Institution analysis of revolving fund loan for the development of community forest plantation

(1)

PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN RAKYAT

ENTIN HENDARTIN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

PERSYARATAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa disertasi, “Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber Informasinya yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Pebruari 2012 Entin Hendartin


(3)

Entin Hendartin. 2012. Institution Analysis of Revolving Fund Loan for the Development of Community Forest Plantation. Under direction of Hariadi Kartodihardjo, Bramasto Nugroho, and Dudung Darusman.

The Revolving Fund Loans for Community Forest Plantation development (RFL CFP) provides an overview of institutional performance that govern the relationship between principal (lender or Ministry of Forestry cq Public Service Agency-Center of Forest Funding Development (PSA CFFD)) and the agent (borower or farmers around the forest). The relationship is often characterized by asymmetric information leading to the emergence of the risk of adverse selection and moral hazard. The purpose of this study was to formulate the effective and efficient institutions of RFL CFP in accordance with the variying field conditions. Theoritical basis used in this studi was agency theory. The study was conducted in three provinces, namely: Riau, South Kalimantan, and West Java. The results showed that the performance of RFL CFP generally was not good. The goals of RFL CFP has not been achieved, especially in cases of “the right location”, “the right actors”, “the right activity”, and “proper disbursement and repayment of loans”. Innacuracy in selecting the location and the actors because due to the two cooperatives that have received a RLF CFP are not free from conflict with the farmers who occupy in the forest. Improper activities and distribution of RLF CFP because the funds was used by the recipient of RLF CFP for other purposes than cultivation. The lack of good performance of RLF CFP (adverse selection, moral hazard and transaction cost are high), due to: (1) characteristics (loan, borrower, and CFP area) are not adopted in the regulations, (2) the appropriate policies is not existed and the procedure in accessing credit are not simple, (3) PSA CFFD is only in Jakarta, (4) In general, the farmers are not fully understand about RLF CFP. Optimal funding scheme based on enabling incentives is a “revolving loan (farmers level)”, and optimal financing scheme based on the incentive variables are depend on “the needs of the community”. Funding scheme are selected depending on the capacity of the farmers who will receive the loan.

Keywords: institution, agency relationship, revolving fund loan, community Forest Plantation.


(4)

RINGKASAN

Entin Hendartin. 2012. Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat. Dibimbing oleh Hariadi Kartodhardjo selaku ketua, Bramasto Nugroho dan Dudung Darusman sebagai Anggota.

Kinerja Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR) memberikan gambaran bentuk kelembagaan yang mengatur hubungan antara pemberi pinjaman (Kementerian Kehutanan cq BLU Pusat P2H) dan penerima pinjaman (petani sekitar hutan), hubungan tersebut sering diwarnai oleh ketidaksepadanan informasi yang menyebabkan timbulnya resiko salah pilih penerima pinjaman dan ingkar janji.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR melalui analisis kelembagaan, landasan teori yang digunakan adalah teori agensi untuk memahami hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman PDB HTR. Untuk menentukan skema pendanaan HTR yang optimal untuk petani digunakan metode Proses Hirarki Analitik (PHA) atau (Analytical Hierarchy Process(AHP)). Penelitian dilakukan di 3 Provinsi yaitu Provinsi Riau, Kalimantan Selatan dan Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja PDB HTR buruk, dan tujuan PDB HTR belum tercapai yaitu tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan pengembalian. Ketidaktepatan pelaku dan lokasi karena dari 2 koperasi yang sudah menerima penyaluran PDB HTR keduanya tidak terbebas dari konflik. Tidak tepat kegiatan dan penyaluran karena dana PDB HTR digunakan oleh penerimanya untuk kepentingan selain penanaman.

Buruknya kinerja PDB HTR dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: 1 Karakteristik. Karakteristik yang mempengaruhi kinerja PDB HTR terdiri dari

karakteristik kredit, karakteristik petani dan karakteristik usaha sebagai berikut: (A) karakteristik kredit, seperti: (a) risiko kredit sangat tinggi karena rentan terkena hama penyakit, mudah terpengaruh oleh gangguan alam dan manusia seperti kemarau, kebakaran hutan, dan pencurian, (b) pinjaman cukup besar yaitu Rp.68 juta per 8 Ha (Rp 8.5 juta x 8 Ha) atau 2.5 Milyar untuk satu kelompok tani (luas maksimal kelompok tani adalah 300 Ha), dan (c) tidak ada pendanaan dari penerima pinjaman (self financing). (B) Karakteristik penerima pinjaman, meliputi: (a) karakteristik penerima pinjaman bervariasi, (b) pengalaman kredit investasi minim, (c) kemampuan manajerial rendah (kapasitas), (d) aset yang dimiliki beragam, dan (e) karakteristik informasi sulit (karakteristik pasar), dan (C) karakteristik usaha HTR bervariasi, terdiri dari: (a) areal yang dekat dengan pemukiman penduduk ataupun yang jauh dari pemukiman (remote). (b) areal yang datar hingga curam, (c) sarana dan prasarana yang beragam, (d) karakteristik lahan yang berlainan, dan areal sudah diokupasi oleh masyarakat dan (D) karakteristik informasi pasar yang rendah.

2 Aturan main pinjaman belum mendukung, yaitu belum adanya: (a) kebijakan yang sesuai, (b) kemudahan prosedur dalam mengakses kredit, (c) ketepatan waktu penyaluran dan jumlah pinjaman yang sesuai. Ketiganya tidak dipenuhi


(5)

endangered order) tanpa memperhatikan karakteristik atau situasi petani sebagai salah satu subyek pembangunan HTR.

3 Organisasi pengelola dana PDB HTR belum didukung oleh kebijakan yang sesuai dengan karakteristik dan persepsi masyarakat penerima PDB HTR, yaitu: (a) sistem insentif dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan di level tapak, (b) keberhasilan dalam menentukan lokal agen, (c) pembinaan yang intensif. BLU Pusat P2H sebagai pengelola dana PDB HTR hanya berlokasi di Jakarta sehingga sulit dalam menentukan lokal agen yang tepat melakukan pembinaan yang intensif, dan,

4 Persepsi terhadap PDB HTR. Persepsi petani terhadap PDB HTR umumnya belum paham tentang PDB HTR. Sedangkan persepsi para pihak umumnya pesimistis terhadap perkembangan PDB HTR jika kelembagaan yang dimaksud tidak diperbaiki.

Hasil perbandingan antara KUK DAS, KUHR dan PDB HTR menunjukkan bahwa terdapat banyak persamaan antara ketiganya yaitu faktor penunjang keberhasilan pinjaman belum diakomodir ke dalam KUK DAS, KUHR dan PDB HTR. Padahal sebelumnya KUK DAS dan KUHR menunjukkan kinerja yang tidak begitu baik sehingga dapat diprediksi bahwa PDB HTR akan menunjukkan kinerja yang sama dengan KUK DAS dan KUHR.

Hasil perbandingan antara PDB HTR dengan PUAP menunjukkan bahwa faktor-faktor yang menunjang keberhasilan PDB HTR telah diakomodir dalam kelembagaan PUAP sehingga risiko-risiko yang biasa muncul dalam hubungan agensi dapat diperkecil, seperti salah pilih penerima pinjaman, ingkar janji dan biaya transaksi tinggi.

Skema pendanaan optimal berdasarkan insentif pemungkin adalah Pinjaman bergulir yang bergulir di masyarakat (bukan yang dikelola oleh BLU Pusat P2H). Dan skema pendanaan optimal berdasarkan insentif variabel adalah tergantung kepada kebutuhan masyarakat, dalam hal ini masyarakat harus didorong kemandiriannya. Skema pendanaan yang dipilih tergantung kepada petani yang menerima yaitu apakah memiliki kapasitas yang cukup atau tidak. Jika kapasitas petani sudah cukup maka pinjaman bergulir “sesuai dengan kebutuhan masyarakat akan tepat diterapkan”, sedangkan jika kapasitas petani belum cukup maka “pinjaman dana bergulir” yang telah disesuaikan baik jumlah maupun luas areal yang dikelola akan lebih sesuai untuk diterapkan.

Kata kunci: Pinjaman Dana Bergulir, Hutan Tanaman Rakyat, kelembagaan, PUAP, persepsi


(6)

©Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

UNTUK PENGEMBANGAN HUTAN TANAMAN

RAKYAT

ENTIN HENDARTIN

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar doktor pada Program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr.Ir. Didik Suharjito, MS Dr.Ir.Iin Ichwandi, M.Sc.F Penguji Pada Ujian terbuka : Prof.Dr.Ir. Hardjanto, MS


(9)

Nama : Entin Hendartin

NRP : E 061060101

Disetujui Komisi pembimbing

Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS Ketua

Dr. Ir. Bramasto Nugroho, MS Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman, MA

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Tanggal Ujian: 30 Januari 2012 Tanggal Lulus:


(10)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan Alhamdulillahi robbil alamin ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi berjudul “Kelembagaan Pinjaman Dana Bergulir (PDB) untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)”. Disertasi ini bertujuan untuk mengkaji kelembagaan (Aturan main dan organisasi) dari PDB HTR, didalamnya dikaji gap antara kelembagaan PDB HTR dengan karakteristik kredit dan penerima pinjaman dari perspektif teori agensi.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo MS sebagai ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Bramasto Nugroho MS, serta Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman MA sebagai anggota, yang telah membimbing penulis dengan sabar mulai tahap penyusunan proposal, penelitian, analisis dan penyusunan disertasi. Ucapan terima kasih juga di ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi MS sebagai ketua program studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) periode tahun 2007 sampai tahun 2011, kepada Dr. Ir. Naresworo Nugroho MS, sebagai ketua program studi IPK periode 2011 dan seluruh staf, serta Prof. Dr. Ir. Marimin M.Sc sebagai sekretaris program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor yang telah membantu memperlancar dalam proses administrasi selama penulis menyelesaikan pendidikan di Program Studi IPK. Terimakasih dan penghargaan juga diberikan kepada:

1 Dr.Ir. Didik Suhardjito, MS dan Dr. Ir. Iin Ichwandi, M.Sc.F sebagai penguji pada ujian tertutup, dan Prof. Dr. Ir. Hardjanto, MS serta Dr.Ir. Haryatno Dwiprabowo, M.Sc, sebagai penguji pada ujian terbuka.

2 Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti yang telah memberi kesempatan pada penulis untuk mengikuti program Doktor di Sekolah Pascasarjana IPB.

3 CIFOR dan Fakultas Kehutanan IPB yang telah melibatkan penulis dalam proyek kerjasama CIFOR-IPB untuk melakukan kajian kebijakan HTR di Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel) dan Riau. Penelitian kebijakan dimaksud adalah “Strengthening Rural Institutions to Support Livelihood


(11)

CIFOR, BMZ - Jerman, CeTSaf - Jerman, Humboldt University – Jerman, Fakultas Kehutanan IPB – Indonesia, dan FSIV Vietnam.

4 Instansi-instansi yang telah memberi bantuan informasi dan data kepada penulis, seperti: Dinas Kehutanan Provinsi Riau dan Kalsel, BP2HP, BPDAS, Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut dan Kuansing, PT RAPP, PT Hutan Rindang Banoa, PT Hendratna, Dinas Pertanian, Perkebunan, BRI, BPD, PT ASKRINDO, juga Kepala Pusat dan staf di Kementerian Kehutanan dan unit-unit dibawahnya yaitu BLU Pusat P2H, RLPS, BUK, Biro Hukum, Biro Perencanaan di Kementerian Kehutanan. Juga penyuluh, Penyelia Mitra Tani dan Kepala seksi di lingkungan Kementerian Pertanian, APHI (khususnya Nanang Ropandi-Direktur Eksekutif APHI), serta para pakar (akademisi, praktisi, birokrat).

5 Bapak dan Ibu Petani di 3 provinsi yaitu Provinsi Kalsel, Riau dan Jawa Barat yang telah meluangkan waktu untuk berdiskusi di sela-sela padatnya kesibukan mereka bekerja.

6 Teman-teman di Dewan Mahasiwa Pascasarjana periode April 2010-April 2011

7 Teman-teman angkatan 2006 dan Hoya Club yang sama-sama berjuang meraih gelar Doktor

8 Teman-teman mahasiswa dan seluruh staf di IPB, UNWIM, dan SITH ITB, serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, atas motivasi, dorongan, dan berbagai bentuk dukungan lainnya selama mengikuti program doktor sampai selesai.

9 Ayahanda dan Ibunda di Ciamis yang telah memberikan do’a dan motivasi serta percaya bahwa anaknya mampu melewati berbagai rintangan. Mamang dan bibi, Teteh dan keluarga, ateu dan Robby, serta seluruh saudara yang juga turut mendukung penulis

10 Bapak dan Ibu di Rembang, serta Dwi dan suami atas do’a dan dukungannya 11 Suamiku terkasih yang selalu memberikan yang terbaik untuk keluarga.


(12)

memotivasi dengan cara dan bahasa-nya sendiri, serta adik bayi yang masih ada di rahim yang selalu setia menemani sehingga penulis semangat menyelesaikan studi Doktor ini.

Mudah-mudahan disertasi ini berguna untuk memperbaiki kebijakan PDB HTR sehingga petani di sekitar hutan lebih banyak memperoleh manfaat dari keberadaannya.

Bogor, Pebruari 2012 Entin Hendartin


(13)

Penulis dilahirkan di Ciamis, Jawa Barat pada tanggal 24 Oktober 1973. Merupakan anak tunggal dari pasangan Kadir Suhendar dan Iwi Ruwiah. Penulis menikah dengan Teguh Priyanto ST pada tahun 2002 dan telah dikaruniai 2 orang anak, Irsha Shana Ghaida Naajiha lahir di Bogor, 20 Oktober 2003, dan Aufa Muhammad Sulthan Pasha lahir di Samarinda, 23 Oktober 2004.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar Negeri 2 Cijulang - Ciamis pada tahun 1985, Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Cijulang Ciamis pada tahun 1988, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Parigi -Ciamis pada tahun 1991. Kemudian penulis melanjutkan program sarjana di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti dan lulus pada tahun 1996 sebagai lulusan termuda, tercepat, dan terbaik. Pada tahun 2000 penulis memperoleh beasiswa BPPS untuk melanjutkan S2 (Magister) di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) lulus tahun 2003, tahun 2006 penulis kembali memperoleh beasiswa BPPS untuk melanjutkan program S3 (Doktor) di Program dan Universitas yang sama (IPB) sampai sekarang.

Mulai November 1996 sampai Desember 2010 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Kehutanan Universitas Winaya Mukti, dan sejak Januari 2011 tercatat sebagai staf pengajar di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (SITH) - Institut Teknologi Bandung (ITB) sampai sekarang.

Beberapa bagian dari penelitian Disertasi sudah dipublikasikan melalui poster session, seminar internasional, dan Jurnal. Hasil penelitian berjudul: (1) “Analisis perilaku Petani di Propinsi Kalimantan Selatan dalam Kaitannya dengan Peraturan Kredit Mikro untuk Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR)”, pada Jurnal Wana Mukti Volume 11 (1), Oktober 2010, (2) “BRI Unit as a Model of the Revolving Fund Loan (RFL) for the Development of Community Forest Plantation (CFP)” telah dipresentasikan pada kegiatan “The Second International Symposium of Indonesian Wood Research Society (IwoRS)”, di Bali pada tanggal 13 November 2010, (3) “Identification Successful of Independent Direct Assistance (IDA) in the Ministries of Agriculture as a Model on a RFL for the Development of CFP in the Ministry of Forestry” sebagai poster session di


(14)

Kasetsart University-Thailand pada tanggal 11 Februari 2011, dan (4) “Institutional Analysis of RFL for the Development of CFP”, diterbitkan pada Journal of Forestry Research, Vol 8(2), tahun 2011.


(15)

DAFTAR ISI... ... i

DAFTAR TABEL... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN... vi

DAFTAR SINGKATAN dan ISTILAH... viii

I. PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 4

1.3 Tujuan... 5

1.4 Manfaat... 6

1.5. Novelty atau Kebaruan... 6

II. METODE PENELITIAN... 7

2.1 Kerangka Pemikiran... 7

2.2 Tempat, Waktu penelitian, Narasumber dan Responden... 9

2.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian……….. 9

2.2.2 Narasumber dan Responden …………..……... 10

2.3 Metode Pengumpulan Data... 12

2.4 Metode Analisis Data... 13

2.4.1 Pendekatan untuk Mengetahui Kinerja Kelembagaan PDB HTR... 13

2.4.2 Pendekatan untuk Memahami Faktor - Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PDB HTR... 13

2.4.3 Perbandingan PDB HTR dan Model Pinjaman... 14

2.4.4 Pendekatan untuk Menentukan Skema Kredit yang Optimal... 15

III. KINERJA PDB HTR……... 19

3.1 Kinerja Penyaluran…... 19

3.2 Kinerja Penilaian Proposal…... 23

3.3 Evaluasi Kinerja…………... 25

3.4 Kinerja Pengembalian... 28


(16)

ii

Halaman

IV. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KINERJA

PDB HTR... 31

4.1 Karakteristik PDB HTR, karakteristik petani, aset yang dimiliki petani, dan karakteristik lapangan…………... 32

4.1.1 Karakteristik PDB HTR... 32

4.1.2 Karakteristik Petani………... 34

4.1.3 Karakteristik Usaha HTR... 44

4.2 Aturan Main (Gap antara Karakteristik yang Ditangani dan Masalah yang Dipecahkan dengan Peraturan yang Ada)………... 45

4.2.1 Kebijakan yang sesuai (analisis isi peraturan dan ketetapan serta analisis ruang kebijakan PDB HTR)... 45

4.2.2 Kemudahan Prosedur dalam Mengakses Kredit... 59

4.2.3 Ketepatan Waktu Penyaluran dan Jumlah Pinjaman yang Sesuai... 63

4.3 Organisasi PDB HTR……... 64

4.3.1 Sistem Insentif dan Keleluasaan dalam Pengambilan Keputusan di Level Tapak... 64

4.3.2 Keberhasilan dalam Menentukan Lokal Agen... 65

4.3.3 Pembinaan Intensif (Jumlah Pembina dan Pendamping yang Cukup) ... 65

4.4 Persepsi Para Pihak terhadap PDB HTR... 68

4.4.1 Persepsi Petani terhadap PDB HTR…... 68

4.4.2 Persepsi Para Pihak diluar Petani terhadap PDB HTR... 71

V. PERBANDINGAN PDB HTR DENGAN MODEL PINJAMAN LAIN (KUK DAS, KUHR DAN PUAP)……….. 83

5.1 Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS)………... 83

5.2 Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR)... 86

5.3 Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR)………... 88

5.4 Pelajaran yang Bisa Diambil oleh PDB HTR dari KUK DAS dan KUHR…..………... 89

5.5 Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan (PUAP)... 92

5.5.1 Sejarah PUAP ………... 92

5.5.2 Aturan Main PUAP.………... 93

5.5.3 Organisasi PUAP.………... 96

5.5.4 Persepsi………..…………... 97

5.5.5 Masalah yang Dihadapi dalam PUAP…... 98


(17)

Halaman

5.7 Pembelajaran dari PUAP….………... 104

VI. SKEMA PENDANAAN OPTIMAL………. 107

6.1 Skema Pendanaan untuk Kehutanan di Beberapa Negara dan Skema Pendanaan di BLU Pusat P2H... 107

6.2 Penentuan Skema Pendanaan Optimal………... 109

6.2.1 Identifikasi Hirarki AHP dan Penentuan Skema Pendanaan Optimal….………... 109

6.2.2 Masukan Model dan Keluaran Model... 113

VII SIMPULAN DAN SARAN... 125

7.1 Simpulan... 125

7.2 Saran... 127

DAFTAR PUSTAKA... 129


(18)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Narasumber dan responden………... 11

2 Metode analisis data... 18

3 Target dan realisasi penyaluran dana dari BLU Pusat P2H…... 19

4 Kinerja evaluasi proposal oleh BLU Pusat P2H (November 2011)... 23

5 Perbandingan karakteristik petani di 3 lokasi penelitian... 35

6 Perbandingan akses kredit di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan ………... 38

7 Perbandingan perilaku kredit di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan………... 40

8 Perbandingan pemasaran produk di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan……… 43

9 Proses pembuatan kebijakan PDB HTR (IDS 2006)….…... 57

10 Jumlah pendamping dan luas areal... 67

11 Surat keputusan dan persepsi petani... 69

12 Persepsi dan perilaku anggota Gapoktan... 97


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Kerangka pemikiran penelitian…... 9 2 Tipologi insentif menurut Enters(1999)………... 16 3 Struktur hirarki penentuan skema pendanaan berdasarkan

insentif pemungkin……... 17 4 Struktur hirarki penentuan skema pendanaan berdasarkan

insentif variable... 17 5 Hasil akhir penilaian PHA penentuan skema pendanaan

berdasarkan insentif pemungkin………... 114 6 Hasil akhir penilaian PHA penentuan skema pendanaan


(20)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Perbandingan skema pendanaan pembangunan hutan berbasis

masyarakat (KUHR, KUK DAS, dan PDB HTR)... 139

2 Peraturan yang berkaitan dengan BLU…………... 149

3 Analisis isi peraturan perundangan yang berkaitan dengan PDB HTR... 153

4 Peraturan perundangan yang terkait tidak langsung dengan PDB HTR... 159

5 Permohonan pinjaman dana bergulir untuk pembangunan HTR Tahun 2009... 167

6 Data permohonan PDB HTR... 168

7a Rincian pegawai BLU Pusat P2H berdasarkan latar belakang pendidikan, Tahun 2007 s/d 2009... 169

7b Daftar pelatihan pegawai BLU Pusat P2H Tahun 2008... 169

8 Daftar rincianinhouse trainingpegawai Pusat P2H sampai dengan Tahun 2008 dan 2009... 170

9 Rincian pengukuran kinerja Pusat P2H Tahun 2008... 171

10 Rincian pengukuran kinerja Pusat P2H Tahun 2009... 173

11 Rincian indikator sasaran Tahun 2010 s/d 2014... 175

12 Perbandingan 8 prinsip pengembangan organisasi antara BLU Pusat P2H dan PUAP... 177

13 Kriteria yang digunakan untuk mengukur tingkat kesejahteraan rumah tangga penduduk desa sampel... 181

14 Matrik hasil evaluasi Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS) di Indonesia... 183

15 Matrik hasil evaluasi Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) di Indonesia... 185


(21)

17 Persepsi petani di 3 propinsi terhadap PDB HTR... 195 18 Mekanisme memperoleh IUPHHK- HTR

(P.23/2007 Jo P.05/2008)…... 199 19 Permohonan & Penyaluran Pinjaman (Peraturan Kapus P2H

P.01/2008)……..…... 200 20 Mekanisme Penyaluran Dana BLM PUAP ... 201


(22)

DAFTAR SINGKATAN DAN ISTILAH

Adverse Selection Salah memilih mitra kerjasama atau agen, biasanya terjadi sebelum akad kredit (ex ante)

Agen Yang diberi kewenangan atau kuasa oleh prinsipal, dalam penelitian ini selanjutnya disebut sebagai penerima pinjaman

BLM Bantuan Langsung Mandiri

BLU P3H Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan

BPP Balai Penyuluhan Pertanian

BPTP Balai Pengkajian Tanaman Pertanian Dirjen BUK Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan

Dephut Departemen Kehutanan

Ditjen BPK Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan Ditjen BUK Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan

Gapoktan Gabungan Kelompok Tani

HTR Hutan Tanaman Rakyat

IUPHHK Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu

Juklak Petunjuk Pelaksanaan

Juknis Petunjuk Teknis

Kemenhut Kementerian Kehutanan

Kemenkeu Kementerian Keuangan

Kementan Kementerian Kehutanan

Kemenpan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara

KPA Kuasa Pengguna Anggaran

KPPN Kantor Pelayanan Pembendaharaan Negara

KUHR Kredit Usaha Hutan Rakyat


(23)

disebut ‘Ingkar janji’. Biasanya terjadi setelah terjadinya akad (ex post)

Menhut Menteri Kehutanan

Menkeu Menteri Keuangan

Menpan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

Mentan Menteri Pertanian

PDB Pinjaman Dana Bergulir

Permenhut Peraturan Menteri Kehutanan

PMT Penyelia Mitra Tani

Poktan Kelompok Tani

Prinsipal Pemberi Kewenangan atau Kekuasaan PUAP Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan RLPS Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial

RKT Rencana Kerja Tahunan

RKTUPHHK HTR Rencana Kerja Tahunan Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

RKUPHHK HTR Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Rakyat

SK Surat Keputusan

SKSHH Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan

SPM Surat Perintah Membayar


(24)

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pemberian kredit untuk hutan rakyat telah dimulai sejak tahun 1988/1989. Pemberian kredit tersebut merupakan komitmen pemerintah dalam rangka pengembangan kehutanan, perbaikan lingkungan dan membantu petani dalam bidang permodalan. Penjabaran dari program tersebut adalah Kredit Usaha Tani Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS) pada tahun 1988/1989, dan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR) (Departemen Kehutanan 2005).

Untuk menyalurkan Kredit Usaha Hutan Rakyat (KUHR), dan Kredit Usaha Konservasi Daerah Aliran Sungai (KUK DAS), Departemen Kehutanan bekerjasama dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD). Pada pelaksanaan KUK DAS, kredit disalurkan langsung kepada kelompok tani, sedangkan pada pelaksanaan kegiatan KUHR, pengambilan kredit dilakukan oleh mitra usaha setelah memperoleh kuasa dari peserta kredit1.

Menurut Departemen Kehutanan (2005), pelaksanaan KUK DAS dan KUHR, menghasilkan kinerja yang buruk yaitu rendahnya realisasi kegiatan fisik di lapangan dan macetnya pengembalian kredit dari petani. Menurut Yunus (2008), “suatu kredit dikatakan berhasil apabila nasabah yang terkait kredit mampu mengembalikan uang yang dipinjamnya”. Menurut Kuntjoro (1983); Sanim (1997); dan Mayrowani et al. (1998) tingkat tunggakan dipengaruhi oleh banyak faktor baik faktor internal petani atau kelompok tani maupun faktor-faktor yang berada di luar kontrol petani atau kelompok tani. Faktor yang berada dalam diri petani di antaranya ialah karakteristik diri petani, kemampuan petani menggunakan kredit untuk usaha yang dapat memberikan keuntungan tinggi, sistem pengawasan dalam kelompok tani. Selain itu pandangan petani terhadap kredit yang disalurkan, pengalamannya dalam menggunakan kredit dan tingkat kesadaran membayar kredit. Sedangkan faktor yang berada di luar petani ialah sistem seleksi calon penerima kredit, sistem pemantauan (monitoring) dan pengawasan kredit.


(25)

Terdapat faktor-faktor kunci keberhasilan pinjaman atau kredit untuk petani yang ditemukan oleh beberapa peneliti, yaitu adalah: kelompok tempat petani bergabung harus kokoh, petani harus memahami mengenai hak dan kewajiban peserta kredit, sistem insentif dan penalti yang jelas (Syukur 1993). keberhasilan dalam menentukan lokal agen, adanya sistem insentif dan keleluasaan dalam pengambilan keputusan bagi pengelola di level tapak, kebijakan yang mendukung (Chaves et al. 1996), pemantauan oleh petugas, kemudahan prosedur dalam mengakses kredit, ketepatan waktu penyaluran dan besarnya pinjaman, bentuk dan cara penagihan, kemampuan mengelola kredit oleh petani dan kelompok tani (Mayrowani 1998), pemahaman mengenai karakteristik penerima pinjaman (Windarti 2000), sedangkan menurut Wijaya (2009) dalam Sugianto (2009), modal sosial, pembinaan intensif dengan jumlah pembina atau pendamping yang cukup dan pemasaran yang baik adalah faktor - faktor penunjang tersebut.

Kelembagaan KUK DAS dan KUHR diperkirakan belum mengadopsi faktor-faktor tersebut diatas sehingga menunjukkan kinerja yang buruk. Departemen Kehutanan (2005) mengemukakan beberapa permasalahan KUK DAS dan KUHR, seperti: peraturan-perundangan, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan hubungan yang tidak harmonis antara petani dan mitra usaha. Permasalahan KUK DAS dan KUHR tersebut pada hakekatnya merupakan permasalahan kelembagaan.

Pada tahun 2007, pemerintah c.q Departemen Kehutanan mencanangkan pemberian kredit Hutan Tanaman Rakyat (HTR), melalui Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) P.48/Menhut-II/2007 tanggal 31 Oktober 2007 tentang Standar Biaya Pengembangan HTI dan HTR jo Permenhut Nomor P.64/Men-Hut-II/2009 tentang Standar Biaya HTI dan HTR, Permenhut P.9/Menhut-II/2008 tanggal 24 Maret 2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir untuk Pengembangan Hutan Tanaman Rakyat (PDB HTR).

Untuk membantu pengembangan HTR, Kementerian Kehutanan khususnya Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan (Pusat P2H) yang berbentuk Badan Layanan Umum (BLU) menyediakan akses dana dengan mekanisme


(26)

3 seperti yang tercantum dalam Permenhut No P.9/Menhut-II/2008 tentang Persyaratan Kelompok Tani untuk Mendapatkan PDB HTR dan Keputusan Kepala Pusat P2H No.01/Pusat P2H-1/2008 tentang Tata Cara Permohonan, Penyaluran dan Pengembalian PDB HTR. Skema pembiayaan yang ditawarkan BLU Pusat P2H melalui Permenhut Nomor P.64/Menhut-II/2009 tentang Standar Biaya Hutan Tanaman Industri (HTI) dan HTR adalah skema pembiayaan tunggal.

Persyaratan, prosedur, dan skema pinjaman yang mengatur PDB HTR merupakan suatu kelembagaan. Ketiganya diatur dalam sebuah aturan main, terdapat organisasi yang mengelola, dan adanya kesepakatan yang mengikat hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman. Dalam kesepakatan tersebut seharusnya terdapat pengaturan aliran biaya dan manfaat yang seimbang sehingga dalam pengembangan sebuah usaha hutan rakyat tidak berhenti di tengah jalan dan tidak ada pihak yang dirugikan (Darusman dan Wijayanto 2007).

Penelitian tentang kelembagaan pinjaman (aturan main dan organisasi) untuk pembangunan hutan dari perspektif hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman (hubungan agensi) belum dilakukan, penelitian yang ada berkaitan dengan: (1) hubungan kontrak antara pemilik perusahaan dengan manajer (Jensen and Meckling 1986), (2) ketidaksepadanan informasi dan kredit di pedesaan (Hoff dan Stiglitz 1993), penelitian ini mengkaji hubungan antara kredit formal dan informal di pedesaan dan konsekuensi dari intervensi pemerintah terhadap kredit formal. Tulisan tersebut juga menggambarkan modus operandi dari kredit informal di lima negara berkembang dan Israel, (3) analisis skema kredit dalam pengembangan usaha hutan rakyat dari sudut pandang modal sosial yang dilakukan oleh Fauziyah (2009), lokasi penelitian dilakukan di kabupaten Ciamis Jawa Barat. Data yang dikumpulkan dianalisis menggunakan analisis deskriptif, dan (4) Prihadi (2010), membahas tentang kelembagaan kemitraan industri pengolahan kayu bersama rakyat dalam rangka pembangunan hutan di pulau jawa. Penelitian ini bertujuan mengetahui kelembagaan KIBARHUT (Kemitraan Industri Pengolahan Kayu Bersama Rakyat dalam Rangka Pembangunan Hutan) yang mempunyai peluang untuk berlangsung secara berkelanjutan. Hubungan ini dikaji menggunakan teori kemitraan. Oleh karena itu penelitian ini akan memberi


(27)

kontribusi bagi ketersediaan data dan infomasi yang berkaitan dengan kelembagaan pinjaman untuk HTR dari perspektif hubungan agensi antara pemberi dan penerima pinjaman.

1.2 Perumusan Masalah

Rendahnya akses petani terhadap pendanaan yang berasal dari lembaga keuangan formal telah dinyatakan oleh Yunus 1981; Bunch 1991; Khandker 1995; Usman 2004; Dephut 2008. Tanpa adanya bantuan (kredit) petani akan terus terjebak dalam kemiskinan (Carter 2006). Adanya pinjaman dari Kementerian Kehutanan untuk pembangunan HTR perlu didukung walaupun kelembagaan pinjaman tersebut perlu dikaji mengingat kelembagaan merupakan hal yang sangat vital dalam menentukan kinerja program. Pinjaman di Kementerian Kehutanan seperti KUK DAS dan KUHR di masa lalu mempunyai kinerja yang buruk, dan kelembagaan sebagai aturan main maupun organisasi merupakan faktor dominan penyebab kegagalan tersebut.

Kinerja merupakan refleksi bentuk kelembagaan yang mengatur hubungan antara prinsipal dan agen. Prinsipal atau pemberi kredit yaitu BLU Pusat P2H (Badan Layanan Umum Pusat Pembiayaan Pembangunan Hutan yang berada dibawah Kementerian Kehutanan) dan agen atau penerima PDB HTR yaitu petani. Kelembagaan PDB HTR (seperti organisasi dan aturan main) adalah subyek yang mengatur hubungan antara prinsipal dengan agen atau sering disebut agency relationship (Jensen dan Meckling 1986; Eisenhardt, 1989; Prihadi 2010). Hubungan agensi-dalam penelitian ini merupakan hubungan antara pemberi dan penerima pinjaman- sering diwarnaiasymetric informationatau ketidaksepadanan informasi yang menyebabkan timbulnya resiko adverse selection (salah pilih penerima pinjaman -ex ante), dan moral hazard (ingkar janji -ex post) (Maskin 2001). Resiko tersebut muncul karena dalam hubungan agensi selalu mempunyai 2 (dua) atribut, yaitu adanya asymmetric information (ketidaksepadanan informasi) dan kemungkinan perilaku oportunis (opportunistic behavior) dari para pelaku (Barney dan Ouchi 1986).

Hubungan pemberi dan penerima pinjaman PDB HTR diatur dalam sebuah kelembagaan yang dapat menghasilkan kinerja tertentu tergantung dari struktur dan respon dari para pelaku di dalamnya, salah satunya melalui adopsi


(28)

faktor-5 faktor pendukung keberhasilan pinjaman dalam kelembagaan pinjaman yang bersangkutan. Jika faktor kunci keberhasilan kredit menurut Syukur 1993; Chaves et al 1996; Mayrowani 1998; Windarti 2000; Wijaya 2009 dalam Sugianto 2009 tidak terpenuhi, maka program pinjaman tersebut diyakini akan mengalami kegagalan. Faktor kunci keberhasilan tersebut pada hakekatnya membuat informasi antara ke-2 pihak menjadi sepadan sehingga risiko-risiko dalam hubungan seperti yang dinyatakan oleh Maskin (2001) dapat dihindari.

Dari penjelasan diatas terdapat beberapa pertanyaan penelitian, yaitu: (1) bagaimana kinerja PDB HTR?, (2) apakah faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR telah terakomodir dalam kelembagaan PDB HTR (karakteristik, aturan main dan organisasi, persepsi dan perilaku), (3) apakah faktor-faktor keberhasilan tersebut telah diadopsi dalam model pinjaman lain?, dan (4) apakah skema pendanaan yang ditawarkan pemberi pinjaman mampu memenuhi kebutuhan penerima pinjaman khususnya petani?

Untuk membantu menjawab pertanyaan penelitian digunakan suatu model penyaluran kredit lain yang telah terbukti berhasil. Model penyaluran kredit yang dipilih adalah PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan) dari Kementan (Kementerian Pertanian), dengan beberapa alasan diantaranya: (1) kredit dari Kementerian Kehutanan (Kemenhut) dianggap tidak berhasil (Departemen Kehutanan 2005), kredit dimaksud yaitu KUK DAS dan KUHR, (2) PUAP mampu meningkatkan modal awal Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) sebesar 25%-250% , dan (3) jumlah petani penerima manfaat PUAP terus meningkat.

1.3 Tujuan

Tujuan umum disertasi ini adalah merumuskan kelembagaan pinjaman untuk pengembangan HTR yang efektif dan efisien sesuai dengan kondisi yang bervariasi di lapangan. Tujuan antara adalah sebagai berikut:

1 Untuk menilai kinerja PDB HTR.

2 Untuk menganalisis dan memahami faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR (aturan main PDB HTR dan organisasi BLU Pusat P2H, karakteristik dan persepsi para pihak terhadap PDB HTR).


(29)

3 Untuk membandingkan PDB HTR dengan model pinjaman lain (KUK DAS, KUHR dan PUAP).

4 Menemukan skema PDB HTR optimal untuk petani.

1.4 Manfaat

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat bagi para pihak; 1 Hasil penelitian diharapkan diadopsi oleh pemerintah dalam bentuk

skema pembiayaan HTR yang lebih tepat sehingga petani memperoleh manfaat yang lebih besar

2 Memberikan pengetahuan baru khususnya di bidang kelembagan pinjaman berdasarkan teori hubungan prinsipal agen.

1.5 Novelty atau Kebaruan

Penelitian yang sudah ada, yang terkait dengan penelitian ini adalah tentang: (1) hubungan antara kredit formal dan informal di pedesaan dan intervensi pemerintah terhadap kredit formal (Hoff et al. 1993), (2) faktor-faktor yang mempengaruhi pinjaman formal pedesaan (Syukuret al. 1990; Chaveset al. 1996; Wijaya dalam Sugianto 2009), (3) daya serap dan pengembalian (Kuntjoro 1983; Syukur 1993; Waluyo & Djauhari 1992; Indroprahasto 1994; Sanim 1997; Mayrowani 1998, Lubis et al.2008, Utami et al. 2009), (4) analisis skema kredit dari sudut pandang modal sosial (Fauziyah 2009), (5) kelembagaan kemitraan Industri Pengolahan kayu bersama rakyat menggunakan teori kemitraan (Prihadi 2010), (6) perbandingan skema pinjaman PDB HTR dengan KUHR menggunakan analisis kebijakan naratif (Nugroho 2011 a).

Berdasarkan tinjauan (review) hasil-hasil penelitian tersebut, belum ada penelitian yang membahas: (1) gap antara peraturan-perundangan yang berkaitan dengan pinjaman bergulir untuk pembangunan hutan tanaman dengan peningkatan atau penurunan risiko yang biasa muncul dalam hubungan agensi, seperti salah pilih penerima pinjaman, perilaku ingkar janji, dan peningkatan biaya transaksi terhadap kinerja pinjaman secara keseluruhan, (2) menghasilkan kebaruan berupa rumusan untuk memperbaiki kebijakan PDB HTR, dan (3) menghasilkan skema pendanaan optimal untuk pembangunan hutan tanaman, khususnya yang ditujukan terhadap petani dengan menggunaan metoda Analytical Hierarchy Process (AHP) atau Proses Hirarki Analitik (PHA).


(30)

II.

METODE PENELITIAN

2.1 Kerangka Pemikiran

Dari definisi UU no 7 tahun 1992 tentang perbankan, PDB HTR dapat dikategorikan sebagai kredit atau pinjaman karena terdapat persetujuan atau perjanjian pinjam-meminjam antara BLU Pusat P2H yang berperan sebagai Bank dan pihak lain atau petani (kelompok tani sebagai penerima kredit).

Menurut Muljono (2001) dalam kredit tercakup kesepakatan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan beberapa unsur yang tercakup di dalamnya seperti waktu, kepercayaan, penyerahan, resiko, persetujuan dan perjanjian. Hubungan tersebut pada hakekatnya merupakan bentuk kelembagaan (aturan main dan organisasi) dimana pelaku individu mengkombinasikan faktor produksi yang dimiliki dalam suatu proses produksi secara bersama karena adanya kepentingan pihak yang satu dan pihak lainnya (Kasper dan Streit 1998).

Hubungan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dianalisis menggunakan teori agensi (agency theory) dari Jensen dan Meckling (1986), analisis dilakukan terhadap perjanjian kerjasama atau akad kredit atau kesepakatan antara keduanya. Jensen dan Meckling (1986) mendefinisikan suatu hubungan keagenan sebagai suatu kontrak di mana satu atau lebih orang (pemberi kuasa atau prinsipal) melibatkan orang lain (penerima kuasa atau agen) untuk melakukan beberapa tindakan atas nama pemberi kuasa. Pemberi kuasa mendelegasikan beberapa kewenangan dalam pengambilan keputusan kepada penerima kuasa. Pemberi kuasa dapat membatasi keragaman minat dengan membangun insentif yang tepat untuk penerima kuasa dan mendesain biaya pemantauan untuk membatasi aktivitas yang menyimpang dari penerima kuasa, disamping itu pada beberapa situasi pemberi kuasa akan meminta penerima kuasa untuk mengeluarkan sumberdaya (biaya ikatan) untuk menjamin bahwa penerima kuasa tidak akan mengambil tindakan yang akan membahayakan pemberi kuasa, atau memastikan bahwa pemberi kuasa akan diberi kompensasi jika penerima kuasa melakukan tindakan yang menyimpang tersebut. Hubungan pemberi kuasa dan penerima kuasa dalam penelitian ini diartikan sebagai pemberi pinjaman dan


(31)

penerima pinjaman PDB HTR. Saling ketergantungan antara pemberi dan penerima pinjaman menjadi dasar penelitian mengenai kelembagaan PDB HTR, dengan fokus kajian penerima pinjaman adalah petani, dan BLU Pusat P2H sebagai pemberi pinjaman.

Dalam hubungan agensi antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman terdapat aturan main yang mengatur hak dan kewajiban pemberi dan penerima pinjaman, terdapat organisasi yang menjalankan dan mengatur perpindahan hak dari pemberi pinjaman kepada penerima pinjaman. Bentuk kelembagaan ini yang mengontrol interdependensi antar para pelaku terhadap sesuatu, kondisi atau situasi.

Hubungan pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dalam pelaksanaannya sangat bervariasi di lapangan, yaitu sesuai dengan situasi tertentu. Situasi tersebut terjadi karena hubungan penerima dan pemberi pinjaman dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya: karakteristik (petani, kredit HTR), aturan yang dipergunakan serta organisasi yang menjalankan (termasuk ruang kebijakan yang tersedia, IDS 2006). Berbagai faktor tersebut bersinergi menghasilkan kinerja tertentu yang diharapkan memberi manfaat bagi pemberi pinjaman dan penerima pinjaman serta tidak ada yang dirugikan sehingga hubungan agensi dapat terus dilakukan (Justet al. 1982).

Jika kelembagaan PDB HTR belum mampu mengakomodir karakteristik, dan mengendalikan perilaku para pihak maka kinerja PDB HTR akan mengarah kepada kinerja yang tidak sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Hardjanto (2003) bahwa kebijakan yang dalam implementasinya belum memberikan dampak positif khususnya bagi petani hendaknya dievaluasi untuk diperbaiki dalam pelaksanaannya. Schaffer (1980) dan Kartodihardjo (1998), menyatakan bahwa lingkungan hanya menyediakan kesempatan (struktur) sedangkan kinerja yang dihasilkan tergantung pada respon (conduct/behavior) dari para pelaku, karena berubahnya kesempatan mengakibatkan berubahnya juga manfaat dan biaya yang harus dibayar oleh para pihak (stakeholders). Gambar 1 menunjukkan kerangka pemikiran penelitian.


(32)

9

Gambar 1 Kerangka Pemikiran Penelitian

Gambar 1 diatas menggambarkan hubungan antara situasi, struktur, perilaku dan kinerja, dimana struktur yang dibuat sebaiknya mempertimbangkan situasi atau karakteristik yang melekat pada subyek yang diatur, karena struktur akan mempengaruhi respon atau perilaku dari para pihak dan pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja yang dihasilkan. Tujuan rekomendasi kebijakannya adalah untuk memperbaiki kelembagaan PDB HTR melalui struktur yang sesuai dengan karakteristik dan persepsi para pihak sehingga mampu mengarahkan perilaku para pihak ke arah kinerja yang diharapkan.

2.2 Tempat, Waktu Penelitian, Narasumber dan Responden 2.2.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di: (1) Propinsi Riau (Kabupaten Kuansing), (2) Propinsi Kalimantan Selatan (Kabupaten Tanah Laut), dari November 2008 sampai April 2009, dan (3) Propinsi Jawa Barat (Kabupaten Bogor), pada Mei 2009 sampai Februari 2011. Penelitian ini merupakan bagian dari kerja sama proyek antara CIFOR, IPB dan Lembaga penelitian yang ada di Riau (Kabupaten Kuansing) dan di Kalimantan Selatan yaitu Forestry Research Institutes (FRI) atau Regional Offices of Forestry Research and Development Agency (FORDA) atau Litbang.

Struktur:

Substansi kebijakan PDB HTR termasuk peraturan-perundangan dan kesepakatan

antara pemberi dan penerima pinjaman serta

kemampuan organisasi pengelola

Perilaku:

(persepsi dan perilaku para

pihak)

Kinerja

Rekomendasi Kebijakan Situasi:

(Karakteristik petani – kredit – HTR)


(33)

Pemilihan tempat penelitian dilakukan melalui aktivitas rapid appraisal di seluruh Indonesia dan mengumpulkan data awal dari beberapa tempat penelitian melalui wawancara dengan beberapa informan kunci, dan beberapa kepala rumah tangga. Kabupaten Kuansing dan Kabupaten Tanah Laut dipilih karena: (1) adanya industri pengolahan yang menggunakan bahan baku kayu, baik kayu yang berotasi panjang untuk industri pengolahan kayu (wood working) maupun kayu yang berotasi pendek untuk industri pulp, (2) adanya kompetisi penggunaan lahan seperti untuk kelapa sawit atau hutan tanaman rakyat berdasarkan rencana yang telah disusun oleh Kementerian Kehutanan, (3) lokasi penelitian memiliki jenis kayu berotasi pendek seperti Akasia (Acacia mangium) untuk industri pulp di Propinsi Riau dan adanya jenis kayu yang berotasi panjang seperti Mahoni (Swietenia macrophilla) dan Jabon (Antocephalus cadamba) untuk Industri pengolahan kayu (Wood Working) di Propinsi Kalimantan Selatan, (4) kedua propinsi dipilih karena telah dicadangkan untuk lokasi HTR, dan (5) adanya petani dalam jumlah yang cukup dan melakukan penanaman tanaman hutan. Kabupaten Bogor propinsi Jawa Barat dipilih karena terdapat program PUAP yang dijadikan sebagai contoh pinjaman khsususnya dalam penerapan teori agensi.

2.2.2 Narasumber dan Responden

Wawancara serta kuisioner dilakukan dengan metode purposive terhadap para pihak terkait pinjaman HTR, seperti ketua kelompok tani, petani, penyuluh di dua propinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut (Propinsi Kalimantan Selatan) dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kuansing (Propinsi Riau), Kepala BRI, Askrindo, BP2HP, BPDAS, PT RAPP, PT Hendratna, dan PT Hutan Rindang Banoa serta pakar. Wawancara dilakukan untuk menggali data dan informasi yang berhubungan dengan pendapat para pihak terhadap segala aspek yang berkaitan dengan skema PDB HTR, sedangkan di Kabupaten Bogor Propinsi Jawa Barat responden yang dipilih adalah petani penerima pinjaman PUAP, penyuluh, Penyelia Mitra Tani (PMT), dan kepala seksi yang membawahi program PUAP.

Jumlah narasumber dan responden yang dimintai keterangan 355 orang yang terdiri atas: petani, Kementerian Kehutanan pusat, dan unit kerja daerah,


(34)

11 lembaga keuangan formal dan non formal, akademisi, peneliti, dan perusahaan. Detil narasumber dan responden pada Tabel 1.

Tabel 1 Narasumber dan responden

Lokasi Penelitian Kegiatan dan Lokasi Narasumber dan Responden Jumlah (orang) Riau

Kuisioner terbuka dan

tertutup Petani 103

FGD Propinsi dan

wawancara mendalam Para Pihak diluar petani(lembaga keuangan formal dan non formal, LSM, lembaga penelitian,

akademisi, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, perusahaan)

21

Kalimantan Selatan

Kuisioner terbuka dan

tertutup Petani 153

FGD Propinsi dan

wawancara mendalam Para Pihak diluar petani(lembaga keuangan formal dan non formal, LSM, lembaga penelitian,

akademisi, Dinas Kehutanan Propinsi dan Kabupaten, perusahaan)

18

Jawa Barat Kuisioner terbuka dan

tertutup Petani 27

Kementerian

Pertanian Kuisioner terbuka dantertutup Para pihak diluar petani(penyuluh, PMT, Kepala seksi)

8

Kementerian

Kehutanan Kuisioner terbuka dantertutup Kepala Pusat, Staf (BLU-RLPS-BUK-Biro Keuangan-Biro Kepegawaian-Keuangan-Biro Hukum)

17

Pakar Kuisioner terbuka

dan tertutup Akademisi, peneliti, birokrat,APHI 8

Total 355

Pemilihan responden petani di Propinsi Riau dan Kalimantan Selatan adalah berdasarkan tingkat kesejahteraan berdasarkan persepsi masyarakat di kecamatan yang bersangkutan (Lampiran 13). Persentase tingkatan kesejahteraan yang diambil sebagai responden adalah sebagai berikut: masyarakat prasejahtera (7%), sedang (82%) dan Sejahtera (11%). Data yang diambil meliputi kegiatan


(35)

mereka dalam melakukan penananam tanaman hutan seperti kayu, dan pandangan serta perilaku petani terhadap kredit. Sedangkan petani di Jawa Barat yang terpilih adalah pengurus Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) dan penerima pinjaman PUAP.

2.3 Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi menjadi 2 yaitu metode pengumpulan data primer dan metode pengumpulan data sekunder. Metode pengumpulan data primer1 dilakukan melalui pencatatan, observasi dan

wawancara mendalam, serta Grup Diskusi Terfokus (GDT) atau Focus Group Discussion (FGD)2di Provinsi Kalimantan Selatan, dan Riau.

Wawancara mendalam dilakukan dengan metodepurposiveterhadap pihak terkait kredit untuk pengembangan HTR seperti ketua kelompok tani, petani, penyuluh di tiga provinsi, Dinas Kehutanan Kabupaten Tanah Laut (Kalimantan Selatan) dan Dinas Kehutanan Kabupaten Kuansing (Provinsi Riau), Kepala BRI, Askrindo, BP2HP, BPDAS, PT RAPP, PT Hendratna, dan PT Hutan Rindang Banoa serta Pakar. Wawancara dilakukan untuk menggali data dan informasi yang berhubungan dengan pendapat para pihak terhadap aspek yang berkaitan dengan kelembagaan kredit untuk mendukung pengembangan HTR.

FGD yang dilakukan di 2 provinsi dihadiri oleh lembaga keuangan formal (Bank BRI, Bank BPD), lembaga penjamin kredit seperti ASKRINDO (Asuransi Kredit Indonesia), perusahaan (PT Arara Abadi, PT NPM, PT. Riau Andalan Pulp and Paper, PT Hendratna, PT Hutan Rindang Banoa), Dinas Kehutanan provinsi dan Kabupaten, BPDAS (Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai), lembaga penelitian (Litbang, CIFOR), akademisi (IPB, Universitas Lancang Kuning, Universitas Lambung Mangkurat, Universitas Riau), Instansi lain diluar Dinas Kehutanan (Badan Pertanahan Nasional, Badan Perencanaan Daerah), dan LSM (Scale up).

1Sebagian data primer diambil dari hasil penelitian yang dilakukan oleh tim CIFOR, tim IPB, dan

tim Litbang di Provinsi Riau dan Kalimantan Selatan.

2Focus Groups Discussion (FGD) menurut Bungin (2007) adalah sebuah tenik pengumpulan data

yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman suatu kelompok. FGD dimaksudkan untuk menghindari pemaknaan yang salah dari seorang peneliti terhadap fokus masalah yang sedang diteliti.


(36)

13 2.4 Metode Analisis Data

2.4.1 Pendekatan untuk Mengetahui Kinerja Kelembagaan PDB HTR Kinerja kelembagaan PDB HTR. Identifikasi data dan analisis menggunakan analisis deskriptif, tabulasi dan grafis berdasarkan hasil olahan data yang diberikan responden atau hasil pengumpulan data sekunder, data yang terindentifikasi dari laporan evaluasi kinerja BLU Pusat P2H secara tertulis ataupun tidak tertulis. Kinerja yang dikaji adalah kesesuaian antara target dan pelaksanaan yang ditetapkan oleh BLU Pusat P2H.

2.4.2 Pendekatan untuk Memahami Faktor Faktor yang Mempengaruhi Kinerja PDB HTR

Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja PDB HTR. Analisis dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kinerja berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Syukur 1993; Chaves et al . 1996; Mayrowani 1998; Windarti 2000; Wijaya 2009 dalam Sugianto 2009. Identifikasi meliputi peraturan-perundangan, surat perjanjian kerjasama (kontrak dalam akad kredit maupun sebelum akad, organisasi pengelola PDB HTR, karakteristik kredit dan HTR, persepsi petani terhadap PDB HTR, jenis konflik (ingkar janji atau perilaku oportunis yang mungkin dan sudah terjadi. Indikasi perilaku oportunis selanjutnya memberikan gambaran komitmen para pihak dalam menegakkan kontrak (Salim, 2002; Nugroho, 2003; Gibbons, 1998; 2005; Ostrom, 2005; Yustika, 2006). Analisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja akan menggunakan analisis isi3 (Irawan 2007), analisis isi ditujukan khususnya terhadap peraturan-perundangan yang berkaitan dengan PDB HTR. Analisis ruang kebijakan seperti diskursus atau naratif, aktor atau jaringan, politik atau interest(IDS 2006), hubungan agensi (Jensen dan Meckling 1986; Prihadi 2010), dan analisis deskriptif (Bungin 2007).

3 Analisis isi dipahami sebagai penelitian objektif dan sistematik dan menggambarkan secara

kuantitatif isi-isi pernyataan suatu komunikasi. Analisis isi adalah salah satu teknik analisis terhadap berbagai sumber informasi termasuk bahan cetak (buku, artikel atau jurnal, koran, majalah), dan bahan non cetak seperti gambar, benda-benda


(37)

2.4.3 Perbandingan PDB HTR dan Model Pinjaman

Perbandingan PDB HTR dan model pinjaman. Analisis ini akan menggunakan teori perbandingan institusi dari Hirakuri (2003). Data yang dikaji meliputi peraturan-perundangan, kesepakatan antara pemberi dan penerima pinjaman, organisasi pengelola, karakteristik dan persepsi petani

Responden PDB HTR diwawancara dalam kaitannya dengan karakteristik responden yang meliputi pendidikan, usia, pengalaman menanam kayu, keinginan menanam kayu, jumlah pinjaman PDB HTR, tujuan peminjaman, jarak ke tempat peminjaman, jangka waktu pengembalian, jumlah anggota kelompok PDB HTR, aturan yang sebaiknya ada, tanggung renteng, sanksi, reward, luas yang mampu dikelola, jaminan, keharusan membuat laporan, waktu pembayaran, tujuan pinjaman, kemampuan membayar utang, penyuluhan PDB HTR, dan tata cara peminjaman di Bank.

Selain itu dikumpulkan juga persepsi responden tentang PUAP, diantaranya: peran PUAP dalam pemenuhan modal, sumber informasi PUAP, kemudahan prosedur, keikutsertaan dalam penetapan prosedur, kesesuaian kredit, agunan, waktu pengembalian, tingkat bunga, waktu pencairan pinjaman, persepsi terhadap waktu pencairan, pelayanan, besaran kredit, ketepatan penyaluran, asuransi pinjaman, kesediaan membayar premi, biaya administrasi, fasilitas kantor, keluhan tentang PUAP, dan keinginan meminjam dana PUAP lebih dari satu kali.

Mengkaji lingkungan fisik responden PUAP meliputi: kemudahan memperoleh barang, jarak ke pasar, sarana angkutan, pengetahuan pengembalian kredit anggota lain, dan pengetahuan peminjaman dari bank anggota Gapoktan lain. Aksesibilitas peserta PUAP terhadap pasar, meliputi: biaya angkutan, jumlah pembeli, keterlibatan pemda, penyuluh, dan ketua Gapoktan, yang meliputi: kunjungan aparat pemda kabupaten, kunjungan camat, kunjungan lurah atau kades, kunjungan ketua Gapoktan, dan kunjungan penyuluh. Dimensi usaha anggota Gapoktan meliputi, usaha lain di luar pertanian, jenis usaha peminjam dana PUAP, lama menjalankan usaha, harapan anggota kelompok terhadap kelompoknya. Kekuatan pendampingan meliputi: bahan-bahan penyuluh,


(38)

15 kemampuan penyuluh, jumlah kunjungan anggota Gapoktan terhadap pencarian informasi atau kebiasaan membaca, dan pengalaman mengikuti penyuluhan. 2.4.4 Pendekatan untuk Menentukan Skema Kredit yang Optimal

Skema PDB HTR optimal untuk petani disusun berdasarkan pendapat para pakar yang berasal dari praktisi keuangan mikro, birokrat, akademisi, dan peneliti. Skema ini awalnya disusun berdasarkan insentif pemungkin dan variabel, kemudian skema pendanaan tersebut diolah menggunakan PHA (Proses Hirarki Analitik). Hasil yang diperoleh diharapkan memberikan solusi skema pendanaan optimum untuk para pihak sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan hubungan pinjam-meminjam dapat terus dilakukan.

A. Analisis Insentif

Untuk mengetahui faktor yang bersifat insentif dan disinsentif terhadap skema kredit HTR akan dilakukan dengan analisis insentif. Analisis ini bertujuan untuk mengetahui apakah kelembagaan kredit untuk pengembangan HTR, sudah sesuai dengan keinginan dan kebutuhan petani. Kesesuaian dengan kondisi dan kebutuhan petani sangat penting sebagai modal bagi petani untuk ikut berpartisipasi dalam program HTR. Analisis dilakukan terhadap hasil yang diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pakar (wawancara dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi skema kredit berdasarkan faktor insentif dan disinsentif). Hasil wawancara mendalam kemudian diklasifikasikan dan ditabulasikan berdasarkan jawaban pihak, analisis data dilakukan secara deskriptif. Analisis insentif menggunakan tipologi insentif menurut Enters (1999), tipologi tersebut diilustrasikan pada Gambar 2.


(39)

Gambar 2 Tipologi insentif menurut Enters(1999)

Hasil tipologi insentif menurut Enters (1999) kemudian diverifikasi dengan pendapat para pakar, sehingga diperoleh faktor-faktor yang mempengaruhi skema pendanaan berdasarkan insentif pemungkin dan variabel, aktor yang mempengaruhi, dan alternatif strategi pendanaan yang dapat dipilih.

B. Alternatif Skema Pendanaan

Untuk mengetahui alternatif skema pendanaan menurut pakar, digunakan metode PHA. Metode ini digunakan untuk membantu memecahkan masalah yang kompleks dengan menyusun suatu hirarki kriteria, pihak yang berkepentingan, faktor yang mempengaruhi, alternatif pilihan dan strategi dengan menarik berbagai pertimbangan guna mengembangkan berbagai prioritas (Saaty 1993). Pemilihan responden dilakukan dengan cara purposive sampling, yaitu dengan memperhatikan pengalaman dan pemahaman responden atas skema kredit HTR.

Penentuan prioritas pelaku yang berperan, tujuan, faktor, alternatif dan strategi penentuan skema kredit yang optimal dibagi berdasarkan insentif variabel dan insentif pemungkin, yang digambarkan dalam struktur hirarki seperti diilustrasikan dalam Gambar 3 dan Gambar 4.


(40)

17

Gambar 3 Struktur hirarki penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif pemungkin

Gambar 4 Struktur hirarki penentuan skema pendanaan berdasarkan insentif variabel.


(41)

Metode analisis data untuk penelitian ini secara ringkas digambarkan dalam Tabel 2 dibawah.

Tabel 2 Metode analisis data

Tujuan Sumber data Metode

pengumpulan data

Metode

Analisis data Hasil Kinerja PDB

HTR Laporan Hasilevaluasi kinerja secara tertulis atau tidak

Dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam Analisis deskriptif (Bungin 2007) Persentase capaian hasil penyaluran dana PDB HTR Faktor-faktor yang mem-pengaruhi kinerja Peraturan-perundangan yang meliputi: perumusan kebijakan, persyaratan, prosedur, tata cara penyaluran dan pengembalian PDB HTR, insentif dan penalti, pemantauan dan evaluasi), organisasi (organisasi di level tapak, pembinaan dan pendampingan secara insentif), karakteristik dan persepsi yang meliputi (karakteristik petani dan pinjaman HTR, kemampuan mengelola pinjaman, pemahaman mengenai hak dan kewajiban, pemasaran) Dokumen primer dan sekunder, wawancara, dan FGD Analisis isi (Irawan 2007), analisis ruang kebijakan (IDS 2006), teori agensi (Jensen and Meckling; Prihadi 2010), analisis deskriptif (Bungin 2007), analisis kebijakan naratif (Van Eesten 2007: Nugroho 2011a) Faktor penentu keberhasilan kinerja Perbanding-an PDB HTR dengan model pinjaman lain Peraturan, kesepakatan pinjaman, organisasi, karakteristik, persepsi, kinerja Dokumentasi data sekunder, wawancara mendalam, studi literatur, dan FGD Analisis perbandingan institusi (Hirakuri 2003) Faktor-faktor pembeda capaian kinerja antara 2 program Skema pendanaan optimal Insentif pemungkin

dan variabel Wawancaramendalam pakar

Metode AHP

(Saaty 1993) Skemapendanaan yang diharapkan


(42)

III.

KINERJA PDB HTR

3.1 Kinerja Penyaluran

Sejak dicanangkan tahun 2007 sampai bulan November 2010 belum ada satupun pemohon yang memperoleh PDB HTR (Pinjaman Dana Bergulir untuk pengembangan Hutan Tanaman Rakyat). Baru pada Desember 2010 terdapat 2 koperasi penerima PDB HTR yaitu Koperasi X di Kab. Mandailing Natal Propinsi Sumatera Utara dan Koperasi Y di Kab. Tebo Propinsi Jambi. Pada Desember tahun 2011 penerima dana PDB HTR mengalami peningkatan, tercatat 4 koperasi dan 27 KTH (Kelompok Tani Hutan) melakukan akad kredit walaupun 9 KTH dari 27 KTH belum memperoleh penyaluran PDB HTR karena berkas akad kredit yang harus diperbaiki dengan bantuan notaris belum diperbaiki dan dikembalikan pada BLU Pusat P2H. Data target dan realisasi penyaluran selengkapnya pada Tabel 3.

Tabel 3 Target dan realisasi penyaluran dana dari BLU Pusat P2H Thn KTH dan Koperasi Target

Luas Target penyaluran(Rp) Realisasiluas (Ha atau %)

Realisasi penyaluran (Rp atau %)

2008 - 98.004 836.160.000.000 0% 0%

2009 - 43.670 372.589.619.400 0% 0%

2010 2 koperasi 141.674 1.208.749.619.400 600:141.674 atau 0.0042%

151.551.360 atau 0.039% 2011 s.d September

2011 terdapat 365 pemegang izin perorangan (dalam 27 KTH) dan 2 koperasi yang sudah akad kredit

1.063.550.000.000 4370.1 37.285.256. 190 atau 0.035%

Sumber: BLU Pusat P2H (Tahun 2008 sampai 2011, diolah)

Lambatnya realisasi penyaluran dana PDB HTR menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H1 adalah karena panjangnya proses perizinan untuk memperoleh Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu untuk HTR (IUPHHK HTR) di hutan produksi yang belum dibebani hak sebagai salah satu syarat petani untuk


(43)

mengajukan PDB HTR. IUPHHK HTR harus berada di areal yang sudah dicadangkan oleh Menteri Kehutanan sebagai areal HTR, sementara pencadangan dilakukan melalui deliniasi makro hutan produksi, hasil sosialisasi dan verifikasi di kabupaten atau kota. IUPHHK HTR juga menghambat BLU Pusat P2H untuk melakukan proyek percontohan (pilot project) dari PDB HTR karena lokasi yang akan dijadikan sebagai lokasi proyek percontohan harus mempunyai IUPHHK HTR.

Pada tahun 2009 terdapat beberapa pemohon PDB HTR, yaitu: 3 pemohon berbadan hukum koperasi, 3 pemohon berbadan hukum Perseroan Terbatas (PT), dan 4 pemohon petani pemegang IUPHHK HTR. Pemohon PDB HTR berbadan hukum koperasi (Lampiran 5). Koperasi tersebut mengajukan proposal dengan nilai yang jauh dari ketetapan yang dibuat oleh Kementerian Kehutanan yaitu masing-masing 300 Ha untuk koperasi dan KTH (Kelompok Tani Hutan). Ketiga koperasi tersebut memohon pinjaman dengan kisaran luas areal 3.107 Ha – 8.794 Ha, dan kisaran jumlah pinjaman yang diajukan adalah 26.6 milyar - 87.9 milyar. Walaupun demikian BLU Pusat P2H hanya mencairkan maksimum 300 Ha untuk masing-masing koperasi jika memenuhi syarat administrasi dan lolos verifikasi lapangan.

Dana PDB HTR baru dicairkan pada bulan Desember 2010 terhadap Koperasi X2 di Kabupaten Mandailing Natal Provinsi Sumatera Utara, dan Koperasi Y di Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Jangka waktu pengajuan sampai pencairan menghabiskan waktu lebih dari satu tahun. Dana PDB HTR untuk Koperasi X tahun ke-1 hanya untuk luas areal 24 Ha [hasil verifikasi BLU Pusat P2H hanya 24 Ha yang lahannya dianggap bebas dari konflik dari luas 50 Ha per tahun (300 Ha : 6 tahun = 50 Ha per tahun) untuk jenis karet (Hevea braziliensis)], sedangkan dana PDB HTR tahun ke-1 yang cair untuk Koperasi Y seluas 50 Ha.

BLU Pusat P2H mewajibkan Koperasi X untuk mencari lahan tambahan seluas 36 Ha untuk memenuhi jumlah 50 Ha per tahun, sampai November 2011 Koperasi X belum memenuhi kekurangan lahannya, padahal berdasarkan 2 Lamanya waktu pencairan karena Koperasi X memerlukan waktu cukup lama untuk memenuhi persyaratan administrasi seperti yang diminta oleh Kapus melalui surat no S 248/Pusat P2H-2/2009 tanggal 24 Juli 2009


(44)

21 IUPHHK HTR yang dimilikinya luas areal koperasi tersebut adalah 8.794 Ha. Disini diduga ada itikad tidak baik dari penerima pinjaman untuk memperoleh PDB HTR atas areal yang tidak ada, selain proses pembuatan SK IUPHHK HTR yang tidak dilakukan dengan benar.

Pemohon PDB HTR berbadan hukum PT sebagai developer ada 3 namun ketiganya ditolak dengan beberapa alasan, yaitu: (1) PT pertama ditolak oleh BLU Pusat P2H karena PT tersebut bukan sebagai pemegang IUPHHK HTR (Belum mempunyai SK IUPHHK-HTI definitive (Surat Balasan Kapus no S.459/Pusat P2H-2/2009 tanggal 8-4-2009), (2) PT kedua ditolak karena yang bersangkutan bukan pemegang IUPHHK-HTR, KTH yang diajukan sebagai mitra developer bukan sebagai pemegang izin sesuai surat Kapus no S.949/Pusat P2H-2/2009 tanggal 24-7-2009, dan (3) PT ketiga permohonannya belum dapat dilayani oleh BLU Pusat P2H karena sedang dilakukan revisi peraturan berkaitan dengan mekanisme penyaluran PDB HTR dan HTI. Selain PT diatas menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H banyak yang mengajukan dana pinjaman secara lisan menjelang Pemilu dan menurun sesudah Pemilu tetapi pada dasarnya mereka tidak mempunyai IUPHHK HTR atau HTI.

Petani yang melakukan permohonan pada tahun 2009 ada 4 orang dengan luas masing-masing 6 Ha, 10 Ha, 13 Ha, dan 15 Ha, semua anggota KTH berasal dari Kabupaten Sorolangun Provinsi Jambi, namun semua pemohon ditolak karena tidak sesuai dengan pasal 2 huruf a Permenhut P.09/Menhut-II/2008 yang menyebutkan bahwa Kelompok Tani Hutan yang mengajukan permohonan paling sedikit beranggotakan 5 orang pemegang IUPHHK HTR, dengan demikian pemegang IUPHHK HTR di Kabupaten Sorolangun tersebut belum memenuhi ketentuan untuk memperoleh dana bergulir.

Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa PDB HTR telah menarik minat para oportunis yang mempunyai itikad tidak baik terhadap penggunaan dana PDB HTR, namun BLU Pusat P2H berusaha meminimalkan resiko tersebut dengan berlaku selektif dan taat peraturan3 sesuai dengan azas kehati-hatian (prudential), demi memenuhi 4 prinsip, yaitu: (1) tepat lokasi (lokasi sesuai

3 Walaupun telah memakan “korban” 4 orang petani, mengingat biaya yang sudah dikeluarkan

untuk memperoleh IUPHHK HTR, biaya penyusunan proposal dan pengajuan permohonan ke Jakarta cukup besar


(45)

dengan areal pencadangan dan areal IUPHHK HTR), (2) tepat pelaku (pelaku masyarakat atau koperasi sekitar hutan produksi pemegang IUPHHK HTR), (3) tepat kegiatan (untuk kegiatan pembangunan HTR dan telah dinilai layak secara ekonomi, sosial, dan lingkungan oleh BLU Pusat P2H), dan (4) tepat penyaluran dan pengembalian (penyaluran dan pengembalian sesuai akad kredit). Di sisi lain pada tahun 2009 tersebut BLU Pusat P2H pada dasarnya belum siap menyalurkan dana PDB HTR karena terkendala revisi peraturan yang mengatur mekanisme penyalurannya.

Program kerja BLU Pusat P2H pada tahun 2008 dan tahun 2009 lebih banyak diisi oleh kegiatan pelatihan staf BLU Pusat P2H (inhouse training) (Lampiran 7b dan 8), sosialisasi ke beberapa provinsi dan pemenuhan sarana dan prasana kantor termasuk melengkapi administrasi kantor di Jakarta (Lampiran 9 dan 10). Pada tahun 2008 pelatihan yang dilakukan meliputi: sistem akutansi, pelaporan keuangan pemerintah, penyegaran sistem akutansi dan manajemen pengadaan barang atau jasa dimana peserta pelatihan rata-rata hanya 1 orang. Tahun 2009 pelatihan diikuti oleh lebih banyak peserta dengan kisaran jumlah 2 sampai 25 orang dengan fokus pelatihan yang berbeda dengan tahun 2008. Latihan yang dimaksud meliputi pemahaman peraturan-perundangan kehutanan, pengenalan alat GPS, penyusunan laporan keuangan, penyusunan laporan barang inventaris, pembinaan pegawai, administrasi kepegawaian, teknik penilaian proposal PDB HTR, teknik penyusunan Rencana Bisnis Anggaran (RBA) dan pengenalan skim kredit pola syariah.

Dari materi pelatihan terlihat bahwa pelatihan yang dilakukan adalah untuk peningkatan kapasitas staf BLU Pusat P2H walaupun materinya lebih banyak bersifat teknis administratif. Hal yang menjadi kendala untuk pelatihan adalah keberadaan materi pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan BLU Pusat P2H di Kementerian Kehutanan atau Kementerian lain. Biaya yang diperlukan untuk melakukan pelatihan sendiri menurut Kepala Pusat BLU Pusat P2H cukup tinggi. Sehingga ketersediaan dana untuk mengirimkan peserta pelatihan atau menyelenggarakan pelatihan secara mandiri menjadi kendala.


(46)

23 3.2 Kinerja Penilaian Proposal

Penilaian proposal merupakan salah satu prosedur yang harus dilalui sebelum persetujuan prinsip penyaluran PDB HTR dikeluarkan, hal ini dilakukan untuk mengurangi salah pilih penerima pinjaman. Evaluasi proposal menunjukkan tahapan kegiatan yang dilakukan oleh BLU Pusat P2H dalam upaya menentukan penerima pinjaman yang tepat. Adapun tahapan kegiatan dan jumlah koperasi yang diterima, ditolak ataupun ditunda selengkapnya pada Tabel 4.

Tabel 4 Kinerja evaluasi proposal oleh BLU Pusat P2H (November 2011)

no Status Kegiatan Kop KTH Jml

1 Cek Administrasi : pengecekan seluruh persyaratan

administrasi - -

-2 Melengkapi Administrasi : calon debitur melengkapi

kekurangan syarat administrasi. 2 56 58

3 Tolak Administrasi : permohonan ditolak karena syarat

adm tidak terpenuhi. - 2 2

4 Penilaian Kelayakan : penilaian kelayakan berdasarkan

proposal yang diajukan - 2 2

5 Cek Lapangan : verifikasi & klarifikasi hasil penilaian adm

dan kelayakan proposal - -

-6 Ditolak : proposal ditolak - 42 42

7 Persetujuan prinsip : pembuatan persetujuan prinsip - 6 6

8 Akad Kredit : pelaksanaan Akad Kredit - 9 9

9 Penyaluran : telah dilakukan penyaluran dana bergulir 4 18 22

10 Jumlah 6 135 141

Sumber: BLU Pusat P2H, 2011

Untuk calon penerima pinjaman yang aplikasinya ditunda, disetujui atau ditolak, ada beberapa penjelasan yang diberikan oleh pemberi pinjaman. Calon penerima pinjaman yang aplikasinya ditunda akibat ada kecurigaan dari pemberi pinjaman bahwa penerima pinjaman akan melakukan ingkar janji, hal yang menjadi pertimbangan pemberi pinjaman adalah: (a) anggota KTH tidak mengetahui batas areal IUPHHK-HTR sebagaimana tercantum dalam SK IUPHHK HTR, sehingga ada kecurigaan petani hanya dimanfaatkan namanya, (b) anggota KTH belum memahami rincian perubahan HTR sebagaimana tercantum dalam proposal pinjaman (ketentuan tanggung renteng, peraturan kelompok), ada kecurigaan pihak yang membuat proposal adalah orang yang paling berkepentingan, dan petani hanya digunakan sebagai pelengkap persyaratan (staf BLU Pusat P2H, di Jakarta pada September 2011).


(47)

Untuk calon penerima pinjaman yang disetujui, terdapat beberapa alasan diantaranya: (a) anggota KTH yang hadir dalam pertemuan dominan, dan paham apa yang mereka dan kelompoknya lakukan, dan (b) areal IUPHHK HTR yang diterbitkan, seluruhnya berada dalam areal pencadangan. Dalam kondisi tersebut pertimbangan yang dilakukan oleh pemberi pinjaman cukup sederhana yaitu dominasi yang hadir dan pemahaman anggota kelompok terhadap pekerjaan HTR serta verifikasi kebenaran anggota tersebut kepada kepala desa bahwa yang bersangkutan adalah benar merupakan penduduk di wilayahnya sesuai yang tercantum di KTP4, tanpa adanya pertimbangan karakter dan kapasitas dari calon penerima pinjaman yang akan mempengaruhi pengelolaan areal HTR dan pengembalian dana PDB HTR.

Sedangkan untuk calon penerima pinjaman yang ditolak5, adalah: (a) anggota KTH atau lokasi KTH saling tertukar (tidak sama antara lokasi di peta lampiran IUPHHK-HTR dengan lapangan, (b) anggota KTH berkeberatan dengan lokasi HTR sesuai peta lampiran IUPHHK-HTR karena tidak sama dan berjauhan dengan lokasi pemukiman dan lahan garapannya, (c) anggota KTH tidak menunjukkan keinginan yang kuat untuk membangun HTR, tidak paham dengan ketentuan pinjaman, aturan kelompok dan rencana HTR, serta tidak bersedia hadir pada pertemuan dengan tim cek lapangan dari BLU Pusat P2H, (d) kondisi fisik lapangan kurang mendukung (sebagian besar berbatu dan aksesibilitasnya rendah sehingga diperkirakan akan menghambat proses pembangunan HTR dan pemasaran hasil HTR, (e) areal IUPHHK HTR yang diterbitkan Bupati tidak sesuai dengan lokasi yang dimohonkan, atau masuk ke desa lain, dan (f) kondisi lokasi IUPHHK HTR yang diterbitkan oleh Bupati sebagian besar berada pada areal dengan kelerengan curam dan sangat curam. Berdasarkan pertimbangan tersebut para anggota KTH diminta BLU Pusat P2H untuk melakukan revisi IUPHHK HTR. Biaya untuk menverifikasi dan mendata ulang calon penerima pinjaman otomatis meningkat, demikian pula biaya yang harus dikeluarkan oleh calon penerima PDB HTR untuk merevisi IUPHHK HTR dan revisi administrasi permohonan PDB HTR juga ikut meningkat, dengan demikian upaya memperoleh

4 Kepala Sub Bidang Analisa Pinjaman di Jakarta pada November 2011

5 Nota Dinas Kepala Pusat BLU Pusat P2H No.27/P2H-2/2011 kepada Menteri Kehutanan,


(48)

25 informasi yang sepadan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman telah menimbulkan biaya transaksi tinggi.

3.3 Evaluasi Kinerja

Terdapat beberapa indikator keberhasilan kinerja debitur BLU Pusat P2H dalam membangun HTR yang dibiayai dengan pinjaman PDB HTR, yaitu: (1) dapat mengembalikan PDB HTR secara tepat waktu dan jumlah, (2) dapat membangun HTR rotasi berikutnya, (3) memenuhi kewajiban kewajiban administratif (iuran kelompok maupun kewajiban terhadap negara), dan (4) memperoleh keuntungan yang wajar (BLU Pusat P2H 2011).

Metode evaluasi penerima pinjaman sampai saat ini masih diperdebatkan. BLU Pusat P2H telah mengupayakan beberapa cara untuk menemukan metode evaluasi yang paling efektif (prosesnya akuntabel, transparan, hasilnya akurat sebagai dasar pengambilan keputusan) dan efisien (prosesnya reatif mudah, murah, cepat), termasuk melakukan lokakarya (workshop) tanggal 15 sampai 16 September di Yogyakarta) dengan beberapa narasumber, dan penggunaan konsultan. Namun semua upaya tersebut belum menemukan titik temu6. Metode evaluasi menggunakan sampel baik sampel KTH maupun areal evaluasi, banyak ditentang oleh para pakar, hal ini mengingat kinerja penerima pinjaman tidak bisa disamakan antara satu penerima pinjaman dengan penerima pinjaman yang lain sehingga perlu sensus, sementara biaya untuk melakukan sensus sangat tinggi dan waktu yang dibutuhkan sangat lama. Terdapat beberapa kelemahan metode penarikan contoh (sampling) untuk metode evaluasi kinerja penerima pinjaman menurut Nugroho (2011 b), yaitu: (1) informasi yang diperoleh adalah rata-rata populasi, sementara akad kredit dilakukan individual, (2) kinerja rata-rata tidak dapat digunakan sebagai bahan evaluasi kelanjutan pinjaman yang dilakukan secara individual, (3) gagal bayar terkait dengan kemampuan, motivasi, kejujuran, dan lain-lain tidak dapat dirata-ratakan

Metoda evaluasi yang tepat perlu ditemukan untuk mengurangi ketidak-sepadanan informasi antara penerima dan pemberi pinjaman sehingga resiko ingkar janji dapat dikurangi. Pada umumnya pihak penerima pinjaman menguasai


(49)

informasi tentang keragaan (work effort), keinginan-keinginan (preferences) dan motivasi (motives) yang ada pada dirinya, sedangkan informasi tentang keragaan, keinginan dan motivasi penerima pinjaman yang dimiliki oleh pemberi pinjaman umumnya sangat terbatas (Nugroho 2011a) sehingga diperlukan metode evaluasi yang sesuai dengan karakteristik PDB HTR. BLU Pusat P2H (2011) menyatakan bahwa metode evaluasi kinerja debitur terbentur dengan karakteristik lapangan HTR, yaitu: (1) belum dilakukan pengukuran/pemetaan areal kerja IUPHHK HTR (belum diketahui batas areal kerja dan petak, kondisi penutupan lahan (land cover), penanaman dengan pola pengkayaan (tanaman tersebar tidak teratur), (3) khusus KTH: (a) petak tanaman tersebar, (b) penanaman per debitur kecil (1 sampai 2 Ha), dan (c) jumlah debitur banyak, (4) tenaga evaluator BLU Pusat P2H terbatas, tidak ada perwakilan di lapangan, dan (5) lokasi areal HTR tersebar dan agak sulit dijangkau.

Rancangan metode evaluasi yang dibuat oleh BLU Pusat P2H dalam lokakarya tersebut adalah sebagai berikut: (1) masalah kelembagaan meliputi: (a) adanya pertemuan atau rapat anggota atau rapat pengurus, (b) adanya rencana kerja KTH, (c) adanya surat kesepakatan antara penggarap lahan dengan pemegang IUPHHK HTR dalam hal pengelolaan HTR, (d) kepemilikan fotocopy struktur organisasi, dan (e) memiliki buku besar, neraca, neraca harian dan lain-lain untuk pelaporan, (2) manajemen pembangunan HTR yang meliputi: (a) adanya gubuk kerja permanen, (b) adanya kegiatan terkait pembangunan HTR saat dilakukan evaluasi, (c) adanya persemaian tanaman HTR untuk KTH, (d) pembangunan HTR dilakukan oleh sebagian besar anggota KTH, dan (e) adanya pemetaan partisipatif areal kerja seperti adanya pal batas IUPHHK HTR masing-masing anggota, (3) tingkat keberhasilan tanaman dibagi menjadi kategori baik, cukup, sedang, dan sangat kurang. Angka yang menjadi tolok ukur tingkat keberhasilan masih diperdebatkan. Bobot nilai antara masalah kelembagaan, manajemen pembangunan HTR, dan tingkat keberhasilan tanaman adalah 10:10:80.

Menurut Nugroho (2011 b), evaluasi kinerja penerima pinjaman PDB HTR harus mencakup beberapa hal sehingga resiko ingkar janji dan gagal bayar dapat dikurangi, yaitu: (1) evaluasi penggunaan PDB HTR meliputi tanda terima


(50)

27 pinjaman dan bukti fisik kegiatan (kecocokan antara komponen biaya dengan aktifitas di lapangan), (2) prospek pengembalian dilihat dari sudut hutan tanaman yang dibangun dengan dana PDB HTR, (3) tanaman lain yang dapat menunjang pengembalian pinjaman, (4) pengelolaan dana PDB HTR secara hati-hati oleh penerima pinjaman, (5) dukungan kelembagaan PDB HTR yang dibangun oleh KTH dan koperasi dalam pengembalian pinjaman secara tepat waktu dan jumlah, (6) kebijakan peraturan pemerintah pusat dan daerah yang memperkuat atau melemahkan kemampuan pengembalian oleh penerima pinjaman, dan (7) identifikasi faktor-faktor internal dan eksternal yang mendukung pengembalian PDB HTR.

Namun metoda evaluasi menurut Nugroho (2011b) paling tidak harus mencakup 2 hal yaitu evaluasi terhadap proses dan output, dengan maksud: (1) penilaian terhadap proses dimaksudkan sebagai bahan untuk perbaikan dan pembinaan, mengambil langkah langkah penjadwalan ulang, menjawab persoalan pemberi dan penerima pinjaman, dan (2) penilaian terhadap output sebagai bahan untuk penetapan bentuk sanksi (punishment).

Meskipun bentuk evaluasi kinerja penerima pinjaman masih diperdebatkan, namun evaluasi tahun pertama untuk mengukur kinerja 2 koperasi yaitu: Koperasi X dan Koperasi Y telah dilakukan dengan menggunakan metoda penarikan contoh (sampling). Hasil evaluasi yang dilakukan oleh BLU Pusat P2H menunjukkan bahwa Koperasi X belum melakukan penananam, dana PDB HTR yang diterima untuk 24 Ha dipergunakan untuk mengurus masalah hukum pada areal IUPHHK HTR miliknya sehingga Koperasi X tidak berhak untuk memperoleh dana PDB HTR tahun ke-2 dan tahun pertama untuk blok berikutnya karena adanya ingkar terhadap kewajiban yang harus dilaksanakan yaitu penanaman. Sedangkan hasil evaluasi untuk Koperasi Y menunjukkan bahwa pada bulan November 201I (hampir satu tahun setelah telah dilakukan akad kredit) baru dilakukan penanaman untuk 30 Ha, sedangkan 20 Ha sisanya belum ada aktivitas pembangunan HTR, sehingga Koperasi Y memperoleh dana PDB HTR tahun ke-2 untuk 30 Ha, sedangkan 20 Ha sisanya tidak dibiayai. Dari penjelasan diatas dapat diketahui bahwa telah terjadi ingkar janji dari penerima PDB HTR terhadap ketentuan dalam kesepakatan pinjaman (offering letter) dan


(51)

akad kredit, karena dana PDB HTR digunakan untuk kegiatan selain pembangunan HTR7.

3.4 Kinerja Pengembalian

Kinerja pengembalian belum dapat dievaluasi karena PDB HTR baru tersalur selama satu tahun dan belum jatuh tempo.

3.5 Sintesis Kinerja PDB HTR

Lambatnya penyaluran PDB HTR hakekatnya disebabkan karena panjangnya prosedur yang harus dilalui untuk memperoleh IUPHHK HTR sebagai salah satu syarat untuk memperoleh PDB HTR, dan lamanya waktu yang diperlukan untuk melakukan verifikasi lapangan serta verifikasi calon penerima PDB HTR. Selain itu rendahnya kinerja penyaluran PDB HTR akibat ditemukannya: (1) ketidaksesuaian antara IUPHHK HTR dengan areal pencadangan, (2) areal IUPHHK HTR yang tidak sesuai untuk pengembangan HTR, (3) adanya kecurigaan dari pemberi pinjaman atas motivasi calon penerima pinjaman, (4) administrasi pemohon yang tidak lengkap, dan (5) masih banyak revisi peraturan-perundangan dari Kementerian Kehutanan yang berkaitan dengan mekanisme penyaluran. Akibatnya banyak terjadi ketidaksesuaian antara dokumen yang diajukan oleh calon penerima pinjaman dengan kondisi lapangan menyebabkan terjadi penolakan atas penyaluran PDB HTR oleh BLU Pusat P2H. Ketidaksesuaian dokumen dengan kondisi lapangan merupakan fenomena tidak adanya koordinasi yang baik antar unit di bawah Kementerian Kehutanan, maupun dengan Pemerintah Daerah. Dalam hal ini pemberi pinjaman berupaya untuk memperkecil ketidaksepadanan informasi yang dimilikinya melalui verifikasi administrasi, kondisi lapangan dan calon penerima pinjaman. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk mengurangi perilaku ingkar janji dan salah pilih penerima pinjaman, namun upaya tersebut belum berhasil karena berdasarkan hasil pemantauan dan evaluasi yang dilakukan oleh internal BLU Pusat P2H ditemukan adanya perilaku ingkar janji dari penerima dana PDB HTR.

Munculnya perilaku ingkar janji merupakan wujud ketidaksepadanan informasi yang dimiliki oleh pemberi dan penerima pinjaman. Hal ini sejalan


(52)

29 dengan pendapat Eisenhardt (1989); Gibbons (2005) bahwa dalam suatu hubungan agensi, kedua pihak (pemberi dan penerima pinjaman) akan berupaya memaksimumkan utilitasnya dengan asas saling menguntungkan. Namun karena salah satu pihak (khususnya penerima pinjaman) menguasai informasi yang lebih baik, sehingga terdapat resiko atau kemungkinan perilaku oportunis salah satu pihak untuk tidak selalu bertindak guna kepentingan pihak lain. Situasi ini menimbulkan munculnya godaan bagi satu atau lebih pelaku (khususnya penerima pinjaman) untuk berperilaku menyimpang dalam rangka memaksimumkan kesejahteraan-nya sendiri. Faktanya pemberi pinjaman tidak pernah tahu dengan penerima pinjaman mana seharusnya hubungan agensi dilakukan8. Pemberi pinjaman tidak dapat mengamati secara sempurna perilaku yang dilakukan oleh penerima pinjaman serta bagaimana isi kontrak seharusnya dibuat (Maskin 2001). Solusinya adalah memformulasikan suatu mekanisme insentif berdasarkan ketersediaan dan keseimbangan informasi, manfaat dan nilai-nilai yang dimiliki oleh pemberi pinjaman dan penerima pinjaman. Insentif dapat mempengaruhi keputusan dan mengubah perilaku para pelaku ekonomi dengan menggunakan pertimbangan finansial atau non-finansial (Prihadi 2010). Upaya menjamin penerima pinjaman melakukan tindakan optimal guna kepentingan pemberi pinjaman adalah tidak mungkin tanpa biaya, sedangkan konflik kepentingan antara pemberi pinjaman dan penerima pinjaman selalu terjadi. Mekanisme pemberian jasa dan pengawasan memerlukan biaya agensi atau agency costs (Jensen dan Meckling 1986). Biaya agensi diartikan sebagai biaya yang dikeluarkan para pelaku yang bekerjasama untuk mengawasi atau meyakinkan pelaku lainnya.

BLU Pusat P2H didirikan untuk mendukung keberhasilan hutan tanaman melalui fasilitasi pembiayaan pembangunan Hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh BLU Pusat P2H adalah mempercepat terealisasinya pelaksanaan pembiayaan pembangunan hutan tanaman yang tepat lokasi, tepat pelaku, tepat kegiatan, tepat penyaluran dan

8 Kesalahan memilih penerima pinjaman terindikasi sudah terjadi karena pemilihan Koperasi X

dan Koperasi Y keduanya terbukti memiliki IUPHHK HTR yang lahannya bermasalah atau terjadi sengketa dengan penduduk yang sudah mengokupasi lahan, sehingga Kepala Bidang Analisa dan Evaluasi BLU Pusat P2H di Jakarta pada 17 Oktober 2011 menyatakan bahwa “HTR bukannya menjadi resoluasi konflik malah menambah konflik”.


(1)

196

Lanjutan Lampiran 17 Persepsi petani di 3 Propinsi terhadap PDB HTR

Surat Keputusan Dan atau Aspek

Persepsi Petani

Koherensi Riau KalimantanSelatan Jawa Barat

Pasal 11 ayat 5 tentang Jaminan pinjaman

Peraturan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan No. 06.1/PMK.01/2007

danSKB.2/Menhut-II/2007 tentang pengelolaan dana Reboisasi Pasal 14 ayat 1 tentang kewajiban

pembuatan laporan

79% mau 79% mau 70% bersedia sesuai

Fleksibilitas pinjaman:

Bunga (Peraturan bersama Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan No. 06.1/PMK.01/2007 danSKB.2/Menhut-II/2007)

Administrasi (Pengembalian pinjaman (Peraturan Kepala Pusat P2H P0.1/Pusat P2H-1/2008 tentang Tata Cara Permohonan, Penyaluran dan

Pengembalian Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat, pasal 14 ayat 1 tentang pengembalian pinjaman

27,5% tidak ada bunga dan jaminan, 10% administrasi dan syarat pinjaman mudah

29% mau bunga kecil, administrasi dan peraturan mudah 56% fleksibel dalam membayar. 35% syaratnya mudah

Menyangkut keseluruhan prosedur peminjaman, semua menginginkan prosedur yang mudah, sementara menurut BLU Pusat P2H, peraturan sengaja dibuat rumit karena kapasitas para pihak belum siap, hal ini dilakukan untuk. Sehingga antara para pihak dan BLU tidak koheren

Waktu pengembalian 36% bulanan

11% yarnen 68% setelahpanen 63% bulanan sesuai Peraturan Kepala Pusat P2H P0.1/Pusat P2H-1/2008

tentang Tata Cara Permohonan, Penyaluran dan Pengembalian Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat pasal 13 ayat 1 tentang Tujuan pemberian peminjaman

53% mengelola

lahan 96% untukmodal 74% modal usaha Adanya ketetapan penggunaan biaya,mempersempit pilihan bagi petani, sementara hutan bagi petani di luar Jawa adalah tumpuan hidup, jika hutan belum mampu menghasilkan darimana mereka mendapatkan dana untuk konsumsi, kesehatan, pendidikan. Perlu ada koherensi


(2)

197

Riau KalimantanSelatan Jawa Barat

Pengembalian Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat pasal 14 ayat 1 dan 2 tentang mengembalikan pinjaman

dengan lancar Permenhut P.09/Menhut-II/2008, tentang Persyaratan

Kelompok Tani untuk Mendapatkan Pinjaman Dana Bergulir Pembangunan Hutan Rakyat, pasal 2 huruf c, danpasal 4

Penyuluhan PDB HTR

89% belum

mendengar 100% belumpernah 100% belum pernah Keberadaan dan kapasitas penyuluh harustetap mendapat perhatian dan bimbingan dari Kementerian Kehutanan, walaupun penyuluh ditetapkan oleh pemda kabupaten atau kota, dalam hal ini program yang dibuat antara pusat dan daerah harus koheren

Kemitraan 84% belum

pernah 75% pernah 44% pernah56% belum pernah Perlu perilaku yang koheren diantara UPTdi Kementerian Kehutanan termasuk UPT di daerah, dalam memberi persetujuan, membina, dan pendampingan terhadap mitra dan petani

Kendala bermitra 84% tidak ada 64% ada

masalah - Pemerintah pusat dan daerah secarabersama-sama, perlu mengantisipasi adanya mitra palsu dan melakukan

pendampingan supaya kejadian KUHR dan KUK DAS tidak terulang kembali

Mengatasi masalah kemitraan 100%

musyawarah mufakat

40% musyawarah mufakat

- Para pihak di pusat maupun didaerah, bersama-sama menjadi mediator antara petani dan mitra khususnya untuk pemasaran produk HTR (hasil wawancara menunjukkan bahwa BLU Pusat P2H tidak mau terlibat dalam pemasaran karena merasa bukan kewajibannya)


(3)

198

Lanjutan Lampiran 17 Persepsi petani di 3 Propinsi terhadap PDB HTR

Surat Keputusan Dan atau Aspek

Persepsi Petani

Koherensi Riau KalimantanSelatan Jawa Barat

Tata cara pinjam di lembaga keuangan formal 74% tidak tahu 71% tidak tahu 59% tahu Hal ini sebaiknya menjadi perhatian oleh Kementerian Kehutanan cq BLU Pusat P2H mengingat tata cara peminjaman di BLU disinyalir lebih rumit dari


(4)

199

199

199


(5)

200

Lampiran 19 Permohonan & Penyaluran Pinjaman (Peraturan Kapus P2H P.01/2008)

200

Lampiran 19 Permohonan & Penyaluran Pinjaman (Peraturan Kapus P2H P.01/2008)

200


(6)