bersama tetapi pengaruh istri lebih besar ID. Anak umumnya berada di lingkungan rumah sehingga pengaruh istri lebih dominan.
Tabel 36. Persentase Pengambilan Keputusan di Bidang Kegiatan Kemasyarakatan pada 32 Rumahtangga Pengrajin Gerabah di
Desa Anjun, 2009
Keterangan: SS = Suami Sendiri; IS = Istri Sendiri; BS = Bersama Setara; SD = Suami Dominan; dan ID = Istri Dominan
Berdasarkan Tabel 36, diketahui bahwa sebaran pengambilan keputusan di bidang kegiatan kemasyarakatan umumnya dilakukan oleh suami sendiri SS,
khususnya kegiatan gotong royong, ronda malam, selamatan dan rapat desa. Pengambilan keputusan pada kegiatan arisan dilakukan oleh istri sendiri IS
sedangkan kegiatan pengajian ditentukan secara bersama setara BS.
7.4 Budaya Lokal pada Masyarakat Pengrajin
Budaya
10
diartikan sebagai seperangkat nilai dan norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi warga pendukungnya. Hal ini terbentuk melalui pola
interaksi sosial, baik sosialisasi primer maupun sekunder. Pada rumahtangga pengrajin, nilai dan norma terbentuk melalui sosialisasi pada lingkup keluarga,
tempat bekerja maupun sarana sosialisasi lainnya.
10
Endriatmo Soetarto dan Ivanovich Agusta. 2003. Sosiologi Umum. Bogor: Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dan Pustaka Wirausaha Bogor, halaman 23.
Pengambilan Keputusan SS
IS BS
SD ID
Selamatan 59,38 18,75
18,75 3,12
Gotong royong 100
Pengajian 0 100
Arisan 31,25 46,88
15,63 3,12
3,12 Rapat desa
93,75 6,25
Ronda malam 100
Tabel 37. Persentase Responden menurut Penerapan Budaya Lokal di Desa Anjun, 2009
Tabel 37 menjelaskan penerapan budaya lokal yang dilihat dari tiga aspek yaitu nilai anak, norma bekerja, dan etos kerja. Pada seluruh aspek nilai anak
dapat dilihat bahwa persentase responden yang setuju lebih besar dibandingkan persentase responden yang tidak setuju. Kesadaran masyarakat pengrajin akan
pentingnya anak sebagai investasi keluarga di masa depan dan kesetaraan No Uraian
Setuju Tidak
Setuju n n
1 Nilai Anak a. anak adalah investasi masa depan
32 100
b. jumlah anak tidak ada kaitannya dengan rezeki dari Tuhan
23 71,88
9 28,12 c. tingkat pendidikan anak laki-laki dan
perempuan setara 26
81,25 6 18,75
d. tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan sama saja
27 84,38
5 15,62 e. mempunyai anak berjenis kelamin laki-
laki maupun perempuan sama saja 32
100 2 Norma
Bekerja a. pekerjaan domestik dapat dikerjakan laki-
laki maupun perempuan 3
9,37 29
90,63 b. pembagian kerja tidak didasarkan
kemampuan fisik 1
3,12 31
96,88 c. pembagian kerja didasarkan keterampilan
29 90,63
3 9,37
d. laki-laki maupun perempuan dapat bekerja malam hari
14 43,75 18 56,25 e. laki-laki dan perempuan mempunyai
kewajiban mencari nafkah 4 12,5
28 87,5 3 Etos
Kerja a. laki-laki dan perempuan memiliki keuletan
yang sama dalam bekerja 26 81,25 6 18,75
b. laki-laki dan perempuan giat dalam bekerja
24 75 8 25
c. laki-laki maupun perempuan bekerja untuk mengembangkan potensi diri
30 93,75
2 6,25
d. laki-laki dan perempuan bekerja untuk mendapatkan statuspengakuan
32 100
e. laki-laki dan perempuan memilki ketelitian yang sama dalam bekerja
5 15,62 27 84,38
perlakuan terhadap jenis kelamin anak memiliki persentase pernyataan setuju 100 persen. Hal ini didukung oleh tingginya jumlah responden yang setuju terhadap
kesetaraan akses antara anak laki-laki dan perempuanterhadap pendidikan, yaitu sebanyak 26 responden 81,25 persen. Baik anak laki-laki maupun perempuan
diharapkan mendapatkan pendidikan formal yang lebih baik dibandingkan orangtuanya responden. Sementara itu, persentase responden yang setuju
terhadap kesetaraan tanggung jawab anak laki-laki dan perempuan terhadap rumahtangga tergolong tinggi, yaitu 84,38 persen. Akan tetapi, masih terdapat
persepsi responden yang menganggap bahwa memiliki jumlah anak yang banyak akan mendatangkan banyak rezeki atas dasar hukum agama yaitu sebesar 28,12
persen. Hal ini dipertegas oleh salah satu responden yang memberikan pernyataan sebagai berikut:
“Ceuk hukum agama oge, loba anak mah bakal ngadatangkeun rezeki gede ti Gusti….makana putra abdi mah seueur
Jang.”Bapak Msg, 63 tahun
Norma bekerja masyarakat pengrajin di Desa Anjun dipengaruhi oleh ideologi patriarkhi yang mengakar dalam kehidupan masyarakat. Laki-laki memiliki akses
dan kontrol yang lebih besar dibandingkan perempuan pada berbagai bidang kehidupan, baik penguasaan sumberdaya prduktif usaha maupun sektor lainnya.
Perempuan identik pada pekerjaan reproduktif 90,63 persen dan hal itu dianggap sebagai kodrat pekerjaan perempuan. Bahkan hal ini dipertegas oleh responden
perempuan dan laki-laki yang memberikan pernyataan sebagai berikut: “Upami jadi istri mah kitu-kitu wae lah A, engkin oge lebet ka
dapur dapur deui.”Ibu Cc, 34 tahun “Masak mah cocokna oge dilakukeun ku istri.”Bapak Ddn, 37 tahun
Pada proses produksi gerabah, pekerjaan didasarkan pada kemampuan fisik 96,88 persen tetapi disesuaikan dengan keterampilan 90,63 persen. Laki-
laki bekerja pada aktivitas yang memerlukan kemampuan fisik sedangkan keterampilan individu dalam bekerja dipelajari sesuai adat istiadat masyarakat
pengrajin. Laki-laki bekerja hampir pada semua tahapan proses produksi gerabah. Hal ini ditunjukkan dengan tugas laki-laki untuk mengolah bahan baku maupun
pembakaran. Berbeda dengan perempuan yang terlibat pada pekerjaan yang tergolong ringan dan memerlukan ketelitian yang tinggi. Perempuan umumnya
melakukan pengecatan gerabah karena perempuan dianggap memilki kesabaran dan ketelitian yang lebih tinggi dibanding laki-laki. Hal ini pun dipertegas oleh
salah satu responden yang menyatakan bahwa: “Padamel di abdi mah seueurna oge istri, biasana istri mah tara
seueur protes jeung sok taliti.”Bapak Ish, 32 tahun
Jenis komoditi gerabah yang diproduksi oleh pengrajin laki-laki maupun perempuan berbeda. Laki-laki membuat produk gerabah yang berukuran besar
sedangkan perempuan perempuan membuat produk gerabah yang berukuran kecil. Laki-laki umumnya membuat pot bunga besar, guci dan vas payung tergantung
produk yang dihasilkan masing-masing pengrajin sedangkan perempuan membuat pendil, coetcobek, cinderamata serta pot bunga kecil.
Persentase waktu bekerja pada malam hari lebih besar pada jawaban tidak setuju, yaitu sebesar 56,25 persen. Perempuan umumnya dilarang bekerja pada
malam hari karena dianggap sebagai sesuatu yang tabu dalam masyarakat, terutama perempuan yang berstatus sebagai ibu rumahtangga. Adapun pernyataan
responden mengenai hal ini adalah sebagai berikut:
“Saya melarang istri saya bekerja malam hari, nanti dikiranya kerja yang tidak benar di mata masyarakat, kerja di siang hari
saja sudah cukup lah.” Bapak Yhr, 42 tahun
Disamping itu, terdapat pula 14 responden yang menyatakan perempuan memiliki akses untuk bekerja pada malam hari. Mayoritas pekerjaan yang
dikerjakan malam hari di sekitar Desa Anjun adalah karyawanburuh pabrik karena terdapat shift malam. Hal ini dianggap tidak masalah selama pekerjaan itu
jelas dan tidak membahayakan perempuan tersebut. Selain itu, responden beranggapan bahwa laki-laki yang memiliki kewajiban mencari nafkah
87,5 persen, partisipasi pendapatan perempuan dalam rumahtangga dianggap sebagai pendapatan tambahan. Hal ini dipertegas oleh salah satu anggota
rumahtangga pengrajin seperti yang tertera di bawah ini: “Upami pameget mah wajib ngusahakeun kanggo keluarga.
Upami istri mah engke oge diusahakeun ku suami.” Bapak Ads, 46 tahun
Pada aspek etos kerja, sebagian besar sudah berprinsip pada kesetaraan gender dimana setiap individu memiliki tujuan dan karakteristik yang berbeda,
tidak dilihat berdasarkan jenis kelaminnya. Akan tetapi, terdapat jumlah responden yang menyatakan bahwa tingkat ketelitian laki-laki dan perempuan
berbeda 84,38 persen dimana perempuan dianggap memiliki tingkat ketelitian yang lebih baik dibandingkan laki-laki.
BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN