Tidak Menghukum Ketika Siswa Melakukan Kesalahan
60
―Sa‘id ibn ‘Ufair menceritakan kepada kami, ia berkata, Ibnu Wahab menceritakan kepada kami dari Yunus dari Ibnu Syihab, ia berkata,
Humaid bin Abdurrahman r.a berkata, ―Saya mendengar Muawiyah berkhutbah, ―Saya mendengar Rasulullah saw bersabda, ―Jika Allah
menghendaki kebaikan
kepada seseorang,
maka Dia
akan menjadikannya sebagai ahli agama. Saya hanya membagi-bagikan,
sedangkan yang memberi adalah Allah. Sebagian dari umat ini akan tetap berpegang teguh pada agama Allah, tidak ada yang dapat
mempengaruhinya sampai hari kiamat nanti. ‖
21
b. Pemahaman Hadits
Al-Bukhari pada hadits ini berpendapat bahwa hadits ini berkaitan dengan ilmu, karena hadits tersebut menjelaskan bahwa orang yang
mendalami agama Allah akan selalu mendapatkan kebaikan, dan hal ini tidak hanya dapat dicapai oleh manusia dengan usaha saja, tetapi dapat
dicapai juga oleh orang yang hatinya telah dibukakan oleh Allah, dan orang semacam itu akan tetap ada sampai hari kiamat nanti.
22
Namun secara implisit dalam hadits tersebut terlihat bahwa Rasulullah juga sangat mengedepankan kejujuran dan sikap rendah hati.
Beliau tidak pernah berlebih-lebihan. Tersebut dalam perkataannya, “Saya hanya membagi-bagikan, sedangkan yang memberi adalah
Allah.‖ Tidak karena beliau menjadi Rasul Allah lalu beliau merasa
lebih mengetahui dan lebih mempunyai kemampuan lebih. Beliau selalu apa adanya, tidak semata-mata karena beliau adalah seorang Rasul lalu
beliau melebih-lebihkan sesuatu yang tidak pada sebenarnya. Bahwa segala sesuatu adalah hakikat milik Allah swt.
Dalam pembelajaran, proses belajar penuh arti akan dapat tercapai jika guru atau fasilitator bersikap tulus, jujur, murni, dan bukan hanya
bermain peran untuk mengikuti tuntutan dari sistem. Dalam hal ini Rogers mengatakan, hubungan guru dengan siswa adalah pertemuan
pribadi langsung, guru adalah orang yang apa adanya. Dia tidak merasa satu hal dan mengatakan sesuatu yang lain, ia tidak menyembunyikan
21
Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, op.cit, h. 311.
22
Ibid, h. 312.
61
perasaannya, baik positif atau negatif. Namun dalam mengekspresikan perasaannya guru harus menerima siswa sebagaimana adanya, sebagai
diri mereka sendiri, tanpa menyalahkan atau berpikir negatif terhadap siswa.
23
Sikap apa adanya tidak semata-mata menjadi alasan pembolehan untuk menghakimi orang lain atau siswa, untuk memproyeksikan
perasaan seseorang pada orang lain, ataupun untuk membenarkan kemarahannya terhadap siswa.
Menjadi pendidik yang apa adanya memang tidak mudah, dan harus perlahan-lahan.
Lebih lanjut Rogers mengatakan, “for first of all, one must be close to one‘s feelings, capable of being aware of them.
Then one must be willing to take the risk of sharing them as they are, inside, not disguising them as judgments, or attributing them to other
people. ‖
24
Dalam bukunya Quantum Teaching, Bobbi De Porter, et.al menggunakan istilah Open The Front Door OTFD untuk guru dalam
mengkomunikasikan isi pikiran kepada murid. Berikut adalah tahapannya:
1 Observation nyatakan hasil observasi
Pertama katakan apa yang terjadi dengan cara yang obyektif, teramati, dan lugas, agar kedua pihak memulai pada titik yang
sama. Dengan pernyataan fakta, bukan penilaian atau kesimpulan.
2 Thought nyatakan pemikiran
Selanjutnya, nyatakan pikiran atau pendapat menggunakan pernyataan ”saya”.
3 Feeling nyatakan perasaan
Ceritakan perasaan kita, juga dalam bentuk ”saya”. 4
Desire nyatakan apa yang kita inginkan Nyatakan tujuan, atau hasil yang kita inginkan.
25
Cara lain untuk bersikap „apa adanya’ adalah dengan mengakui
kesalahan yang dilakukan. Bagaimana pun juga, guru adalah manusia
23
Carl Rogers, Summary, Carl Rogers and Humanistic Education, 1977, h. 22.
24
Ibid, h. 22.
25
Bobbi DePorter, et.al, Quantum Teaching, Bandung: Kaifa, 2000, h. 201.
62
biasa yang tidak luput dari salah. Cara guru mengakui kesalahan bisa menjadi proses pembelajaran tersendiri bagi murid-murid. Berikut
adalah langkah-langkahnya: a
Acknowledge akui b
Apologize meminta maaf c
Make it right selesaikan d
Recommit berjanji lagi Tidak adanya ruang dialogis antara guru dan siswa, seolah-olah
guru adalah yang paling benar adalah sikap yang tidak humanis. Implikasi dari sikap guru yang otoriter seperti itu akan berimbas pada
pembentukan kepribadian anak didik yang tidak baik. Mereka akan beranggapan bahwa guru adalah sosok yang sangat menakutkan, guru
bukan orang yang tepat untuk berbagi sharing. Praktik pendidikan seperti ini kurang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensinya. Sehingga hanya akan melahirkan generasi yang pintar secara kognitif, tidak cerdas mengembangkan diri dan
kreativitasnya. Dengan demikian, hadits ini mengajarkan untuk menjadi
seseorang yang apa adanya. Hal tersebut sesuai dengan prinsip humanis dalam pendidikan, yaitu ”realness is the facilitator of learning”.