Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta Didik

57 b. Pemahaman Hadits Hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw, dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang belum mengetahui tata cara salat. Dalam beberapa hadits shahih, tersebut bahwa melalui shaf itu dilarang keras. Tetapi Ibnu Abbas tidak ditegur oleh Nabi saw ketika dia melalui shaf, padahal di hadapan shaf itu tidak ada batas atau dinding dan sebagainya. Nabi saw melakukannya karena waktu itu Ibnu Abbas masih anak-anak. Ibnu Abbas menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa dibolehkan untuk tidak menegur mengingkari karena tidak adanya penghalang. Tapi bukan berarti larangan untuk mengingkari atau menegur itu disebabkan mereka sedang melakukan shalat, karena hadits ini secara mutlak menafikan adanya teguran baik sedang shalat maupun setelah shalat. Lagi pula teguran tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan isyarat. Dalam hadits tersebut Rasulullah memberikan contoh kepada kita untuk tidak marah terhadap anak yang berbuat kesalahan. Begitupun dalam mengajar mereka. Dalam lingkungan pendidikan, seringkali guru memarahi siswa karena mereka tidak sesuai dengan apa yang diinginkan guru. Banyak guru yang menganggap muridnya nakal, sulit diatur, tidak mau mendengar ucapan guru, dan lain-lain. Hingga akhirnya terbentuk stereotype negatif terhadap murid. Padahal sebenarnya siswa melakukan yang dia lakukan bukan atas dasar tanpa alasan, mereka melakukannya semata karena rasa ingin tahunya yang besar. Terlebih bagi anak usia kanak-kanak dan remaja. Sri Esti menyatakan, “masa anak-anak dan remaja merupakan masa dimana anak senang melakukan eksperimen-eksperimen baru. ” 17 Dorongan untuk mengetahui sesuatu sangat tinggi. Memberikan hukuman terhadap hal atau tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi 17 Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit., h. 102. 58 tidak asal menghukum. Menghukum merupakan jalan terakhir yang ditempuh guru apabila siswa benar-benar tidak bisa mendengar ucapan guru dan selalu mengulangi kesalahan-kesalahannya. Walaupun begitu, sebaik mungkin, hendaknya guru menasihati mereka dengan menggunakan bahasa yang halus. Apabila guru marah dan menghukum siswa yang bermasalah tanpa memberi perhatian dan solusi tepat, justru akan menambah beban bagi siswa. Guru yang pemarah, akan menyebabkan anak didik takut dan malas untuk mengikuti pelajaran. Ketika anak didik tersalah, adakalanya guru harus memberi hukuman, namun hukuman tersebut adalah hukuman yang mendidik. Karena terjatuhnya murid kepada kesalahan adalah hal yang selalu diperkirakan, selama ia masih belajar dan selama nilai-nilainya masih belum terbentuk. Sedangkan kesalahan adalah kesempatan yang paling penting bagi guru untuk menolong anak didik agar bertumbuh dan belajar, sebab manusia belajar dari kesalahannya. Jadi guru harus membimbing dan memperbaiki, bukan menghukum. 18 Guru yang humanis harus tetap memberikan pengarahan dan bimbingan serta kasihnya. Dengan demikian, guru benar-benar bisa berperan menjadi orang tua di sekolah bagi para siswanya. Ia tidak lagi menjadi sosok yang terlihat galak dan menakutkan. Ia justru akan menjadi sahabat bagi anak didiknya. Hal inilah yang selalu dilakukan oleh Nabi Muhammad saw dalam mendidik. Tindakan Rasulullah yang diam dan tidak menegur perbuatan Ibnu Abbas juga karena beliau menganggap Ibnu Abbas masih anak kecil, belum dalam usia baligh. Sehingga ia masih belum bisa membedakan hal yang benar dan salah. Begitupun siswa di sekolah. Usia sekolah yaitu usia kanak-kanak sampai remaja adalah usia anak yang belum dapat membedakan yang benar dan yang salah. Mereka masih dalam tahap pencarian jati diri. Maka sudah sewajarnya apabila 18 Zakiah Daradjat, op.cit, h. 25. 59 anak sering melakukan eksplorasi dan eksperimen-eksperimen terhadap hal-hal baru yang belum ia pahami. Di sinilah tugas guru sebagai pembimbing, yaitu mengarahkan anak tetap pada hal-hal yang positif. Mendukungnya dalam mencari hal-hal yang baru bagi mereka. Bukan justru memarahinya. Sesuai dengan yang dikemukakan Zakiah Daradjat dalam bukunya Kepribadian Guru, Sebagai pembimbing guru hanya mengarahkan ke dalam terciptanya kepribadian siswa yang lebih baik. Guru harus mengetahui betul, bahwa hukuman terhadap murid tidak selamanya diikuti oleh perbaikan dan dorongan baginya untuk maju, bahkan boleh jadi hukuman berakibat sebaliknya, maka si anak menjadi kehilangan kepercayaan kepada diri, atau lari dari situasi belajar, atau membenci sekolah seluruhnya. Oleh karena itu, guru harus menghindari hukuman, kecuali jika terpaksa dan dalam batas peraturan pendidikan, serta atas dasar prinsip-prinsip pendidikan. 19 Dengan demikian, hadits ini sesuai dengan prinsip tersebut, yaitu menanamkan nilai pendidikan yang bersifat manusiawi. Rasulullah memerintahkan agar pendidik berperilaku sebagaimana Rasulullah saw. dalam mendidik, tidak marah terhadap anak didik yang melakukan kesalahan, karena berbuat salah masih dalam batas-batas kemanusiaan.

4. Sikap yang Apa Adanya

a. Hadits dan Terjemahannya 20 19 Ibid, h. 25. 20 Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al- Ja’fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 13, h. 27. 60 ―Sa‘id ibn ‘Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Wahab menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, ia berkata, Humaid bin Abdurrahman r.a berkata, ―Saya mendengar Muawiyah berkhutbah, ―Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ―Jika Allah menghendaki kebaikan kepada seseorang, maka Dia akan menjadikannya sebagai ahli agama. Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah Allah. Sebagian dari umat ini akan tetap berpegang teguh pada agama Allah, tidak ada yang dapat mempengaruhinya sampai hari kiamat nanti. ‖ 21 b. Pemahaman Hadits Al-Bukhari pada hadits ini berpendapat bahwa hadits ini berkaitan dengan ilmu, karena hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang mendalami agama Allah akan selalu mendapatkan kebaikan, dan hal ini tidak hanya dapat dicapai oleh manusia dengan usaha saja, tetapi dapat dicapai juga oleh orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah, dan orang semacam itu akan tetap ada sampai hari kiamat nanti. 22 Namun secara implisit dalam hadits tersebut terlihat bahwa Rasulullah juga sangat mengedepankan kejujuran dan sikap rendah hati. Beliau tidak pernah berlebih-lebihan. Tersebut dalam perkataannya, “Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah Allah.‖ Tidak karena beliau menjadi Rasul Allah lalu beliau merasa lebih mengetahui dan lebih mempunyai kemampuan lebih. Beliau selalu apa adanya, tidak semata-mata karena beliau adalah seorang Rasul lalu beliau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada sebenarnya. Bahwa segala sesuatu adalah hakikat milik Allah swt. Dalam pembelajaran, proses belajar penuh arti akan dapat tercapai jika guru atau fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Dalam hal ini Rogers mengatakan, hubungan guru dengan siswa adalah pertemuan pribadi langsung, guru adalah orang yang apa adanya. Dia tidak merasa satu hal dan mengatakan sesuatu yang lain, ia tidak menyembunyikan 21 Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 311. 22 Ibid, h. 312.