Model ARCH-GARCH Kerangka Model

kuantitatif terhadap kinerja ekonomi baik secara makro maupun secara sektoral Horison, 1997. 2. Dibandingkan dengan model Input Output I-O, model CGE sudah memasukkan kemungkinan substitusi antara faktor produksi sehingga jika terjadi perubahan harga relatif dari suatu faktor produksi, produsen akan merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Sedangkan pada model I-O substitusi antara faktor produksi tidak dimungkinkan. Selain itu, pada model I-O dampak dari suatu kebijakan hanya dapat dianalisis di tingkat industri, sedangkan pada model CGE dampak kebijakan dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan diantara golongan rumah tangga, distribusi pendapatan diantara faktor produksi primer, neraca perdagangan dan sebagainya Horison, 1997. Lebih lanjut, Wobs 2001 menyatakan bahwa pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel endogen, sedangkan pada model I-O harga dianggap sebagai variabel eksogen. 3. Dibandingan dengan Social Accountinng Matrix SAM atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi SNSE, model CGE sudah memasukkan persamaan non linier. Disamping itu, pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel endogen. Sedangkan pada SAM sistem persamaan yang digunakan adalah persamaan linier dengan asumsi model Leontif, sehingga substitusi antara faktor tidak dimungkinan dan seperti pada model I-O, pada model SAM harga merupakan variabel eksogen. Perbedaan lainnya adalah pada SAM diasumsikan penawaran komoditi dan faktor produksi elastis sempurna, sedangkan pada CGE diasumsikan ada pembatasan supply Bautista et al, 1999. 4. Dibandingkan dengan model makro ekonometrika, model CGE dapat mengacu pada tahun tertentu particular benchmark years, sedangkan pada model makro ekonometrika data yang digunakan merupakan data deret waktu sehingga tidak dapat diaplikasikan pada tahun tertentu. Disamping itu dengan menggunakan model CGE hubungan antara makro ekonomi dangan mikroekonomi dapat diketahui, sementara pada model makro ekonometrika analisis dan dampak hanya dapat dilakukan di tingkat makro Horison, 1997. Sementara itu, CGE juga memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu Oktaviani, 2008: 1. Asumsi utama dalam model CGE mengenai struktur pasar adalah pasar persaingan sempurna PPS dengan kondisi constant return to scale, sehingga untuk komoditi dengan pasar non-PPS asumsi ini menjadi keterbatasan model. 2. Adanya ketergantungan model CGE pada parameter benchmark yang dikalibrasi, karena model CGE tidak dapat mengestimasi parameter-parameter tersebut. Sehingga untuk parameter-parameter tertentu biasanya diambil dari penelitian terdahulu. Permasalahannya kadang-kadang data tersebut, terutama di negara-negara berkembang tidak tersedia. 3. Model CGE terlalu kompleks dan terlalu banyak menggunakan asumsi, sehingga akan muncul permasalahan black box sehingga sulit untuk menerangkan jika hasil estimasi yang didapat tidak sesuai dengan teori ekonomi atau prediksi yang diharapkan. 4. Tidak seperti model ekonometrika, pada model CGE tidak ada validitas terhadap pengolahan, sehingga bagi orang-orang yang mengutamakan ke- validan dalam model merasa akan sangat riskan menggunakan model CGE. Validitas model dan data base ditunjukan dengan pemenuhan asumsi keseimbangan umum dan signifikansi dari parameter yang digunakan. 5. Model CGE tidak dapat menangkap perubahan perekonomian yang sangat besar tidak dapat menganalisis perubahan persentase lebih dari 100 persen. 2.3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Industri pengolahan merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian Indoensia. Kontribusi industri dalam perekonomian ditunjukan dalam hal pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja serta pembentukan devisa melalui ekspor. Data Badan Pusat Statistik BPS menunjukan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB pada tahun 2009 adalah sebesar 26.16 persen. Sementara itu, dalam penyerapan tenaga kerja kontribusi sektor industri adalah 12.24 persen dan kontribusi dalam ekspor adalah sebesar 73.69 persen dari total nilai ekspor non-migas. Kontribusi sektor industri yang relatif besar dalam perekonomian merupakan implikasi dari kinerja sektor industri tersebut. Kinerja yang dicapai sektor industri tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi faktor internal dan eksternal. Perkembangan yang terjadi pada internal dan eksternal faktor akan mempengaruhi kinerja sektor industri. Agar pertumbuhan yang dicapai sektor industri pengolahan dapat ditingkatkandipertahankan maka menjadi penting untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian. Dinamika yang terjadi dalam perekonomian global dan nasional pada tahun 2008 memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan sektor industri pengolahan di Indonesia. Pada akhir tahun 2007 sampai dengan awal 2008, dinamika perekonomian distimulus dengan terjadinya krisis enerji global yang memicu peningkatan harga minyak dunia. Harga minyak dunia meningkat dari kisaran 60-65 US per barrel pada pertengahan tahun 2007 melonjak di atas 100 US per barrel pada awal tahun 2008. Di dalam negeri kenaikan harga minyak dunia direspon oleh pemerintah dengan menaikan harga BBM jenis premium dan solar yaitu dari Rp 4 000liter menjadi Rp 6 000liter. Peningkatan harga BBM tersebut menjadi ganjalan yang sangat serius bagi pemulihan perekonomian nasional, tidak terkecuali bagi sektor industri pengolahan. Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri pengolahan tentunya akan mempengaruhi struktur biaya produksi. Sementara itu terhadap rumah tangga, kenaikan harga BBM cenderung akan menurunkan daya beli masyarakat. Peningkatan dalam biaya produksi di satu sisi dan penurunan daya beli masyarakat di sisi yang lain sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM pada akhirnya akan cenderung mendorong industri untuk melakukan pengurangan volume produksi dan rasionalisasi PHK karyawan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam perspesktif makro ekonomi, perubahan variabel harga BBM akan cenderung diikuti oleh penurunan volume produksi berbagai kelompok industri dan sektor perekonomian lainnya. Perubahan tersebut secara agregat akan menyebabkan turunnya total produksipendapatan nasional dan mendorong peningkatan pengangguran. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tentunya tidak diharapkan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Lebih lanjut, perkembangan yang terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 2008 adalah terjadinya penurunan harga minyak di pasaran internasional dan sudah direspon oleh pemerintah dengan menurunkan harga BBM dalam negeri. Pada bulan Desember 2008 Pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga BBM jenis premium dan solar dari Rp 6 000liter menjadi Rp 5 000liter yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009. Selanjutnya pemerintah kembali menurunkan harga kedua jenis BBM tersebut dari Rp 5 000liter menjadi Rp 4 500liter. Namun demikian, tekanan terhadap perekonomian nasional dan sektor industri justru muncul akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat diprediksikan akan mulai terasa dampaknya terhadap perekonomian dan industri Indonesia pada awal tahun 2009. Krisis keuangan di Amerika Serikat AS mengakibatkan menurunnya permintaan impor masyarakat AS terhadap produk industri, termasuk yang berasal dari Indonesia. Penurunan pasar ekspor Amerika Serikat terhadap produk industri pengolahan Indonesia memberikan tekanan terhadap berbagai industri pengolahan. Sejumlah industri merespon guncangan yang terjadi dengan melakukan rasionalisasi karyawan. Sementara itu, pemerintah menghimbau agar industri yang selama ini merupakan industri yang berorientasi ekspor untuk juga mengembangkan pasar domestik. Disamping itu, pemerintah juga mengambil sejumlah kebijakan untuk memberikan insentif kepada dunia usaha industri agar dapat terus berproduksi dalam situasi saat ini. Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mendorong dunia usaha antara lain adalah dengan menurunkan