Peta Kinerja Sektor Industri Pengolahan

kilang minyak juga menggunakan komponen input yang bersumber dari impor dalam persentase yang relatif besar Tabel 44. Berbagai karakteristik tersebut tampaknya menyebabkan industri kilang minyak relatif rentan terhadap shock yang terjadi dalam perekonomian. Tabel 44. Pangsa Biaya Input Pada Sektor Industri Pengolahan Sektor Input Antara Input Primer Domestik Impor Tenaga Kerja Kapital MnykLemak 64.42 0.27 12.09 22.57 MakOlahLaut 87.71 1.14 6.06 5.09 MakOlah 62.42 5.64 8.21 22.03 TexPakKlt 51.20 10.12 10.06 25.96 AlasKaki 48.78 1.46 33.40 16.36 BmbKaRtn 52.20 5.03 11.79 29.67 Kertas 50.61 11.78 10.84 24.99 KaretPlast 54.04 16.96 9.43 16.65 FertiPest 54.63 9.46 24.49 39.34 KilangMyk 20.96 20.24 15.09 67.05 Semen 54.94 3.83 11.68 27.50 BesiBaja 45.31 26.33 4.25 20.60 IndLogam 41.88 14.00 15.21 26.72 MesinListrik 43.70 25.30 8.17 19.61 AltAngkut 36.23 21.43 13.48 26.32 IndustriLain 46.05 20.67 10.83 19.84 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b diolah. Pangsa input yang relatif besar dari sumber impor juga dijumpai pada industri besi baja, industri mesin listrik, dan industri alat angkut. Kelompok industri tersebut juga menunjukkan kinerja yang cenderung menurun terhadap shock yang terjadi dalam perekonomian. Oleh karena itu, peningkatan pangsa input yang bersumber dari domestik perlu dilakukan untuk membatasi ketergantungan terhadap sumber input impor. Disisi lain, pada industri besi baja capaian kinerja yang juga cenderung menurun disebabkan oleh dua faktor yaitu karena investasi yang tidak meningkat dan semakin rendahnya alokasi pembiayaan. Selama sepuluh tahun terakhir industri besi baja telah mencapai neraca perdagangan yang defisit 3 Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor Ekspor Impor MnykLemak - + + - - + - + MakOlahLaut - + - + - + - + MakOlah - + - + - + - + TexPakKlt - + + - - + - + AlasKaki - + - + + + - + BmbKaRtn - - + - + - + - Kertas - + - + - + - + KaretPlast - + - + + - - + FertiPest - + - + + - - + KilangMyk + - - + + - + - Semen - - + - + - + - BesiBaja - - + - + - + - IndLogam - - - + + - + - MesinListrik - - - - + - + - AltAngkut - - - - + - - - IndustriLain - + - + + - - + Sektor Harga Minyak Dunia Harga Ekspor Industri Suku Bunga Riil Devaluasi Riil . Lebih lanjut, peta kinerja industri juga dapat disusun berdasarkan kinerja ekspor dan impor. Peta kinerja industri berdasarkan kinerja ekspor dan impor ditunjukkan pada Tabel 45. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa sebagian besar industri cenderung mengalami penurunan kinerja ekspor pada saat terjadinya shock volatilitas suatu variabel ekonomi. Penurunan kinerja ekspor tersebut cenderung sejalan dengan penurunan kinerja output. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kinerja output yang terjadi pada sebagian besar industri berimplikasi terhadap penurunan kinerja ekspor sejumlah industri tersebut. Tabel 45. Pemetaan Industri Berdasarkan Kinerja Ekspor dan Impor Keterangan: + Pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan baseline - Pertumbuhan lebih rendah dibandingkan baseline 3 Media Indonesia, 2 Desember 2009. Kinerja ekspor sektor industri pengolahan pada dasarnya juga sangat ditentukan oleh daya saing sektor. Shock volatilitas suatu variabel ekonomi cenderung menyebabkan penurunan daya saing sebagian sektor industri pengolahan. Penurunan daya saing sebagian sektor industri pengolahan tersebut dapat diidentifikasi melalui perubahan tingkat harga. Tingkat harga output sektor industri pengolahan yang lebih tinggi pada saat adanya shock volatilitas harga minyak dunia mengindikasikan penurunan daya saing sektor industri pengolahan di pasar internasional. Dengan tingkat harga yang lebih tinggi maka negara pengimpor akan cenderung mengalihkan permintaan impornya kepada produk dari negara lain yang harga relatifnya lebih murah. Penurunan kinerja ekspor pada kelompok industri yang berorientasi ekspor tentunya akan menurunkan devisa dari sektor industri. Berdasarkan pangsa penjualan output, suatu industri dapat dikelompokkan sebagai industri yang berorientasi ekspor seperti ditunjukkan pada Tabel 46. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa industri minyak lemak merupakan industri dengan pangsa ekspor terbesar dibandingkan sektor industri lainnya. Dengan demikian sektor industri minyak lemak dapat dikategorikan sebagai salah satu industri yang berorientasi ekspor. Industri lain yang juga dapat dikelompokan sebagai industri berorientasi ekspor adalah industri alas kaki, industri makanan olahan laut, industri tesktil, industri kilang minyak, industri kertas, industri karet-plastik, industri besi baja dan industri logam. Pangsa ekspor dari sejumlah industri tersebut mencapai 25 persen atau lebih dari total output industri. Berdasarkan peta kinerja pada Tabel 45, sebagian industri yang termasuk dalam kelompok industri berorientasi ekspor ternyata cenderung mencapai kinerja ekspor yang menurun pada saatnya adanya shock dalam perekonomian. Kelompok industri tersebut meliputi: industri minyak lemak, industri makanan olahan laut, industri tekstil dan industri alas kaki. Untuk sektor tekstil dan alas kaki penurunan kinerja ekspor terkait dengan pertumbuhan produktivitas yang cenderung menurun. Oleh karena itu, penguatan kedua industri tersebut dapat dilakukan melalui upaya peningkatan produktivitas industri. Peningkatan investasi mesin dan alat produksi yang lebih efisien perlu terus dilakukan. Program restrukturisasi mesin dan alat produksi yang selama ini telah digulirkan oleh Pemerintah Kementerian Perindustrian dapat lebih ditingkatkan dan diprioritaskan. Tabel 46. Pangsa Penjualan Output Industri Sektor Produk Antara Investasi Konsumsi Rumah Tangga Ekspor MnykLemak 29.31 0.00 9.32 66.76 MakOlahLaut 23.30 0.00 48.52 35.60 MakOlah 31.14 0.00 68.46 2.08 TexPakKlt 34.32 0.06 28.48 33.36 AlasKaki 4.28 0.00 40.41 48.76 BmbKaRtn 56.67 0.08 19.15 21.69 Kertas 61.86 0.00 10.40 27.65 KaretPlast 41.36 0.00 25.97 32.51 FertiPest 88.17 0.00 1.57 5.94 KilangMyk 59.66 0.00 7.05 42.56 Semen 96.41 0.00 0.00 1.98 BesiBaja 73.78 0.00 0.00 24.67 IndLogam 57.73 2.31 6.12 25.62 MesinListrik 37.47 11.43 23.95 19.45 AltAngkut 31.96 8.74 42.39 15.55 IndustriLain 64.80 0.44 21.57 20.66 Sumber: Badan Pusat Statistik, 2010b diolah. Sementara itu pada industri makanan olahan laut, peningkatan kinerja ekspor dapat diupayakan dengan penguatan sisi hulu dan hilirnya. Sisi hulu dari industri tersebut adalah sektor perikanan yang merupakan sektor penyedia input utama bagi industri makanan olahan laut. Adapun sisi hilir adalah terkait dengan pengolahan output menjadi produk-produk yang lebih memiliki daya saing dibandingkan negara pesaing. Pengembangan produk makanan olahan laut merupakan suatu langkah yang dapat dikembangkan untuk mendorong peningkatan kinerja ekspor dari industri tersebut. Di sisi lain, pengembangan produk makanan olahan laut tersebut juga akan memberikan nilai tambah yang lebih tinggi bagi sektor industri pengolahan. Khusus untuk industri minyak lemak, kenaikan harga minyak dunia pada kenyataannya mendorong peningkatan ekspor industri minyak lemak. Sebagai ilustrasi bahwa ekspor CPO Indonesia meningkat dari 7 904 179 ton pada tahun 2008 menjadi 9 566 746 ton pada tahun 2009 UNComtrade, 2010. Peningkatan ekspor tersebut didorong oleh peningkatan permintaan yang cenderung semakin tinggi, termasuk permintaan untuk pengembangan biofuel. Adanya peningkatan ekspor output industri minyak lemak pada saat terjadinya peningkatan minyak dunia disebabkan adanya efek lanjutan dari kenaikan minyak dunia yaitu mendorong peningkatan harga sejumlah komoditas di pasar internasional. Hal ini yang tidak dimasukan dalam simulasi volatilitas harga minyak dunia simulasi 2. Peningkatan harga sejumlah komoditas di pasar internasional berdasarkan data historis selama 2007-2010 ditunjukkan pada Tabel 47. Apabila simulasi volatilitas harga minyak dunia juga menyertakan peningkatan harga sejumlah komoditi di pasar internasional maka hasil yang diperoleh seperti ditunjukkan pada Tabel 48. Berdasarkan tabel tersebut diketahui bahwa industri minyak lemak mencapai pertumbuhan ekspor yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Hasil ini menunjukkan bahwa model yang digunakan relatif konsisten dengan realita yang ada. Sementara itu, untuk kelompok industri orientasi ekspor lainnya capaian kinerja ekspornya lebih rendah dibandingkan baseline. Tabel 47. Peningkatan Harga Komoditas di Pasar Internasional, Tahun 2007- 2010. No Komoditas Besaran Persentase 1 Tanaman Lain 12.86 2 Karet 25.46 3 Tebu 8.47 4 Kelapa 1.77 5 Sawit 0.98 6 Tembakau 12.25 7 Kopi 4.37 8 Teh 10.4 9 Hasil Ternak 7.92 10 Hasil Perikanan 7.59 11 Minyak Lemak 16.61 12 Makanan Olahan 10.76 Sumber: Food and Agriculture Organisation, 2010. Berdasarkan Tabel 42 dan Tabel 45 juga diketahui bahwa penurunan kinerja output dan ekspor dari industri makanan olahan laut, industri tekstil dan industri alas kaki cenderung diikuti dengan peningkatan impor. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan kinerja industri nasional akan dimanfaatkan sektor industri asing untuk mengisi pasar domestik. Oleh karena itu, disamping menjaga pangsa ekspor maka untuk kelompok industri tersebut juga perlu tetap mempertahankan pangsa pasar domestik. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengotimalkan utilitas produksi pada setiap industri. Tabel 48. Dampak Volatilitas Harga Minyak Dunia dan Kenaiakan Harga Beberapa Komoditi di Pasar Internasional terhadap Kinerja Ekspor Sektor Industri Pengolahan Sektor Sim 1 Sim 2+ MnykLemak 14.69 24.99 MakOlahLaut 14.40 3.54 MakOlah -20.12 6.13 TexPakKlt -18.00 -29.20 AlasKaki -30.72 -42.89 BmbKaRtn 6.35 3.90 Kertas 7.30 2.81 KaretPlast 10.01 0.03 FertiPest -7.63 -21.51 KilangMyk -11.30 8.74 Semen -13.13 -18.53 BesiBaja 13.98 10.19 IndLogam 9.28 3.66 MesinListrik 31.67 24.78 AltAngkut 28.26 19.24 IndustriLain -6.28 -17.27 Sim 1: Simulasi peningkatan produktivitas sektoral dan perubahan beberapa variabel makro Indonesia baseline scenario Sim 2+: Sim 1 + volatilitas harga minyak dunia + kenaikan harga komoditi Penurunan kinerja output yang juga diiringi dengan peningkatan impor juga terjadi pada industri kertas dan industri karet dan plastik. Penurunan kinerja ekspor dari kelompok industri tersebut terkait dengan penurunan output yang juga terjadi pada sektor-sektor penyedia input seperti sektor kehutanan, perkebunan karet dan sektor industri lainnya. Industri yang juga cenderung mencapai kinerja ekspor yang negatif adalah industri makanan olahan. Meskipun kinerja output dan tenaga kerja dari industri makanan olahan mengalami peningkatan tetapi kinerja ekspor cenderung negatif dan impor cenderung terus meningkat. Meskipun industri makanan olahan bukan merupakan industri yang berorientasi ekspor namun peningkatan daya saing perlu terus ditingkatkan. Tingginya kebutuhan terhadap bahan baku industri makanan olahan belum sepenuhnya dapat dipenuhi dari bahan baku domestik. Fluktuasi harga bahan baku yang sering terjadi akan sangat mempengaruhi daya saing industri makanan olahan. Berdasarkan data BPS 2009b pangsa pengeluaran untuk bahan baku mencapai 85.94 persen. Dengan demikian keterjamin bahan baku dari segi kualitas, kuantitas, kontinuitas serta harga akan sangat menentukan kinerja sektor industri makanan olahan khususnya terkait kinerja ekspor. Lebih lanjut berdasarkan Tabel 45 diketahui bahwa beberapa industri cenderung menunjukkan peningkatan kinerja ekspor pada saat adanya shock suku bunga riil dan devaluasi riil. Peningkatan kinerja ekspor pada beberapa industri tersebut ternyata lebih dikarenakan shock yang ada menyebabkan capaian pertumbuhan negatif dengan persentase perubahan yang lebih kecil. Hal tersebut terjadi pada industri alas kaki, industri pupuk dan pestisida, industri kilang minyak dan industri semen. Dengan demikian pada kelompok industri tersebut sesungguh capaian kinerja ekspornya masih tumbuh negatif. Sementara itu, pada kelompok industri besi baja, industri logam, dan mesin listrik menunjukkan peningkatan kinerja ekspor positif pada saat adanya shock suku bunga riil dan devaluasi riil. Peningkatan kinerja ekspor dari kelompok industri tersebut terjadi meskipun kinerja outputnya mencapai penurunan pertumbuhan output. Peningkatan kinerja ekspor dari kelompok industri tersebut distimulus oleh tercapainya keseimbangan harga output yang lebih rendah pada saat adanya shock. Penurunan harga tersebut cenderung akan meningkatkan daya saing kelompok industri tersebut di pasar internasional. Penurunan harga output pada kelompok industri tersebut terkait dengan pangsa penggunaan input impor yang cukup besar. Shock volatilitas suku bunga riil menyebabkan kinerja ekspor industri kilang minyak, industri besi baja, industri logam, industri mesin listrik dan industri alat angkut mengalami peningkatan. Peningkatan ekspor sejumlah industri tersebut distimulus oleh capaian tingkat harga output yang lebih rendah. Capaian harga output yang lebih rendah terjadi karena adanya substitusi antar input. Kenaikan suku bunga riil menyebabkan harga input domestik menjadi relatif lebih mahal dibandingkan input impor. Dengan demikian terjadi substitusi input impor terhadap input domestik. Dengan penggunaan input impor yang harga relatifnya lebih murah maka dapat dicapai tingkat harga output yang lebih rendah. Dengan tingkat harga output yang lebih rendah maka daya saing kelompok sektor industri tersebut menjadi lebih tinggi sehingga capaian kinerja ekspor meningkat. Sementara itu, devaluasi riil apresiasi rupiah akan menyebabkan harga input impor yang harus dibayar oleh industri menjadi lebih murah sehingga harga output yang dicapai juga akan menurun. Seperti halnya shock suku bunga riil, penurunan harga output tersebut akan meningkatkan daya saing kelompok sektor industri yang komponen impornya relatif besar dan mendorong peningkatan kinerja ekspor.

6.5. Dampak Volatilitas Variabel Ekonomi terhadap Kinerja Makroekonomi

Dampak volatilitas suatu variabel ekonomi terhadap kinerja makroekonomi Indonesia dapat dikaji dari beberapa variabel kunci yang mencerminkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat harga inflasi. Pertumbuhan ekonomi yang direpresentasikan oleh pekembangan GDP beserta komponen- komponen pembentuknya merupakan salah satu indikator utama kinerja makroekonomi. Dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap kinerja makroekonomi Indonesia ditunjukkan pada Tabel 49. Tabel 49. Dampak Volatilitas Variabel Ekonomi terhadap Kinerja Makroekonomi Variabel Makroekonomi Perubahan Persentase Sim 1 Sim 2 Sim 3 Sim 4 Sim 5 GDP Nominal Sisi Pengeluaran w0gdpexp 10.48 12.88 12.49 9.77 10.98 GDP Nominal Sisi Pendapatan w0gdpinc 10.44 12.82 12.42 9.73 10.92 GDP Riil x0gdpexp 10.48 10.43 10.50 9.77 10.50 Investasi x2tot_i 10.06 6.04 6.06 6.12 6.09 Konsumsi Rumah Tangga x3tot 10.40 14.03 12.74 10.92 12.62 Indeks Volume Ekspor x4tot 4.46 0.93 3.63 4.40 3.42 Permintaan Agregat Riil Pemerintah x5tot 9.24 12.87 11.58 9.76 11.46 Inventorystok x6tot 9.08 2.08 6.98 8.42 8.05 Indeks Volume Impor x0imp_c 2.69 4.30 3.66 2.65 3.24 InflasiPerubahan IHK p3tot 0.46 4.19 3.16 1.44 1.90 Upah Nominal Rata-rata p1lab_io 11.84 13.68 13.54 10.71 12.27 Upah Riil Rata-rata realwage 11.38 9.49 10.39 9.27 10.37 Pembayaran Agregat terhadap Kapital w1cap_i 8.99 11.57 10.66 8.41 9.14 Pembayaran Agregat terhadap Tenaga Kerja w1lab_io 11.84 13.68 13.54 10.71 12.27 Pembayaran Agregat terhadap Lahan w1lnd_i 11.38 18.65 17.63 12.27 15.85 Keterangan: Sim 1: Simulasi peningkatan produktivitas sektoral dan perubahan beberapa variabel makro Indonesia baseline scenario Sim 2: Sim 1 + volatilitas harga minyak dunia Sim 3: Sim 1 + volatilitas harga ekspor industri Sim 4: Sim 1 + volatilitas suku bunga Sim 5: Sim 1 + devaluasi riil Perubahan-perubahan yang terjadi di level sektoral, secara agregat akan tercermin pada sejumlah variabel makroekonomi. Perubahan yang terjadi pada output dan tingkat harga sektoral, secara agregat akan tercermin pada perubahan GDP nominal baik dari sisi penerimaan maupun dari sisi pengeluaran seperti ditunjukkan pada Tabel 49. Volatilitas harga minyak dunia simulasi 2, harga ekspor indusri simulasi 3 dan tingkat devaluasi riil yang menurun simulasi 5 mendorong capaian peningkatan GDP nominal yang lebih tinggi dibandingkan simulasi 1 baseline. Peningkatan GDP nominal pada ketiga simulasi tersebut relatif lebih besar dibandingkan baseline. Hal tersebut terkait dengan adanya efek kenaikan harga inflasi yang lebih tinggi pada ketiga simulasi tersebut dibandingkan baseline. Namun demikian, situasi yang berbeda dijumpai pada simulasi volatilitas suku bunga riil simulasi 4 dimana capaian pertumbuhan GDP nominalnya justru lebih rendah dibandingkan simulasi baseline meskipun mencapai tingkat inflasi yang lebih tinggi dibandingkan baseline. Hal ini tentunya terkait dengan komponen lain yang juga menentukan nilai GDP nominal yaitu output yang dihasilkan. Peningkatan harga di satu sisi dan penurunan jumlah output di sisi lain memungkinkan nilai GDP nominal yang dicapai menjadi lebih rendah atau lebih tinggi dibandingkan nilai awalnya sebelum ada perubahan. Capaian GDP riil yang lebih rendah pada saat adanya shock volatilitas harga minyak dunia simulasi 2 dan volatilitas SBI riil simulasi 4 menunjukkan bahwa dampak kedua shock tersebut bersifat kontraktif. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi meskipun sejumlah variabel makro dari sisi pengeluaran konsumsi dan pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan yang relatif lebih besar dibandingkan baseline. Efek kontraksi dari peningkatan volatilitas harga minyak dunia tercermin dari penurunan pertumbuhan output sektoral seperti yang dijelaskan pada bagian terdahulu. Labih lanjut, efek kontraksi peningkatan volatilitas harga minyak dunia juga tercermin pada peningkatan indeks harga konsumen IHK. Pada Tabel 49 diketahui bahwa inflasi meningkat sebesar 4.19 lebih tinggi dibandingkan kondisi baseline sebesar 0.46 persen. Peningkatan IHK inflasi tersebut tentunya terkait dengan karakteristik komoditas minyak yang merupakan input utama pada sebagian besar sektor perekonomian. Dengan demikian peningkatan harga minyak akan memicu kenaikan harga-harga barang secara umum. Respon negatif dari kenaikan harga minyak juga ditunjukkan dengan penurunan yang terjadi pada investasi. Studi yang dilakukan Mehrara dan Sarem 2009 mengungkapkan bahwa terdapat hubungan kausalitas yang kuat antara shock harga minyak dengan pertumbuhan output dalam perekonomian Iran dan Arab Saudi. Lebih lanjut juga diungkapkan bahwa untuk kasus Indonesia, proksi minyak menunjukkan pengaruh terhadap output baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Adanya hubungan antara harga minyak dan berbagai variabel makro juga ditunjukkan dalam studi Lescaroux dan Mignon 2009. Kontraksi perekonomian juga terjadi pada saat adanya shock volatilitas suku bunga. Perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi meskipun konsumsi dan pengeluaran pemerintah mengalami peningkatan yang relatif lebih besar dibandingkan baseline. Lebih lanjut, respon negatif dari kenaikan suku bunga riil juga ditunjukkan dengan penurunan yang terjadi pada investasi. Sesuai dengan teori ekonomi bahwa suku bunga berpengaruh negatif terhadap investasi. Peningkatan suku bunga akan menyebabkan turunnya investasi. Penurunan investasi agregat inilah yang merupakan faktor utama yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Efek kontraksi dari peningkatan suku bunga juga tercermin dari peningkatan indeks harga konsumen IHK. Pada Tabel 49 diketahui bahwa inflasi meningkat sebesar 1.44 lebih tinggi dibandingkan kondisi baseline sebesar 0.46 persen. Peningkatan inflasi tersebut ternyata juga menyebabkan pertumbuhan tingkat upah riil relatif lebih rendah dibandingkan baseline. Berbeda dengan simulasi 2 dan simulasi 4, volatilitas harga ekspor industri dan devaluasi riil cenderung memberikan efek ekspansi bagi perekonomian. Efek ekspansi tersebut tercermin dari peningkatan GDP riil. Namun demikian, peningkatan GDP riil yang dicapai relatif sedikit berbeda dengan hasil simulasi baseline. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi lebih disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada produktivitas dan variabel makroekonomi dibandingkan peningkatan harga ekspor ataupun devaluasi riil. Berdasarkan Tabel 49 diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang dicapai didukung oleh peningkatan yang terjadi pada komponen-komponen pembentuk GDP tersebut. Peningkatan volatilitas harga ekspor industri simulasi 3 memberikan pengaruh peningkatan konsumi rumah tangga yang lebih besar pada simulasi 3 dibandingkan simulasi 1. Hal ini disebabkan peningkatan harga ekspor industri dapat mendorong peningkatakan pendapatan masyarakat yang lebih tinggi seperti tercermin pada peningkatan upah nominal serta peningkatan pembayaran agregat pada kapital, tenaga kerja dan lahan. Peningkatan pendapatan masyarakat tersebut mampu meningkatkan konsumsi rumah tangga meskipun tingkat harga mengalami kenaikan yang relatif tinggi. Pada simulasi 3, indek harga konsumen inflasi meningkat sebesar 3.16 persen lebih tinggi bila dibandingkan simulasi 1 yang mencapai peningkatan harga sebesar 0.46 persen. Selain konsumsi rumah tangga, peningkatan ekspor dan impor agregat yang dicapai pada simulasi 3 juga relatif lebih tinggi dibandingkan simulasi 1. Devaluasi riil yang negatifmenurun secara langsung akan mempengaruhi kondisi keseimbangan makro ekonomi. Hasil simulasi devaluasi riil menunjukkan pertumbuhan GDP riil yang relatif sedikit lebih tingggi dibandingkan kondisi baseline. Capaian GDP riil tersebut menunjukkan bahwa devaluasi riil yang terjadi masih berada pada level yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi terjadi meskipun pertumbuhan investasi dan ekspor agregat relatif lebih rendah dibandingkan baseline. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi ternyata lebih didorong oleh peningkatan konsumsi rumah tangga dan pengeluaran pemerintah. Meskipun tingkat upah riil relatif lebih rendah dibandingkan baseline, peningkatan konsumi masyarakat terjadi karena secara nominal masih menerima tingkat upah yang lebih tinggi. Disisi lain, total pembayaran agregat terhadap tenaga kerja dan lahan juga lebih besar dibandingkan baseline. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi penerimaan rumah tangga sebagai pemiliki input produksi. Lebih lanjut, perubahan penerimaan juga akan mempengaruhi tingkat konsumsi rumah tangga.

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

7.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan yang telah diuraikan maka kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah: 1. Sejumlah variabel ekonomi yang dianalisis menunjukan tingkat volatilitas yang bervariasi antar waktu time varying. Volatilitas harga minyak dunia menunjukan kecenderungan yang terus meningkat. Sementara itu, volatilitas harga ekspor industri menunjukan pola yang beragam. Harga ekspor industri besi baja menunjukan tingkat volatilitas yang lebih besar dibandingkan harga ekspor industri lainnya. Untuk variabel suku bunga riil, tingkat volatilitas yang dicapai relatif berfluktuasi pada nilai rataan volatilitasnya. 2. Secara keseluruhan sektor industri pengolahan menunjukkan respon kinerja yang relatif rentan terhadap shock volatilitas variabel ekonomi. Respon kinerja yang menurun ditunjukkan oleh sebagian besar sektor industri pengolahan terhadap shock volatilitas yang terjadi dalam perekonomian. 3. Daya tahan yang lebih baik terhadap shock volatilitas ditunjukkan oleh sektor industri yang cenderung memiliki keterkaitan dengan sektor pertanian seperti terjadi pada sektor industri makanan olahan dan industri pupuk dan pestisida. Salah satu faktor yang mempengaruhi kinerja industri makanan olahan adalah adanya dukungan ketersediaan sumber bahan baku lokal dari kelompok sektor pertanian. Sementara itu untuk industri pupuk dan pestisida, pertumbuhan permintaan input antara oleh sektor pertanian menjadi salah satu faktor yang mendorong pertumbuhan kinerja industri tersebut. 4. Pada kelompok industri yang berorientasi ekspor, shock volatilitas cenderung menurunkan kinerja ekspor. Tingkat produktivitas yang rendah merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan penurunan kinerja tersebut seperti terjadi pada industri tekstil, alas kaki dan kilang minyak. Faktor lain yang juga mempengaruhi kinerja industri orientasi ekspor adalah dukungan pertumbuhan pada sektor pemasok sumber bahan baku utama. Penurunan pertumbuhan sektor karet dan sektor kehutanan menjadi salah satu faktor yang menyebabkan penurunan kinerja industri karet dan plastik dan industri kertas. 5. Pada sisi makro, volatilitas harga minyak dunia dan suku bunga riil memberikan efek kontraksi terhadap pertumbuhan ekonomi serta mendorong kenaikan hargainflasi. Efek kontraksi juga tercermin pada pertumbuhan investasi yang lebih rendah dibandingkan baseline. Demikian pula dengan tingkat upah riil yang diterima tenaga kerja. Sementara itu, volatilitas harga ekspor industri dan devaluasi riil menyebabkan pertumbuhan GDP riil sedikit lebih tinggi dibandingkan baseline. Namun demikian, volatilitas kedua variabel ekonomi tersebut juga mendorong terjadinya inflasi dan penurunan tingkat upah riil.

7.2. Rekomendasi Kebijakan

Berdasarkan kesimpulan yang diperoleh maka rekomendasi yang diberikan adalah: 1. Volatilitas minyak dunia yang cenderung mengalami peningkatan dari waktu ke waktu mengindikasikan semakin terbatasnya pasokan minyak dunia dibandingkan pertumbuhan permintaannya dan tampaknya kondisi tersebut akan terus berulang pada masa mendatang. Kenaikan harga minyak dunia telah terbukti memberikan tekanan terhadap sejumlah sektor industri dan kondisi makroekonomi. Oleh karena itu, Pemerintah perlu merumuskan kebijakan yang dapat mendukung peningkatan kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia sebagai respon terhadap volatilitas harga minyak dunia yang terjadi serta antisipasi perkembangannya pada masa mendatang. 2. Relatif rentannya sektor industri pengolahan terhadap guncangan dalam perekonomian menunjukan perlunya perumusan strategi penguatan struktur industri sesuai karakteristik masing-masing industri dan didasarkan pada skala prioritas kebutuhan setiap industri. Strategi penguatan struktur industri yang disusun tersebut meliputi strategi penguatan internal spesifik industri dan intra-industri. 3. Pada kelompok industri yang tingkat produktivitasnya cenderung menurun seperti pada industri tekstil, alas kaki dan kilang minyak, maka strategi penguatan industri yang perlu diprioritaskan adalah peningkatan investasi dan adopsi teknologi dalam bentuk penggantianperemajaan mesin-mesin dan alat produksi sehingga dapat mencapai tingkat produktivitas yang lebih tinggi. 4. Penguatan sektor industri pengolahan yang berbasis sumber daya pertanian seperti: industri makanan olahan, industri makanan olahan laut, industri minyak lemak, industri karet, industri kertas, dan industri kayu dan berorientasi ekspor dapat dilakukan dengan menjaga pertumbuhan produksi dan peningkatan produktivitas sektor pertanian. Oleh karena itu, penguatan