87 Rp.6.000.000 namun itu masih pendapatan kotor belum dipotong biaya produksi.
Hambatan yang biasa dialami adalah jika terjadi musim penghujan sehingga Bapak Paimin tidak memproduksi batu bata, selain itu masalah yang sering dialami adalah jika terjadi
penurunan harga jual batu bata yang mengakibatkankan keuntungan yang diperoleh sangat kecil dan tidak sesuai dengan modal dan tenaga yang dikeluarkan.
4.4.2 Profil Informan Pekerja Pengrajin Batu Bata
4.4.2.1. Nama
: Ibu Sudarni Usia
: 30 Tahun Status
: Menikah Pendidikan terakhir : SLTP
Ibu Sudarni merupakan pekerja pengrajin batu bata. Ibu Sudarni sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak menikah 11 tahun yang lalu, dan pengrajin
batu bata ini adalah mata pencaharian utama. Ibu Sudarmi memiliki 2 putri, anak pertamanya berusia 10 tahun dan masih duduk dibangku Sekolah Dasar SD dan anak
keduanya masih berusia 4 tahun dan masih TK Taman Kanak – kanak . Anak Ibu Sudarmi belum bisa perpartisipasi dalam pemenuhan kebutuhan kelurga karena masih anak
- anak, jadi yang bekerja dalam pemenuhan kebutuhan keluarga adalah Ibu Sudarni beserta suami.
Kondisi rumah Ibu Sudarni sangat sederhana. Dinding rumah masih terbuat dari tepasgedek dan ukuran rumah juga tidak terlalu besar serta hanya terdapat satu kamar
tidur. Ibu Sudarni juga masih memasak dengan menggunakan kayu bakar, dan dapur untuk memasak terpisah dengan rumah, begitu juga dengan kondisi kamar mandi. Air sumur
tidak dapat digunakan apabila terjadi musim hujan, akibatnya air sumur menjadi keruh dan
Universitas Sumatera Utara
88 berbau, sehingga biasanya Ibu Sudarni harus numpang mandi, mencuci di rumah mertu
yang kebetulan masih satu desa. Di dalam rumah Ibu Sudarmi juga tidak terdapaat fasilitas yang mewah, hanya terdapat sebuah televisi dan tidak terdapat kursi, kulkas, kipas angin
ataupun VCD serta barang – barang elektronik lainnya. Adapun tabungan yang dimiliki adalah sebuah sepeda motor yang kondisinya juga sangat sederhana dan kalung emas yang
dimiliki Ibu Sudarni. Sebagai seorang pekerja pengrajin batu bata, upah yang diterima juga tidak
menentu setiap bulannya, sehingga untuk memenuhi keutuhan sehari – hari sangat pas – pasan. Untuk memenuhi kebutuhan kebutuhan sehari - hari jika Ibu Sudarni tidak
mempunyai uang kontan untuk membeli kebutuhan, biasanya Ibu Sudarni hutang ke warungkedai langganannya dan pada saat setelah mendapatkan uang maka akan dilunasi
hutang – hutangnya. Terkadang Ibu Sudarni juga memanfaatkan tanaman liar yang dapat di masak, misalnya merambanmencari genjer dan kangkung di areal sawah ataupun meminta
daun ubi di tempat tetangga. Strategi ini yang dilakukan jika kebutuhan ekonomi tidak tercukupi. Walaupun demikian Ibu Sudarni tetap bertahan dengan kondisinya sebagai
pengrajin batu bata karen sudah tidak mempunyai usaha atau pekerjaan lain selain sebagai pengrajin batu bata.
Universitas Sumatera Utara
89 4.4.2.2.
Nama : Ibu Tukini
Usia :61 Tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Ibu Tukini merupakan salah satu pekerja pencetak batu batu. Ibu Tukini sekarang
berusia 61 tahun namun diwaktu usianya yang senja Ibu Tukini masih bekerja keras membanting tulang untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga. Ibu Tukini sudah lama
bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata yaitu sudah 20 tahun. Suami Bu Tukini bernama Bapak Suparjo yang berusia 73 tahun. Bapak Suparjo tidak memiliki pekerjaan,
Bapak Parjo hanya menanam sedikit ubi kayu di ladang dan menanam padi di sawah yang hasilnya dikonsusmsi sendiri untuk memenuhi kebutuhan hidup. Keluarga Ibu Tukini
memiliki 6 orang anak, 4 orang anak laki- laki dan 2 orang anak perempuan, namun kedua orang anak perempuan dan seorang anak laki- lakinya sudah berumah tangga dan sudah
tidak tinggal dengan Ibu Tukini, tetapi sudah tinggal di Kota Medan dan di daerah Rantau Parapat. Semua anak Ibu Tukini hanya tamat SMP disebabkan tidak memiliki biaya untuk
menyekolahkan anak – anaknya, kecuali anak bungsu Ibu Tukini yang bernama Dudi Prastowo yang berusia 17 tahun yang saat ini duduk di kelas 1 SMA. Adapun dana atau
biaya untuk sekolah di bantu oleh abangnya yang bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata. Kondisi rumah Ibu Tukini sangat memprihatinkan dan sangat sederhana. Atap rumah
masih terbuat dari atap rumbia, dan dinding rumah masih terbuat dari gedektepas. Ketika musim hujan tiba rumah Ibu Tukini banyak yang bocor karena atap rumbia sudah lebih
dari 6 tahun tidak diganti. Peralatan dan fasilitas Ibu Tukini juga jauh dikatakan mewah karena tidak memiliki TV, kulkas ataupun alat – alat elektronik lainnya. Selain itu Ibu
Tukini masih menggunakan kayu bakar untuk memasak, dan keadaan kamar mandi juga
Universitas Sumatera Utara
90 jauh dikatakan bersih karena sumurnya masih ditutupi oleh goni sebagai pelindung agar
tidak terlihat pada saat mandi. Sekarang Ibu Tukini tinggal bersama suami dan 3 orang anak laki- lakinya di rumah yang sangat sederhana ini.
Pada tahun 1970 Ibu Tukini memiliki usaha industri rumah tangga, yaitu industri pembuatan tempe. Pada saat penjualan Ibu Tukini menjualnya dengan berjualan keliling
dengan mengendarai sepeda, namun hasil yang diperoleh tidak menguntungkan karena tempe yang telah diproduksi banyak tidak laku terjual dan busuk, sehingga banyak
mengalami kerugian dan tidak mendapatkan keuntungan, jadi Ibu Tukini memutuskan untuk tidak membuat tempe lagi. Setelah sudah tidak meproduksi tempe, Ibu Tukini
bekerja sebagai pekerja pengrajin batu bata hingga sampai saat ini. Pendapatan Ibu Tukini setiap bulan tidak dapat dipastikan dikarenakan Ibu Tukini hanya bekerja sebagai pekerja
pengrajin batu bata dan tidak memiliki pekerjaan yang lain. Pekerja sebagai pencetak batu bata merupakan mata pencaharian utama. Setiap 2 minggu Ibu Tukini mendapat upah
sebesar RP.200.000 - Rp.250.000, jadi Dalam sebulan rata- rata penghasilan Ibu Tukini Rp.400.000 - Rp.500.000. Dalam sehari Ibu Tukini dapat mencetak 1000 batu bata namun
jika musim hujan tiba Ibu Tukini hanya dapat mencetak 700 batu dan mendapat upah Rp.25.000hari, dalam mencetak 1 batu Ibu Tukini mendapat upah Rp.25.
Dalam sebulan Ibu Tukini bekerja selama 3 minggu namun jika pada saat musim hujan Ibu Tukini tidak dapat bekerja penuh, jadi dalam seminggu Ibu Tukini hanya dapat
bekerja 3 – 4 hari dan terkadang tidak kerja sama sekali. Ibu Tukini tetap bertahan sebagai pekerja pengrajin batu bata karena tidak sudah tua dan tidak memiliki pilihan untuk bekerja
yang lain. Ibu Tukini sudah tidak memiliki pekerjaan lain selain bekerja sebagai pencetak batu
bata. Upah dari hasil pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhan hidup keluarganya terutama
Universitas Sumatera Utara
91 untuk kebutuhan sekolah anak, jadi untuk menutupi kekurangan uang Ibu Tukini
meminjam uang sebesar Rp.100.000.- Rp.200.000 kepada pengusaha dan dibayar ketika pada saat penghitungan tertakhir, berapa batu yang telah dicetak.
4.4.2.3. Nama
: Sumarni Usia
: 45 Tahun Status
: Janda Pendidikan terakhir : SD
Ibu Sumarni merupakan seorang pekerja pengrajin batu bata, Ibu Sumarni bekerja sebagai pencetak batu bata sudah 30 tahun, Ibu Sumarni merupakan seorang janda yang
ditinggalkan suaminya begitu saja. Ibu sumarni memiliki empat orang anak yang bernama Marisa 28 tahun , Adi 26 tahun , Jul 23 tahun dan Yuni 15 tahun. Marisa
merupakan anak pertama yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Kota Medan, Adi anak ke dua yang bekerja diperantauan sebagai supir truk namun Adi tidak pernah
pulang sejak enam tahun lalu dan ibu Sumarni tidak tahu kabar berita dari anaknya tersebut, kemudian anak ketiga bernama Jul yang tinggal bersama ayahnya, Jul tidak
pernah pulang atau menjenguk Ibu Sumarni semenjak mereka bercerai dan Yuni anak bungsu dari empat bersaudara yang ikut bekerja di Medan bersama kakaknya Marisa
sebagai pembantu rumah tangga dan pendidikan terakhirnya tamat SD Sekolah Dasar . Yuni terpaksa harus bekerja karena Ibu Sumarni tidak sanggup membiayai pendidikannya
untuk melanjutkan sekolah. Kondisi keluarga Ibu sumarni sangat sederhana, dinding rumah terdiri dari tepas dan berlantaikan semen, serta barang – barang yang dimiliki jauh dari
kata mewah seperti barang barang elektronik TV, kulkas, Hand Phone HP dan barang – barang elektronik lainnya. Untuk memasak Ibu Sumarni juga masih menggunakan tungku
kaya bakar.
Universitas Sumatera Utara
92 Dalam sebulan pendapatan Ibu Sumarni tidak menetap, rata – rata penghasilannya
Rp.200.000 – Rp.300.000 dikarenkan kondisi Ibu Sumarni yang memiliki penyakit hipertensi sehingga dalam sehari hanya dapat mencetak batu sebanyak 500 sampai 600
batu bata, dan dalam sebulan Ibu Sumarni tidak penuh bekeja, terkadang dalam satu bulan hanya bekerja 10 hari atau bahkan tidak bekerja sama sekali apabila pada saat musim
hujan. Setiap mencetak satu biji batu bata diupah Rp.25, jadi jika dalam sehari Ibu Sumarni mencetak batu sebanyak 500 sampai 600 batu penghasilan perhari Rp.12.500 – Rp.15.000.
Ibu Sumarni memulai pekerjaan mencetak batu bata dari pukul 07.00 Wib – 12.00 Wib, jadi setiap kali Ibu Sumarni bekerja hanya mendapatkan upah sebasar Rp.10.000hari.
Dengan penghasilan tersebut Ibu Sumarni tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarganya, apalagi Ibu Sumarni masih menanggung seorang cucu yang ikut tinggal
bersamanya yang bernama Anisa 4 tahun. Dikarenakan Ibu Sumarni tidak memiliki penghasilan tambahan, jika kekurangan uang atau kebutuhan sehari- hari, Ibu Sumarni
meminjam kepada pengusaha batu sebesar Rp. 50.000 – Rp. 100.000, dan dibayar dari hitungan batu yang dicetak, namun terkadang Ibu Sumarni juga meminjam beras atau uang
kepada tetangga dan saudara, yang akan dibayar ketika mendapatkan uang bulan depannya. Selain itu Ibu Sumarni juga memanfaatkan tanaman liar untuk pemenuhan kebutuhan,
seperti mencari kangkung di sawah yang berada disekitar rumah. Pekerjaan mencetak batu bata ini merupakan mata pencarian utama sejak Ibu
Sumarni menikah, Ibu Sumarni tetap bertahan sebagai pencetak batu bata karena tidak ada lagi pekerjaan lain yang lebih baik, hal ini disebabkan Ibu Sumarni tidak memiliki skill
keterampilan yang lain. Anak Ibu Sumarni yang bernama Marisa dan Yuni juga membantu perekonomian, setiap tiga bulan mereka mengirim uang sebesar Rp. 300.000 - Rp.400.000
melalui yayasan penyalur mereka bekerja. Sebelumnya Ibu Sumarni pernah mendapat bantuan dari pemerintah yaitu Bantuan Langsung Tunai BLT sebesar Rp. 300.000 setiap
Universitas Sumatera Utara
93 empat bulan sekali, dan saat ini program bantuan tersebut sudah tidak ada lagi. Jika
memiliki penghasilan lebih, Ibu Sumarni setiap bulannya menyisihkan penghasilannya Rp.10.000 sebagai tabungan atau simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidup terutama
untuk biaya berobat ketika sakit. 4.4.2.4.
Nama : Wagiman
Usia : 47 Tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Pak Wagiman adalah seorang pengrajin batu bata, Bapak Wagiman sudah 20 tahun
sebagai pengrajin batu bata. Pak Wagiman memulai bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak berumah tangga hingga sampai saat ini. Dalam bekerja batu bata ini, Bapak
Wagiman bekerja dengan istri, yang bernama Ibu Supianti 44 . Adapun pekerjaan yang dilakukan mulai dari mencetak batu bata, dan nyiger menyusun, semua dikerjakan
bersama kecuali pekerjaan meluluh melumatkan tanah dan membakar batu bata. Kehidupan keluarga Bapak Wagiman sangat sederhana, kondisi rumah masih
semipermanen, jenis bangunan rumah masih terbuat dari papan sudah lebih dari 10 tahun dan tidak ada terlihat barang – barang mewah di dalamnya seperti kulkas, TV dan barang –
barang elektronik lainnya. Selain itu Bapak Wagiman juga tidak memiliki saluran listrik sendiri dan masih menyambung dengan tetangga, istri Bapak Wagiman juga masih
menggunakan kayu bakar untuk memasak. Pengrajin batu bata ini merupakan mata pencaharian utama Bapak Wagiman. Setiap
bulan pendapatan Bapak Wagiman tidak dapat ditentukan, rata - rata Bapak Wagiman
Universitas Sumatera Utara
94 mendapat upah sebesar Rp.800.000. Bapak Wagiman tetap bertahan sebagi pengrajin batu
bata disebabkan sudah tidak ada pilihan lagi. Melihat kondisi seperti ini Bapak Wagiman terkadang sering kekurangan uang
terutama dalam memenuhi kebutuhan keluarga, namun Bapak Wagiman masih sedikit terbantu dengan lahan sawit yang dimiliki meskipun tidak banyak, dalam 1 bulan lahan
sawit Bapak Wagiman dari hasil penjualan mendapat Rp.400.000 akan tetapi jika masih kurang Bapak Wagiman meminjam uang sebesar Rp.100.000 pada agen sawit yang sudah
langganan. Dalam hal ini istri Bapak Wagiman juga ikut bekerja dan berpartisipasi untuk membantu perekonomian keluarga dengan bekerja sebagai pencetak batu bata dengan
tetangga mereka. Dalam 1 hari Ibu Supianti bisa mendapat upah sebesar Rp.25.000, sehingga penghasilan ini dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Wagiman.
4.4.2.5. Nama
: Wagino Usia
: 34 Tahun Status
: Menikah Pendidikan terakhir : SLTP
Bapak wagino merupakan seorang pengrajin batu bata. Bapak Wagino sudah 11 tahun sebagai pengrajin batu bata bersama istri yang bernama Ibu Warsi 35 . Bapak
Wagino memiliki 3 orang anak, 2 putra dan 1 putri yang masih duduk di bangku sekolah. Anak sulung Bapak Wagino adalah laki- laki dan sekarang kelas 3 SMA, namun anak
sulungnya tidak ikut tinggal bersama Bapak Wagino tetapi tinggal bersama nenek atau orang tua dari Bapak Wagino di luar daerah, sedangkan anak ke 2 dan 3 Bapak Wagino
adalah perempuan dan laki – laki yang masih duduk di bangku SD Sekolah Dasar yang masing – masing kelas 6 dan kelas 2 SD. Kondisi rumah Bapak Wagino masih sangat
Universitas Sumatera Utara
95 sederhana, bangunan rumah masih terbuat dari papan sudah lebih dari 10 tahun dan
masih semipermanen serta tidak terdapat barang – barang elektronik lain kecuali Televisi. Pekerjaan membuat batu ini merupakan mata pencarian utama keluarga Bapak
Wagino. Rata – rata pendapatan Bapak Wagino sebesar Rp 800.000 – Rp.900.000. Apabila pada saat musim hujan Bapak Wagino tidak akan bekerja, sehingga Bapak Wagino akan
mencari pekerjaan serabutan seperti menjadi kuli bangunan, sebagai pemotong rumput, memanen sawit orang lain dan sebagai penjaga tenda ketika ada orang pesta di desa. Dari
penghasilan ini keluarga Bapak Wagino sedikit terbantu, begitu juga dengan istri Bapak Wagino yaitu Ibu Warsi yang juga membantu dalam perekonomian keluarga. Ibu Warsi
akan bekerja sebagai tukang cetak batu bata di tempat tetangga, dan dalam satu hari Ibu Warsi bisa mendapat upah Rp.25.000hari tergantung berapa banyak jumlah batu bata yang
telah dicetak. 4.4.2.6.
Nama : Marjuki
Usia : 45 Tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Bapak marjuki merupakan seorang pengrajin batu bata. Bapak Marjuki sudah 7
tahun bekerja sebagai pengrajin batu bata. Pekerjaan sebagai pengrajin batu bata ini merupakan mata pencaharian utama Bapak Marjuki. Sebelum Bapak Marjuki sebagai
seorang pengrajin batu bata, Bapak Marjuki sempat bekerja di Kota Aceh pada tahun 1980 semenjak masih melajang sampai menikah, dan pada akhirnya pihak keluarga Bapak
Marjuki melarang untuk merantau kembali dan menyuruh untuk mencari pekerjaan di desa yaitu bekerja sebagai pengrajin batu bata. Bapak Marjuki memiliki 2 orang putra, anak
Universitas Sumatera Utara
96 sulung bernama Hera Setiawan 8 yang masih duduk di kelas 3 SD, dan anak bungsu
Aldi Wardana 3 yang masih balita. Dalam bekerja sebagai pengrajin batu bata, Bapak Marjuki bekerja sebagai tukang meluluh atau melumatkan tanah yang akan dicetak menjadi
batu bata. Sebagai kepala keluarga, Bapak Marjuki di bantu oleh istrinya. Biasanya istri Bapak Marjuki bekerja sebagai mencetak dan menyiger batu bata. Dengan partisipasi istri
dalam bekerja, dapat sedikit membantu perekonomian keluarga Bapak Marjuki. Bekerja sebagai pengrajin batu bata dengan upah yang minim membuat kondisi
rumah Bapak Marjuki juga sangat sederhana dan jauh dari kata mewah, begitu juga dengan fasilitas barang – barang yang ada di dalam rumah. Walaupun serba kekurangan, Bapak
Marjuki akan terus tetap bergantung hidup sebagi pekerja batu bata, hal ini dikarenakan tidak memiliki pilihan hidup untuk berganti kepekerjan yang lain, disamping adanya
keterbatasan dan persaingan dunia kerja yang menuntut kualitas pendidikan seseorang. 4.4.2.7.
Nama : Ibu Parni
Usia : 53 Tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Ibu Parni merupakan seorang pengrajin batu bata yang bekerja sebagai seorang
pencetak batu bata. Ibu Parni sudah 36 tahun bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak menikah. Suami Ibu Parni adalah bapak Lambang 57 yang bekerja sebagai seorang
petani, namun Bapak Lambang juga sering membantu dalam proses produksi batu bata. Terkadang jika Ibu Parni memiliki sedikit modal, maka Ibu Parni juga akan memproduksi
sendiri batu bata, namun sebaliknya jika Ibu Parni tidak memiliki modal akan bekerja mencetak batu bata pada ketetangga. Pekerjaan sebagai pengrajin batu bata merupakan
Universitas Sumatera Utara
97 mata pencaharian utama Ibu Parni, adapun hasil dari sawah yang dikelolah oleh suami Ibu
Parni sebagian untuk dikonsumsi sendiri dan selebihnya lagi dijual untuk menambah penghasilan. Dalam proses produksi batu bata ini, penghasilan Ibu Parni tidak dapat
ditentukan setiap bulannya, biasanya rata- rata dalam sebulan Ibu Parni bisa mendapat gaji atau upah sebesar Rp.700.000, namun itu tidak dapat ditentukan dalam satu bulan apabila
jika terjadi musim penghujan, maka Ibu Parni tidak akan bekerja. Jika terjadi musim penghujan Ibu Parni mendapat upah sebesar Rp.400.000 – Rp.500.000. Ibu Parni memiliki
6 orang anak, 4 laki – laki dan 2 perempuan. 4 orang anaknya sudah berumah tangga dan 2 orang laki masih belum menikah dan sekarang sedang bekerja di kota Medan sebagai
Satpam dan pembantu rumah tangga. Terkadang Ibu Parni juga mendapat bantuan atau kiriman anaknya yang bekerja sebesar Rp.200.000 – Rp.300.000, tetapi itu tidak setiap
bulan dikirim, hanya 2 atau 3 bulan sekali. 4.4.2.8.
Nama : Ibu Giyem
Usia : 50 tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Ibu giyem adalah seorang pencetak batu bata dan sudah 7 tahun bekerja sebagai
pencetak batu bata. Dalam sehari ibu Giyem hanya dapat mencetak sebanyak 500 sampai 600 biji batu bata dan mendapat upah sebesar Rp.15.000 jika harga upah cetak batu
Rp.25biji dan tiap hari gaji atau upah yang diperoleh langsung diminta oleh pengusaha batu untuk membeli keperluan kebutuhan keluarga. Pencetak batu bata merupakan mata
pencaharian utama Ibu Giyem, Suami Ibu Giyem bernama Bapak Rifin yang sama – sama bekerja sebagai pencetak batu bata namun jika Bapak Rifin kurang enak badan maka tidak
ikut bekerja dan hanya Ibu Giyem saja yang bekerja. Dulunya Bapak Rifin bekerja di
Universitas Sumatera Utara
98 PTPN IV Persero namun karena ada suatu masalah, Bapak Rifin mengundurkan diri dari
perusahaan. Ibu Giyem sebelumnya pernah bekerja di Malaysia selama 7 bulan dikarenakan bekerja sebagai pencetak batu bata upahnya tidak mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan keluarga, namun karenaIbu Giyem tidak betah bekerja disana maka kembali lagi ke Indonesia. Saat ini, anak Ibu Giyem yang bernama Hendrik 28 juga membantu
kebutuhan hidup keluaga Ibu Giyem, setiap bulan Ibu Giyem diberi uang sebesar Rp.200.000 – Rp.300.000 dan adiknya yang masih duduk di bangku Aliyah juga dibiayai
sekolahnya Dalam satu bulan rata – rata penghasilan Ibu Giyem sebesar Rp.300.000 –
Rp.350.000 dikarenakan dalam satu bulan Ibu Giyem tidak penuh bekerja. Ibu giyem memiliki 4 orang anak, yang 2 orang sudah berkeluarga yang 2 anak lagi masih duduk di
kelas 3 Sekolah Dasar SD dan kelas 3 Aliyah. Ibu Giyem tetap bertahan dengan pekerjaan ini karena sudah tidak ada pekerjaan lain yang bisa dikerjakan dan tidak
memiliki keahlian lain selain sebagai pencetak batu bata. Dari penghasilan yang Ibu Giyem peroleh tidak mencukupi dan sangat pas – pasan sehingga untuk menekan biaya
pengeluaran Ibu Giyem harus pandai – pandai untuk menghemat agar dapat tercukupin. Apabila Ibu Giyem mengalami kekurangan uang maka akan meminjam beras atau uang
kepada tetangga yang masih memiliki ikatan keluarga.
Universitas Sumatera Utara
99 4.4.2.9.
Nama : Ipan
Usia : 27 Tahun
Status : Belum menikah
Pendidikan terakhir : SD Ipan adalah seorang pengrajin batu bata yang statusnya masih belum menikah. Ipan
sudah lama bekerja sebagai pengrajin batu bata semenjak masih duduk di bangku Sekolah Dasar SD hingga sampai saat ini. Awalnya orang tua Ipan bekerja sebagai pengrajin
batu bata, namun karena faktor usia orang tua Ipan tidak bekerja lagi. Kini Ipan yang bekerja sebagi meluluh tanah dan membakar batu. Pekerjaan ini dilakukan semenjak Ipan
sudah tidak melanjutkan sekolah. Dari hasil kerja Ipan sebagai pengrajin batu bata, dapat sedikit membantu orang tuanya, karena setiap Ipan mendapatkan uang, Ipan selalu
memberikan sedikit upahnya kepada orang tuanya. Pendidikan terakhir Ipan hanya SD, hal ini disebabkan ketika Ipan masuk dibangku SMP Sekolah Menengah Pertama , Ipan suka
bolos sekolah hingga akhirnya Ipan tidak menamatkan sekolah. Ipan memilih untuk bekerja sebagai pengrajin batu bata disebabkan kesediaan
lapangan pekerjaan yang terbatas di Nagori Teluk Lapian. Untuk bekerja di luar daerah, Ipan tidak memiliki bekal skill keahlian dan pendidikan, sehingga bekerja di luar daerah
tidak dapat menjamin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Ketatnya persaingan dalam dunia kerja membuat Ipan akan terus bertahan sebagai pengrajin batu bata.
Universitas Sumatera Utara
100 4.4.2.10.
Nama : Warman
Usia : 47 Tahun
Status : Menikah
Pendidikan terakhir : SD Bapak Warman merupak salah seorang pekerja pengrajin batu bata, pekerjaannya
dalam proses produksi batu bata adalah sebagai pekerja meluluh tanah melumatkan tanah. Pekerjaan sebagai meluluh tanah ini sudah dilakukan selama 10 tahun terakhir ini.
Awalnya Bapak Warman bekerja merantau ke luar kota seperti ke Kota Pekan Baru, Kota Rantau Parapat dan daerah Provinsi Riau. Namun karena sudah dilarang oleh keluarga
maka Bapak Warman sudah tidak bekerja ke luar kota dan memilih bekerja di Desa Teluk Lapian sebagai pengrajin batu bata. Pekerjaan Bapak Warman sebagai pekerja pengrajin
batu bata khususnya sebagai pekerja meluluh tanah tidaklah menentu. Jika ada orang yang membutuhkan tenaganya untuk meluluh tanah maka Bapak Warman akan bekerja, tetapi
sebaliknya jika tidak ada maka Bapak Warman tidak akan bekerja. Dalam meluluh tanah , Bapak Warman bekerja dari pukul 14.00 Wib sampai menjelang sore. Dalam setiap
meluluh Bapak Warman mendapat upah sebesar Rp.60.000 – Rp.70.000 untuk meluluh 20.000 batu dengan mesin luluh.
Universitas Sumatera Utara
101
BAB V TEMUAN DAN INTERPRETASI DATA
5.1 Faktor - Faktor yang Menyebabkan Kemiskinan Pengrajin Batu Bata di Nagori Teluk Lapian.
Berdasarkan gambaran kemiskinan yang terjadi pada masyarakat Nagori Teluk Lapian, peneliti menemukan faktor – faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang
menyebabkan kemiskinan para pekerja pengrajin batu bata yaitu rendahnya SDM Sumber Daya Manusia yang dimiliki, seperti rendahnya pengetahuan atau pendidikan,
keterbatasan skill yang dimiliki, dan faktor kultur kebiasaan masyarakat . Sedangkan faktor eksternal yang menyebabkan kemiskinan pada pekerja pengrajin batu bata yaitu
tingkat pendapatan atau upah yang rendah, keterbatasan lapangan pekerjaan atau sulitnya akses pekerjaan, kekuasaan agen menentukan harga jual batu bata, serta tidak adanya
jaminan sosial berupa dana penciun, jaminan kesehatan dan jaminan kematian.
5.1.1 Faktor Internal.
Adapun faktor internal yang datang dari dalam diri seseorang si miskin itu sendiri, seperti rendahnya pendidikan atau adanya hambatan budaya Edi Suharto, 2009 :
135 . Berdasarka hasil wawancara dan observasi yang dilakukan dilapangan, terdapat beberapa faktor – faktor internal yang mengakibatkan terjadinya kemiskinan pada pekerja
pengrajin batu bata, yaitu tingkat pendidikan rendah, keterbatasan skillkeahlian yang dimiliki, dan faktor kultur atau kebiasaan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara