3. Kredit dapat meningkatkan daya guna dan peredaran barang.
4. Kredit merupakan salah satu alat stabilitas ekonomi.
5. Kredit dapat meningkatkan kegairahan berusaha.
6. Kredit dapat meningkatkan pemerataan pendapatan.
7.
Kredit merupakan
alat untuk
meningkatkan hubungan
internasional. 2.2.
Kredit Pemilikan Rumah
Pengertian kredit pemilikan rumah KPR menurut Bank Tabungan Negara adalah fasilitas pinjaman yang diberikan untuk pembelian rumah di
dalam maupun diluar real estate, merenovasi atau membangun rumah, membeli tanah atau ruko, dimana pinjaman ini dapat diangsur dalam jangka
waktu yang tertentu dengan jumlah angsuran yang sesuai dengan kemampuan debitur.
Sedangkan menurut website www.rumah123.com Kredit Pemilikan Rumah KPR adalah produk pembiayaan yang diberikan kepada pembeli
rumah dengan skema pembiayaan sampai dengan 90 dari harga rumah. KPR di Indonesia, hingga saat ini masih disediakan oleh perbankan,
meskipun sudah ada beberapa perusahaan pembiayaan leasing yang juga menyalurkan pembiayaan dari lembaga sekunder pembiayaan perumahan.
Perumahan merupakan unsur pokok bagi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat, selain kebutuhan akan pangan dan sandang,
pendidikan dan kesehatan. Namun pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan lahan untuk pemukiman yang terbatas menjadikan masalah
perumahan menjadi masalah yang kompleks. Menyadari hal tersebut, industri perbankan mulai mengembangkan produk pelayanan perumahan
dalam wujud kredit pemilikan rumah rumah KPR.
2.3. Risiko Kredit
Risiko kredit menurut Idroes,2008 adalah kegagalan peminjam borrower atau counterparty berkaitan dengan kemampuan ability dan
kemauan willingness untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah disepakati. Bank Indonesia sendiri di dalam
PBI No. 58PBI2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum mendefinisikan risiko sebagai kejadian potensial,
akibat kegagalan debitur danatau pihak lain dalam memenuhi kewajiban
kepada bank.
Sedangkan risiko kredit menurut menurut Crouchy hal 35, 2001 didefinisikan sebagai risiko perubahan kualitas kredit yang akan
mengakibatkan perubahan nilai posisi bank, penurunan kualitas tersebut diakibatkan oleh ketidakmampuan pihak lain dalam memenuhi kewajiban
yang sudah diperjanjikan. Risiko kredit tersebut akan menimbulkan potensi kerugian ekonomis aktual bagi suatu perusahaan yang timbul akibat dari
peristiwa kredit. Peristiwa terjadinya risiko kredit tidak hanya pada aktivitas perkreditan tetapi juga pada aktivitas lainya yang mengandung potensiunsur
gagal bayar pihak lawan, yaitu aktivitas treasury dan investasi maupun pembiayaan perdangangan. Risiko kredit yang terdiri dari tiga komponen,
yaitu :
a. Probability of Default
Merupakan kemungkinan debitur akan gagal bayar dalam memenuhi kontrak pembayaran.
b. Recovery Rate
Merupakan proporsi klaim yang akan ditanggung debitur jika tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar.
c. Credit Exposure
Kredit eksposur berkaitan dengan sejumlah nominal yang hilang akibat risiko default gagal bayar.
2.4. Manajemen Risiko
Manajemen risiko adalah proses yang menyeluruh dan kotinu dalam meminimalisasi risiko sebuah produk untuk mengoptimalkan keseimbangan
manfaat dan risikonya. Risk management manajemen risiko pada dasarnya adalah proses menyeluruh yang dilengkapi dengan alat, teknik, dan sains
ilmu yang diperlukan untuk mengenali, mengukur, dan mengelola risiko secara lebih transparan.
Manajemen risiko kredit yang efektif merupakan tantangan yang dihadapi seluruh lembaga keuangan, yang menjadi faktor kritis kesuksesan
bagi lembaga keuangan tersebut dalam menghadapi eksposur kredit yang signifikan. Banyak para ahli keuangan menyatakan bahwa risiko kredit
merupakan risiko yang paling mendominasi, oleh sebab itu perlu langkah- langkah kongkret untuk me-manage risiko tersebut.
Sejalan dengan prinsip tersebut, sesuai dengan ketentuan BI yang tertuang di dalam PBI nomor 58PBI2003 mengenai Penerapan
Manajemen Risiko bagi Bank Umum menjelaskan bahwa manajemen risiko adalah
serangkaian metodologi dan prosedur yang digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko
yang timbul dari seluruh kegiatan usaha bank.
2.4.1. Siklus Manajemen Risiko
Menurut Djohanputro 2006, siklus manajemen risiko terdiri dari lima tahap sesuai dengan Gambar 6.
Keterangan Hubungan langsung Hubungan tidak langsung
Gambar 6. Siklus manajemen risiko Djohanputro, 2006
Siklus manajemen risiko menurut Djohaputro 2006 terdiri dari 6 tahap, yaitu :
Tahap 1. Identifikasi Risiko Pada tahap ini, mengidentifikasi apa saja risiko yang dihadapi oleh
perusahaan. Langkah pertama dan utama adalah dengan melakukan
Pengawasan dan pengendalian risiko
Identifikasi risiko
Pengukuran risiko
Pemetaan risiko Model pengelolaan risiko
Evaluasi pihak berkepentingan
analisiss pihak berkepentingan stakeholders yang berkaitan dengan risiko tersebut.
Tahap 2. Pengukuran Risiko Pada dasarnya pengukuran risiko mengacu pada dua faktor, yaitu
kuantitas risiko dan kualitas risiko. Kuantitas risiko terkait dengan berapa banyak nilai, atau eksposur, yang rentan terhadap risiko.
Kualitas risiko terkait dengan kemungkinan suatu risiko muncul. Semakin tinggi kemungkinan risiko terjadi, semakin tinggi pula
risikonya.
Tahap 3. Pemetaan Risiko Pemetaan risiko bertujuan untuk menetapkan prioritas risiko
berdasarkan kepentingannya bagi perusahaan, dengan memilih-milih risiko yang mampu memberi kontribusi positif dan risiko yang
merusak nilai perusahaan bila dikelola. Perlu prioritas juga karena tidak semua risiko memiliki dampak pada tujuan perusahaan.
Tahap 4. Model Pengolahan Risiko Model pengelolaan risiko yang dapat diterapkan perusahaan berupa
pengelolaan risiko secara konvensional, penetapan modal risiko, dan struktur organisasi pengelolaan.
Tahap 5. Monitor dan Pengendalian Manajemen perlu memastikan bahwa pelaksanaan pengelolaan risiko
berjalan sesuai dengan rencana. Hal itu dikarenakan karena risiko itu sendiri berkembang, monitor dan pengendalian bertujuan untuk
memantau perkembangan terhadap kecenderungan-kecenderungan berubahnya profil risiko.
2.5. Pengukuran Risiko Kredit
Untuk mendapatkan hasil terbaik dari pelaksanaan manajemen risiko kredit, salah satu pilar yang harus diperhatikan adalah masalah pengukuran
risiko kredit. Bank Indonesia tidak menetapkan secara spesifik pendekatan pengukuran risiko kredit yang harus dijalankan oleh bank. Namun demikian,
BI telah memberikan arah dalam pengaturan pengukuran risiko kredit yang
mengacu pada konsep Basel yang
harus dipedomani
perbankan Idroes,2008.
2.5.1. Basel I
Dalam Basel I 1988 menerapkan standar umum untuk menghitung seluruh risiko dan menghitung kecukupan modal
capital adequency, sebesar 8 persen berdasarkan nilai Aktiva Tertimbang Menurut Risiko ATMR. ATMR dihitung berdasarkan
bobot risiko pada masing-masing aset pada portofolio bank. Namun metode pengukuran risiko kredit tersebut kurang sensitif terhadap
perubahan risiko karena bobot risko untuk kredit dianggap sama yaitu sebesar 100 tanpa ada pembedaan karakteristik risiko
masing-masing perusahaan private atau corporate. Konsep inilah yang sekarang dipedomani perbankan di
Indonesia dalam menghitung risiko kredit. Maka kedepannya BI memberikan pilihan kepada perbankan untuk dapat menerapkan
pengukuran risiko yang lebih advanced guna memberikan kesempatan kepada perbankan untuk pengembangan kualitas
manajemen risiko kreditnya. Direncanakan pada tahun 2009, pengukuran risiko kredit untuk menghitung kecukupan modal akan
menggunakan pendekatan model standarad sesuai dengan Basel II Zuchridin, 2009.
2.5.2. Basel II
Basel II adalah pengukuran risiko kredit dengan pendekatan model standard Basel II tersebut pada dasarnya menggunakan
metodelogi yang sama dengan pengukuran risiko kredit sebelumnya konsep ATMR – Basel I, namun disusun lebih risk sensitive peka
terhadap risiko karena bobot risiko kredit masing-masing instrumen ditetapkan berdasarkan grading ratingtingkatan dari instrumen
tersebut serta kualitas kreditnya. Terdapat dua alternatif pendekatan dalam perhitungan risiko
kredit dalam Basel II yaitu:
1. Standardised Approach
Pendekatan ter-Standar Dalam Standardised Approach SA, bank menggunakan
metode perhitungan sebagaimana digunakan dalam Basel I. Perbedaannya terletak pada kategorisasi aset dan besarnya bobot
risiko yang didasarkan pada peringkat yang diberikan oleh lembaga pemeringkat eksternal. Tujuan metode ini adalah untuk
menghitung cadangan modal capital requirement yang dibutuhkan oleh bank dan yang sebaiknya disisihkan dalam
mengatasi kemungkinan terjadinya kerugian akibat timbulnya risiko kredit. Input data yang dibutuhkan dalam Standardised
Approach Pendekatan Standar adalah outstanding Jumlah
pinjaman yang belum tertagih, risk weight bobot risiko yang sesuai dengan karakter pinjaman dan capital ratio yang
merupakan rasio untuk menentukan jumlah cadangan modal yang sebaiknya disisishkan oleh bank.
2. Internal Rating-Based Approach
Pendekatan Rating Internal Dalam
Internal Rating-Based
Approach IRB
bank diperkenankan menggunakan model internal mereka dalam
menghitung kebutuhan modal. Pendekatan ini diyakini memiliki akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendekatan
terstandar standardised
approach dan
menghasilkan perhitungan permodalan yang lebih sesuai dengan profil risiko
bank. Asumsi utama dalam pendekatan ini adalah bank pada dasarnya lebih mengetahui karakter dan kondisi debitur mereka
dibandingkan lembaga pemeringkat. Melalui pendekatan ini, bank dimungkinkan untuk menerapkan diferensiasi yang lebih
tepat untuk masing-masing kategori aset mereka. Beberapa komponen yang menjadi parameter utama dalam pendekatan
IRB adalah: a.
Probability of Default PD yaitu kecenderungan terjadinya
default gagal bayar untuk setiap kategori aset. Bank harus
menyediakan komponen PD untuk masing-masing kelompok debitur berdasarkan perhitungan internal mereka.
b. Loss Given Default
LGD adalah persentase kerugian yang diperkirakan akan terjadi jika suatu debitur default gagal
bayar. c.
Exposure at Default EAD adalah perkiraan nilai eksposur
pada saat terjadi default gagal bayar. d.
Maturity M adalah jangka waktu efektif dalam tahun dari
eksposur bank. Terdapat dua pendekatan dalam IRB yaitu:
a. Foundation
IRB – Bank menghitung–probability of default
kemungkinan gagal bayar yang terkait dengan masing- masing debitur dan pengawas menyediakan input lainnya
seperti loss given default dan exposure at default. b.
Advanced IRB – selain menggunakan probability of default,
bank menambahkan input lainnya seperti exposure at default, loss given default
dan jangka waktu. Persyaratan untuk penggunaan pendekatan ini lebih ketat dibandingkan dengan
foundation IRB.
2.6. CreditRisk+ Portfolio
Salah satu model yang dapat dipakai oleh perbankan untuk pengukuran risiko kredit yang didasarkan atas data historis peminjamnya
adalah dengan menggunakan metode creditrisk+ portfolio Metode ini merupakan pengembangan dari metode CreditRisk+ yang dapat mengukur
estimasi kerugian dibulan berikutnya. Metode ini merupakan model aktuaria dalam perhitungan risiko kredit dengan menggunakan foundation approach.
Pengukuran risiko kredit dengan menggunkan metode ini diperkenalkan oleh Credit Suisse First Brown CSFB pada akhir tahun
1997, bertujuan untuk menghitung distribusi kegagalan dari sutu kredit portofolio yang berdasarkan metodelogi matematika, actuarial. Dengan
mengetahui distribusi kegagalan akan diketahui nilai risiko dari suatu
portfolio kredit sehingga dapat diketahui potensi risiko kredit jangka pendek.
CreditRisk+ Portfolio digunakan untuk mencari probabilitas jumlah
debitur yang default gagal bayar dalam suatu periode yang dinyatakan dengan poisson distribution. Model ini menitikberatkan tingkat default
gagal bayar sebagai variabel acak dan memasukan variabelitas tingkat default
gagal bayar untuk mengatasi ketidakpastiaan. Metode ini didasarkan pada pendekatan credit default model yang menggambarkan
informasi jumlah dan batas waktu eksposure dan pengukuran risiko kredit sistematis dan debitur.
2.6.1. Kelebihan dan Keterbatasan Metode CreditRisk+
Teknik creditrisk+ portfolio memiliki kelebihan yaitu relatif mudah untuk diimplementasikan dan kemudahan dalam ketersedian
data. Kontribusi marginal dari debitur dengan mudah dapat dihitung, juga creditrisk+ portfolio memfokuskan pada kondisi default yang
dibutuhkan untuk mengestimasi potensi risiko. Dari berbagai instrument, data yang dibutuhkan hanya probability default,
eksposur dan recovery rate tingkat penerimaan kembali piutang
yang sudah dihapus bukukan. Creditrisk+ memposisikan pada kondisi debitur tidak mampu membayar kewajiban yang dibutuhkan
untuk mengestimasi potensi risiko. Keterbatasan metode creditrisk+ adalah Chrouhy, 2001 :
a. Asumsi bahwa risiko kredit tidak berhubungan dengan risiko
pasar. b.
Besarnya eksposur dari tiap debitur tetap dan tidak sensitif terhadap perubahan.
c. Tidak memperhitungkan risiko mitigasi.
2.7. Penelitian terdahulu
Pada penelitian Efendi 2007, faktor-faktor yang mempengaruhi risiko kredit PT. PQR Finance yaitu faktor internal perusahaan sumber daya
manusia, teknologi dan informasi, kebijakan perusahaan, dan keuangan, faktor business partner dealer dan konsumen, lingkungan eksternal
kebijakan pemerintah, persaingan dalam industri, kondisi ekonomi, dan keamanan negara. Faktor-faktor konsumen meliputi overdue, down
payment DPUang pangkal , jangka waktu kredit, pendapatan konsumen,
moral dan morale hazard. Nandifah
2008, dalam
penelitiannya menunjukan
bahwa berdasarkan pengujian validitas menggunakan metode back testing,
perhitungan potensi kerugian dengan menggunakan metode CreditRisk+ portfolio
menghasilkan penyimpangan sebesar 4,06. Hal ini berarti metode tersebut sesuai digunakan untuk mengukur potensi kerugian dari risiko
kredit Kupedes BRI unit Ciampea pada bulan Desember 2007. Perhitungan risiko dengan CreditRisk+ portfolio menghasilkan expected loss sebesar Rp.
194.098.591,62, unexpected loss sebesar Rp.481.200.000,00 dan economic capital sebesar Rp.287.101.408,38 pada tingkat kepercayaan 95.
Triawan 2008, dalam penelitannya menunjukan bahwa potensi kerugian pembiayaan pada PT BPRS Amanah dengan menggunkan analisis
creditrisk+ adalah sebesar Rp 1.650.150.000 dan economic capital Rp
835.992.177.
III. METODOLOGI PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran
Peranan bank sebagai lembaga keuangan tidak pernah lepas dari permasalahan kredit. Kegiatan kredit ini memberikan tingkat pengembalian
yang besar buat bank namun tingkat pengembalian yang besar tersebut diikuti dengan risiko yang besar pula sehingga bank juga memiliki tingkat
risiko yang cukup besar dalam kegiatan kredit. Kredit pemilikan rumah merupakan salah satu bentuk penyaluran
kredit yang dapat dijadikan bisnis yang menggiurkan karena nilainya mengalami kenaikan dari tahun-tahun. Berbagai kemudahan ditawarkan oleh
bank-bank mengelola bisnis KPR untuk menarik minat debiturnya. Hal tersebut
perlu diimbangi
dengan selektifitas
persetujuan kredit
perumahannya. Sebab apabila tidak, banyak nasabah KPR yang tidak bisa melunasi tagihan kreditnya dan menyebabkan tingkat risiko kredit
meningkat, yang ditunjukan dengan meningkatnya rasio non performing loan
. Risiko kredit yang dihadapi perusahaan meliputi risiko gagal bayar,
risiko eksposur, dan risiko recovery. Perhitungan risiko dengan berbagai model yang beragam adalah untuk melihat besaran risiko kredit macet
terhadap kredit yang relah diberikan. Disisi lain perhitungan risiko tersebut dapat digunakan sebagai faktor penting dalam mengambil keputusan oleh
manjemen agar segmen kredit dapat memberikan trade off timbal balik yang optimun antara risk risiko dan return pengembalianya. Pengukuran
risiko kredit yang akurat dan mampu memberikan peringatan dini early warning system juga dapat menghindari kerugian yang akan diderita akibat
risiko kredit. Pengukuran risiko kredit yang mencerminkan kualitas dan kuantitas risiko kredit dilakukan menggunakan metode CreditRisk+
Portfolio .
Pada tahap akhir proses analisis risiko kredit pemilikan rumah, dirumuskan strategi pengelolaan dan pengendalian risiko kredit pemilikan
rumah sebagai input alternatif bagi perusahaan dalam rangka peningkatan