beberapa Surat Kabar Pada Masa Kolonial 1. Postaha Tapian Na Oeli

sengaja dikesampingkan, sehingga sebagian surat kabar isinya bersifat keagamaan dan kesukuan. Pada tahun 1906, pengawasan preventif terhadap pers telah ditiadakan lagi. Hal ini dilatarbelakangi karena telah terbukanya kebebasan pers di daerah jajahan Belanda pada waktu itu, sehingga ada anggapan bahwa dunia persuratkabaran sudah dapat menguasai pengaruh peraturan preventif tersebut. Oleh karena itu situasi baru juga ikut mendorong terlaksananya hak preventif tersebut. Menjelang akhir abad ke 19, seorang tokoh politik terkenal Belanda yang bernama Van Deventer melakukan pendobrakan terhadap kekolotan yang dilakukan oleh bangsanya sendiri. Hal ini diupayakan lewat ungkapan bahwa sesungguhnya Belanda telah berhutang budi terhadap rakyat Indonesia, untuk itu mereka wajib membayarnya. Maka pada tahun1903 parlemen Belanda menerima undang-undang desentarlisasi yang isinya adalah membuka kesempatan bagi daerah-daerah jajahan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri khususnya di bidang ekonomi. Maka hak berserikat dan berkumpul perlu diberikan dengan diadakannya dewan-dewan perwakilan, hak tersebut intinya adalah untuk menyatakan pendapat secara tertulis atau dengan media apapun termasuk salah satunya surat kabar 6 Perkembangan yang dilakukan oleh persuratkabran di Tapanuli dari waktu ke waktu, tentu saja semuanya mengarah pada tujuan politik perjuangan yakni keinginan terbebas dari penguasa kolonial Belanda. Banyaknya surat kabar yang terbit di Tapanuli setelah kebangkitan nasional, tentu saja berita yang disampaikan tidak lagi sebagai suara- . 2. 2. Beberapa Surat Kabar Pada Masa Kolonial 6 Moh Said, Sejarah Pers Sumatera Utara Dengan Masyarakat Yang dicerminkan 1885- Maret 1942, Medan : Percetakan Waspada , 1976, hlm. 65. Universitas Sumatera Utara suara milik Belanda atau pun bagi pendatang Tionghoa tetapi isinya banyak memuat berita mengenai bidang ekonomi baik perdagangan maupun sengketa tanah rakyat, melainkan sudah mengarah pada pemberitaan tentang kepentingan republik, khususnya seputar peristiwa yang terjadi di Tapanuli. Kendatipun Sibolga, Tarutung, Balige dan Padang Sidempuan merupakan kota kecil, namun tidak pernah sepi dari penerbitan surat kabar, karena pada masa itu banyak surat kabar yang pernah terbit di masing-masing wilayahnya. Oleh karena itu orientasi pemberitaannya juga berbeda, antara lain ada yang mengarah pada bidang ekonomi, politik, sosial, dan agama yang akhirnya mengarah ke orientasi tentang cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia. 2. 2. 1. Postaha Pada tahun 1914 tidak lama setelah Soetan Casayanang Soripada kembali dari negeri Belanda, maka diterbitkanlah sebuah majalah berbahasa Batak di Padang Sidempuan yang bernama “Poestaha”. Pada kepala surat kabar tersebut terdapat pernyataan Soetan Casayang yang mengatakan bahwa “na ni togoe-togoe ni naoeli boeloeng Soetan Casayang Soripada”. Penerbit Mangaradja Bangoen yang berasal dari Padang Sidempuan dan pembantu redaktur bernama Mangradja Tagor Moeda Kemampuan yang dimiliki oleh surat kabar ini tidak kuat untuk membiayai hidupnya sendiri ketika itu. Maka selanjutnya beliau menjadi guru sekolah di Bukit Tinggi, dari sana dikirim karangan-karangan untuk mengisi pemberitaan Poestaha. Dalam perkembangannya surat kabar ini diasuh dengan baik dan akhirnya berhasil masuk dan diterima di kalangan rakyat, yang walaupun oplahanya tidak lebih besar dari 500 eksemplar. Akhirnya pada tahun 1930, surat kabar Poestaha berhenti dalam penerbitannya lantaran kurangnya biaya administrasi. Universitas Sumatera Utara 2. 2. 2. Tapian Na Oeli Pada tahun 1919 terbit pula sebuah surat kabar bernama “Tapian Na Oeli”, dengan semboyannya “soposio rantjangna godang, paradatan paroehmaen, inganan ni ratigoran, parosoe-roesoeon nihoela dohot dongan”. Model surat kabar ini mempunyai format setengah bentuk surat kabar biasa dengan satu setengah lembar, yang terbit 2 kali seminggu. Penerbit surat kabar tersebut adalah Koeriabond di Sibolga dan yang menjadi redakturnya atau Veranwoor delijk yang bernama Achmad Amin, yang pernah menjadi redaktur surat kabar di Pematang Siantar. Surat kabar ini menggunakan bahasa Indonesia dalam pemberitaannya namun sebagian lagi memakai bahasa Batak. Dalam perjalanannya, tidak beberapa lama setelah surat kabar ini terbit, pemimpin redaksinya Achmad Amin mendapat masalah sehubungan dengan karangannya yang berjudul “B” tidak diketahui apa isi beritanya. Oleh karena itu beliau dihadapkan ke pengadilan rapat di Sibolga, dimana beliau dikenakan sanksi berupa denda sebesar f 200 atau ganti 40 hari kurungan, karena melanggar pasal 156 Hukum Pidana Hindia Belanda Wetboek Strafrecht Voor Ned Indie. Dengan beritanya, Achmad Amin membuat suatu peristiwa yang unik yang merupakan bagian dari catatan sejarah juga. Dimana di depan sidang beliau mempertahankan bahwa karangannya yang menjadi perkara dimuat karena disuruh oleh Mangradja Soangkoepon seorang penasehat koeria Bond, penerbit Tapian Na Oeli dimana beliau itu sendiri yang menjadi tim redaksinya. Tidak puas dengan tuduhan yang dilontarkan oleh Achmad Amin, akhirnya ia bersumpah dimesjid pada hari Jumaat. Maka akhirnya Amin pun dijatuhi hukuman, oleh karena itu kasus ini dijadikan sebagai bahan Universitas Sumatera Utara diskusi oleh sarjana orientalis Belanda yang mengatakan bahwa mengucapkan sumpah di mesjid tidak dibutuhkan oleh hukum Islam. Ketika tahun 1920, surat kabar Tapian Na Oeli dalam pemberitaannya terbit dengan mempergunakan slogan ‘rawe-rawe rantas’ dan akhirnya penerbitannya berakhir, hal ini disebabkan karena terbitnya surat kabar baru di Sibolga bernama Hindia Sepakat 2. 2. 3. Hindia Sepakat