Badan Hukum BMT BMT Baitul Maal Wat Tamwil

mencapai modal dasar yang telah ditentukan barulah segera menyiapkan diri ke dalam badan hukum koperasi, KSM atau LKM dengan mendapat sertifikat dari PINBUK. Jika mencapai keadaan dimana para anggota dan pengurus telah siap, maka BMT dapat dikembangkan menjadi badan hukum koperasi. BMT yang telah memiliki kekayaan Rp. 75.000.000 atau lebih diminta atau diharuskan untuk mempersiapkan proses administrasi untuk menjadi koperasi yang sehat dan baik dilihat dari segi pengelolaan koperasi. Dianalisa dari ibadah yang harus dipertanggungjawabkan kinerjanya tidak saja pada anggota dan masyarakat, tetapi juga kepada Allah SWT, karena seharusnya BMT berbadan hukum koperasi ini dikelola secara syariah Islam yang penuh dengan nilai-nilai etika Islam. Badan hukum BMT yang sesuai dengan kondisi peraturan yang berlaku adalah koperasi syariah, yaitu sebagai salah satu unit usaha yang dikelola koperasi. Secara organisatoris BMT dibawah badan hukum koperasi. Dalam hal ini pengelola BMT bertanggung jawab kepada pengurus koperasi. Sedangkan pengurus koperasi bertanggung jawab kepada rapat anggota tahunan. 11 Adapun lebih singkatnya sebagai brikut : a. BMT dapat didirikan dalam bentuk KSM atau Koperasi : KSM adalah Kelompok Swadaya Masyarakat dengan mendapat Surat Keterangan dari PINBUK Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil 11 Ahmad Sukamatjaya, “Baitul Maal Wat Tamwil”, 26-28 Desember 2008, Bogor: yayasan Al-Amin Dharma Mulia, h.10. b. Koperasi serba usaha atau koperasi syariah c. Koperasi simpan-pinjam syariah KSP-S d. BMT berazaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta berlandaskan syariah Islam, keimanan, keterpaduan kaffah, kekeluargaan, kebersamaan, kemandirian, dan profesionalisme. Secara Hukum BMT berpayung pada koperasi tetapi sistem operasionalnya tidak jauh berbeda dengan Bank Syariah sehingga produk-produk yang berkembang dalam BMT seperti apa yang ada di Bank Syariah. Oleh karena berbadan hukum koperasi, maka BMT harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 25 tahun 1992 tentang perkoperasian dan PP Nomor 9 tahun 1995 tentang pelaksanaan usaha simpan pinjam oleh koperasi. Juga dipertegas oleh KEP.MEN Nomor 91 tahun 2004 tentang Koperasi Jasa keuangan syariah.

C. Usaha Kecil dan Menengah

1. Pengertian Usaha Kecil dan Menengah

Pengertian tentang usaha kecil dan menengah UKM tidak selalu sama, tergantung konsep yang digunakan Negara tersebut. Mengenai pengertian atau definisi usaha kecil dan menengah ternyata sangat bervariasi, disatu Negara berlainan dengan Negara lainnya. Dalam definisi tersebut mencakup sedikitnya dua aspek, yaitu aspek penyerapan tenaga keja dan aspek pengelompokan perusahaan tersebut range of the member of employees, misalnya usaha kecil di United Kingdom adalah jumlah karyawannya antara 1-200 orang, di Jepang antara 1-300 orang, di USA antara 1-500 orang. Departemen perindustrian RI pada tahun 1983 membagi sektor industri dalam tiga kelompok. 12 Pertama adalah kelompok industri dasar Basic Industry. Seperti metal dan kimia. Kedua adalah aneka industri yang menyerap banyak tenaga kerja dan menggunakan teknologi yang sifatnya tradisioanl atau sederhana. Ketiga ialah industri yang mempunyai investasi berupa asset tetap fixed asset kurang dari Rp. 70 juta di luar nilai tanah yang dikuasainya. Dengan berkembangnya perekonomian nasional, pada tahun 1991 Departemen Perindustrian RI melakukan penyesuaian rumusan pengelompokan industri, yaitu untuk industri kecil dan kerajinan didefinisikan sebagai kelompok perusahaan yang dimiliki penduduk Indonesia dengan jumlah nilai asset kurang dari RP. 600 juta diluar nilai tanah dan bangunan yang digunakannya. Sedangkan Bank Indonesia menentukan batas tertinggi dari investasi, diluar tanah dan bangunan, sebesar 600 juta bagi pengertian industri kecil. 13

2. Karakteristik UKM

INPRES No. 10 Tahun 1999 mendefinisikan usaha kecil menengah adalah unit kegiatan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp. 200 juta sampai maksimal 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha 12 Tiktik Sartika Partomo, Ekonomi Skala KecilMenengah dan Koperasi, Bogor: Ghalia Indonesia, 2004, h. 51 13 Ibid., h. 54.