UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Jumlah obat yang diterima pasien selama perawatan paling banyak pada kategori 10-20 obat. Rerata jumlah obat yang diterima per pasien adalah 13 obat.
Menurut Ernie dan Hafiz 2007, pemberian obat dengan jumlah berlebihan atau lebih dari 4 jenis obat dikenal dengan polifarmasi. Berdasarkan hal ini, pola
penggunaan obat pada pasien sepsis dapat dikatakan polifarmasi. Polifarmasi sering menimbulkan interaksi obat, baik yang bersifat meningkatkan maupun
meniadakan efek obat. Interaksi obat yang ditimbulkan dapat menyebabkan efek samping obat atau efek yang tidak diinginkan Pillians, 2006.
Jumlah antibiotik yang diterima pasien selama perawatan terbanyak pada 3-4 antibiotik. Rerata jumlah antibiotik yang diterima pasien adalah 3 antibiotik.
4.2.2. Peta Resistensi Mikroorganisme
Antibiotik yang
digunakan dalam
pembuatan peta
resistensi mikroorganisme dapat dikelompokkan berdasarkan struktur kimianya, antara lain:
a. Golongan β-laktam, antara lain golongan penisilin: ampisilin, amoksisilin
sulfat, dan penisilin-tazobactam; golongan sefalosporin generasi 2: sefrozil; golongan sefalosporin generasi 3: seftriakson, seftazidim,
sefotaksim, sefoperazon dan seftizoksim; dan golongan karbapenem: meropenem dan imipenem
b. Golongan aminoglikosida, antara lain: gentamisin, amikasin sulfat,
kanamisin, dan netilmisin c.
Golongan kuinolon, antara lain fluoroquinolon generasi 2: siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan kuinolon sintetik yaitu asam nalidiksat
d. Golongan glikopetida, yaitu vankomisin
e. Golongan makrolida, yaitu eritromisin
f. Golongan lain-lain, yaitu tetrasiklin, kloramfenikol, fosfomisin dan
linkomisin Antibiotik tersebut digunakan untuk uji resistensi bakteri sesuai dengan
spektrum antibakteri masing-masing, dimana terdapat beberapa antibiotik yang aktif pada bakteri gram negatif saja dan tidak efektif terhadap bakteri gram positif
maupun sebaliknya.
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Spesimen yang paling banyak digunakan adalah darah, sebanyak 185 spesimen 40,30. Dari 185 spesimen hanya 25 spesimen 13,51 memberikan
hasil positif, sedangkan 160 spesimen 86,49 memberikan hasil steril atau tidak terdapat pertumbuhan kuman. Bakteri yang ditemukan di darah menunjukkan
bahwa infeksi bakteri telah bersifat sistemik dan menyebar ke organ lain atau bakteremia Naber, 2009. Spesimen yang paling banyak memberikan hasil positif
adalah sputum, dimana dari 52 spesimen sputum semuanya memberikan hasil positif 100.
Bakteri yang paling banyak ditemukan dari spesimen yang diuji adalah bakteri kelompok
Coliform dan Eschericia coli yaitu pada 37 kultur spesimen 21,90 ditemukan bakteri
Coliform dan pada 34 kultur spesimen 20,11 ditemukan bakteri
Eschericia coli. Hasil ini tidak berbeda dengan pengamatan peta resistensi mikroorganisme di RUMKITAL Dr. Mintohardjo pada tahun 2012
yang dilakukan Fathni 2009. Coliform merupakan bakteri gram negatif batang
yang terdiri dari beberapa jenis bakteri, salah satunya Eschericia coli. Bakteri
Eschericia coli dalam uji resistensi ini dipisahkan karena dapat dibedakan dari bakteri lainnya yang termasuk kelompok
Coliform. Bakteri yang banyak ditemukan setelah
Eschericia coli adalah Staphylococcus aureus yaitu sebanyak 24 kultur spesimen 14,20.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang tidak selalu patogen namun dapat menyebabkan berbagai penyakit
infeksi, mulai dari infeksi kulit hingga bakteremia Fathni, 2012. Banyaknya bakteri
Eschericia coli dan Staphylococcus aureus di RUMKITAL Dr. Mintohardjo menunjukkan bahwa resiko sepsis tergolong tinggi.
Eschericia coli merupakan bakteri gram negatif yang paling banyak diisolasi dari pasien sepsis,
sedangkan Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif yang paling
banyak diisolasi dari pasien sepsis DiPiro, 2008. Data peta resistensi bakteri terhadap antibiotik memperlihatkan bahwa
kebanyakan bakteri, baik gram positif maupun negatif sudah resisten terhadap kebanyak antibiotik yang digunakan dalam uji resistensi. Kelompok bakteri
Coliform yang paling banyak ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah resisten terhadap 17 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang
digunakan untuk uji resistensi Coliform. Coliform masih sensitif kepada antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
amikasin sulfat, siprofloksasin dan fosfomisin. Eschericia coli yang merupakan
bakteri gram negatif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten terhadap 16 jenis antibiotik dari 20 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi
Eschericia coli. Eschericia coli masih sensitif terhadap antibiotik amikasin sulfat, fosfomisin, imipenem, dan meropenem.
Staphylococcus aureus yang merupakan bakteri gram positif yang banyak ditemukan pada pasien sepsis sudah resisten
terhadap 16 jenis antibiotik dari 19 antibiotik yang digunakan untuk uji resistensi Staphylococcus aureus. Staphylococcus aureus masih sensitif terhadap amikasin,
fosfomisin, dan imipenem. Meropenem sebagai antibiotik berspektrum luas dapat bekerja pada bakteri
gram positif dan gram negatif. Data peta resistensi menunjukkan bahwa meropenem sudah tidak efektif untuk melawan bakteri gram positif yang
ditemukan di RUMKITAL Dr. Mintohardjo yaitu Staphylococcus aureus 60
resisten dan Streptococcus sp 58 resisten. Pada kelompok bakteri gram
negatif, meropenem sudah resisten terhadap Pseudomonas sp 53 resisten,
Alkaligenes faecalis 60 resisten, Coliform 53 resisten. Meropenem masih efektif terhadap
Eschericia coli 12 resisten, Proteus sp 40 resisten dan Aerobacter sp 33 resisten. Dibandingkan dengan meropenem, beberapa
antibiotik yang lebih efektif antara lain amikasin, imipenem dan fosfomisin. Amikasin masih efektif terhadap
Streptococcus sp 20 resisten, Pseudomonas sp 23 resisten, Coliform 46 resisten, Eschericia coli 12 resisten,
Proteus sp 27 resisten dan Aerobacter sp 50 resisten. Imipenem masih efektif terhadap
Staphylococcus aureus 20 resisten, Streptococcus sp 37 resisten,
Pseudomonas sp 27 resisten, Eschericia coli 24 resisten, dan Aerobacter sp 50 resisten. Data laporan peta resistensi bakteri dapat dlihat di
lampiran 4. Ditinjau dari data yang diperoleh, tingkat resistensi berbagai bakteri yang
ditemukan di lingkungan RUMKITAL Dr. Mintohardjo sudah sangat tinggi. Di RUMKITAL Dr. Mintohardjo, uji kultur mikrobiologi dilakukan apabila pasien
menerima antibiotik empiris namun tak kunjung sembuh. Selain itu, hasil uji kultur mikrobiologi baru bisa diperoleh setelah kurang lebih 6 hari, sehingga
penggunaan antibiotik empiris pun semakin panjang. Penggunaan antibiotik
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
dalam jangka waktu panjang diduga menyebabkan resistensi bakteri terhadap antibiotik di RUMKITAL Dr. Mintohardjo. Strategi yang bisa dilakukan untuk
mengontrol resistensi antibiotik antara lain melakukan pengawasan resistensi, mengontrol higienitas untuk membatasi penyebaran strain tunggal dan membatasi
penggunaan antibiotik termasuk merotasi atau cycling penggunaan antibiotik
Weinstein, 2001. Cycling adalah penggantian golongan antibiotik atau
antibiotik tertentu dari sebuah golongan dengan golongan antibiotik lain atau antibiotik lain dari kelas tersebut yang menunjukkan spektrum aktivitas yang
sesuai Brown dan Nathwani, 2004. Strategi lain yang bisa dilakukan adalah stop
order policy. Secara sederhana, stop order policy menyaratkan penulis resep untuk menentukan durasi setiap antibiotik yang diresepkan, baik untuk terapi atau
profilaksis. Tujuan dari stop order policy adalah untuk membatasi durasi
penggunaan antibiotik yang diperpanjang untuk terapi dan profilaksis Brown, 2005.
4.2.3. Evaluasi Antibiotik Meropenem
Pada penelitian ini, pedoman yang digunakan untuk menganalisis antara lain
International Guideline for Management Severe Sepsis and Septic Shock: 2012, Peta Kuman RUMKITAL Dr. Mintohardjo dan literatur terkait lainnya.
Aspek individu setiap pasien dan profil resistensi bakteri di lingkungan rumah sakit juga berperan dalam pemilihan obat yang tepat Bugano
et al, 2008. Karena itu, dalam menganalisis kerasionalan meropenem pada penelitian ini bersifat
individualistik antar pasien tergantung pada penyebab sepsis dan kondisi pasien. Rekapitulasi data pasien dan rekapitulasi hasil evaluasi pasien dapat dilihat pada
lampiran 2 dan lampiran 3. Evaluasi dilakukan menggunakan alur Gyssens yang dimulai dari kelengkapan data kategori VI dan berlanjut ke parameter-parameter
evaluasi lain hingga terakhir adalah rasional kategori 0. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 15 regimen penggunaan
meropenem adalah rasional kategori 0 dan sebanyak 85 regimen penggunaan meropenem tidak tepat kategori I-V. Hasil ini sedikit lebih tinggi dibandingkan
dengan Rosita 2013 yang melakukan evaluasi penggunaan meropenem di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Jombang dengan penggunaan rasional
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
sebesar 7,1 dan tidak rasional 92,9. Perbedaan ini diperkirakan terjadi karena perbedaan ruang lingkup, waktu, tempat dan metode penelitian. Penelitian ini
dilakukan dengan metode retrospektif, sedangkan penelitian Rosita 2013 dilakukan secara prospektif. Penelitian secara prospektif memberikan kesempatan
peneliti untuk mengkonfirmasi jika ditemukan masalah penggunaan antibiotika dengan penulis resep sebelum membuat penilaian, karena sumber acuan yang
berbeda dapat menyebabkan penilaian yang berbeda Pamela, 2011. Ketidakrasionalan rejimen penggunaan meropenem pada penelitian ini
sebesar 85. Sebanyak 19 rejimen yang termasuk tidak rasional diperinci menjadi 34 hasil evaluasi, meliputi kategori IIA dosis tidak tepat sebesar 9, kategori
IIB interval tidak tepat sebesar 24, kategori IIIA pemberian terlalu lama sebesar 6, kategori IVA ada alternatif yang lebih efektif sebesar 49, kategori
IVD spektrum alternatif lebih sempit sebesar 3 dan kategori VI data tidak lengkap sebesar 9. Rekapitulasi hasil evaluasi dapat dilihat pada lampiran 3.
Pada hasil penelitian ini tidak terdapat hasil evaluasi kategori IVB alternatif lebih tidak toksik, IVC alternatif lebih murah dan kategori IIC rute
tidak tepat. Ketiadaan hasil evaluasi kategori IVB dikarenakan meropenem merupakan antibiotik yang dapat ditoleransi dengan baik oleh anak-anak dan
orang dewasa serta memiliki profil keamanan yang dapat diterima Mohr, 2008. Selain itu potensi interaksi obat meropenem tidak terlalu banyak. Meropenem
dilaporkan berinteraksi secara spesifik hanya dengan probenesid dan asam valproat Baldwin, 2008. Berdasarkan penelusuran data rekam medis, tidak
satupun obat yang diberikan kepada pasien berinteraksi dengan meropenem sehingga tidak ada toksisitas yang mungkin terjadi.
Adapun ketiadaan hasil evaluasi berupa kategori IVC karena semua pasien dalam penelitian ini merupakan pasien BPJS yang tidak menanggung biaya
pengobatan secara pribadi. Hal ini mengacu pada Pamela 2011, dimana apabila harga antibiotik yang diterima termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah
tetapi tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan yang diikuti pasien, maka antibiotik tersebut termasuk dalam kategori IVC. Sedangkan apabila harga
antibiotik termasuk mahal dan ada alternatif lebih murah tetapi ditanggung jaminan kesehatan, maka antibiotik tersebut tidak termasuk dalam kategori IVC.