15
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu standar kompetensi yang ada dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan KTSP Sekolah Dasar SD dan Madrasah Ibtidaiyah MI Mata
Pelajaran Bahasa Indonesia untuk siswa kelas V, semester satu adalah: “Siswa mampu memahami cerita rakyat secara lisan.” Depdiknas, 2006: 24. Lebih lanjut,
standar kompetensi tersebut dijabarkan ke dalam kompetensi dasar, yaitu: siswa mampu mengidentifikasi unsur cerita tentang cerita rakyat yang didengarnya
Depdiknas, 2006: 24. Memahami cerita rakyat secara lisan maupun tertulis, hingga siswa harus
mampu mengidentifikasi unsur cerita di dalamnya, bukanlah pekerjaan yang mudah bagi guru untuk mengajarkannya di dalam kelas. Buktinya dalam pembelajaran
bahasa Indonesia di SD, guru-guru masih mengeluhkan ketidakmampuan siswanya dalam memahami secara baik cerita rakyat tersebut. Mereka menilai para siswa pada
umumnya belum mampu: 1 menentukan unsur-unsur cerita, 2 mengungkapkan pesan atau amanat cerita yang didengarkan, 3 menceritakan kembali cerita rakyat
dengan kata-kata sendiri, dan 4 menanggapi isi cerita rakyat tersebut. Melalui cerita rakyat suatu daerah, sebenarnya siswa dapat diajak untuk
mengetahui sejarah, pengalaman, pandangan hidup, adat istiadat, kepercayaan, dan berbagai kegiatan lain yang terdapat di daerah tersebut. Hal ini berarti di dalam cerita
16
rakyat sebenarnya tersirat kenyataan yang menggambarkan masyarakat pada masa lalu sampai masa kini. Dalam hal ini, sekolah memiliki peranan yang sangat strategis,
yaitu sebagai penyambung lidah masyarakat untuk menyampaikan realita kehidupan di suatu daerah atau lingkungannya melalui cerita rakyat di daerah tersebut. Oleh
sebab itu, cerita rakyat perlu diajarkan kepada siswa agar mereka mampu menyerap, merenungkan, dan mengungkapkan kembali melalui daya imajinasinya ke dalam
bentuk cipta sastra. Manakala sebuah cerita rakyat diajarkan pada siswa SD dalam kemasan
pembelajaran sastra yang apresiatif dan efektif, maka akan dapat dipetik beberapa manfaat. Melalui cerita rakyat dapat diketahui kekayaan kebudayaan sendiri dan
kebesaran masa lampau untuk kepentingan pembentukan nilai dan budi perkerti. Jadi, cerita rakyat bisa dijadikan sebagai potret kehidupan masyarakat pada masa lampau
yang penuh ajaran moral dan nilai didik yang bisa ditularkan pada siswa lewat pembelajaran.
Meskipun kajian dan apresiasi cerita rakyat dirasakan dapat memberi beberapa manfaat, tetapi ada kekhawatiran yang muncul di kalangan pendidik guru
di sekolah. Kekhawatiran ini disebabkan menurunnya minat dan daya apresiasi siswa terhadap cerita rakyat itu sendiri. Dalam perkembangannya, cerita-cerita rakyat
semakin tergeser oleh perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi IPTEK. Anak-anak siswa sekolah tidak lagi mengenali cerita rakyat di daerahnya. Mereka
lebih senang menonton televisi atau melihat film, baik film-film dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Mereka juga lebih senang melihat tayangan lagu-lagu pop
17
dan acara-acara hiburan lainnya daripada mendengarkan cerita rakyat. Padahal, di dalam cerita-cerita rakyat yang ada di daerah tempat tinggalnya dapat ditemukan
sejumlah falsafah kehidupan dan nilai-nilai positif yang sangat relevan dengan kehidupan mereka.
Saat ini hampir semua tayangan hiburan di televisi mereka anggap baik. Padahal, apabila dicermati tidak semua tayangan tersebut memberikan manfaat positif
bagi mereka. Banyak tayangan atau cerita yang diwarnai dengan kekerasan, kebrutalan, kenakalan, kebebasan, dan semacamnya. Hampir semua jenis tayangan
yang ada di televisi dapat dilihat secara bebas oleh anak-anak. Sebagian besar tayangan tanpa melalui filter dan pengawasan ketat dari orang tua mereka. Fenomena
seperti inilah yang perlu dikhawatirkan oleh beberapa pihak yang terkait. Oleh karena itu, peranan orang tua, peranan guru sekolah, dan pihak-pihak terkait diperlukan demi
kebaikan anak-anak atau generasi muda kita. Melihat fenomena yang mengkhawatirkan seperti itu diharapkan tugas
sekolah adalah berupaya untuk menumbuhkan sosialisasi cerita rakyat beserta nilai- nilai yang terkandung di dalamnya. Bentuk sosialisasi tersebut, tak lain adalah
melalui pembelajaran sastra di kelas, seperti guru bercerita atau mendongeng di hadapan siswa. Dengan cara seperti itu, anak-anak bisa menemukan kedamaian
manakala seorang ibu atau bapak guru menceritakan dongeng tentang dirinya sendiri dan lingkungan sekitar kehidupannya. Jadi, sosialisasi sastra dalam wilayah formal
yaitu sekolah dapat dijadikan sebuah langkah praktis untuk menghidupkan kembali cerita rakyat di suatu daerah.
18
Dalam konteks pembelajaran sastra yang terjadi di kelas SD pada umumnya sangat bersifat teoretis, monoton, dan menjemukan. Guru lebih banyak menekankan
materi sastra cerita rakyat dari sisi pengetahuan ingatan semata dengan metode ceramah sebagai andalannya. Mekanisme pembelajaran yang sering dilakukan pada
pembelajaran sastra, khususnya cerita rakyat adalah 1 guru menjelaskan beberapa pengertian yang terkait dengan materi cerita rakyat dan siswa disuruh mendengarkan
sambil mencatat; 2 guru langsung menugasi siswa menceritakan kembali isi cerita rakyat tersebut baik secara lisan maupun tulisan; 3 mengumpulkan hasil pekerjaan
siswa tanpa
banyak jarang
memberikan umpan
balik dari
sisi kelemahankekurangan tulisan siswa.
Kekurangberhasilan pembelajaran sastra, khususnya memahami cerita rakyat tersebut disebabkan oleh banyak faktor, baik dari sisi siswa, guru, kurikulum materi
pelajaran, pendekatan, metode, media pembelajaran, alat evaluasi yang digunakan, bahkan sampai pada lingkungan atau suasana pembelajaran yang terjadi.
Khususnya dari faktor guru, tidak sedikit mereka yang berpandangan bahwa proses pembelajaran sastra yang efektif yang terjadi di kelas adalah: bila suasana
kelas tidak ramai dan tenang; para siswa duduk di kursinya masing-masing dengan tertib; perhatian seluruh siswa terpusat pada guru, dan guru menjelaskan
berceramah di depan kelas. Anggapan yang demikian dalam konteks pembelajaran sekarang sangatlah tidak tepat. Mengapa demikian? Sebab dalam kondisi demikian,
siswa justru akan semakin ‘tenggelam’ dalam kepasifan. Mereka belajar tidak lebih dari suatu rutinitas, bukan suatu kebutuhan sehingga kurang tertantang terlibat secara
19
aktif dalam proses belajar mengajar. Siswa cenderung belajar secara individual, menghafal konsep-konsep yang abstrak dan teoretis.
Sinyalemen mengenai kekurangberhasilan pembelajaran sastra cerita rakyat di atas, disebabkan oleh sistem pembelajaran yang masih terpusat pada guru teacher
center . Siswa kurang diberi kesempatan untuk berlatih dan mengembangkan
kreativitasnya. Di samping itu, dari sisi siswa sendiri, pola pembelajaran yang demikian akan membiasakan siswa pasif, hanya menerima tanpa pernah memberi.
Cenderung siswa kurang bergairah, kurang bersemangat, kurang tertarik, atau berminat dalam mengikuti pembelajaran. Akibatnya, siswa kurang berpartisipasi aktif
dalam pembelajaran. Keadaan pembelajaran yang demikian, tentu tidak akan dapat menopang terhadap percepatan pencapaian kompetensi dasar pembelajaran yang telah
ditentukan, khususnya kompetensi atau kemampuan memahami cerita rakyat. Mutu pendidikan sangat ditentukan oleh kualitas pembelajaran proses belajar
mengajar yang dilaksanakan guru di kelas dan karenanya apabila terjadi penurunan mutu pendidikan yang pertama kali harus dikaji adalah kualitas pembelajaran proses
belajar-mengajar tersebut Soedijarto dalam Joko Nurkamto, 2004:102. Proses pembelajaran kegiatan belajar-mengajar yang baik diindikatori oleh
tiga hal, yaitu : 1 tingkat partisipasi dan jenis kegiatan belajar yang dihayati siswa, 2 peran guru dalam proses belajar-mengajar, dan 3 suasana proses belajar. Makin
intensif partisipasi dalam kegiatan belajar-mengajar makin tinggi kualitas proses belajar itu. Tingkat partisipasi siswa yang tinggi dapat dicapai apabila mereka
memiliki kesempatan untuk secara langsung 1 melakukan berbagai bentuk
20
pengkajian untuk memperoleh pengetahuan dan pemahaman, 2 berlatih berbagai keterampilan kognitif, personal-sosial, dan psikomotorik, baik yang berbentuk
sebagai efek langsung pembelajaran maupun sebagai dampak pengiring pelaksanaan berbagai kegiatan belajar, dan 3 menghayati berbagai peristiwa sarat nilai baik
secara pasif dalam bentuk pengamatan dan pengkajian maupun secara aktif keterlibatan langsung di dalam berbagai kegiatan serta peristiwa sarat nilai Joko
Nurkamto 2004:103 Mengacu pada pandangan Soedijarto di atas, maka dapat dikatakan kondisi
pembelajaran sastra yang selama ini dilaksanakan di sekolah SD belum dapat dikatakan baik, sebagaimana yang telah digambarkan di atas, yakni pembelajaran
masih berkiblat pada guru, guru yang lebih aktif. Sementara itu, peran aktif siswa belum maksimal.
Sehubungan dengan hal tersebut peneliti yang juga berprofesi sebagai guru terpanggil untuk membantu memecahkan pokok persoalan tersebut dengan
menerapkan strategi pembelajaran yang tepat sehingga kualitas pembelajaran kegiatan belajar-mengajar yang sebelumnya rendah menjadi berkualitas
sebagaimana yang diharapkan. Strategi pembelajaran yang dimaksud adalah strategi Cooperative Learning
teknik Jigsaw CL-J. Strategi pembelajaran CL-J ini amat tepat untuk meningkatkan kemampuan apresiasi cerita rakyat para siswa SD.
Dijelaskan oleh Slavin dalam Cole 1990:324. “Cooperative Learning refers to the set of instructional procedures in which student in mixed ability learning
groups to the purpose of ocheiving some common goal.” Pembelajaran kooperatif
21
merupakan strategi pembelajaran yang mengutamakan sifat kerja sama gotong royong antarsiswa peserta didik yang tersusun dalam suatu tim untuk mencapai
tujuan bersama. Tujuannya adalah untuk membangkitkan interaksi personal di dalam kelompok melalui diskusi. Dalam hal ini aktivitas pembelajaran berpusat pada
siswa. Mereka mendengarkan penjelasan guru, mempelajari materi ajar, berdiskusi, melaporkan, bertanya jawab, dan memberikan simpulan materi yang didiskusikan.
Pembelajaran kooperatif tidak sama sekadar belajar kelompok. Ada unsur- unsur dasar dalam menyusun pembagian kelompok yang akan diuraikan dalam kajian
teoretis. Strategi ini dapat membuat siswa mempunyai kepercayaan diri bahwa ia mampu belajar Gazali, 2002:123. Dengan strategi ini, pembelajaran akan lebih
menyenangkan dan maenarik, karena siswa merasa dihargai. Dipilihnya strategi pembelajaran Cooperative Learning karena strategi ini telah membuktikan
keefektifannya dalam meningkatkan motivasi belajar dan pengakuan diri, atribut langsung sukses atau gagal, pengembangan ke arah positif terhadap teman sekelas
dan capaian terus meningkat pada tes pengertian, pemikiran dan pemecahan masalah. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Johnson Johnson bahwa:
Cooperative learning methodes have proven effective in increasing motivation for learning and self-esteem, redirecting attribution for success and failure,
fostering positif feelings toward classmates, and increasing perfomance on test of comprehension, reasoning, and problem solving.
http:collegemico. com.education.pbl.index.html.
Ada dua hal yang penting dalam strategi pembelajaran ini, yakni :1 bagai-
22
mana mengkondisikan siswa sebagai subjek belajar bukan objek pembelajaran. Siswa bukanlah merupakan botol kosong yang harus diisi oleh guru tetapi siswa adalah
manusia yang harus dimanusiakan. Mereka belajar dengan membawa bekal kemampuan yang dimilikinya, sehingga mereka akan lebih bertanggung jawab
terhadap tugas-tugas yang dibebankannya; 2 bahwa setiap siswa memiliki latar belakang dan kemampuan yang berbeda-beda. Mereka tidak sama. Dengan
keanekaragaman sosial budaya, ekonomi, orang tua, kemampuan dan kepribadian siswa, dapat dimanfaatkan sebagai peluang dalam proses pembelajaran yaitu gotong
royong . Guru membentuk kelompok dengan anggota yang beraneka ragam latar
belakang dan kemampuannya, sehingga mereka akan saling bekerja sama dan saling membantu dalam penyelesaian tugas-tugas yang dibebankannya; 3 bahwa
pembelajaran cerita rakyat pada hakikatnya adalah pembelajaran sastra yang lebih mengedepankan aspek apresiasi, maka untuk mempelajarinya tentunya tidaklah
mudah apalagi pembelajar adalah tingkat SD. Mereka masih relatif usia muda belum memiliki banyak pengalaman, sehingga dalam belajar perlu terdapat unsur bermain,
supaya tercipta kondisi yang kondusif dan menyenangkan bagi siswa.
B. Perumusan Masalah