105 masyarakat sehingga bantuan tersebut tidak memberikan manfaat. Hal ini mengakibatkan
bantuan berupa ikan tersebut mati.
5.1.1.3 Faktor Kultur atau Kebiasaan Turun – Temurun
Berdasarkan hasil wawancara dengan informan di lapangan tepatnya di Nagori Teluk Lapian, Adanya kultur atau kebiasaan turun – temurun dari orang tua ke anaknya.
Dimana kultur atau kebiasaan tersebut sudah berlangsung relatif lama tertanam dikalangan para pengrajin batu bata tersebut. Adapun kultur atau kebiasaan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah awalnya orang tua mereka bekerja sebagai pengrajin batu bata dan kemudian anak mereka juga bekerja sebagia pengrajin batu bata. Hal Ini disebabkan
karena keterbatasan biaya sehingga orang tua tidak mampu untuk melanjutkan pendidikan bagi para anak mereka. Sehingga tidak jarang dari anak - anak mereka tidak dapat
mengenyam pendidikan di perguruan tinggi. Disamping keterbatasan biaya dan pendidikan mereka juga memiliki keterbatasan skill atau keterampilan serta tidak adanya inovasi
dibidang pekerjaan yang lain. Jadi dapat dijelaskan bahwa pekerjaan sebagai pengrajin batu bata sudah menjadi pekerjaan utama di Nagori Teluk Lapian. Kendati upah atau gaji yang
diterima sangat kecil, akan tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain selain tetap menekuni pekerjaan tersebut.
Dari hasil observasi dan wawancara mendalam bahwa secara tidak langsung terdapat kultur atau kebiasaan secara turun – temurun dalam membuat batu bata. Adapun
yang dimaksud dari kultur atau kebiasaan dalam penelitian ini adalah jika orang tuanya pengrajin batu bata maka anak mereka juga akan bekerja sebagai pengrajin batu bata.
Universitas Sumatera Utara
106 Seperti yang dituturkan oleh salah satu informan yang merupakan seorang
pengrajin batu bata berikut ini. “ Sebenernya uda dari dulu awak kerja ikut buat batu bata, sejak
awak masi SMP uda bisa buat batu. Mulai dari kecil awak uda bisa bantu - bantu orang bapak buat batu, dulukan bapaknya abang yang
buat batu, tapi sekarang karena uda capek dan uda tua, ya sekarang awaklah yang ngelanjutkan”. Abang Ipan .
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan Abang Ipan, setelah tidak melanjutkan sekolah, Abang bang Ipan juga ikut bekerja membantu orang tuanya sebagai
pengrajin batu bata hingga sampai saat ini. Begitu juga dengan penuturan informan berikut.
“ anak Ibu ada yang tinggal di rumah sekarang laki- laki semua, yang abangnya dua orang uda gak sekolah lagi dan sekarang kerja
juga buat batu bata, ya itu entah disuruh bakar batu, ngeluluh atau nyiger ya dia disuruh ikut ya mau, dari pada gak kerja. Tapi yang
adeknya satu lagi masi sekolah, tapi kadang kalok uda pulang sekolah dia mau juga ikut kerja, ya entah tu diseruh ngelangsir batu
atau nyeger yang penting dapat uang. Ya lumayanlah buat tambahan buat uang jajan ma beli bengsin ke sekolah. hasil
wawancara dengan Ibu Tukini
Berdasarkan hasil wawancara di lapangan dengan Ibu Tukini, ke tiga anak laki - laki Ibu Tukini juga ikut bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata termasuk yang masih
sekolah. Biasanya yang masih sekolah melakukan pekerjaan tersebut selepas pulang dari sekolah. Jadi dapat diterangkan selain Ibu Tukini yang bekerja sebagai pengrajin batu
bata, ketiga anak laki – laki Ibu Tukini juga bekerja sebagai pengrajin batu bata. Rata – rata masyarakat Desa Teluk Lapian bekerja sebagai pengrajin batu bata.
Mulai dari SMA Sekolah Menengah Atas sudah dapat membantu orang tua untuk bekerja sebagai pengrajin batu bata terutama bagi anak laki – laki. Jadi apabila anak sudah
tidak melanjutkan sekolah ke perguruan tinggi karena keterbatasan biaya, maka anak akan
Universitas Sumatera Utara
107 ikut membantu membuat batu bata hingga pada akhirnya sampai berkeluarga. Hal ini
disebabkan secara tidak langsung sudah menjadi kebiasaan di lingkungan keluarga. Sama halnya seperti pemaparan yang diperoleh dari hasil wawancara dengan
seorang remaja yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas SMA , yang ikut membantu dan berpartisipasi dalam proses produksi batu bata
“ Kalau aku si kadang - kadang aja kalau pas waktu buat, tapi biasanya tu habis pulang sekolah baru ikut bantu, biasanya itu
waktu sore lah baru bantu – bantu, dari pada gak, kan lumayan dapat duit buat uang jajan sekolah. Kerjaannya itu kadang ikut
bakar, nyiger dan kadang ikut ngeluluh juga”. Siswanto
Jika dilihat berdasarkan penuturan beberapa informan di atas, kebiasaaan itu secara tidak langsung sudah menjadi kebiasaan serta diturunkan secara turun – temurun karena
kegiatan produksi batu bata tersebut sudah lama dilakukan di masyarakat. Adanya faktor keterbatasan biaya untuk melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, sehingga mereka
mengisi waktu luang dengan bekerja sebagi pengrajin batu bata, dari pada harus menganggur.
Bagi anak laki – laki yang sudah tidak melanjutka sekolah ke jenjang perguruan tinggi, maka mereka akan bekerja memproduksi batu bata, Hal ini disebabkan karena
adanya faktor keterbatasan biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Akibatnya hanya dapat bekerja sebagai pembuat batu bata di dalam lingkungan
keluarga itu secara terus menerus yang didukung dengan lingkungan sekitar yang mayoritas masyarakat menopang kehidupan mereka hanya sebatas pengrajin batu bata saja.
5.1.2 Faktor Eksternal