Determinan Sarkoma Kaposi Pada Penderita AIDS Determinan Pneumocystis Carinii Pneumonia Pada Penderita AIDS Kerangka Konsep

virus yang sering menyebabkan diare adalah Cytomegalovirus, Herpes simplex, Adenovirus, Rotavirus, dan Norwal. 48 Di Amerika Serikat, penyebab diare kronis pada penderita AIDS yang paling sering adalah Clostridium difficile sebanyak 51,3 dan protozoa yang lain sebanyak 18. 49 Di Uganda sebanyak 47 penderita AIDS dirawat dengan keluhan diare kronis dan dari pemeriksaan kultur tinja, penyebab yang paling banyak adalah Criptosporodium, Isospora belli, Mycrosporodia, Giardiasis, Shigellosis, Amebiasis, Salmonellosis, Strongyloides, Candidiasis, Campylobacter, Cytomegalovirus, dan Mycobacterium avium complex. 50 Di India, protozoa penyebab diare yang paling banyak dijumpai pada pasien penderita AIDS adalah Cryptosporodium 46,4 dan Microsporodium 26,8. 49 Sedangkan di Kenya, penyebab diare kronis yang paling sering pada penderita AIDS adalah Cryptosporodium sp. 17 dan Salmonella typhimurim 13. 51

d. Determinan Sarkoma Kaposi Pada Penderita AIDS

Kelainan kulit muncul hampir secara umum pada perjalanan penyakit HIV, sebagai akibat dari penurunan sistem imun atau berhubungan dengan pengobatan ARV. Penurunan fungsi sel langerhans yang terinfeksi HIV menjadi penyebab kelainan pada kulit. Semakin berkurang kadar CD4 pada tubuh, maka keparahan kelainan kulit akan semakin meningkat, bertambah jumlahnya, dan sulit ditangani. Penyebab kelainan ini bisa karena infeksi, non-infeksi maupun proses keganasan. 10 Universitas Sumatera Utara

e. Determinan Pneumocystis Carinii Pneumonia Pada Penderita AIDS

Pneumocystis carinii pneumonia PCP disebabkan oleh Pneumocystis jiroveci yang memiliki struktur berbeda dengan khamir dan kapang pada umumnya. Sampai tahun 1988 jamur tersebut digolongkan sebagai protozoa sebab kesamaan morfologi dan respons hospes dengan protozoa, perbedaan fenotipe dengan jamur pada umumnya, obat antifungal tidak efektif terhadap P. jiriveci, serta obat antiprotozoa efektif terhadap jamur tersebut. Presentasi klinis PCP biasanya terjadi pada penderita AIDS dengan jumlah CD4 200 selmL darah pada 90 kasus dengan gejala berupa demam, batuk nonproduktif, rasa berat di dada, serta sesak yang progresif dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. 43 2.9 Pencegahan HIVAIDS 2.9.1 Pencegahan Primer Pencegahan primer dilakukan agar orang yang sehat tetap sehat atau tidak menjadi sakit. Pencegahan tingkat pertama pada HIVAIDS dapat dilakukan dengan : a. Melakukan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABC” yaitu Abstinence artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah, Be Faithful artinya setia pada satu pasangan yang sah, dan jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan maka plihan berikutnya adalah dengan menggunakan kondom secara konsisten Use Condom. b. Pada pengguna napza suntikan, selalu berusaha untuk menggunakan jarum suntik yang steril dan tidak menggunakannya secara bersama-sama. Alangkah baiknya berhenti menggunakannya. c. Menerapkan prinsip kewaspadaan universal universal precautions untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Hal ini terutama dilakukan pada petugas pelayanan kesehatan. Universitas Sumatera Utara d. Melakukan skrining yang konsisten terhadap produk darah maupun organ yang didonorkan serta menghindari jahitan, transfusi, atau tindakan invasif lainnya yang kurang perlu. e. Untuk mencegah penularan vertikal dari ibu positif HIV ke anaknya, maka pencegahan dapat dilakukan dengan cara mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan. Bila sudah hamil, diusahakan untuk tidak sampai menularkan ke bayinya. Dan jika bayi sudah terinfeksi, diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya. 26

2.9.2 Pencegahan Sekunder

Pencegahan tahap kedua ini dilakukan untuk mencegah agar infeksi opurtunistik tidak terjadi, kalaupun terjadi tidak menyebabkan kondisi yang sangat berisiko. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah: a. Melakukan diagnosis dini terinfeksi HIVAIDS dengan menggunakan uji laboratorium terhadap spesimen darah di klinik VCT. Diagnosis pasti terinfeksi HIV ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium yang dimulai dengan uji ELISA Enzym linked Immunosorbent Assay dilanjutkan dengan uji Western blot karena uji ini mampu mendeteksi komponen yang terkandung di dalam HIV. 3 Sementara itu, Departemen Kesehatan RI 2005 menetapkan diagnosis AIDS untuk kepentingan surveilans, yaitu: 1. Dewasa 12 tahun apabila: a. Tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 1 tanda minor, b. Ditemukan sarkoma kaposi atau PCP. 2. Anak-anak ≤ 12 tahun apabila: a. Jika umur ≥ 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor, Universitas Sumatera Utara b. Jika umur 18 bulan, tes HIV + dan ditemukan 2 tanda mayor dan 2 tanda minor dengan ibu yang HIV +. Tabel 2.3 Diagnosis AIDS Berdasarkan Tanda Mayor dan Minor Tanda Mayor Tanda Minor a Penurunan berat badan lebih dari 10 dalam 1 bulan b Diare kronis lebih dari 1 bulan c Demam menetap lebih dari 1 bulan secara konstan atau intermiten d Penurunan kesadaran dan gangguan neurologis e Ensefalopati HIV a Batuk menetap lebih dari 1 bulan b Dermatitis generalisata c Herpes zoster rekuren d Infeksi herpes simpleks virus kronis progresif e Kandidiasis orofaringeal f Infeksi jamur berulang pada alat kelamin g Retinitis oleh virus cytomegalovirus CMV Sumber: Depkes RI, 2005 52 Saat ini, pemerintah telah menyelenggarakan klinik Voluntary, Councelling, and Testing VCT untuk mengetahui status HIVAIDS secara dini. Klinik VCT mencakup proses konseling pra-testing, konseling pos-testing, dan testing HIV secara sukarela yang bersifat confidential dan secara lebih dini membantu seseorang untuk mengetahui status HIV. Konseling pra-testing memberikan pengetahuan tentang HIV dan manfaat testing, pengambilan keputusan untuk testing, dan perencanaan atas hasil tes HIV yang akan dihadapi. Konseling pos-testing membantu seseorang untuk mengerti dan menerima status HIV + dan merujuk pada layanan dukungan yang tersedia. 53 b. Pengobatan suportif untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini termasuk profilaksis kotrimoksasol, terapi antiretroviral ART, serta nutrisi yang baik bagi ODHA. b.1 Kotrimoksasol Universitas Sumatera Utara Beberapa IO pada ODHA dapat dicegah dengan pemberian pengobatan profilaksis. Terdapat dua macam pengobatan ini, yaitu profilaksis primer untuk mencegah suatu infeksi yang belum pernah diderita dan profilaksis sekunder untuk mencegah berulangnya suatu infeksi yang pernah diderita sebelumnya. Berikut adalah tabel mengenai anjuran pemberian profilaksis kotrimoksasol pada ODHA: Tabel 2.4 Pemberian Kotrimoksasol Sebagai Profilaksis Indikasi Saat Penghentian Dosis Pemantauan Bila tidak tersedia pemeriksaan jumlah CD4, semua pasien diberikan kotrimkosasol segera setelah dinyatakan HIV + Dua tahun setelah penggunaan kotrimoksasol jika mendapatkan ARV 960 mghari dengan dosis tunggal Efek samping berupa tanda hipersensitivitas seperti demam, kemerahan, sindrom Steven- Jhonson, anemia, trombositopeni, leukopeni, pansitopeni. Bila tersedia pemeriksaan jumlah sel CD4 dan terjangkau, kotrimoksasol diberikan pada pasien dengan CD 200 selmL Bila sel CD4 naik 200 selmL pada pemeriksaan dua kali interval 6 bulan berturut- turut jika mendapatkan ARV Semua bayi lahir dari ibu hamil HIV + berusia 6 minggu Dihentikan pada usia kehamilan 18 bulan dengan hasil tes HIV -. Jika hasil tes HIV +, dihentikan pada usia 18 bulan jika mendapatkan terapi ARV Trimetropim 8-10 mgkg BB dengan dosis tunggal Sumber: Kemenkes RI, 2011 6 b.2 Terapi Antiretroviral ART Sejak pertama kali ditemukan pada tahun 1996, ARV terbukti menurunkan angka morbiditas dan mortalitas akibat HIVAIDS. Pemeriksaan klinis dijadikan dasar untuk memulai terapi ARV pada ODHA. Semua pasien dengan stadium klinis 3 dan 4 harus memulai terapi ARV. 6 Universitas Sumatera Utara Saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV adalah sebelum pasien jatuh sakit atau muncunya IO yang pertama. Artinya, pada saat penderita dinyatakan HIV +, dianjurkan untuk segera memulai terapi ARV. Perkembangan penyakit akan lebih cepat apabila terapi ARV dimulai pada saat CD4 200 selmL darah dibandingkan bila terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4, maka terapi dimulai sebelum CD4 kurang dari 200 selmL darah. Berikut adalah tabel yang menunjukkan waktu untuk memulai terapi ARV: Tabel 2.5 Saat Untuk Memulai Terapi ARV Pada ODHA Stadium Klinis Bila tersedia pemeriksaan CD4 Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4 1 Terapi ARV dimulai jika CD 200 selmL darah Terapi ARV belum diberikan 2 Bila jumlah total limfosit 1200 selmL darah 3 Jika CD4 diantara 200-350 selmL darah, pertimbangkan untuk diberikan ARV sebelum CD turun menjadi di bawah 200 selmL darah Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah limfosit total 4 Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah CD4 Sumber: Kemenkes RI, 2011 6 Pada pasien dengan IO yang masih aktif, tidak diperbolehkan memulai terapi ARV. Pada dasarnya IO harus diobati atau diredakan terlebih dulu kecuali untuk jenis IO Mikrosporidiosis, CMV, Kriptosporidiosis, dan PML. Hal ini berkaitan dengan efek samping obat ARV yang dapat saling menghilangkan pengaruh ketika dikonsumsi bersamaan dengan obat IO. 6 Sampai dengan saat ini, terdapat tiga jenis ARV yang digolongkan berdasarkan cara kerjanya, yaitu sebagai berikut: Universitas Sumatera Utara Tabel 2.6 Highly Active Antiretroviral Therapy HAART Golongan Obat dan Mekanisme Kerja Nama Obat Nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitor NRTI. Bekerja dengan cara menghambat enzim reverse transcriptase sehingga pertumbuhan rantai DNA hasil replikasi virus terhenti. Abacavir ABC Didanosin ddI Lamivudine 3TC Stavudine d4T Zidovudin ZDZ atau AZT Tenofir disoproxil fumarat TDF Emtricitabine FTC Non-nucleoside Reverse Transcriptase NNRTI. Bekerja dengan cara menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA. Nevirapin NVP Efavirenz EFZ Protease Inhibitor PI. Bekerja dengan cara menghambat enzim protease HIV sehinggan pematangan virus tidak terjadi. Indinavir IDV Ritonavir RTV, r Lopinavir LPV Nelvinafir NFV Saquinafir SQV Sumber: WHO, 2008 27 Saat ini, regimen terapi ARV yang dianjurkan WHO adalah kombinasi dari tiga jenis obat ARV. Pemerintah Indonesia menganjurkan untuk menggabungkan 2 jenis obat ARV golongan NRTI ditambah 1 jenis dari golongan NNRTI pada lini pertama terapi ARV, yaitu: Tabel 2.7 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Pertama Obat A Obat B Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Didanosin Lamivudine + Stavudine Efavirenz Lamivudine + Zidovudin Lamivudine + Stavudine Lamivudine + Didanosin Nevirapin Lamivudine + Zidovudin Lamivudin + Stavudine Lamivudin + Didanosin Nevirapin Sumber: Kemenkes RI, 2011 6 Kegagalan pengobatan yang ditandai dengan menurunnya CD4 di bawahh 100 selmL dan meningkatnya viral load melebihi 10.000 selmL setelah 6 bulan Universitas Sumatera Utara terapi ARV mengharuskan ODHA menggunakan terapi ARV lini kedua, yang terdiri dari: Tabel 2.8 Kombinasi Obat untuk Terapi ARV Lini Kedua Obat A Obat B Didanosisn + Abacavir Ritonavir Abacavir + Tenofir disoproxil fumarat Lamivudine + Tenofir disoproxil fumarat Efavirenz + Nevirapin Sumber: Kemenkes RI, 2011 6 b.3 Nutrisi Pada ODHA Gangguan sistem kekebalan tubuh pada ODHA dapat menurunkan status gizi akibat kurangnya asupan makanan karena berbagai jenis infeksi. Status nutrisi seseorang dapat ditentukan dengan menilai indeks massa tubuh IMT. Laporan di DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan menemukan dari 752 responden ODHA , sebanyak 1 berada pada stadium 4 dengan status gizi buruk IMT 16,92 dan sekitar 80 ODHA mempunyai masalah gizi antara lain kehilangan BB wasting, diare, mual dan muntah, tidak nafsu makan appetite dan oral kandidiasis. 26 CDC 2003 mengklasifikasikan IMT menjadi lima kategori, yaitu: 25 1. IMT 18,5 kgm 2 sebagai berat badan kurang, 2. IMT 18,5-22,9 kgm 2 sebagai berat badan normal, 3. IMT 23-24,9 kgm 2 sebagai praobes 4. IMT 25-29,9 kgm 2 sebagai obes tingkat I 5. IMT ≥ 30 kgm 2 sebagai obes tingkat II Hasil penelitian Koethe 2011 di Amerika Serikat melaporkan bahwa sebanyak 58 ODHA dengan IMT di bawah 18,5 kgm 2 memiliki jumlah CD4 diantara 20-216 selmL darah, 23 dengan IMT 18,5-22,9 kgm 2 memiliki CD4 220- Universitas Sumatera Utara 255 selmL darah, dan hanya 19 dengan IMT 23-24,9 kgm 2 yang memiliki CD4 sekitar 260 selmL darah . Selain itu, didapatkan hasil bahwa risiko ODHA mengalami kematian paling tinggi ditemukan pada IMT di bawah 18,5 kgm 2 sebesar 80. 53 Hasil penelitian Susilowati 2009 di Semarang dan sekitarnya menunjukkan bahwa ODHA yang memiliki IMT di bawah 18,5 kgm 2 sebanyak 63 dan dengan IMT 18,5-22,9 kgm 2 sebanyak 37. 54 c. Pengobatan infeksi opurtunistik untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIVAIDS. Penanganan terhadap infeksi ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan sesuai anjuran petugas kesehatan. d. Pengobatan antiretroviral ARV untuk menghambat kinerja enzim reverse transcriptase atau enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang terjadi dan lebih mudah diatasi, meskipun ARV belum bisa menyembuhkan pasien HIVAIDS.

2.9.3 Pencegahan Tersier

Pencegahan tersier ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita HIVAIDS, baik fisik,ekonomi, maupun sosial. Beberapa hal yang dilakukan pada pencegahan tingkat ketiga ini adalah: a. Tidak menjauhi atau mengucilkan ODHA. b. Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalunya yang indah. c. Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain. Universitas Sumatera Utara d. Perlu diberikan perawatan paliatif bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal, yang mencakup pemberian kenyamanan, persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan pemakaman. 26

2.10 Kerangka Konsep

Berdasarkan latar belakang dan penelusuran pustaka di atas, maka kerangka konsep dari penelitian ini digambarkan sebagai berikut : KARAKTERISTIK PENDERITA AIDS DENGAN INFEKSI OPURTUNISTIK 1. Sosiodemografi Umur Jenis Kelamin Suku Pendidikan Pekerjaan Status pernikahan Tempat tinggal 2. Jenis infeksi opurtunistik 3. Transmisi penularan 4. Jumlah CD4 5. Indeks massa tubuh IMT Universitas Sumatera Utara

BAB 3 METODE PENELITIAN

3.1 Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah bersifat deskriptif dengan desain case series. 3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1 Lokasi Penelitian Penelitian dilakukan di rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan dengan alasan ketersediaan data serta kesediaan pihak RSUP H. Adam Malik Medan untuk memberikan izin penelitian.

3.2.2 Waktu Penelitian

Penelitian dimulai dari bulan Januari-Juni 2013. 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi adalah semua data penderita AIDS dengan infeksi opurtunistik yang tercatat di rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012 yang berjumlah 223 orang.

3.3.2 Sampel

Sampel adalah semua data penderita AIDS dengan infeksi opurtunistik yang tercatat di rekam medis RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012. Besar sampel sama dengan populasi total sampling.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data sekunder yang diperoleh dari pencatatan rekam medis penderita AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan tahun 2012. Universitas Sumatera Utara