53
manusia yang butuh pengayoman. Hal ini dapat dilakukan dengan cara guru peduli terhadap siswa, memberi masukan ketika mereka
mengerjakan tugas, mendukung terhadap minat mereka dan sebagainya. Dengan begitu, para siswa akan menunjukkan minat
dan motivasi pada para guru yang memiliki perhatian dan mereka
akan merasa senang dalam belajar.
Begitulah Rasulullah mengajarkan pengetahuan kepada manusia, ia berpesan agar dalam mendidik harus selalu memperhatikan aspek
kemanusiaan. Ada keadaan-keadaaan tertentu yang harus diperhatikan oleh pendidik dalam memberikan pengajaran atau materi pengajaran
kepada peserta didik. Tujuannya agar hati para peserta didik tetap terbuka menerima apa yang akan disampaikan oleh pendidik. Mereka
mau dan selalu termotivasi dan semangat dalam belajar.
2. Memberi Pengajaran Sesuai Tingkatan Psikologis Peserta Didik
a. Hadits dan Terjemahannya
7
―Ali radhiallahu ‘anhu telah berkata: ―Berbicaralah kepada suatu kaum sesuai dengan kemampuan mereka. Adakah kalian suka jika
seseorang akan berbuat dusta kepada Allah dan Rasul-Nya
dikarenakan kurangnya pemahaman dari mereka?‖. Ubaidullah bin Musa mencer
itakan kepada kami dari Ma‘ruf bin Kharrabudz, dari Abu Thufail dan dari Ali tentang hal itu.
”
8
b. Pemahaman Hadits
Maka ucapan beliau berbicaralah kepada suatu kaum sesuai dengan kemampuan mereka adalah semacam penegasan untuk
mengajarkan ilmu kepada orang lain sesuai kemampuannya, tidak berlebih atau tidak berkurang. Rasulullah saw mengungkapkan apabila
7
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al- Ja’fi al-Bukhari, op.cit, juz. I, no. 49, h. 44.
8
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 432.
54
memberikan ilmu kepada orang dengan tidak sesuai dengan kemampuannya, dikhawatirkan mereka tidak dapat memahaminya
dengan baik dan mereka akan salah dalam memahami ajaran Islam. Jika berbicara dengan orang lain Rasulullah saw selalu melihat
kesesuaiannya dengan tingkat kecerdasan, disamping menggunakan bahasa dialek yang mudah dipahami. Beliau berbicara dengan setiap
orang yang datang dari berbagai kabilah dengan logat dan dialeknya masing-masing. Bila perlu, beliau mengulang pembicaraan hingga tiga
kali untuk memperjelas dan lebih memantapkan. Dari hadits Rasulullah tersebut dapat kita lihat betapa Rasulullah
begitu memperhatikan kondisi psikologis dan tingkat pemahaman murid dalam memberi pengajaran.
Menurut Sri Esti, “dalam dunia pendidikan, satu hal yang penting bagi guru dalam hubungannya
dengan anak ialah mengetahui hakikat perkembangan anak sehingga mereka akan mengerti bagaimana anak dan remaja tumbuh dan
berkembang dalam hal kognitif, sosial, dan moral. ”
9
Sardiman menyatakan, “proses belajar mengajar sebagai inti dari
kegiatan belajar mengajar merupakan proses interaksi dua unsur manusiawi, yakni guru sebagai pihak yang mengajar dan siswa sebagai
pihak yang belajar. Dalam situasi ini, siswa menjadi subjek pokoknya.
”
10
Hal ini bermakna, bahwa interaksi yang sengaja diciptakan berfokus pada kebutuhan dan kemampuan belajar siswa.
Hal ini sejalan dengan pendapat Moh. Amin dalam bukunya Humanistic Education. Menurut Moh. Amin,
“peranan guru dalam pendidikan humanis adalah secara terus menerus melakukan segala
sesuatu untuk membantu siswa membangun self concept mereka. Ini berarti bahwa guru harus memperlakukan setiap orang sebagai individu
dengan kebutuhan-kebutuhannya yang tertentu pula. ”
11
9
Sri Esti Wuryani Djiwandono, Psikologi Pendidikan, Jakarta: PT. Gramedia Widia Sarana Indonesia, 2006, h. 70.
10
Sardiman A.M, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 14.
11
Moh. Amin, dkk., op.cit, h. 9.
55
Di samping itu, Zakiah Daradjat menegaskan: Seorang guru yang berpengalaman, tidak berusaha mendorong
muridnya untuk mempelajari sesuatu di luar kemampuannya. Dan ia tidak akan memompakan ke otaknya pengetahuan yang tidak
sesuai dengan kematangannya atau tidak sejalan dengan pengalamannya yang lalu. Dalam proses mengajar, guru harus
memperhatikan keadaan murid, tingkat pertumbuhan dan perbedaan perorangan yang terdapat di antara mereka.
12
Belajar hendaknya selalu mempertimbangkan kesesuaian antara materi dengan kemampuan siswa. Yaitu materi pelajaran yang sesuai
dengan usia siswa. Salah satu usaha yang dapat dilakukan dalam dunia pendidikan adalah tidak membebani siswa dengan muatan kurikulum
yang padat, sehingga siswa tidak tertekan dengan banyaknya materi pelajaran yang harus mereka pahami tanpa mereka tahu alasan
mengapa mereka harus mempelajarinya. E. Mulyasa mengemukakan beberapa hal yang perlu diperhatikan
dalam mengorganisasikan materi pembelajaran diantaranya adalah sebagai berikut:
1 Materi pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan tingkat
perkembangan peserta didik, baik perkembangan pengetahuan dan cara berfikir maupun perkembangan sosial dan
emosionalnya. Pelaksanaan
pembelajaran perlu
diatur sedemikian rupa agar tidak membosankan dan memberatkan
peserta didik. 2
Materi pembelajaran hendaknya dikembangkan dengan memperhatikan kedekatan dengan peserta didik, baik secara
fisik maupun psikis. 3
Materi pembelajaran harus dipilih yang bermakna dan bermanfaat bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari.
13
Selain itu perlu pula memperhatikan perbedaan umur. Anak-anak tidak bisa diberi materi untuk remaja, dan remaja pun tidak bisa diberi
materi untuk dewasa. Itulah hal-hal yang selalu diperhatikan oleh para
12
Zakiah Daradjat, Kepribadian Guru, Jakarta: Bulan Bintang, 2005, cet. IV, h. 15.
13
E. Mulyasa, Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, h. 155-156.
56
ahli pendidikan dalam menentukan materi ajar pada proses pembelajaran yang akan dilakukannya.
14
Belajar berhubungan erat dengan kematangan otak dan mental anak didik. Guru yang sukses adalah guru yang memilih bagi anak
didiknya pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan tubuh dan mentalnya.
Demikianlah hadits
ini memerintahkan
untuk memperhatikan aspek-aspek humanis dalam mendidik, yaitu dengan
memperhatikan tingkatan psikologis siswa dalam belajar. Kematangan mental dan otak anak merupakan hal penting yang perlu diperhatikan
oleh pendidik dalam pengaruhnya dalam belajar, dalam mendukung siswa mencapai tujuan-tujuan pembelajaran.
3. Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan
a. Hadits dan Terjemahannya
15
―Menceritakan kepada kami Ismail ibnu Abu Uwais, ia berkata, Malik menyampaikan kepadaku dari Ibnu Syihab dari Ubaidullah bin
Abdillah bin Utbah d ari Abdullah bin Abbas, ia berkata: ―Aku
menemui orang yang datang dengan naik keledai, dan ketika itu aku mulai dewasa dan Rasulullah saw [sedang berdiri] melakukan shalat
[bersama orang- orang] di Mina [pada waktu haji wada‘] tanpa
dinding. Kemudian aku lewat di muka shaf. Dan aku melepaskan keledai itu untuk makan dan minum, lalu aku masuk ke dalam shaf.
Dalam riwayat lain: Kemudian aku ikut berbaris bersama orang- orang di belakang Rasulullah saw, dan tidak ada [seorangpun] yang
mengingkari hal itu atasku‖.
16
14
Firdaus, Metode Pengajaran Rasulullah, Surabaya: Prenada, 1998, h. 35.
15
Imam Abu Abdillah Muhammad Ibn Ismail Ibn Ibrahim Ibn al-Mughirah Ibn Bardizbah al- Ja’fi al-Bukhari, op.cit, juz I, no. 18, h. 29.
16
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 327.
57
b. Pemahaman Hadits
Hadis ini menunjukkan keagungan perangai Rasulullah saw, dengan memiliki sikap lemah lembut dan mengasihi orang yang belum
mengetahui tata cara salat. Dalam beberapa hadits shahih, tersebut bahwa melalui shaf itu dilarang keras. Tetapi Ibnu Abbas tidak ditegur
oleh Nabi saw ketika dia melalui shaf, padahal di hadapan shaf itu tidak ada batas atau dinding dan sebagainya. Nabi saw melakukannya
karena waktu itu Ibnu Abbas masih anak-anak. Ibnu Abbas menarik kesimpulan dari hadits ini bahwa
dibolehkan untuk tidak menegur mengingkari karena tidak adanya penghalang. Tapi bukan berarti larangan untuk mengingkari atau
menegur itu disebabkan mereka sedang melakukan shalat, karena hadits ini secara mutlak menafikan adanya teguran baik sedang shalat
maupun setelah shalat. Lagi pula teguran tersebut bisa dilakukan dengan menggunakan isyarat.
Dalam hadits tersebut Rasulullah memberikan contoh kepada kita untuk tidak marah terhadap anak yang berbuat kesalahan. Begitupun
dalam mengajar mereka. Dalam lingkungan pendidikan, seringkali guru memarahi siswa karena mereka tidak sesuai dengan apa yang
diinginkan guru. Banyak guru yang menganggap muridnya nakal, sulit diatur,
tidak mau mendengar ucapan guru, dan lain-lain. Hingga akhirnya terbentuk stereotype negatif terhadap murid. Padahal sebenarnya siswa
melakukan yang dia lakukan bukan atas dasar tanpa alasan, mereka melakukannya semata karena rasa ingin tahunya yang besar. Terlebih
bagi anak usia kanak-kanak dan remaja. Sri Esti menyatakan, “masa anak-anak dan remaja merupakan
masa dimana anak senang melakukan eksperimen-eksperimen baru. ”
17
Dorongan untuk mengetahui sesuatu sangat tinggi. Memberikan hukuman terhadap hal atau tindakan salah dari siswa boleh saja, tetapi
17
Sri Esti Wuryani Djiwandono, op.cit., h. 102.