Kifarat sumpah dzihar

4. Kifarat sumpah dzihar

Secara etimologi zhihâr berasal dari bahasa Arab yang di musytaqkan dari ﺮـﻬﻇ bermakna punggung 107 . Sedangkan secara terminologi syari'ah zhihâr adalah perkataan seseorang

kepada istrinya dengan menyamakan punggungnya dengan punggung ibunya atau punggung mahramnya tanpa diikuti lafazh talak atau cerai 108 , jadi korelasi antara

etimologi dengan terminologinya terfokus pada punggung. Dalam masa Jahiliyyah, zhihâr itu disamakan dengan talak atau cerai. Lalu datang Islam membedakan antara keduanya beserta hukumnya, bila perbuatan zhihâr dilakukan tanpa disertai lafazh perceraian perkawinan. Adapun hukum perkataan

dzihar adalah haram 109 , sebab termasuk perkataan kotor yang harus dijauhi oleh

. Muna w wir , o p . c it , h a l:8 8 3 .

. Ab dul A zhim ib n Ba dwi a l- Kha la fi, A l- Wa jiz , (Ma din ah , D âr Ib n Ra ja b , 1 9 9 5 ) , H al 3 1 4 .

setiap Muslim, walaupun tidak sampai pada taraf yang mampu menceraikan hubungan rumah tangga antara suami istri sebagaimana talak atau cerai.

Adapun macam tebusan zhihâr adalah:

a. membebaskan budak wanita

b. puasa dua bulan berturut-turut

c. memberi satu mud makanan pokok kepada 60 110 orang miskin ,

Tebusan zhihâr tidak bisa dipilih secara sesuka orang yang berzhihâr, harus berurutan. Apabila bagian pertama tidak bisa dilakukan, maka seterusnya kebawah sesuai dengan tertibnya. Tetapi bukan berarti ketiga-tiganya harus dilakukan semuanya, cukup hanya menebus dengan satu macam saja.

Hukuman tebusan bagi pelaku zhihâr itu didasarkan pada firman Allah ta'ala:

Artinya: Orang-orang yang menzhihâr isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

. Mus a b ih A hmad a l- Hijawi, A l-R a u d h a l- M u r a b b a ', (Be ir ut, D âr a l- Kutub al- Ilmiyah, 1 9 8 8 ), Hal. 3 4 8 .

Macam hukuman zhihâr ini adalah salah satu dari sekian banyak program Islam dalam pengentasan kemiskinan, memberi hukuman kepada pelaku zhihâr dengan memasukkan unsur berinfak wajib kepada orang miskin, padahal tidak ada kaitan langsung antara pelaku zhihâr dengan orang miskin menurut penulis, kecuali bahwa penentuan hukuman tersebut adalah perkara ta'abbudi (sesuatu yang bersifat ibadah murni langsung dari Allah ta'ala tanpa bisa di utak-atik).

Kecuali hal diatas, penulis berpendapat tentang hikmah dari jenis hukuman zhihâr adalah bahwa pelaku zhihâr telah melecehkan derajat kemanusiaan seseorang (istrinya), serta telah menginjak-injak peraturan Islam, yaitu: menyamakan sesuatu yang dihalalkan (perempuan bukan muhrim yang boleh dinikahi) dengan sesuatu yang diharamkan dalam Islam (perempuan-perempuan muhrim, seperti ibu, saudara sekandung dan lain-lain). Oleh karena itu, Allah menghukumnya sebagai pelajaran iman dan akhlak kepada pelaku zhihâr.

Perbudakan yang identik dengan kemiskinan adalah status yang tidak ingin disandang oleh setiap orang, sebab kerendahan dan kehinaan nilai yang terkandung di dalamnya menurut pandangan lahir manusia. Karena itu pelaku zhihâr yang dianggap telah menginjak harkat martabat kemanusiaan manusia dari kemuliannya, lalu mencampakkannya dalam kehinaan, diwajibkan baginya untuk membebaskan sesuatu yang dipandang hina dalam pandangan manusia tersebut.

Islam menghendaki persamaan derajat antara seluruh umat manusia tanpa memandang suku, ras dan warna kulit. Kaum Muslimin telah melaksanakannya untuk pembebasan secara individual, itu berarti lebih mendahului dan lebih lebih maju dari

selainnya. Namun dalam pembebasan dari sistem perbudakan secara masal kaum, Muslimin abad-19 M kalah selangkah oleh para pemimpin negara-negara Eropa yng berkumpul dan bersidang di Berlin, kemudian membuat suatu konsensus dalam hal

penghapusan (sistem) perbudakan 111 . Begitu pula dengan jenis hukuman berpuasa, karena pelaku zhihâr dianggap

telah mengharamkan sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah, maka dia dihukum

sebagai taubat penyesalan dan ketertundukannya dihadapan Allah dengan berpuasa.