Fidyah kakek-nenek dan orang sakit yang tidak dimungkinkan kesembuhannya

6. Fidyah kakek-nenek dan orang sakit yang tidak dimungkinkan kesembuhannya

ﺔـﻳﺪﻓ secara etimologi berasal dari bahasa Arab, asal katanya َﺍﺀﺍﺪـﻓﻭ – َﺔـﻳﺪﻓ – ﻯﺪـﻔﻳ ﻯﺪـﻓ bermakna tebusan 117 . Adapun fidyah (tebusan) dalam pengertian bahasa Indonesia berarti: Denda

(biasanya berupa makanan pokok berupa misalnya beras dsb) yang harus dibayar oleh

. T ir mid z i, S un an a t-T ir m id zi, CD M akt ab ah a l- had it s as - s yar if.

. Ib nu Ma nzh û r , op c it, ha l:1 5 0 , juz : 1 5 .

seorang Muslim seperti karena ia meninggalkan puasa yang disebabkab oleh penyakit menahun, penyakit tua dan sebagainya yang menimpa dirinya 118 .

Sedangkan fidyah dalam terminologi syari'ah adalah balasan yang sebanding dengan usaha manusia (seseorang) menjaga dirinya dari kecerobohan atau

kekurangan dalam hal ibadah dan lainnya 119 . Islam adalah agama lurus dan mudah dalam pelaksanaannya, salah satu

kemudahannya adalah memberikan keringanan untuk berbuka puasa (tidak berpuasa) bagi yang tidak mampu melakukannya, Allah ta'ala berfirman:

Artinya: (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Adapun orang-orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan sebagai berikut:

1- Orang sakit. Terbagi dua:

a) orang sakit yang tidak harapkan kesembuhannya, maka tidak diwajibkan qadhâ' namun hanya fidyah.

. T im p en yu sun k amus b es ar b aha sa Indo ne sia, o p . c it, ha l: 2 4 1 .

. S hid diq Has an Kha n, F a th a l- B a y ân f i M a q â sh id a l-Q u r' a n , (tan p a temp a t, D âr a l- Fikr a l- Ara b y, ta np a ta hun ), J uz I, Hal. 2 9 2 .

b) orang sakit yang bisa diharapkan kesembuhannya namun tidak kuat untuk berpuasa, atau apabila berpuasa sakitnya akan bertambah parah atau akan melambatkan kesembuhannya menurut keterangan ahli kesehatan. Dia tidak diwajibkan fidyah tetapi hanya qadhâ' di lain hari bulan Ramadhan.

c) Orang yang dalam perjalan jauh seukuran 80, 640 km (Musafir), baginya

qadhâ' dan tidak berfidyah.

d) Orang tua yang sudah lemah, tidak kuat lagi berpuasa karena tuanya atau karena lemah fisiknya bukan karena tua. Baginya hanya fidyah tanpa qadhâ' .

e) Wanita hamil dan wanita menyusui. Apabila keduanya takut memberikan mudhârat bagi dirinya dan bagi bayi yang disusuinya karena menjalankan

puasa, maka bagi mereka fidyah tanpa qadhâ'. Akan tetapi bila takut memberi mudhârat bagi bayinya tanpa dirinya sendiri maka bagi mereka qadhâ' sekaligus fidyah. Dan dalam keadaan bagaimanapun keduanya

diperbolehkan berbuka pada bulan Puasa (tidak berpuasa) 120 . Menumbuhkan jiwa sosial adalah salah satu tujuan berpuasa. Ikut serta

merasakan penderitaan orang miskin secara langsung dalam bentuk puasa berguna menumbuhkan rasa sosial dan tanggung jawab bersama. Guna menjaga tujuan tersebut bagi yang tidak mampu berpuasa, diganti bentuk kewajibannya dengan infak

. Mu h am ma d R as yi d, op c it, ha l:2 3 4 .

wajib pada fakir miskin. Dan hanya Allah ta'ala yang Maha Mengetahui hikmah sebenarnya dari salah satu program pengentasan kemiskinan berupa fidyah puasa ini.

7. al-Hadyu (qurban sembelihan di musim Haji)

ﻱﺪﳍﺍ secara etimologi berasal dari bahasa Arab, asal katanya adalah ًﺎﻳﺪﻫ – ﻱﺪﻬﻳ – ﻯﺪﻫ

bermakna jalan, kelakuan, tingkah laku. Tetapi ada juga arti lainnya yaitu ﻦـﻣ ﺔـّﻜﻣ ﱃﺍ ﻱﺪﻫﺃﺎﻣ

ﻢﻌﻨﻟﺍ 121 bermakna hewan ternak yang dijadikan sembelihan ketika berada di Makkah .

Adapun al-Hadyu secara terminologi adalah sebagai berikut: ﻢ ﻌﻨـﻟﺍ ﻦـﻣ ﻪـﺠﺣ ﰱ ﺔﻴﺤﻀـﺘﻠﻟ ﻥﺎﺴﻧﻹﺍ ﻪﻗﻮﺴﻳﺎﻣ bermakna hewan ternak yang dijadikan kurban sembelihan diwaktu menjalankan manasik haji 122 . Al-Hadyu itu terkandung dalam DAM haji, ada persamaan dam dan al-Hadyu

dari segi etimologi bahwa dam itu bermakna darah 123 , titik persamaan antara keduanya bahwa al-Hadyu (sembelihan) itu pasti mengeluarkan darah waktu

disembelih. Namun cakupan dam lebih luas dibanding al-Hadyu dilihat dari sisi ketentuan-ketentuannya, kewajiban ini berlaku bagi pelaku manasik haji yang melakukan pelanggaran didalamnya dan hal ini didasarkan pada ayat: ِﻢﻌﻨـﻟﺍ ﻦـِﻣ ﹶﻞﺘﹶﻗ ﺎﻣ ﹸﻞﹾﺜِﻣ ٌﺀﺍﺰﺠﹶﻓ ﺍﺪﻤﻌﺘﻣ ﻢﹸﻜﻨِﻣ ﻪﹶﻠﺘﹶﻗ ﻦﻣﻭ ﻡﺮﺣ ﻢﺘﻧﹶﺃﻭ ﺪﻴﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸﻠﺘﹾﻘﺗ ﺎﹶﻟ ﺍﻮﻨﻣﺍَﺀ ﻦﻳِﺬﱠﻟﺍ ﺎﻬﻳﹶﺃﺎﻳ

. Ah mad W ar s a n Muna ww ir , op c it, ha l:4 2 3 .

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu sedang ihram. Barangsiapa di antara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil di antara kamu, sebagai had-ya yang di bawa sampai ke Ka`bah, atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi makan orang-orang miskin, atau berpuasa seimbang dengan makanan yang dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya. Allah telah mema`afkan apa yang telah lalu. Dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya, niscaya Allah akan menyiksanya. Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan untuk) menyiksa.

Ibadah haji yang merupakan rukun Islam yang kelima berbeda dari ibadah-ibadah lainnya dalam Islam. Ibadah haji adalah puncak kesempurnaan Islam seseorang. Dalam

ibadah shalat dan puasa dibutuhkan kesanggupan fisik, ibadah zakat dan shadaqah membutuhkan kesanggupan financial, sedangkan ibadah haji tidak cukup hanya dengan keduanya saja, tapi disertai dengan adanya jaminan keamanan yang menyertai selama, sebelum dan sesudah manasik haji. Artinya ibadah haji menuntut pengorbanan nyawa selain kemampuan fisik dan financial untuk menunaikannya.

Ibadah haji mempunyai banyak dimensi, termasuk dimensi sosial juga berada didalamnya. Dimensi sosial itu menuntut adanya tenggang rasa sesama manusia serta ikut merasakan penderitaannya, keluh kesahnya maupun rintihannya.

Oleh karena itu, sebagai ibadah yang juga memiliki dimensi sosial, Allah ta'ala menetapkan hukuman bagi yang melanggar manasik haji dengan sesuatu yang berdimensi sosial pula, yaitu menyembelih hewan untuk dijadikan kurban sebagai penebusan pelanggaran, untuk selanjutnya hewan tersebut dibagikan kepada fakir- miskin, halnya sebagai wujud dari salah satu program pengentasan kemiskinan dan peredam gejolak kecemburuan sosial.

Dalam pandangan masyarakat Indonesia khususnya, orang yang mampu menunaikan ibadah haji dianggap sebagai orang yang terhormat dan hidup berkecukupan (kaya raya). Dengki adalah sumber utama kecemburuan sosial bagi golongan the haven't, sehingga patut disyukuri hukuman pelanggaran manasik haji mempunyai dimensi kepedulian sosial terhadap si miskin, guna meredam dengki akibat ketimpangan pendapatan antara golongan the have dan the haven't tersebut.