Kondisi Pasar Beras Domestik Perkembangan Produksi Beras

hampir dua kali lipat, yaitu 7.7 juta Ha pada Tahun 1969 menjadi 13.6 juta Ha di Tahun 2011. Sedangkan dari sisi produksi mengalami peningkatan hampir empat kali lipat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 11, produksi padi pada tahun 1969 sebesar 17.4 juta ton dan menjadi 68.1 juta ton pada tahun 2011. Dilihat dari sisi produktivitas juga terus mengalami peningkatan, yaitu dari 2.24 ton per ha pada tahun 1969 menjadi 5.02 ton ha pada tahun 2011. Dalam rangka mencukupi kebutuhan beras dalam negeri sepanjang tahun, pemerintah terus berupaya meningkatkan produksi beras nasional melalui berbagai kebijakan produksi sesuai dengan amanat UU No. 7 tahun 1996 tentang pangan. Kebijakan ini dilakukan melalui dua cara yaitu intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan cara meningkatkan produktivitas tanaman dan Indeks Pertanaman IP. Indeks pertanaman adalah jumlah intensitas penanaman padi dalam satu tahun pada luasan lahan tertentu. Ekstensifikasi lebih ditekankan pada peningkatan luas areal panen terutama pada wilayah Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi. Melalui Departemen Pertanian pemerintah terus menginisiasi berbagai program peningkatan produksi beras. Program peningkatan produksi padi nasional P4 sendiri diawali dengan dikeluarkannya program padi sentra 1959. Program ini dilakukan melalui dua paket teknologi yaitu bantuan alat dan bahan hard technology dan pendekatan sosial individu soft technology. Akan tetapi program ini kurang berhasil sehingga pemerintah terus melakukan perubahan kebijakan dalam upaya meningkatkan produksi padi. Tahun 1965, pemerintah atas prakarsa Institut Pertanian Bogor mengeluarkan program bimbingan masal Bimas dan program intensifikasi khusus insus melalui SK menteri pertanian No. 003 tahun 1979. Hingga akhirnya Indonesia mencapai swasembada pangan pada tahun 1984. Sumber : BPS diolah Gambar 9 Perkembangan luas lahan panen, produksi padi, dan produktivitas padi periode 1969-2011 Kebijakan produksi yang berlaku saat ini dikenal dengan sebutan program peningkatan beras nasional P2BN yang dimulai sejak awal tahun 2007. Target dari program ini adalah peningkatan produksi 2 juta ton beras atau tumbuh sekitar 5 persen untuk memenuhi pengadan beras dalam negeri. Tujuan lain dari program 0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 jt ton jt Ha tonHa Prod.Padi L.Lahan Panen Produktivitas P2Bn adalah untuk menurunkan ketergantungan impor dalam rangka mencapai target swasembada beras pada tahun 2015. Perkembangan Harga Beras Domestik Pemerintah selalu berusaha untuk menjaga kestabilan harga beras domestik untuk menjaga daya beli masyarakat. Harga beras tahun 1969-2011 cenderung meningkat dengan kenaikan yang sangat tajam terjadi pada tahun 1997 saat dimulainya krisis ekonomi. Pada tahun 19971998 Indonesia mengalami puncak krisis ekonomi dan politik yang membuat harga beras meningkat hingga 160 persen. Kenaikan yang cukup signifikan juga terjadi pada tahun 2006-2007 yang dipicu oleh kenaikan harga beras dunia. Pada periode ini harga beras naik sebesar 70 persen. Sumber : BPS, diolah Gambar 10 Perkembangan harga dan volume impor beras periode 1969-2011 Kebijakan impor beras merupakan salahsatu cara untuk menjaga stabilitas harga beras. Kenaikan harga beras dalam negeri menjadi sinyal adanya excess demand sehingga perlu dilakukan impor untuk menambah supply dan mencegah kenaikan harga. Gambar 10 menunjukkan perkembangan harga dan impor beras di pasar domestik. Pada tahun 1999 dan 2002 kenaikan volume impor beras diikuti oleh penurunan harga beras eceran di pasar domestik pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 terjadi peningkatan impor beras sebesar 343 persen yang dimaksudkan untuk mengatasi kenaikan harga di pasar domestik. Akan tetapi kenaikan harga pangan dunia pada tahun yang sama membuat kebijakan menambah supply beras melalui impor tidak efektif untuk menurunkan harga. Hasil perhitungan indeks spesialisasi produksi ISP menunjukkan bahwa untuk komoditi beras, Indonesia sejak tahun 1994 merupakan net-importir beras yang berarti lebih banyak mengimpor daripada mengekspor beras. Sebagai net- importir, harga beras dalam negeri dipengaruhi oleh harga beras di pasar internasional. Gambar 11 menunjukkan harga beras di pasar domestik cenderung mengikuti harga beras di pasar internasional, namun pergerakan harga beras domestik tampak lebih fluktuatif. Setelah kenaikan harga pangan dunia pada tahun 2007- 2008 harga beras dunia kembali menurun pada tahun 2009 namun harga beras di pasar domestik justru terus meningkat. Kesenjangan antara harga beras di pasar 0.00 2000.00 4000.00 6000.00 8000.00 10000.00 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 Rpkg ribu ton Harga Impor Volume Impor domestik dan pasar internasional dapat menjadi pendorong terus meningkatnya impor beras. Sumber : BPS, FAO diolah Gambar 11 Perkembangan harga beras dunia, harga beras impor, dan harga beras domestik periode 1969-2011 5 ANALISIS GUNCANGAN HARGA MINYAK MENTAH DUNIA TERHADAP HARGA BERAS DOMESTIK 5.1 Pengujian Pra-Estimasi 5.1.1 Uji Stasioneritas Data Metode pengujian yang digunakan untuk melakukan uji stasioneritas data adalah uji ADF Augmenteed Dicky Fuller dengan menggunakan taraf nyata lima persen. Jika nilai t-ADF lebih kecil dari nilai kritis MacKinnon, maka dapat disimpulkan data yang digunakan adalah stasioner tidak mengandung akar unit. Pengujian akar-akar unit ini dilakukan pada tingkat level sampai dengan first difference . Hasil uji stasioneritas data dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil pengujian akar unit Variabel Nilai ADF Nilai Kritis MacKinnon 5 Level 1 st Difference Level 1 st Difference HBDom - 2.13 - 5.67 - 2.93 - 2.94 HMMD - 2.09 - 5.69 - 2.93 - 2.94 PB - 1.62 - 6.55 -2.93 - 2.94 HBD - 10.01 - 7.95 -2.93 - 2.94 HBI - 1.51 - 6.12 -2.93 - 2.94 NT - 0.35 - 5.74 - 2.93 - 2.94 TFP -7.79 -8.56 -2.93 - 2.94 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 8000 9000 10000 1969 1971 1973 1975 1977 1979 1981 1983 1985 1987 1989 1991 1993 1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007 2009 2011 Rpkg HBD HBI HBDom Sumber : Lampiran 1 dan 2 Hasil pengujian akar unit pada level menunjukkan bahwa semua variabel belum stasioner pada taraf nyata yang digunakan yaitu lima persen. Hanya variabel harga beras dunia yang stasioner pada uji unit root tingkat level. Penelitian yang menggunakan data yang belum stasioner akan menghasilkan regresi lancung spurious regression. Regresi lancung adalah regresi yang menggambarkan hubungan antara dua variabel atau lebih yang nampak signifikan secara statistik tapi kenyataannya tidak atau tidak sebesar yang nampak dari regresi yang dihasilkan. Akibatnya terjadi misleading dalam penelitian terhadap suatu fenomena ekonomi yang sedang terjadi. Oleh karena itu, pengujian akar unit dilanjutkan dengan melakukan uji akar unit pada tingkat first difference. Setelah dilakukan pengujian akar unit ke tingkat first difference, semua variabel telah stasioner pada derajat yang sama, yaitu derajat integrasi satu I1. Penggunaan data first difference memiliki kekurangan yaitu akan menghilangkan informasi jangka panjang. Oleh karena itu untuk menganalisis informasi jangka panjang akan digunakan data level sehingga model VAR akan dikombinasikan dengan model koreksi kesalahan error correction model menjadi VECM.

5.1.2 Penentuan Selang Optimal

Langkah selanjutnya untuk mengestimasi model VAR, harus terlebih dahulu menentukan lag optimal yang akan digunakan dalam estimasi VAR. Penetapan lag optimal penting dilakukan karena dalam metode VAR, lag optimal dari variabel endogen merupakan variabel independen yang digunakan dalam model. Pengujian panjang lag optimal ini sangat berguna untuk menghilangkan masalah autokorelasi dalam sistem VAR yang digunakan sebagai analisis stabilitas VAR. Sehingga dengan digunakannya lag optimal diharapkan tidak muncul lagi masalah autokorelasi. Panjang lag optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat lag yang terpilih adalah panjang lag menurut kriteria Likehood Ratio LR, Final Prediction Error FPE, Akaike Information Crition AIC, Schwarz Information Crition SC, dan Hannan-Quin Crition HQ. Penentuan lag optimal dalam penelitian ini berdasarkan kriteria sequential modified LR test statistik LR. Tabel 5 Hasil pengujian lag optimal Lag LogL LR FPE AIC SC HQ -1233.55 NA 3.30e+18 65.34 65.69 65.47 1 -1177.65 85.32 5.44e+18 65.77 68.87 66.87 2 -1071.52 117.30 9.50e+17 63.55 69.41 65.64 3 -953.54 80.72 2.62e+17 60.71 69.33 63.78 4 -1233.55 NA 3.30e+18 65.34 65.69 65.47 Sumber : Lampiran 3 Keterangan : optimum lag pada lag ke-2 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa untuk model Guncangan Harga Minyak Mentah Dunia terhadap Harga Beras Domestik berdasarkan kriteria informasi yang tersedia yaitu dalam hal ini sequential modified LR test statistik LR, maka lag yang optimum adalah pada lag ke-2. Implikasinya dari sisi ekonomi, penggunaan lag 2 sebagai lag optimal artinya semua variabel yang ada dalam