PERSEPSI PETANI TERHADAP PENGEMBANGAN KOMODITAS GARUT (Maranta arundinacea L) DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO

(1)

commit to user

i

PERSEPSI PETANI TERHADAP PENGEMBANGAN

KOMODITAS GARUT (Maranta arundinacea L)

DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna memperoleh derajat Sarjana Pertanian

di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Jurusan/Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian

Oleh :

Marita Sopia Anggraini H0406003

Pembimbing : 1. Ir. Sutarto, MSi 2. Arip Wijianto, SP, MSi

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA 2011


(2)

commit to user

iii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah mencurahkan karunia-Nya sehingga penulis diberikan kesempatan untuk menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Persepsi Petani Terhadap Pengembangan Komoditas Garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo”. Tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Suntoro, MS selaku Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Dr. Ir Kusnandar, MSi selaku Ketua Jurusan Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

3. Ir. Sutarto, MSi selaku pembimbing akademik sekaligus pembimbing utama dalam penulisan skripsi.

4. Arip Wijianto, SP, MSi selaku pembimbing pendamping penulisan skripsi. 5. Ir. Supanggyo, MP selaku dosen penguji tamu.

6. Bapak Ketut dan seluruh karyawan Jurusan/ Program Studi Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta atas kemudahan dalam menyelesaikan administrasi penulisan skripsi.

7. Kepala Bappeda dan Kesbangpolinmas Kabupaten Sukoharjo yang telah mempermudah perizinan pengumpulan data.

8. Kepala UPTD TPH dan mba wiwin staff UPTD Tanaman Pangan dan Hortikultura Dinas Pertanian Kabupaten sukoharjo.

9. Segenap Penyuluh Pertanian di Balai Penyuluhan Pertanian Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

10.Pengurus dan anggota JARPETO (Jaringan Petani Organik) di Kabupaten Sukoharjo.

11.Kedua orang tua penulis Bapak Sukirno dan Ibu Supinah terimakasih atas kasih sayang, doa dan dukungan yang tiada henti. Dede Budi Lestyono dan Taufik Ramdhani Idayu atas segala dukungan serta kasih sayang yang membuat penulis selalu bersemangat dalam menjalani perkuliahan.


(3)

commit to user

iv

12.Nine Eleginia Setyawan dan Aulia Rizki Putri terima kasih atas bantuan, canda tawa, semangat, kebersamaan, persahabatan yang indah dan aku sayang kalian.

13.Indri, Fenny, Kuncoro “Bom2” cs, Andi, Darwis, Egi, Esti, Mumun, Harsini, Kuning, Sun2, Dayu, Anna, Mita, Lulu, Dian cs, Ule cs, Kemprit, Datik cs, Pipit, magangers jogja in love, anak buah dari Bapak Sutarto dan Bapak Arip Wijianto serta temen-temen yang pernah satu kelompok dalam praktikum, terima kasih untuk tawa kalian, semangat kalian, umpatan kalian, dan kebersamaan dengan kalian.

14.Kakak tingkat PKP 2005 mas Fajar, mas Punta, mas Zuhud, dan mas Bangkit kakak tingkat ilmu tanah 2005 terima kasih atas bantuan, saran, diskusi dan motivasi yang telah diberikan.

15.Anak-anak Kos Putri Gubug Esem (teo, mega, dian “mune”, tia’s family, Fian’s family, ame, mba dila, sari, dan ony) terima kasih atas dukungan, umpatan serta persahabatan selama ini.

16.Seluruh teman-teman Penyuluhan dan Komunikasi Pertanian angkatan 2006 di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta terimakasih atas kebersamaan dan kerjasamanya.

17.Semua pihak yang telah membantu kelancaran penulisan skripsi ini.

Pada akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang memerlukan.

Surakarta, Januari 2011


(4)

commit to user

ii

PERSEPSI PETANI TERHADAP PENGEMBANGAN

KOMODITAS GARUT (Maranta arundinacea L)

DI KECAMATAN POLOKARTO KABUPATEN SUKOHARJO

yang dipersiapkan dan disusun oleh Marita Sopia Anggraini

H 0406003

telah dipertahankan di depan Dewan Penguji pada tanggal : 18 Januari 2011

dan dinyatakan telah memenuhi syarat

Susunan Tim Penguji Ketua

Ir. Sutarto, MSi NIP. 19530405 198303 1 002

Anggota I

Arip Wijianto, SP, MSi NIP. 19771226 200501 1 002

Anggota II

Ir. Supanggyo, MP NIP. 19471007 198103 1 001

Surakarta, Januari 2011 Mengetahui

Dekan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret

Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS NIP. 19551217 198203 1 003


(5)

commit to user

v DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI... v

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN... xi

RINGKASAN ... xii

SUMMARY ... xiii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 4

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Kegunaan Penelitian ... 5

II. LANDASAN TEORI ... 7

A. Tinjauan Pustaka ... 7

1. Pembangunan Pertanian ... 7

2. Persepsi ... 8

3. Faktor Pembentuk Persepsi ... 10

4. Petani... 15

5. Garut (Maranta arundinacea L) ... 16

6. Pengembangan Komoditas Garut ... 19

B. Kerangka Berfikir ... 24

C. Hipotesis ... 25

D. Pembatasan Masalah ... 25

E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ... 26

III. METODE PENELITIAN ... 34

A. Metode Dasar Penelitian ... 34


(6)

commit to user

vi

C. Populasi dan Sampel ……….. 35

D. Jenis dan Sumber Data ... 36

E. Teknik Pengumpulan Data ... 37

1. Observasi ... 37

2. Wawancara ... 37

3. Pencatatan ... 38

F. Metode Analisis Data ... 38

IV. KONDISI UMUM WILAYAH ... 40

A. Keadaan Geografis ... 40

B. Keadaan Penduduk ... 41

C. Keadaan Pertanian ... 45

D. Sarana perekonomian ... 47

E. Pengembangan Komoditas Garut ... 48

V. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Karakteristik Individu Responden ... 51

B. Faktor Pembentuk Persepsi ... 53

1. Umur ... 53

2. Pendidikan Formal ... 54

3. Pendidikan Non Formal ... 55

4. Pengalaman ... 58

5. Pendapatan ... 61

6. Motivasi ... 63

C. Persepsi Petani Garut Terhadap pengembangan Komoditas Garut 65 1. Persepsi Petani Garut terhadap Ketersediaan Sarana Produksi 65 2. Persepsi Petani Garut terhadap Budidaya Garut ... 66

3. Persepsi Petani Garut terhadap Pengolahan Hasil Budidaya Garut 67 4. Persepsi Petani Garut terhadap Pemasaran ... 69

D. Hubungan Antara Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi Dengan Persepsi Petani Garut Terhadap Pengembangan Komoditas Garut 70 1. Hubungan antara umur (X1) dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 71


(7)

commit to user

vii

2. Hubungan antara pendidikan formal (X2) dengan persepsi

petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 72

3. Hubungan antara pendidikan non formal (X3) dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 73

4. Hubungan antara pengalaman (X4) dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 73

5. Hubungan antara pendapatan (X5) dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 74

6. Hubungan antara motivasi (X6) dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut ... 75

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 80 DAFTAR PUSTAKA


(8)

commit to user

viii

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi ... Tabel 2.2 Persepsi Petani Garut terhadap Ketersediaan Sarana Produksi ... Tabel 2.3 Persepsi Petani Garut terhadap Budidaya Garut ... Tabel 2.4 Persepsi Petani Garut terhadap Pengolahan Hasil Budidaya Garut .... Tabel 2.5 Persepsi Petani Garut terhadap Pemasaran Garut ... Tabel 3.1 Data Luas Lahan Tanaman Garut (Irut) Di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010 ... Tabel 3.2 Data Jumlah Responden Masing-Masing Desa ... Tabel 3.3 Data yang digunakan dalam penelitian ... Tabel 4.1 Keadaan penduduk menurut umur dan jenis kelamin

di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.2 Keadaan penduduk menurut tingkat pendidikan

di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.3 Keadaan penduduk menurut mata pencaharian

di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.4 Luas areal panen dan produksi tanaman pangan

di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.5 Jumlah ternak di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.6 Sarana perekonomian di Kecamatan Polokarto tahun 2008 ... Tabel 4.7 Kandungan gizi tepung garut dan tepung terigu dalam tiap 100gram Tabel 4.8 Data Produksi Tanaman Garut (Irut) Kabupaten Sukoharjo... Tabel 5.1 Karakteristik individu responden ... Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan umur ... Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan formal ... Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan pendidikan non formal ... Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan pengalaman ... Tabel 5.6 Distribusi responden berdasarkan pendapatan ... Tabel 5.7 Distribusi responden berdasarkan motivasi ... Tabel 5.8 Distribusi responden berdasarkan tingkat persepsi

terhadap pengembangan komoditas garut ...

Hal 28 30 31 32 33

35 36 37

41

43

44

46 47 47 48 49 51

53 54 56 59 62 64


(9)

commit to user

ix

Tabel 5.9 Uji Hipotesis hubungan antara faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut di sentra produksi garut

Kecamatan Polokarto ... 71


(10)

commit to user

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar.1 Skema Hubungan antara Faktor-Faktor yang Membentuk Persepsi Petani dengan Persepsi Petani terhadap Pengembangan Komoditas Garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo...

Hal


(11)

commit to user

xi

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Kuisioner Penelitian ... 85

Lampiran 2. Identitas Responden ... 94

Lampiran 3. Data Tabulasi Skor Variabel Penelitian ... 95

Lampiran 4. Hasil Perhitungan Korelasi Rank Spearman ... 97

Lampiran 5. Analisis Frekuensi Variable X dan Variable Y ... 98

Lampiran 6. Hasil Perhitungan T hitung ... 107

Lampiran 7. Hasil Analisis Usahatani Garut ... 110

Lampiran 8. Foto Kegiatan Pengolahan Garut ……….. 113

Lampiran 9. Surat Ijin Penelitian ... 115


(12)

commit to user

xiii SUMMARY

Marita Sopia Anggraini. H0406003. 2010, “Farmers’ Perceptions Towards The Development Of Garut Commodity In Subdistrict Polokarto Regency Sukoharjo”. This thesis guided by Ir. Sutarto, MSi and Arip Wijianto, SP, MSi. Agriculture Faculty, Sebelas Maret University Surakarta.

Garut plants (Maranta arundinacea L) is a type of tubers that contain lots of carbohydrates and can be used as an alternative food source. Garut plant can be substitute rice as staple crops without reducing the nutritional value. Garut production centers located in three villages in the Subdistrict Polokarto Regency Sukoharjo likes Polokarto Village, Bulu Village and Genengsari Village. At the garut production center, garut not only cultivated but also developed and utilized optimally to produce a variety of new processed products from garut tubers, such as garut flour and garut chips.

This research is aimed to analyze the factors of perception builder of farmers, to analyze the level of perception of farmers and to analyze the relationship of the factors and perception of garut farmers on garut commodity development. The basic method of this research is by using descriptive study with survai technique. The determination of the location of the research was done intentionally (purposive). Population in this research was the whole of farmers that cultivating garut . The respondents who were applied were 40 respondents by using proportional random technique (proportional random sampling). To know the factors in forming the perception and the level of perception of farmers by using the interval wide formula. While to know the relationship between the factors in forming the perception and the level of perception of farmers towards development of garut commodity used correlation of Rank Spearman (rs).

The result shows that age of respondent that is 25-35 years old as many 17 respondents or 42,5 percent. Formal education in great quantity is elementary graduated that is 21 respondents or 52,5 percent. Non formal education in great quantity is 22 respondents or 55 percent. The past experience in great quantity is 30 respondents or 75 percent. Income in great quantity is 27 respondents or 67,5 percent. Respondents Motivations in great quantity is 37 respondents or 92,5 percent.

The Result of the research show that the level of perception in the research area is 65 percent it means in good category. From the rank spearman analysis there is a real significant relationship is non formal educations with perception of farmers towards the development of garut commodity. There is a significant relationship is experience and motivations with perception of farmers. There is non-significant relationship between the ages, formal educations, and farmers income on garut commodity development with perception of farmers towards the development of garut commodity


(13)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sektor pertanian masih menjadi sektor yang memegang peranan penting dalam pembangunan ekonomi mengingat sebagian besar penduduk masih tergantung pada sektor ini. Pembangunan pertanian menurut Hadisapoetro

dalam Mardikanto (1994) didefinisikan sebagai suatu proses yang ditujukan

untuk selalu memperbesar produksi pertanian sekaligus mempertinggi pendapatan dan produktivitas usaha tiap-tiap petani dengan menambah peralatan, modal dan ketrampilan untuk memperbesar turut campur tangan manusia dalam perkembangan tumbuhan dan hewan. Pembangunan pertanian merupakan sebagai bagian dari pembangunan nasional, pelaksanaannya diarahkan untuk meningkatkan produktivitas yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan petani dan meningkatkan kesejahteraan petani. Dalam rangka meningkatkan produktivitas petani diperlukan tidak hanya modal berupa uang tetapi juga perlu suatu kemauan dan niat untuk melakukan suatu perubahan.

Salah satu upaya pemerintah dalam melakukan pembangunan sektor pertanian yaitu melalui kegiatan diversifikasi pertanian. Diversifikasi pertanian menurut Soetriono dkk (2006), merupakan upaya-upaya untuk mengembangkan atau menganekaragamkan usaha tani (mengusahakan beberapa jenis usaha tani serta mengembangkan produksi pokok menjadi beberapa produk baru). Diversifikasi pertanian bertujuan untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati yang terdapat di suatu daerah yang akan memperkaya jenis tanaman yang dibudidayakan di lahan usaha tani. Salah satu kegiatan diversifikasi pertanian yaitu melalui budidaya komoditas garut.

Indonesia tiap tahun mengimpor tepung terigu tidak kurang dari 3 juta ton, sehingga menguras devisa. Pada tahun 1998, impor tepung mencapai 3.150 juta ton atau setara dengan 4.250 juta ton gandum. Kebutuhan terigu Indonesia diperkirakan mencapai 5 juta ton pada tahun 2000 setara dengan


(14)

commit to user

devisa lebih dari US $ 1 miliar. pemerintah melalui APBN 1998/1999, pernah menetapkan subsidi impor terigu 1,9 triliun rupiah. Prospek pengembangan usaha tani (agribisnis) garut cukup cerah. Permintaan tepung terigu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini menunjukkan bahwa peluang tepung garut sebagai pengganti tepung terigu dalam negeri sangatlah besar (Rukmana,2000).

Tanaman garut dapat diambil patinya untuk dibuat menjadi tepung garut. Umbi garut dapat digunakan sebagai obat tradisional yang berkhasiat untuk mendinginkan perut, menawarkan racun ular, memperbanyak ASI, mengobati disentri, eksim dan penurun panas serta daun keringnya dapat dijadikan sebagai pakan ternak. Budidaya garut relatif mudah dengan modal yang tergolong murah, selain itu juga mudah ditumpangsarikan dengan tanaman palawija di ladang (tegalan) dapat juga tumbuh dengan mudah dibawah naungan tanaman lain di sekitar pekarangan rumah. Tanaman garut dapat menyesuaikan diri dengan kondisi kekurangan air, bahkan pada lahan kering garut dapat tumbuh dan menghasilkan produk dengan mutu yang baik. Melihat potensi dan prospek dari budidaya garut, maka dapat menjadi peluang bagi petani untuk meningkatkan usaha budidaya garut, sehingga mendukung bertambahnya pendapatan serta akan meningkatkan kesejahteraan keluarganya apabila dikembangkan secara optimal.

Tanaman garut sebenarnya telah lama tumbuh di lahan petani di Kecamatan Polokarto, akan tetapi masih banyak yang mengganggap garut sebagai tanaman liar. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan masyarakat tentang potensi yang dimiliki garut. Akan tetapi, setelah sebagian petani di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo mengetahui potensi yang dimiliki garut, maka mereka memulai untuk mengembangkan komoditas garut walaupun masih dalam skala kecil. Kecamatan Polokarto merupakan Kecamatan terluas di Kabupaten Sukoharjo yaitu seluas 6.218 Ha. Di Kecamatan Polokarto terdapat tiga Desa yang sebagian petaninya telah membudidayakan garut, yaitu terdiri dari Desa Polokarto, Desa Bulu dan Desa Genengsari. Di daerah tersebut garut tidak hanya dibudidayakan saja


(15)

commit to user

melainkan juga di kembangkan dan dimanfaatkan secara optimal sehingga menghasilkan berbagai produk olahan baru dari umbi garut, seperti tepung garut dan emping garut. Pemerintah dan JARPETO atau Jaringan Petani Organik juga ikut membantu petani untuk mengembangkan komoditas garut dengan cara mengadakan pelatihan tentang pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto, sehingga pelatihan ini dapat dimanfaatkan oleh petani-petani di Kecamatan Polokarto maupun petani-petani-petani-petani di kecamatan lain apabila mereka ingin mengetahui informasi tentang pengembangan komoditas garut.

Persepsi merupakan proses aktif penggunaan pikiran sehingga menimbulkan tanggapan terhadap suatu rangsang. Persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut perlu mendapat perhatian yang mendalam. Hal ini dikarenakan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut akan mempengaruhi pemikiran petani dalam membudidayakan garut serta mengembangkan komoditas garut. Sehingga, dapat mempengaruhi keberlanjutan komoditas garut khususnya di Kecamatan Polokarto. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Rogers (1983) bahwa persepsi merupakan bagian yang penting dalam penentuan sikap seseorang di dalam tahap persuasi, tahap persuasi ini merupakan tahap dimana persepsi umum masyarakat terhadap suatu inovasi ini dibangun. Oleh karena itu, penting untuk diadakannya penelitian tentang persepsi.

Peneliti memilih lokasi di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dengan pertimbangan bahwa daerah tersebut sangat potensial bagi budidaya tanaman garut dan Kecamatan Polokarto memiliki luas lahan terluas untuk budidayakan garut di Kabupaten Sukoharjo, dan petaninya telah mengembangkan komoditas garut menjadi olahan baru berupa tepung garut dan emping garut. Penelitian tentang persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) dilakukan untuk mengkaji faktor-faktor pembentuk persepsi, persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut dan hubungan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut.


(16)

commit to user

Persepsi petani dapat menjadi salah satu dasar pengambilan keputusan petani dalam mengembangkan komoditas garut, sehingga penting diteliti untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan kebijakan yang mendukung pengembangan komoditas garut, khususnya di Kecamatan Polokarto.

B. Perumusan Masalah

Tanaman garut (Maranta arundinacea L) merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang banyak mengandung karbohidrat dan dapat dimanfaatkan sebagai sumber makanan alternatif. Umbi garut dapat diolah menjadi berbagai produk pangan, seperti emping garut, tepung garut yang selanjutnya dapat diolah untuk berbagai macam makanan contohnya bubur dan kue. Selain itu, daun kering dari tanaman garut dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak dan garut juga memiliki khasiat sebagai obat terhadap penyakit diare. Tanaman garut juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber bahan pangan lokal yang yang dapat menggantikan beras sebagai karbohidrat.

Kenyataannya tanaman garut masih dibiarkan tumbuh secara liar di pekarangan, tegal sehingga belum dibudidayakan secara intensif. Padahal pengembangan garut secara intensif mulai dari tahap pengolahan tanah sampai dengan tahap pemanenan bertujuan agar hasil tanaman garut yang berupa umbi dapat mencapai hasil yang maksimal. Budidaya tanaman garut tidak membutuhkan lahan secara spesifik dalam arti tanaman garut dapat tumbuh dimana saja bahkan dibawah naungan tanaman lain. Selain itu, umbi garut kurang dimanfaatkan secara optimal. Sebenarnya, umbi garut dapat diolah menjadi berbagai produk baru, misalnya tepung garut dan emping garut. Umbi garut yang telah diolah memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan dengan umbi garut yang tidak diolah lebih lanjut.

Pengembangan komoditas garut dari segi budidaya garut, pengolahan garut hingga pemasaran garut dapat menimbulkan respon dari petani melalui rangsangan sosial dan reaksi yang bersifat emosional sehingga menimbulkan persepsi pada diri petani. Persepsi seseorang terhadap sesuatu hal tidak dapat berjalan secara spontan tetapi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dapat membentuk persepsi, antara lain umur, pendidikan formal dan non formal,


(17)

commit to user

pengalaman, pendapatan dan motivasi. Persepsi petani garut terhadap pengembangan komoditas garut akan mempengaruhi keberlanjutan dari keberadaan komoditas garut untuk masa yang akan datang.

Berdasarkan uraian tersebut maka terdapat beberapa permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi :

1. Apa sajakah faktor-faktor pembentuk persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo?

2. Bagaimana persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo?

3. Bagaimana hubungan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang telah disampaikan maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis faktor-faktor pembentuk persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

2. Menganalisis persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

3. Menganalisis hubungan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan dari penelitian yang dilakukan adalah sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, sebagai sarana mengembangkan pola pikir, menambah

pengalaman dan merupakan syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bagi pemerintah dan instansi terkait, diharapkan dapat menjadi bahan

pertimbangan dalam menentukan kebijakan selanjutnya, khususnya dalam pengembangan komoditas garut.


(18)

commit to user

3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan bahan informasi dan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.


(19)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Pembangunan Pertanian

Mardikanto (1994), menjelaskan bahwa pembangunan pertanian dapat diartikan sebagai suatu proses yang ditujukan untuk memperoleh kenaikan produksi pertanian dan untuk mempertinggi pendapatan. Produktivitas usaha tiap-tiap petani dengan jalan menambah modal dan ketrampilan (skill) untuk memperbesar turut campur tangan manusia didalam perkembangan tumbuhan dan hewan. Sedangkan menurut Hadisapoetra (1973), menyatakan bahwa dari definisi pembangunan pertanian telah dinyatakan bahwa tujuannya adalah peningkatan produksi pertanian dan mempertinggi pendapatan dari produktivitas usaha tiap-tiap petani. Terjadinya proses pembangunan didalam bidang pertanian pada pokoknya ditentukan oleh faktor-faktor modal, ketrampilan (skill), tenaga, alam, kesediaan petani sendiri dan kebutuhan akan tambahan hasil pertanian

Pembangunan pertanian perlu lebih mengutamakan kegiatan penyuluhan yang bertujuan untuk mengubah perilaku masyarakat (petani), agar selalu siap dan mampu menguasai serta menerapkan setiap alternatif inovasi yang dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas usahatani dan pendapatan petani, demi perbaikan kesejahteraan keluarga dan masyarakat (Mardikanto, 1993).

Soetrisno (1999) menjelaskan bahwa mayoritas penduduk negara-negara yang sedang berkembang adalah petani. Demikian halnya dengan Indonesia yang sebagian besar penduduknya bermata pecaharian sebagai petani. Oleh karena itu, pembangunan pertanian haruslah merupakan tujuan utama. Mardikanto (1996) juga menjelaskan bahwa pembangunan merupakan upaya sadar dan terencana untuk melaksanakan perubahan-perubahan yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi dan perbaikan


(20)

commit to user

mutu hidup atau kesejahteraan seluruh warga masyarakat untuk jangka panjang, yang dilaksanakan oleh pemerintah dan didukung oleh partisipasi masyarakatnya dengan menggunakan teknologi yang terpilih.

Mosher (1978), menyatakan bahwa pembangunan pertanian tidak bisa lepas dari penggunaan teknologi baru mengingat dinamika perubahan preferensi konsumen akan produk pertanian yang cepat berubah. Lima faktor pokok yang perlu diperhatikan dan senantiasa perlu dipenuhi yaitu: a. Adanya pasar produk pertanian,

b. Adanya teknologi yang selalu berubah yang dikuasai petani, c. Adanya atau tersedia sarana produksi secara lokal,

d. Adanya insentif produksi bagi petani, e. Adanya transport yang memadai. 2. Persepsi

Menurut Effendy (1990), persepsi adalah pengindraan terhadap suatu kesan yang timbul dalam lingkungan pengindraan ini dipengaruhi oleh pengalaman, kebiasaan dan kebutuhan. Selain itu pengetahuan dan pengalaman akan memperkaya pikirannya dengan perbendaharaan untuk memperkuat daya persepsinya. Sedangkan Rakhmat (1998), berpendapat bahwa persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan. Dengan kata lain persepsi ialah memberikan makna pada rangsangan inderawi.

Menurut pendapat Walgito (1997), persepsi merupakan suatu proses yang didahului oleh penginderaan, yaitu merupakan proses yang berwujud diterimanya stimulus oleh individu melalui alat reseptornya. Namun proses itu tidak berhenti sampai disitu saja, melainkan stimulus itu dilanjutkan atau diteruskan ke pusat susunan syaraf yaitu otak dan terjadilah proses psikologis, sehingga individu menyadari apa yang ia lihat, apa yang ia dengar, dan individu mengalami persepsi. Sedangkan menurut Boedaken et all (1975), menyatakan persepsi adalah proses yang kompleks, dimana kita memilih, mengatur, dan menginterprestasikan


(21)

commit to user

stimulus atau stimulasi sensor menjadi sebuah pandangan dunia yang sangat bermakna.

Chaplin (1974), menjelaskan bahwa didalam persepsi, orang yang mempersepsikan sesuatu sadar terhadap objek-objek atau kejadian di lingkungannya dan tidak selalu dapat dengan mudah untuk dipengaruhi. Selain itu, kesadaran ini berarti bahwa seseorang mempunyai keyakinan untuk melihat objek berdasarkan karakter setiap kejadian, situasi, waktu dan tempat. Gilmer (1975) menjelaskan bahwa pengalaman masa lalu mempengaruhi persepsi. Mengabaikan pengalaman masa lalu seseorang sama saja dengan mengabaikan hal pokok yang paling menentukan persepsi.

Neisser dalam Gavin (1998), menyatakan bahwa persepsi melibatkan skema, eksplorasi, dan rangsangan. Perseptual skemata (representasi internal) eksplorasi perseptual langsung terhadap rangsangan lingkungan yang relevan. Eksplorasi dapat berarti bergerak, dan memungkinkan sampling dari rangsangan yang tersedia. Jika sampel tidak cocok skema, maka skema yang memainkan peran yang lebih besar. teori konstruktivis tersebut dapat menjelaskan ilusi visual yang lebih baik daripada langsung mengarah ke teori-teori persepsi. Jika informasi yang tersimpan digunakan untuk memahami rangsangan pada saat ini, ilusi mungkin hasil penerapan pengetahuan yang salah.

Devito (1997), menyatakan bahwa persepsi adalah proses dimana kita menjadi sadar akan banyaknya stimulus yang mempengaruhi indera kita. Persepsi mempengaruhi ransangan (stimulus) atau pesan apa yang kita serap dan apa makna yang kita berikan kepada mereka ketika mencapai kesadaran. Proses persepsi sendiri dapat dijelaskaan dalam tiga tahap yang bersifat kontinyu, bercampur-baur dan bertumpang tindih satu sama lain. Ketiga tahap itu adalah:

a. Terjadinya stimulasi alat indera (sensory stimulation), dimana alat indera distimulasi (dirangsang), seperti misalnya mendengarkan suara musik.


(22)

commit to user

b. Stimulasi terhadap alat indera diatur, dimana rangsangan terhadap alat indera diatur menurut berbagai prinsip.

c. Stimulasi alat indera ditafsirkan-dievaluasi, dimana merupakan proses subyektif yang melibatkan evaluasi dipihak penerima.

Persepsi adalah proses dengan bagaimana kita menerima informasi atau rangsangan dari lingkungan kita dan mengubahnya menjadi kesadaran psikologis. Morgan menjelaskan persepsi sebagai “proses membedakan antara rangsangan dan interpreating makna mereka. Itu campur tangan antara proses sensori, di satu sisi, dan perilaku, di pihak lain. Menjadi proses campur tangan tidak langsung dapat diamati (Hawkins et all, 1982).

3. Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi

Mulyana (2001), menyatakan bahwa atensi yang merupakan bagian proses dari persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor sosial budaya seperti gender, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan, pendapatan, peranan, status sosial, pengalaman masa lalu, kepemilikan luas lahan, kebiasaan dan bahkan faktor-faktor psikologis seperti kemauan, keinginan, motivasi, pengharapan, dan sebagainya. Sedangkan, menurut Rakhmat (1998) menyebutkan keragaman persepsi meliputi faktor personal dalam individu berupa umur, pendidikan, pengetahuan, pengalaman dan luas penguasaan lahan.

Menurut Hernanto (1993), umur akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon terhadap hal-hal baru dalam menjalankan usaha. Selain itu umur mempengaruhi pembentukan sikap dan pola tingkah laku seseorang. Makin bertambahnya umur diharapkan seseorang bertambah pula kedewasaannya, makin mantap pengendalian emosinya, dan makin tepat segala tindakannya. Sedangkan berdasarkan data stastistik Indonesia (2009), menyatakan bahwa dalam pembahasan demografi pengertian umur adalah umur pada saat ulang tahun terakhir.

Faktor umur seseorang akan mempengaruhi persepsi terhadap suatu inovasi. Klasifikasi ciri-ciri pengadopsi yang masuk kelompok


(23)

commit to user

lambat dan lamban, mereka rata-rata memiliki umur yang lebih tua, sehingga kemampuan fisiologis sudah berkurang seperti pendengaran penglihatan dan sebagainya (Sumintaredja dkk, 2001).

Umur petani akan mempengaruhi kemampuan fisik dan respon dalam menjalankan usaha taninya, makin muda petani biasanya mempunyai semangat untuk ingin tahu apa yang belum diketahui, sehingga dengan demikian mereka akan berusaha lebih cepat melakukan adopsi inovasi walaupun sebenarnya mereka masih belum bepengalaman dalam soal inovasi tersebut (Soekartawi, 1988).

Umur dan jenis kelamin merupakan ciri untuk melihat adanya perbedaan status sosial. Biasanya didasarkan persepsi dari masing-masing orang. Hal ini seperti bentuk lain dari stratifikasi yaitu berbagai stratifikasi

umur dari kebudayaan satu ke kebudayaan lainnya (Schaefer and Robert, 1983).

Menurut Suhardiyono (1992), pendidikan formal merupakan struktur dari suatu sistem pengajaran yang kronologis dan berjenjang, lembaga pendidikan mulai dari pra sekolah sampai dengan perguruan tinggi. Sedangkan menurut Mulyana (2001), menyatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang merupakan faktor internal yang mempengaruhi atensi, semakin besar perbedaan aspek-aspek internal maka semakin besar perbedaan persepsi mereka mengenai realita.

Menurut Rakhmat (1998), perbedaan tingkat pendidikan akan menghasilkan persepsi yang berbeda pula pada suatu obyek atau peristiwa. Sedangkan menurut Soekartawi (1988), mereka yang berpendidikan tinggi adalah relatif lebih cepat dalam melaksanakan adopsi inovasi, begitupula sebaliknya mereka yang berpendidikan rendah, mereka agak kesulitan untuk melaksanakan adopsi inovasi dengan cepat.

Pendidikan meliputi mengajar dan mempelajari pengetahuan, kelakuan yang pantas, dan kemampuan teknis. Semua itu terpusat pada pengembangan ketrampilan, ketrampilan (kejuruan) atau pekerjaan,


(24)

commit to user

maupun mental, moral dan estetika pertumbuhan (Schaefer dan Robert, 1983).

Pendidikan nonformal menurut Sastraatmadja (1993), yaitu sebagai pendidikan yang tidak mengenal batasan umur, kurikulum, uang sekolah, ruangan tertentu dan tidak mengenal waktu. Pendidikan nonformal di bidang pertanian biasanya dilakukan melalui kegiatan penyuluhan. Penyuluhan pertanian merupakan pendidikan non formal yang ditujukan kepada petani beserta keluarganya yang hidup di pedesaan dengan membawa dua tujuan utama yang diharapkannya. Untuk jangka pendek adalah menciptakan perubahan perilaku termasuk di dalamnya sikap, tindakan dan pengetahuan, serta untuk jangka panjang adalah menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan jalan meningkatkan taraf hidup mereka.

Pendidikan Non Formal diartikan sebagai penyelenggaraan pendidikan yang terorganisir yang berada di luar sistem pendidikan sekolah, isi pendidikan terprogram, proses pendidikan yang berlangsung berada dalam suatu situasi interaksi belajar mengajar yang banyak terkontrol (Mardikanto dan Sutarni, 1982).

Pendidikan non formal mengarah pada pendidikan yang bertempat di luar dari aturan non formal. Khususnya, istilah atau ungkapan pendidikan non formal digunakan pada orang dewasa yang buta huruf dan pendidikan lanjutan untuk orang dewasa (Spencer, 1981).

Menurut Kartasapoetra (1991), Penyuluhan merupakan suatu sistem pendidikan yang bersifat non formal/sistem pendidikan diluar sistem persekolahan yang biasa dimana orang ditunjukkan cara-cara mencapai sesuatu dengan memuaskan sambil orang itu kerap mengerjakan sendiri, jadi belajar dengan mengerjakan sendiri.

Pendidikan non formal adalah pengajaran sistematis yang diorganisir di luar sistem pendidikan formal bagi sekelompok orang untuk memenuhi keperluan khusus. Pendidikan non formal seperti penyuluhan pertanian, pemberantasan buta huruf, pendidikan bidang kesehatan,


(25)

commit to user

keluarga berencana, program pemerintah dan lain-lainnya, mempunyai potensi sangat besar di daerah pedesaan sebagai akibat kurang tersedianya pendidikan formal karena pendidikan non formal ini dapat dipergunakan sebagai sarana untuk meningkatkan standar kehidupan dan produktifitas kegiatan usaha yang dilakukan oleh masyarakat pedesaan (Suhardiyono, 1992).

Mahmud (1990), berpendapat bahwa persepsi pada suatu waktu tertentu tergantung bukan saja pada stimulus sendiri, tetapi juga pada latar belakang beradanya stimuli itu, seperti pengalaman-pengalaman sensoris yang terdahulu. Sedangkan menurut Rakhmat (1998), pengalaman mempengaruhi kecermatan persepsi. Pengalaman tidak selalu lewat proses belajar formal. Pengalaman kita bertambah juga melalui rangkaian peristiwa yang pernah kita hadapi. Semakin banyak pengalaman seseorang maka akan semakin cermat pula seseorang dalam mempersepsikan suatu obyek.

Colhoun dan Acocella (1990), berpendapat bahwa pengalaman merupakan hasil peristiwa yang menyenangkan atau menyakitkan terhadap suatu obyek. Orang akan mengembangkan sikap positif terhadap obyek bila itu menyenangkan dan sebaliknya jika obyek menyakitkan, ia akan mengembangkan sikap negatif.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi menurut W.Stern

dalam Walgito (1997), menyatakan bahwa pembawaan maupun

pengalaman atau lingkungan mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan individu, teori ini dikenal dengan teori konvergensi. Perkembangan individu termasuk di dalamnya persepsi terhadap sesuatu, juga ditentukan oleh faktor endogen (bawaan sejak lahir), maupun faktor lingkungan (termasuk pendidikan) yang merupakan faktor eksogen. Faktor lingkungan ynag mempunyai peranan yang penting dalam perkembangan individu yaitu lingkungan fisik dan lingkungan sosial

Tingkat pendapatan (ekonomi) sebagai faktor internal jelas mempengaruhi persepsi seseorang terhadap suatu realitas. Semakin besar


(26)

commit to user

perbedaan pendapatan antara dua orang, maka semakin besar pula perbedaan persepsi seseorang terhadap realitas (Mulyana, 2001).

Soekartawi (1988), mengemukakan bahwa petani dengan tingkat pendapatan yang tinggi ada hubungannya dengan penggunaan inovasi. Petani dengan pendapatan tinggi akan lebih mudah melakukan sesuatu yang diinginkan sehingga akan lebih efektif dalam partisipasi. Sedangkan menurut Hernanto (1984), pendapatan merupakan faktor yang sangat penting dalam menunjang perekonomian keluarga. Tingkat pendapatan merupakan salah satu indikator sosial ekonomi seseorang di masyarakat disamping pekerjaan, kekayaan dan pendidikan.

Pendapatan adalah dapat berupa pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan pokok, pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan sampingan dan pendapatan yang diperoleh dari usaha subsistem dari semua anggota rumah tangga, pendapatan dan penerimaan anggota rumah tangga dapat diperinci atas pendapatan berupa uang, pendapatan berupa barang, lain-lain penerimaan uang dan barang (Sumardi dan Evers, 1982).

Cara lain untuk mengukur ekonomi keluarga dengan lebih spesifik adalah dengan pendapatan keluarga dan pengumpulan Sumber Daya. Pemilikan tanah dan penggunaan tanah sangat berpengaruh terhadap gizi keluarga, pendapatan keluarga menggambarkan hanya sebagian dari Sumber Daya keluarga. Kebutuhan akan papan, pangan dan sandang merupaka kebutuhan pokok keluarga (Sukarni, 1994).

Menurut Rakhmat (1998), tenaga-tenaga motivasional sangat penting dalam menentukan perhatian dan persepsi. Tidak jarang efek motivasi menimbulkan distraksi atau distorsi (meloloskan apa yang patut diperhatikan, atau melihat apa yang sebenarnya tidak ada). Dikemukakan juga oleh Mulyana (2001), bahwa motivasi merupakan faktor internal yang mempengaruhi persepsi seseorang.

Persepsi dipengaruhi oleh kebutuhan dan motivasi yang memiliki arti dorongan, berasal dari bahasa latin movere yang berarti mendorong,


(27)

commit to user

atau menggerakkan. Motivasi inilah yang mendorong seseorang untuk berperilaku, beraktivitas dalam pencapaian tujuan (Widayatun, 1999).

As’ad (1995) mengartikan motivasi sebagai dorongan. Dorongan atau tenaga tersebut merupakan gerak jiwa dan jasmani untuk berbuat sehingga motif tersebut merupakan suatu “driving force” yang menggerakkan manusia untuk bertingkah laku dan di dalam perbuatannya itu mempengaruhi tujuan tertentu. Oleh karena itu, motivasi juga disebut sebagai “the processby which behavior is energized and directed”. Dengan kata lain, motif adalah yang melatarbelakangi individu berbuat untuk mencapai tujuan.

Motivasi merupakan proses atau faktor yang menyebabkan seseorang melakukan suatu tindakan dengan cara-cara tertentu. Memotivasi maksudnya mendorong seseorang mengambil tindakan tertentu. Proses motivasi terdiri dari : a) identifikasi atau apresiasi kebutuhan yang tidak memuaskan; b) menetapkan tujuan yang dapat memenuhi kepuasan dan; c) menyelesaikan suatu tindakan yang dapat memberikan kepuasan (Johannsen and Terry, 1990).

Motivasi adalah dorongan atau tekanan yang menyebabkan seseorang melakukan atau tidak melakukan kegiatan. Karena itu keputusan petani untuk menerima sebuah inovasi dipengaruhi oleh motivasi yang dimiliki oleh petani itu sendiri ke arah perubahan (Mardikanto, 1997).

Menurut Mc Donald dalam Sardiman (1992) motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya

“feeling” dan didahului dengan tanggapan terhadap adanya tujuan. Dari

pengertian tersebut mengandung tiga elemen penting :

1) Bahwa motivasi itu mengawali terjadinya perubahan energi pada diri setiap individu manusia. Perkembangan motivasi akan membawa beberapa perubahan energi di dalam system” neurophysiological”

yang ada pada organisme manusia. Karena menyangkut perubahan energi manusia (walaupun motivasi itu muncul dari dalam diri


(28)

commit to user

manusia), penampakkannya akan menyangkut kegiatan fisik manusia.

2) Motivasi ditandai dengan munculnya, rasa/”feeling”, afeksi seseorang. Dalam hal ini motivasi relevan dengan persoalan-persoalan kejiwaan, afeksi dan emosi yang dapat menentukan tingkah laku manusia.

3) Motivasi akan dirangsang karena adanya tujuan. Jadi motivasi dalam hal ini sebenarnya merupakan respons dari suatu aksi, yakni tujuan. Motivasi memang muncul dari dalam diri manusia, tetapi kemunculannya karena terangsang/terdorong oleh adanya unsur lain, dalam hal ini adalah tujuan. Tujuan ini akan menyangkut soal kebutuhan.

4. Petani

Wolf dalam Mardikanto (1994) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan petani (peasant) adalah orang yang bercocok tanam di pedesaan dengan mengusahakan tanaman dan hewan ternak. Lebih lanjut dikemukakan bahwa petani mempunyai kedudukan rangkap yaitu sebagai pelaku ekonomi yang sekaligus juga sebagai kepala rumah tangga di dalam kehidupannya.

Petani adalah mereka yang untuk sementara waktu atau tetap menguasai sebidang tanah pertanian, menguasai sesuatu cabang usaha tani dan mengerjakan sendiri, baik dengan tenaga sendiri maupun tenaga bayaran. Petani bukanlah bawahan penyuluh, berarti tidak ada pula sifat perintah dan tugas serta kewajiban tertentu sesuatu hal, tidak pula sesuatu sangsi jabatan terhadap hasil kerja yang telah diperlihatkan oleh petani (Samsudin, 1982).

Para petani harus selalu memutuskan apa yang dihasilkannya dan bagaimana menghasilkannya. Petani Indonesia pada umumnya dapat dibagi dalam tiga kelompok rumah tangga berdasarkan luas usaha taninya: usaha tani luas yang memiliki lahan 0,5 hektar atau lebih; petani kecil atau marjinal dengan luas lahan rata-rata dibawah 0,5 hektar; dan petani tuna


(29)

commit to user

lahan yang mungkin hanya memiliki sedikit pekarangan di sekitar rumahnya (Makeham dan Malcolm, 1991).

Petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil laut. Peranan petani sebagai pengelola usahatani berfungsi mengambil keputusan dalam mengorganisir faktor-faktor produksi yang diketahui (Hernanto, 1993).

Mosher (1978), memberikan gambaran yang agak luas tentang “petani”, yaitu:

a. Petani sebagai manusia

Petani seperti halnya manusia yang lain, ia juga rasional, memiliki harapan-harapan, keinginan-keinginan, dan kemauan untuk hidup lebih baik. Di samping itu, petani seperti halnya manusia, yang lain juga memiliki harga diri dan tidak bodoh, sehingga memiliki potensi yang dapat dikembangkan guna memperbaiki hidupnya.

b. Petani sebagai juru tani

Petani yang melakukan kegiatan bertani, yang memiliki pengalaman dan telah belajar dari pengalamannya. Hasil belajarnya itu tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang mereka terapkan dalam kegiatan bertani.

c. Petani sebagai pengelola usahatani

Petani selain sebagai manusia dan juru tani, seorang petani umumnya juga pengelola atau “manajer” dari usahataninya. Hal ini berati bahwa petani adalah orang yang memiliki wewenang untuk mengambil keputusan sendiri tentang usahatani yang dikelolanya, serta terbiasa mempertanggungjawabkan hasil pengelolaannya itu kepada keluarga serta masyarakat di lingkungannya.


(30)

commit to user 5. Garut (Maranta arundinacea L)

Menurut Rukmana (2000), tanaman garut termasuk spesies

Maranta arundinacea, mempunyai taksonomi (sistematika) sebagai

berikut:

Divisi : Spermatophyta Sub Divisi : Angiospermae Kelas : Monocotyledonae Ordo : Zingiberales Famili : Marantaceae Genus : Maranta

Spesies : Maranta arundinacea Linn

Garut atau airut ditanam untuk rimpangnya dalam tanah yang mengandung sekitar 20% pati berkualitas tinggi yang mudah dicerna dan cocok untuk bayi, orang cacat dan orang tua. Tanaman ini merupakan tanaman menahun dengan tinggi kira-kira 1 meter. Tanaman ini diperbanyak dengan potongan-potongan rimpang yang bertunas, atau dari pucuknya (Williams et all, 1993).

Garut (Maranta arundinacea L) kadang-kadang disebut juga west indian arrowroot untuk membedakannya dengan tanaman ubi yang lain misalnya queensland arrowroot (ganyong) dan brazilian arrowroot

(singkong). Bentuk tanaman ini adalah herba yang merumpun, tingginya 1,0-1,5 m dengan perakaran dengkal dan rhizome 20-45 cm, sedang diameternya 2-5 cm. Agar garut dapat hidup dengan subur dan berproduksi tinggi, diperlukan syarat-syarat untuk hidupnya, tanaman garut memerlukan curah hujan minimum 150-200 cm perbulan. Tanah yang digemari adalah tanah lempung yang subur terutama tanah lempung yang berpasir yang banyak mengendung mineral vulkanik. Umumnya garut dapat tumbuh normal pada ketinggian 900 m dari permukaan air laut (Lingga, 1986).

Umbi garut dapat dibuat tepung dan pati garut yang dapat disimpan lama ditempat yang kering. Mutu tepung garut yang satu dan lainnya


(31)

commit to user

sangat berlainan, tergantung cara pengolahan dan mutu bahan bakunya. Tepung garut kualitas komersial berwarna putih, bersih, bebas dari noda dan kadar airnya tidak lebih dari 18,5 %, kandungan abu dan seratnya rendah, pH 4,5 - 7 (Lesman, 2009).

Pengembangan usahatani garut secara intensif berpola agribisnis dan agroindustri merupakan strategi dan solusi untuk menekan atau menyetop impor tepung terigu untuk kemudian dapat digantikan sebagai tepung garut, sehingga tanaman garut memiliki prospek cerah untuk dibudidayakan (Rukmana, 2000).

6. Pengembangan Komoditas Garut

Teknik budidaya tanaman garut adalah sebagai beikut : a. Pengolahan Tanah

Tanah diolah sampai gembur dan bebas dari gulma (rumput liar), kemudian dikeringkan selama 15 hari. Tanah yang sudah diolah dipola untuk dibuat bedengan-bedengan selebar 120 cm, tinggi 25-30 cm, panjang di sesuaikan dengan keadaan lahan dan jarak antar bedengan 30-50 cm (Rukmana, 2000).

b. Pemilihan Bibit

Bibit yang dipilih dengan ujung umbi sepanjang 4-7 cm, sehat gemuk dan mempunyai 2-4 mata tunas. Kebutuhan bibit tiap hektar adalah sekitar 3000-3500 kg bibit (Rukmana, 2000).

c. Penanaman

Lubang tanam dibuat sedalam 8-15 cm. Jarak lubang tanaman 37,5 x 75 cm. Waktu tanam yang paling baik adalah awal musim hujan. Tiap lubang musim tanam yang ada ditanami dengan satu bibit terpilih (Rukmana, 2000).

d. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi kegiatan penyiangan, pengairan, pembumbunan, pemupukan susulan, dan perlindungan tanaman.


(32)

commit to user 1) Penyiangan

Dilakukan pada waktu tanaman garut berumur 3-4 bulan. Penyiangan dilakukan tiap bulan sekali pada fase tanaman garut mulai berbunga penyiangan dihentikan.

2) Pengairan

Pada fase awal pertumbuhan bibit, dibutuhkan kondisi tanah yang lembab sehingga tanah yang kering harus diairi. Caranya dengan mengalirkan air melalui selang atau pipa ke areal kebun.

3) Pembumbunan

Membumbun dilakukan mula-mula dengan menggemburkan tanah di sekeliling batang tanaman garut, kemudian tanahnya ditimbunkan pada bidang pangkal batang tanaman hingga membentuk guludan kecil.

4) Pemupukan Susulan

Pemupukkan susulan dilakukan saat tanaman garut berumur 3,5 bulan. Cara pemupukan adalah dengan ditabur pada alur-alur dangkal di sepanjang antar barisan tanaman.

5) Perlindungan Tanaman

Perlindungan tanaman ditunjukkan pada gangguan hama dan penyakit yang menyerang. Hama penting yang perlu di waspadai adalah ulat penggulung daun (Colopedes athlius cran) dan belalang.

(Rukmana, 2000). e. Panen

Pemanenan umbi garut dapat dilakukan pada waktu tanaman berumur 10-12 bulan setelah tanam. Tanaman garut yang layak dipanen adalah yang memiliki ciri-ciri daun-daunnya menguning dan layu atau mati, serta batang-batangnya roboh. Cara memanen adalah dengan mencabut atau membongkar rumpun tanaman hingga


(33)

umbi-commit to user

umbinya terkuak ke permukaan tanah. Produksi umbi garut berkisar 7,5-37 ton/ha (Rukmana, 2000).

Pentingnya agribisnis di Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani. Agribisnis didukung oleh beberapa sub sistem yang meliputi sub sistem pengadaan sarana produksi pertanian, sub sistem budidaya usahatani, sub sistem pengolahan dan industri pertanian, sub sistem pemasaran hasil pertanian dan sub sistem kelembagaan penunjang kegiatan pertanian (Mardikanto, 2009).

Soekartawi (1991), menyatakan bahwa konsep agribisnis sebenarnya adalah suatu konsep yang utuh, mulai dari proses produksi, mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan dengan kegiatan pertanian. Sedangkan menurut Arsyad, dkk dalam Firdaus (2008) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan agribisnis adalah suatu kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang berhubungan dengan pertanian dalam arti luas. Pertanian dalam arti luas adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.

Mosher dalam Mardikanto (2009), menetapkan tersedianya sarana produksi di tingkat lokal, sebagai salah satu syarat mutlak pembangunan pertanian. Hal ini terutama disebabkan karena, untuk kegiatan produksi selalu dibutuhkan sarana produksi yang terdiri dari benih unggul, pupuk dan pestisida.

Pengolahan hasil atau yang kemudian dikenal sebagai agroindustri, merupakan langkah yang perlu mendapat perhatian, untuk tujuan-tujuan: perbaikan mutu, pengurangan kehilangan, peningkatan nilai tambah produk, dan pemenuhan selera pasar yang pada gilirannya akan memberikan tambahan penghasilan bagi petani sebagai pengelola kegiatan pertanian (Mardikanto, 2009).

Tepung garut dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan jenang (dodol), kue dadar, kue semprit, cendol, cantik manis, roti, mie,


(34)

commit to user

makanan ringan, dan aneka kue tradisional. Sedangkan Umbi Garut dapat digunakan sebagai obat tradisional yang berkhasiat utuk mendinginkan perut, menawarkan racun ular, memperbanyak ASI, mengobati disentri, eksim dan penurun panas. Dibanding tepung terigu dan tepung beras kandungan karbohidrat dan zat besi pada tepung Garut lebih tinggi, sementara kandungan lemaknya paling rendah diantara ketiga jenis tepung itu. Sedangkan kandung kalorinya hampir sama dengan beras dan terigu (Departemen Kehutanan Sragen, 2009).

Umbi garut yang akan diolah lebih lanjut menjadi tepung harus dalam kondisi segar dengan masa penyimpanan tidak lebih dari dua hari. Cara pembuatan tepung garut adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan umbi

Pilih umbi garut yang segar, maksimal disimpan dua hari setelah panen.

b. Pembersihan

Bersihkan umbi garut dari kotoran (tanah) dan kulit atau sisik-sisiknya.

c. Pencucian dan perendaman

Cucilah umbi garut dalam air mengalir hingga bersih, kemudian segera direndam selama beberapa waktu agar tidak terjadi pencoklatan

(browning).

d. Penyawutan

Rajanglah umbi garut tipis-tipis dengan alat pengiris atau penyawut ubi kayu.

e. Pengeringan

Keringkan sawut garut dengan cara dijemur atau menggunakan alat pengering buatan hingga berkadar air 10%-12%.

f. Penepungan

Tumbuklah sawut kering hingga lembut, kemudian diayak dengan ayakan tepung berulang-ulang. Tampung tepung garut dalam wadah.


(35)

commit to user g. Penyimpanan

Simpan wadah berisi tepung garut ditempat yang kering. (Rukmana, 2000).

Budidaya secara intensif dapat menghasilkan rata-rata 21 ton umbi/ha. Harga umbi basah Rp.1.000 - Rp1.500/kg. agaknya cukup potensial untuk menghasilkan nilai ekonomi yang tinggi. Umbi garut cocok untuk pengembangan agribisnis pedesaan, biasanya digunakan oleh masyarakat tani untuk membuat emping, untuk menghasilkan 1 kg emping garut dibutuhkan umbi basah sebanyak 5 kg dengan harga jual Rp.13.000 hingga 15.000/kg emping. Cara membuat emping garut adalah sebagai berikut:

a. Pilih umbi garut berdiameter 2-3 cm b. Kupas kulitnya dan dicuci

c. Potong-potong setebal + 1cm

d. Rebus irisan garut dan tambahkan bumbu (1,5% garam dan 2%bawang putih)

e. Setelah masak, angkat dan tiriskan

f. Cetak dengan cara pipihkan di atas lembaran plastik (seperti pada pembuatan emping melinjo)

g. Dikeringkan, setelah kering lakukan pengemasan (BPTP Jogja, 2008)

Kegiatan pemasaran merupakan serangkaian proses sejak analisis (permintaan) pasar, penyiapan produk, menawarkan/promosi produk, penyampaian atau distribusi produk, negosiasi dan penetapan harga produk, bahkan sampai dengan layanan pasca-jual agar konsumen tetap menjadi pelanggan yang loyal (Kusnandar dkk, 2010).

Subsistem pemasaran dalam sistem agribisnis menempati posisi yang sangat penting lebih penting dari subsistem produksi, karena sebagai salah satu bentuk usahatani modern yang komersial, pemasaran hasil akan sangat menentukan keberhasilan dan kelestarian usahatani yang dikelola (Mardikanto, 2009).


(36)

commit to user

B. Kerangka Berpikir

Tanaman garut merupakan salah satu jenis tanaman umbi-umbian yang mulai di kembangkan oleh sebagian petani di Kecamatan Polokarto. Hal ini dikarenakan tanaman garut merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan sebagai sumber karbohidrat non beras. Tanaman tersebut mampu mensubtitusi beras sebagai tanaman pokok tanpa mengurangi nilai gizinya. Selain itu, tanaman garut juga dapat diambil patinya sebagai tepung terigu. Tanaman garut juga diharapkan dapat berfungsi sebagai sumber bahan pangan lokal yang yang dapat menggantikan beras sebagai karbohidrat. Sehingga, pengembangan olahan tanaman garut mampu meningkatkan kesejahteraan petani.

Prospek budidaya garut dan pengembangan garut di Kabupaten Sukoharjo pada dasarnya cukup cerah, oleh karena itu peluang peningkatan produksi garut masih terbuka lebar. Akan tetapi pada kenyataannya budidaya garut masih kurang berkembang. Hal tersebut dapat terlihat dari kurang bertambahnya jumlah petani yang membudidayakan garut dalam usaha taninya. Minat petani terhadap pengembangan budidaya garut sedikit. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan petani terhadap manfaat garut.

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan pesan (Desiderato dalam Rakhmat, 1998). Persepsi yang terbentuk dalam diri petani akan mempengaruhi cara pandangnya terhadap suatu objek. Pada dasarnya, petani dalam mengambil keputusan untuk membudidayakan garut dan mengembangkan hasil budidaya garut tidak terlepas dari persepsinya. Adanya persepsi petani yang kurang baik terhadap prospek serta keuntungan dari budidaya garut dapat berdampak pada kurang tertariknya petani untuk melakukan budidaya garut secara lebih intensif. Persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut dapat terlihat dari budidayanya yaitu pengolahan tanah, pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan dan panen serta pasca panen berupa pengolahan hasil budidaya garut dan ketersediaan sarana produksi serta pemasaran. Dari uraian tersebut, maka perlu diketahui


(37)

commit to user

bagaimana hubungan antara faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arrundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Skema hubungan tersebut digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1. Skema Hubungan antara Faktor-Faktor yang Membentuk Persepsi Petani dengan Persepsi Petani terhadap Pengembangan Komoditas Garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo

C. Hipotesis

Berdasarkan perumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka berpikir diatas maka diajukan hipotesis sebagai berikut :

Diduga terdapat hubungan yang signifikan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

D. Pembatasan Masalah

1. Faktor pembentuk persepsi yang diteliti terdiri dari umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman, pendapatan dan motivasi. 2. Persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut meliputi

ketersediaan sarana produksi, budidaya garut, pengolahan hasil budidaya garut dan pemasaran.

3. Populasi penelitian adalah petani di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo yang membudidayakan komoditas garut.

Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi Petani :

1. Umur

2. Pendidikan formal 3. Pendidikan non formal 4. Pengalaman

5. Pendapatan 6. Motivasi

Persepsi Petani Terhadap Pengembangan Komoditas Garut :

1. Ketersediaan Sarana Produksi 2. Budidaya Garut

3. Pengolahan Hasil Budidaya Garut


(38)

commit to user

E. Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel

1. Definisi Operasional

a. Faktor pembentuk persepsi

1) Umur merupakan lama hidup petani responden sampai pada saat penelitian dilakukan, yang dinyatakan dalam tahun dan diukur dengan skala rasio.

2) Pendidikan formal adalah tingkat pendidikan yang ditamatkan seseorang pada bangku sekolah atau lembaga pendidikan formal saat penelitian dilaksanakan, yang diukur dengan skala ordinal. 3) Pendidikan non formal adalah pendidikan sesorang diluar bangku

sekolah atau pendidikan formal. Diukur dengan frekuensinya dalam mengikuti kegiatan sosialisasi atau penyuluhan dan pelatihan, diukur dengan skala ordinal.

4) Pengalaman adalah pengalaman yang dimiliki seseorang dalam membudidayakan dan mengembangkan komoditas garut, diukur dengan skala ordinal.

5) Pendapatan adalah pendapatan yang diperoleh seseorang dari kegiatan usaha tani garut dalam satu musim tanam terakhir yang dinyatakan dalam rupiah dan diukur dengan skala ordinal.

6) Motivasi adalah sesuatu yang menjadi alasan atau dorongan bagi seseorang untuk membudidayakan komoditas garut, diukur dengan skala ordinal.

b. Persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut adalah penilaian petani terhadap pengembangan komoditas garut yang dicerminkan pada pandangannya terhadap ketersediaan sarana produksi, budidaya garut, pengolahan hasil budidaya garut, dan pemasaran. 1) Persepsi petani terhadap ketersediaan sarana produksi, yaitu

penilaian petani terhadap ketersediaan sarana produksi yang meliputi bibit dan pupuk diukur dengan skala ordinal.

2) Persepsi petani terhadap budidaya garut merupakan penilaian petani terhadap tingkat kerumitan atau kemudahan teknis budidaya garut


(39)

commit to user

dari pengolahan tanah sampai pemanenan yang diukur dengan skala ordinal.

3) Persepsi petani terhadap pengolahan hasil budidaya garut. Dalam hal ini, terdapat dua kegiatan pengolahan hasil budidaya garut yaitu pengolahan tepung garut dan pengolahan emping garut. Peneliti ingin mengetahui bagaimana penilaian petani terhadap kegiatan pengolahan hasil budidaya garut yang diukur dengan skala ordinal.

4) Persepsi petani terhadap pemasaran. Penilaian petani terhadap pemasaran garut meliputi kemudahan pemasaran garut, kesesuaian harga dan ketersediaan pasar terhadap garut diukur dengan skala ordinal.


(40)

commit to user

2. Pengukuran Variabel

a. Faktor Pembentuk Persepsi

Tabel. 2.1 Faktor-Faktor Pembentuk Persepsi

Variabel Indikator Kategori Skor

1. Umur

2.Pendidikan Formal

3.Pendidikan Non Formal

4 . Pengalaman

Usia responden pada saat dilakukan penelitian (tahun)

Tingkat pendidikan formal yang ditempuh

a. Pelatihan

b. Penyuluhan

a. Lama Budidaya

b. Lama Mengembangkan

garut

c. Pengalaman mengolah

garut

d. Kesulitan dalam

mengolah garut 25-35 tahun 36-46 tahun 47-57 tahun 58-68 tahun 69-79 tahun Tamat D3/S1 Tamat SMA Tamat SMP Tamat SD Tidak Sekolah 4 kali 3 kali 2 kali 1 kali Tidak pernah >6 kali 5-6 kali 3-4 kali 1-2 kali Tidak pernah > 8 tahun 7-8 tahun 5-6 tahun 3-4 tahun 1-2 tahun > 8 tahun 7-8 tahun 5-6 tahun 3-4 tahun 1-2 tahun Sangat sering Sering Cukup sering Kurang sering Tidak pernah

Tidak mengalami kesulitan Mengalami sedikit kesulitan Cukup mengalami kesulitan

5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3


(41)

commit to user 4. Pendapatan

6. Motivasi

Jumlah nominal yang

diperoleh petani dari

mengembangkan garut setiap musim tanam

Dorongan yang menjadikan petani membudidayakan dan mengembangkan garut

Sulit mengolah garut Sangat sulit mengolah garut

1.500.001-2.000.000 1.000.001-1.500.000 500.001-1.000.000 100.000-500.000 < 100.000

Atas kesadaran diri sendiri Terpengaruh lingkungan Mengikuti yang lain Bujukan orang lain

Karena paksaan dari orang lain 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1


(42)

commit to user

b. Persepsi Petani Terhadap Pengembangan Komoditas Garut

1) Persepsi Petani Terhadap Ketersediaan Sarana Produksi

Tabel 2.2 Persepsi Petani terhadap Ketersediaan Sarana Produksi

Variabel Indikator Kriteria Skor

1. Bibit

2. Pupuk

a. Kemudahan memperoleh bibit

b. Kesesuaian harga bibit

a. Kemudahan memperoleh pupuk

b. Kesesuaian harga pupuk

a. Bibit sangat mudah diperoleh b. Bibit mudah diperoleh c. Bibit cukup mudah diperoleh d. Bibit sulit diperoleh

e. Bibit sangat sulit diperoleh a. Harga bibit yang tersedia sangat

murah

b. Harga bibit yang tersedia murah c. Harga bibit yang tersedia cukup

murah

d. Harga bibit yang tersedia mahal e. Harga bibit yang tersedia sangat

mahal

a. Pupuk sangat mudah diperoleh b. Pupuk mudah diperoleh c. Pupuk cukup mudah diperoleh d. Pupuk sulit diperoleh

e. Pupuk sangat sulit diperoleh a. Harga pupuk yang tersedia

sangat murah

b. Harga pupuk yang tersedia murah

c. Harga pupuk yang tersedia cukup murah

d. Harga pupuk yang tersedia mahal

e. Harga pupuk yang tersedia sangat mahal 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1


(43)

commit to user 2) Persepsi Petani terhadap Budidaya Garut

Tabel 2.3 Persepsi Petani terhadap Budidaya Garut

Variabel Indikator Kriteria Skor

1. Pengolahan tanah

2. Pemilihan Bibit

3. Penanaman

4. Pemeliharaan

5. Panen

Kemudahan cara

pengolahan tanah dalam budidaya garut

Kemudahan dalam

pemilihan bibit garut yang baik untuk dibudidayakan.

Kemudahan terhadap cara-cara yang dilakukan dalam menanam garut.

Kemudahan saat

pemeliharaan yang

dilakukan saat budidaya garut.

Kemudahan saat panen

yang dilakukan dalam

budidaya gatrut

a. Pengolahan tanah sangat mudah

b. Pengolahan tanah mudah, c. Pengolahan tanah cukup

mudah

d. Pengolahan tanah sulit e. Pengolahan tanah sangat sulit a. Pemilihan bibit sangat mudah b. Pemilihan bibit mudah c. pemilihan bibit cukup mudah d. Pemilihan bibit sulit

e. Pemilihan bibit sangat sulit a. Penanaman garut sangat

mudah

b. Penanaman garut mudah,

c. Penanaman garut cukup

mudah

d. Penanaman garut sulit e. Penanaman garut sangat sulit a. Pemeliharaan garut sangat

mudah

b. Pemeliharaa garut mudah, c. Pemeliharaan garut cukup

mudah,

d. Pemeliharaan garut sulit, e. Pemeliharaan garut sangat

sulit

a. panen garut sangat mudah b. panen garut mudah c. panen garut cukup mudah d. panen garut sulit

e. panen garut sangat sulit

5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1 5 4 3 2 1


(44)

commit to user

3) Persepsi Petani terhadap Pengolahan Hasil Budidaya Garut

Tabel 2.4 Persepsi Petani terhadap Pengolahan Hasil Budidaya Garut

Variabel Indikator Kriteria Skor

1. Kemudahan dalam pengolahan tepung garut

2. Kemudahan dalam pengolahan emping garut

Pendapat petani terhadap proses pengolahan tepung garut

Pendapat petani terhadap proses pengolahan emping garut

a. Sangat Mudah b. Mudah

c. Cukup mudah d. Sulit

e. Sangat Sulit a. Sangat Mudah b. Mudah c. Cukup mudah d. Sulit

e. Sangat Sulit

5 4 3 2 1 5 4 3 2 1


(45)

commit to user

4) Persepsi Petani terhadap Pemasaran Garut

Tabel 2.5 Persepsi Petani terhadap Pemasaran Garut

Variabel Indikator Kriteria Skor

1. Kemudahan pemasaran garut

2. Kesesuaian harga

3. Ketersediaan Pasar

Mudah atau tidak garut di pasarkan

Harga garut di pasar

Permintaan

masyarakat terhadap garut

a. Pemasaran garut sangat mudah

b. Pemasaran garut mudah c. Pemasaran garut cukup

mudah

d. Pemasaran garut kurang mudah

e. Pemasaran garut tidak mudah

a. Harga garut di pasar sangat mahal

b. Harga garut di pasar mahal

c. Harga garut di pasar cukup murah

d. Harga garut di pasar kurang murah

e. Harga garut di pasar murah

a. Selalu tersedia

permintaan untuk garut

b. Tersedia permintaan

untuk garut

c. Cukup tersedia

permintaan untuk garut d. Tidak selalu tersedia

permintaan untuk garut e. Tidak ada permintaan

untuk garut

5 4 3 2 1

5 4 3 2 1

5 4 3 2 1


(46)

commit to user BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Dasar Penelitian

Metode dasar penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif yaitu metode penelitian yang berusaha menuturkan pemecahan masalah yang ada sekarang berdasarkan data-data, sehingga penelitian ini juga menyajikan data, menganalisis, dan menginterpretasi (Achmadi dan Narbuko, 2003).

Penelitian ini menggunakan analisa kuantitatif yaitu penelitian yang melibatkan lima komponen informasi ilmiah yaitu teori, hipotesis, observasi, generalisasi empiris dan penerimaan atau penolakan hipotesis. Mengandalkan adanya populasi dan teknik penarikan sampel. Kemudian menggunakan kuisioner untuk mengumpulkan datanya. Selanjutnya mengemukakan variabel penelitian dalam analisis datanya dan yang terakir berusaha menghasilkan kesimpulan secara umum, baik yang berlaku untuk populasi dan/atau sampel yang diteliti (Singgih, 2006).

Teknik pelaksanaan penelitian dilakukan dengan teknik survei. Adapun penelitian survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpul data yang pokok. Salah satu keuntungan utama dari penelitian ini adalah mungkinnya pembuatan generalisasi untuk populasi yang besar (Singarimbun dan Effendi, 2006).

B. Metode Penentuan Lokasi

Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) yaitu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu disesuaikan dengan tujuan penelitian (Singarimbun dan Effendi, 1995). Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dengan pertimbangan bahwa Kecamatan Polokarto memiliki luas lahan untuk budidaya garut terluas di Kabupaten Sukoharjo. Data tentang luas lahan untuk budidaya garut di Kabupaten Sukoharjo dapat dilihat pada Tabel 3.1.


(47)

commit to user

Tabel 3.1. Data Luas Lahan Tanaman Garut (Irut) di Kabupaten Sukoharjo Tahun 2010

No Kecamatan Luas Lahan Garut(Ha)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Bulu Bendosari Grogol Kartasuro Sukoharjo Weru Tawangsari Mojolaban Baki Gatak Polokarto Nguter - 8 - - - - - - - - 18 -

Jumlah 26

Sumber : Data Primer

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah semua petani yang membudidayakan garut yang berada di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Terdapat sekitar 138 petani yang membudidayakan garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Petani yang membudidayakan garut di Kecamatan Polokarto tersebar di tiga desa yaitu di Desa Polokarto, Desa Genengsari dan Desa Bulu.

2. Sampel

Adapun jumlah sampel adalah sebanyak 40 responden. Penentuan jumlah sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode proportional random sampling yaitu pengambilan responden dengan menetapkan jumlah tergantung besar kecilnya sub populasi atau kelompok yang akan diwakilinya (Mardikanto, 2006). Sedangkan untuk pengambilan sampel dari jumlah sampel yang telah diperoleh dilakukan dengan cara random atau secara acak.

Penentuan jumlah sampel dengan metode proportional random


(48)

commit to user ni = n

N nk

Dimana :

ni : Jumlah sampel dari masing-masing desa

nk : Jumlah petani dari masing-masing desa yang menanam garut N : Jumlah populasi atau jumlah petani yang membudidayakan garut n : Jumlah petani responden yang diambil sebanyak 40 petani garut

Data tentang jumlah responden dari masing-masing desa dapat dilihat pada tabel 3.2 di bawah ini :

Tabel 3.2. Data Jumlah Responden Masing-Masing Desa

Kecamatan Desa Jumlah Petani Garut Jumlah Responden

Polokarto Polokarto 60 17

Genengsari 27 8

Bulu 51 15

Jumlah 138 40

Sumber : Data Primer

D. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini meliputi data pokok dan data pendukung. Menurut cara memperolehnya dibedakan menjadi:

1. Data primer

Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari obyek penelitian dan pengamatan langsung di lapang. Data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan petani yang membudidayakan garut di Desa Polokarto, Desa Genengsari dan Desa Bulu Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

2. Data sekunder

Data sekunder merupakan data yang diperoleh dari instansi atau lembaga yang ada kaitannya dengan penelitian ini. Data sekunder diperoleh dengan cara mencatat secara langsung dari instansi atau lembaga yang terkait dengan penelitian ini. Data sekunder berasal dari Kecamatan Polokarto dalam angka dan data dari BPP Kecamatan Polokarto.


(49)

commit to user

1. Data kuantitatif, yaitu data yang berbentuk angka atau data kualitatif yang diangkakan dengan cara skoring.

2. Data kualitatif, yaitu data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan gambar. Agar lebih jelas dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3.3. Data yang digunakan dalam penelitian

No. Data yang digunakan Sifat Data Sumber

Data

Pr Sk Kn Kl

Data Pokok :

1. Identitas responden X Petani

2. Faktor pembentuk persepsi a. Umur

b. Pendidikan formal c. Pendidikan non formal d. Pengalaman

e. Pendapatan f. Motivasi

X X X X X X X X X X X X Petani Petani Petani Petani Petani Petani

3. Persepsi Petani Terhadap

Pengembangan Komoditas Garut a. Ketersediaan Sarana Produksi b. Budidaya Garut

c. Pengolahan Hasil Budidaya Garut d. Pemasaran

X X X X Petani Petani Petani Petani Data pendukung :

1. Keadaan Alam X X Instansi

2. Keadaan Penduduk X X Instansi

Keterangan : Pr = Primer Sk = Sekunder Kn = Kuantitatif Kl = Kualitatif

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Wawancara, merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi antara

pewawancara dengan responden untuk mendapatkan informasi dengan bertanya secara langsung (Singarimbun dan Effendi, 2006). Wawancara dilakukan dengan petani-petani sebagai responden dalam penelitian ini dan pihak lain yang terlibat.

2. Observasi, pengertian observasi menurut Gulo (2002) adalah teknik pengumpulan data dimana peneliti mencatat informasi sebagaimana yang mereka saksikan selama penelitian. Penyaksian perisiwa-peristiwa bisa dengan melihat, mendengarkan, merasakan, yang kemudian dicatat


(50)

commit to user

seobyektif mungkin. Dilakukan untuk memahami data yang berbentuk kegiatan atau perilaku.

3. Pencatatan, teknik pencatatan dilakukan dengan mencatat hasil wawancara pada kuisioner dan mencatat data sekunder dari instansi yang terkait dengan penelitian.

F. Metode Analisis Data

Faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dibagi menjadi 5 kategori, yaitu sangat baik, baik, cukup baik, kurang baik dan tidak baik. Kategori pengukurannya dengan menggunakan rumus lebar interval kelas, yaitu:

Kelas kategori :

kelas jumlah

terendah nilai

tertinggi

nilai

-Sedangkan untuk mengetahui derajat tingkat hubungan antara faktor-faktor yang membentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di sentra produksi garut Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo digunakan analisis korelasi untuk mencari keeratan hubungan antara dua variabel. Uji korelasi menggunakan Rank Spearman (

rs

) yang didukung dengan program SPSS versi 17 for windows.

Menurut Siegel (1988), rumus koefisien korelasi jenjang sperman (rs) adalah :

r

s= 1 -

N N

di N

i

=

3 1

2

6

Keterangan :

r

s = koefisien korelasi rank spearman N = jumlah sampel petani

di = selisih ranking antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut


(51)

commit to user

Untuk menguji tingkat signifikansi hubungan digunakan uji t karena sampel yang diambil lebih dari 10 (N>10) dengan tingkat kepercayaan 95% dengan rumus (Siegel, 1988) :

t= rs 2 ) ( 1

2

rs N

-Kesimpulan :

1.Jika t hitung ³ t tabel (a = 0,05) berarti Ho ditolak, artinya ada hubungan yang signifikan antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

2.Jika t hitung < t tabel (a = 0,05) berarti Ho diterima, artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara antara faktor-faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.


(1)

commit to user

terhadap pengembangan komoditas garut. Hal ini menunjukkan bahwa tinggi rendahnya pendapatan responden yang diperoleh dari hasil mengembangkan garut tidak berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

Tingkat pendapatan responden mayoritas termasuk kategori rendah. Pendapatan petani dari pengembangan komoditas garut jumlahnya beragam sesuai dengan luas lahan yang dimiliki, tingkat produksi, biaya produksi serta banyaknya jumlah produksi garut yang di jual, sehingga bukan berarti petani dengan pendapatan yang lebih rendah akan memiliki persepsi yang buruk terhadap pengembangan komoditas garut. Petani dengan pendapatan rendah karena jumlah lahan yang dimiliki cenderung lebih sempit dan jumlah produksi yang dijual ke pasar lebih sedikit, sehingga hasilnya juga sedikit dibandingkan petani dengan pendapatan yang lebih tinggi. Rendahnya tingkat pendapatan petani dari hasil mengembangkan komoditas garut di Kecamatan Polokarto bukan berarti membuat petani memberikan persepsi yang buruk. Hal ini dikarenakan mereka dapat menilai keuntungan mengembangkan komoditas garut dari kemudahan membudidayakan garut yang tidak memerlukan banyak modal dan perawatan khusus serta kemudahan dalam memasarkan dari hasil olahan garut.

6. Hubungan antara Motivasi (X6) dengan Persepsi Petani terhadap

Pengembangan Komoditas Garut (Y)

Berdasarkan Tabel 5.9, maka dapat diketahui nilai rS antara

motivasi dengan persepsi terhadap pengembangan garut adalah 0,360*, pada taraf signifikansi 95% dengan a = 0,05, dengan nilai thitung (2,378) >

tTabel (2,020), sehingga Ho ditolak, dan dapat disimpulkan bahwa terdapat

hubungan yang sangat signifikan antara motivasi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi motivasi petani dalam membudidayakan garut dan mengembangkan komoditas garut maka dapat memberikan tingkat persepsi yang baik terhadap pengembangan komoditas garut.


(2)

commit to user

Faktor motivasi petani terhadap pengembangan komoditas garut dalam penelitian ini dibatasi pada motivasi psikologis petani. Kondisi di lapang menunjukkan bahwa dorongan yang menyebabkan petani

mengembangkan komoditas garut adalah karena petani ingin

memanfaatkan lahan non produktif yang dimiliki untuk memperoleh tambahan pendapatan. Responden yang berpersepsi baik adalah yang memiliki motivasi sangat tinggi dimana mereka mempunyai dorongan

yang kuat dalam diri mereka untuk membudidayakan serta

mengembangkan komoditas garut untuk menambah pendapatan keluarga. Sedangkan beberapa responden yang motivasinya sedang mereka kurang memiliki dorongan yang kuat untuk mengembangkan komoditas garut karena mereka mengembangkan komoditas garut akibat dari mengikuti orang lain yang sebelumnya telah mengembangkan terlebih dahulu. Oleh karena itu, motivasi petani dalam diri mereka sendiri kurang. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, dalam penelitian ini motivasi responden dalam membudidayakan garut dan mengembangkan komoditas garut memiliki hubungan dengan persepsinya tehadap pengembangan komoditas garut.


(3)

commit to user

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, analisis hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut.:

1. Faktor Pembentuk Persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dapat diketahui sebagai berikut :

a. Umur dalam kategori produktif yaitu 25-35 tahun sebesar 42,5 persen. b. Pendidikan formal responden tergolong dalam kategori rendah yaitu

tamat SD/MI yaitu sebesar 52,5 persen.

c. Pendidikan Non Formal tergolong dalam kategori tinggi yaitu sebesar 55 persen petani garut mengikuti kegiatan penyuluhan dan pelatihan yang berhubungan dengan pengembangan komoditas garut. Penyuluh pertanian dan lembaga swasta JARPETO (Jaringan Petani Organik)

yang menyelenggarakan penyuluhan dan pelatihan tentang

pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto.

d. Pengalaman dalam kategori tinggi yaitu sebesar 75 persen responden memiliki pengalaman dalam mengembangkan komoditas garut yang meliputi pengalaman dalam membudidayakan garut, pengalaman mengembangkan garut, pengalaman mengolah garut dan kesulitan mengolah garut.

e. Pendapatan dalam kategori rendah yaitu sebesar 67,5 persen responden memperoleh pendapatan dari hasil pengambangan komoditas garut sebesar Rp 100.000,00-Rp 500.000,00.

f. Motivasi dalam kategori sangat tinggi sebesar 92,5 persen responden membudidayakan garut karena atas kesadaran diri mereka sendiri. Petani mengembangkan garut karena termotivasi untuk memperoleh tambahan pendapatan.


(4)

commit to user

2. Tingkat persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dapat diketahui sebagai berikut :

a. Persepsi petani terhadap ketersediaan sarana produksi termasuk dalam kategori sangat baik yaitu sebesar 67,5 persen, hal ini berarti responden merasa puas terhadap ketersediaan sarana produksi yang digunakan untuk membudidayakan garut.

b. Persepsi petani terhadap budidaya garut termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 55 persen, hal ini berarti petani merasakan kemudahan terhadap budidaya garut. Budidaya garut meliputi kegiatan persiapan lahan, pemilihan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan panen.

c. Persepsi petani terhadap pengolahan hasil budidaya garut termasuk dalam kategori cukup baik yaitu sebesar 55 persen, berarti petani cukup baik mengetahui tentang pengolahan hasil dari budidaya garut dan petani merasa cukup mudah dalam mengolah hasil budidaya garut. Petani biasanya mengolah garut menjadi tepung garut dan emping garut.

d. Persepsi petani terhadap pemasaran garut termasuk dalam kategori baik yaitu sebesar 52,5 persen, berarti petani merasa mudah dalam memasarkan hasil dari olahan garut yang telah dibuat. Petani biasanya memasarkan hasil produksi ke tetangga yang membutuhkan, pasar tradisional dan ada juga yang menjual ke kantor-kantor pemerintahan di wilayah Kabupaten Sukoharjo.

3. Hubungan yang terjadi antara faktor pembentuk persepsi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo dapat diketahui sebagai berikut :

a. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara umur dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sehingga, perbedaan


(5)

commit to user

umur responden tidak berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

b. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendidikan formal dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sehingga, pendidikan formal responden tidak berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

c. Terdapat hubungan yang sangat signifikan antara pendidikan non formal dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sehingga, pendidikan non formal responden berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut. Semakin tinggi pendidikan non formal responden semakin baik persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

d. Terdapat hubungan yang signifikan antara pengalaman dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sehingga, pengalaman responden berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut. Semakin tinggi pengalaman responden semakin baik persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

e. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo.

Sehingga, pendapatan responden tidak berhubungan dengan

persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

f. Terdapat hubungan yang signifikan antara motivasi dengan persepsi petani terhadap pengembangan komoditas garut (Maranta arundinacea L) di Kecamatan Polokarto Kabupaten Sukoharjo. Sehingga, motivasi responden berhubungan dengan persepsinya terhadap pengembangan


(6)

commit to user

komoditas garut. Semakin tinggi motivasi responden semakin baik persepsinya terhadap pengembangan komoditas garut.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, maka saran yang dapat diberikan oleh peneliti adalah sebagai berikut :

1. Sebaiknya penyuluh pertanian dan lembaga swasta JARPETO dapat mempertahankan dan meningkatkan pendidikan non formal mengenai pengembangan komoditas garut, khususnya lebih meningkatkan lagi kegiatan pelatihan tentang pengembangan komoditas garut bagi petani di Kecamatan Polokarto.

2. Sebaiknya petani garut yang memiliki pengalaman lebih tinggi dalam mengembangkan komoditas garut, membantu petani garut lainnya dalam memperoleh informasi dan membantu mengatasi masalah yang dihadapi petani garut tersebut dalam pengembangan komoditas garut.

3. Sebaiknya penyuluh pertanian terus memotivasi petani untuk bersama-sama mengembangkan komoditas garut, misalnya dengan pembentukan kelompok petani garut.