35
3. Reduksi Transendental
Reduksi transendental berarti menyisihkan dan menyaring semua hubungan antara fenomena yang diamati dan fenomena lainnya. Misalnya
saja fenomena yang diamati itu adalah diri kita sendiri, kita harus menyadari bahwa diri kita sendiri senantiasa memiliki hubungan dengan
fenomena lainnya, yang berada diluar diri kita. Keterhubungan yang demikian itu membuat kita senantiasa berada dalam suatu situasi yang
tertentu, seperti kita sedang makan, sedang menulis, sedang mandi, dan sebagainya. Pengalaman-pengalaman yang demikian itu jelas merupakan
hal-hal yang harus disisihkan karena merupakan bagian dari kesadaran empiris. Reduksi transendental harus menemukan kesadaran murni dengan
menyisihkan kesadaran empiris sehingga kesadaran diri sendiri tidak lagi berlandaskan pada keterhubungan dengan fenomena lainnya. Kesadaran
diri yang telah bebas dari kesadaran empiris itu mengatasi pengalaman, maka bersifat transcendental.
36
BAB III GAMBARAN UMUM INDONESIA CORRUPTION WATCH
A. Latar Belakang dan Sejarah Singkat ICW
Korupsi kian mencemaskan setelah implementasi Otonomi Daerah. Arah desentralisasi yang membawa semangat keadilan distributif sumber-
sumber negara yang selama 32 tahun dikuasai secara otoriter oleh pemerintah pusat kini justru menjadi ajang distribusi korupsi dimana aktor dan areal
korupsi kian meluas. Praktek korupsi tidak lagi terorganisir dan terpusat, tetapi sudah terfragmentasi seiring dengan munculnya pusat-pusat kekuasaan baru.
Hukum yang seharusnya memberikan jaminan terwujudnya keadilan dan penegakan aturan juga tak luput dari ganasnya korupsi. Mafia peradilan
kian merajalela dan lembaga peradilan tak ubah laksana lembaga lelang perkara yang membuat buncit perut aparat penegak hukum busuk. Rasa
keadilan digadaikan oleh praktek suap menyuap. Intervensi politik terhadap proses hukum menyebabkan lembaga peradilan hanya menjadi komoditas
politik kekuasaan. Tidak ada kasus korupsi yang benar-benar divonis setimpal dengan perbuatannya. Dengan kekuasaan uang dan perlindungan politik,
koruptor dapat menghirup udara bebas tanpa perlu takut dijerat hukum. Tidak sedikitpun terlihat ada kemauan politik will dari pemerintah
untuk memberantas praktek mega korupsi. Krisis ekonomi yang dituding banyak pihak merupakan akibat dari praktek korupsi tidak dijadikan pelajaran.
Konglomerat akbar yang melakukan kejahatan ekonomi justru diproteksi. Utang bernilai triliunan yang seharusnya mereka bayar dibebankan kepada
37
pemerintah yang memicu hilangnya mekanisme jaring pengaman sosial seperti penghapusan subsidi pendidikan, kesehatan, pupuk dan BBM. Korupsi telah
menyebabkan kemiskinan struktural yang kronis. Korupsi membuat mekanisme pasar tidak berjalan. Proteksi, monopoli
dan oligopoli menyebabkan ekonomi biaya tinggi dan distorsi pada distribusi barangjasa, dimana pengusaha yang mampu berkolaborasi dengan elit politik
mendapat akses, konsesi dan kontrak-kontrak ekonomi dengan keuntungan besar. Persaingan usaha yang harus dimenangkan dengan praktek suap
menyuap mengakibatkan biaya produksi membengkak. Ongkos buruh ditekan serendah mungkin sebagai kompensasi biaya korupsi yang sudah dikeluarkan
pelaku ekonomi. Busuknya sektor pemerintah dan sektor swasta karena korupsi hanya
melahirkan kemiskinan, kebodohan dan ketidakberdayaan rakyat banyak. Korupsi yang terjadi karena perselingkuhan kekuasaan politik dan kekuatan
ekonomi membuat semakin lebarnya jurang kesejahteraan. Karena itulah ICW percaya bahwa pemberantasan korupsi akan berjalan efektif jika ada pelibatan
yang luas dari rakyat sebagai korbannya. ICW mengambil posisi untuk bersama-sama rakyat membangun gerakan sosial memberantas korupsi dan
berupaya mengimbangi persekongkolan kekuatan birokrasi pemerintah dan bisnis. Dengan demikian reformasi di bidang hukum, politik, ekonomi dan
sosial untuk menciptakan tata kelola pemerintahan yang demokratis dan berkeadilan sosial dapat diwujudkan.
ICW adalah lembaga nirlaba yang terdiri dari sekumpulan orang yang memiliki komitmen untuk memberantas korupsi melalui usaha-usaha
38
pemberdayaan rakyat untuk terlibatberpartisipasi aktif melakukan perlawanan terhadap praktek korupsi. ICW lahir di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1998 di
tengah-tengah gerakan reformasi yang menghendaki pemerintahan pasca Soeharto yang demokratis, bersih dan bebas korupsi. ICW awalnya merupakan
lembaga swadaya masyarakat LSM berawal dari sebuah yayasan berubah menjadi suatu perkumpulan. Perkumpulan tersebut karena ada dasar yuridis,
politik, maupun sosiologis. Dasar hokum dan politik ini hanya ingin mensiasati UUD ormas atau UUD yayasan untuk membuat ruang gerak bagi
ICW agak sempit terutama memudahkan pihak pemerintah bisa melakukan interfensi. Secara politik ICW merupakan suatu perkumpulan yang
memudahkan pendekatan dengan masyarakat. Dengan perkumpulan semua masyarakat jadi terbuka bisa bergabung dan berkontribusi langsung dalam
melawan korupsi. ICW memperkuat kelompok warga agar terlibat langsung dalam melawan korupsi. ICW sebagai fasilitator untuk mendorong adanya
gerakan masyarakat untuk melawan korupsi, apa yang dilakukan ICW lebih banyak upaya penguatan-penguatan kepada masyarakat. Misalnya, seperti
pengorganisasian, membentuk jaringan, menyediakan alat yang bisa di pake kelompok masyarakat dalam memberantas korupsi.
B. Visi dan Misi ICW
1. Visi ICW
ICW merupakan bentuk lembaga yang mempunyai visi yang berbeda. Kasus korupsi untuk memberantas para koruptor. Mengontrol
segala tata negara dengan mewujudkan negara yang bebas korupsi, aman dan memberdayakan segala aspek dari berbagai kasus pemerintah.