Masa Orde Lama 1945-1966

10,90 m 3 . Adanya produksi ini karena pada saat itu sudah ada pohon jenis lambat tumbuh dan pohon jenis cepat tumbuh yang tumbuh secara alami dapat ditebang. Kegiatan pemasaran kayu dan keberadaan sawmill pada periode ini belum ada. Petani hutan rakyat yang ingin menjual kayunya biasanya langsung ke pembeli. Namun petani hutan rakyat tidak akan menebang dan menjual kayunya apabila tidak dalam keadaan mendesak. Selain itu penebangan yang dilakukan petani juga masih sedikit.

6.1.3 Masa Orde Baru 1967-1998

Pengusahaan hutan rakyat pada periode ini sudah mulai berkembang, ini ditandai dengan banyaknya petani hutan rakyat yang mulai menanam pohon. Penanaman yang dilakukan petani terjadi pada jenis tanaman buah-buahan dan Cengkeh. Selain itu pada tahun 1990-an mulai banyak petani hutan rakyat yang menanam pohon kayu-kayuan. Pohon yang ditanam biasanya jenis Sengon dan Afrika. Namun di daerah Tenjo dan Parung Panjang jenis pohon yang ditanam adalah jenis Akasia. Selain itu para petani juga sudah mengenal jarak tanam dan teknik penjarangan karena pada tahun 1970-an penyuluh mulai datang ke petani hutan rakyat. Produksi kayu petani hutan rakyat mulai banyak karena kegiatan menebang kayu juga mulai banyak terjadi. Jumlah pohon yang ditebang tidak lagi sedikit. Penebangan juga dilakukan setiap beberapa tahun ketika pohon tersebut dirasa cukup untuk ditebang. Usaha hutan rakyat mulai dilihat masyarakat sebagai usaha yang cukup menjanjikan. Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa produksi kayu untuk pohon jenis lambat tumbuh pada periode ini berkembang cukup konstan seperti pada tahun 1980 sebesar 15,35 m 3 dan pada tahun 1992 sebesar 12,89 m 3 . Hal ini disebabkan petani hutan rakyat lebih memilih tidak menebang pohon jenis lambat tumbuh yang sebagian besar jenis buah-buahan karena pertumbuhan pohon yang lama dan membutuhkan perawatan lebih, sehingga biaya produksi yang dibutuhkan besar. Pada pohon jenis cepat tumbuh terjadi fluktuasi sejak awal periode dan terjadi kenaikan mulai tahun 1975 sebesar 133,09 m 3 dan terjadi peningkatan yang signifikan pada tahun 1988 sebesar 977,76 m 3 . Ini disebabkan karena pohon jenis cepat tumbuh mempunyai waktu yang cukup cepat untuk ditebang. Selain itu pada tahun 1970 mulai ada pemasaran yang menyebabkan kayu mulai laku dijual. Namun perkembangan produksi pohon jenis cepat tumbuh juga terjadi penurunan karena lahan yang dimiliki petani hutan rakyat yang tidak terlalu besar sehingga ketersediaan pohon yang akan ditebang tidak selalu ada setiap tahunnya. Industri sawmill pada periode ini mulai bermunculan. Hal ini didukung dengan adanya Undang-Undang yang muncul pada periode Orde Baru, yakni Undang-Undang No 5 Tahun 1967 Tentang Pokok-Pokok Ketentuan Kehutanan. UU tersebut menjelaskan tentang pemanfaatan hutan secara intensif dalam rangka pembangunan nasional. Pemanfaatan hutan secara intensif ditunjukkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, yaitu: semakin banyaknya kebutuhan masyarakat akan kayu, semakin tingginya permintaan ekspor hasil hutan, dan semakin majunya industri plywood dan pulp. Dengan munculnya kebijakan untuk pemanfaatan hutan secara intensif, maka muncul kebijakan yang menyebutkan bahwa suatu pemegang HPH harus mempunyai industri pengolah kayu dan izin HPH akan dicabut apabila pemegang HPH tidak mendirikan suatu industri pengolahan kayu. Ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah PP No. 21 Tahun 1970. Kegiatan industri mulai digiatkan dan baru terealisasi pada tahun 1977. Namun keberadaan industri sawmill di wilayah Bogor Barat masih sedikit dan hanya dibeberapa tempat seperti pada tahun 1980 di Cibungbulang dan tahun 1990 di Leuwisadeng. Selain itu, berkembangnya sawmill ini dapat dilihat dari munculnya Chainsaw yang mulai digunakan pada tahun 1990-an. Dengan adanya Chainsaw, maka penebangan yang dilakukan oleh petani hutan rakyat mulai banyak terjadi. Kegiatan penebangan kayu yang mulai banyak terjadi menyebabkan makin banyaknya bermunculan para tengkulak. Penjualan kayu terjadi antara petani dan penjual dengan cara melihat pohon berdiri. Pada saat itu juga petani dan tengkulak menentukan harga yang disepakati kedua belah pihak. Biasanya petani hutan rakyat menjual kayu dalam bentuk pohon berdiri. Apabila harga telah disepakati antara petani dan tengkulak, maka tengkulak langsung menebang dan menjualnya kembali ke sawmill. Pada saat itu kebanyakan petani menjual kayunya ke tengkulak karena masih sedikitnya keberadaan sawmill.