5.3. Sarana dan Prasarana
Secara umum keadaan ekonomi Kota Bogor relatif stabil dengan pertumbuhan yang cukup baik, namun memerlukan perhatian yang lebih karena
struktur ekonomi Kota Bogor didominasi oleh sektor perdagangan, hotel dan restoran sebesar 29.53 persen dan sektor industri pengolahan sebesar 28.18
persen, dimana sektor ini sangat dipengaruhi oleh jumlah penduduk dan daya beli masyarakat.
Sarana dan prasarana transportasi di Kota Bogor terutama di daerah sentra produksi talas cukup memadai. Arus lalu lintas sarana produksi dan hasil
pertanian berjalan lancar meskipun terdapat beberapa kerusakan di ruas jalan. Dari Kota Bogor untuk menuju ke Ibukota Jakarta, Bandara Udara Sukarno-Hatta
dan Pelabuhan Tanjung Priok sangat mudah karena adanya jalan tol yang langsung menghubungkan antara Kota Bogor dengan ketiga tempat penting
tersebut Kota Bogor, 2010. Ketersediaan sarana dan prasarana transportasi di Kota Bogor merupakan
pendukung bagi pemasaran talas. Oleh karena itu perbaikan sarana dan prasarana transportasi diperlukan bagi pengembangan pemasaran talas di Kota Bogor.
Selain itu sarana perekonomian seperti pasar sudah relatif tersebar di seluruh kecamatan dan desa. Hal ini memungkinkan petani talas untuk
meningkatkan pemasaran talas. Berdasarkan
gambaran sarana
dan prasarana
transportasi dan
perekonomian Kota Bogor maka dapat disimpulkan bahwa sarana dan prasarana transportasi dan perekonomian di Kota Bogor mendukung bagi pengembangan
usahatani talas. Hal ini akan mendukung strategi untuk mengatasi risiko usahatani
talas. Menurut Debertin 1986 salah satu strategi untuk mengatasi risiko dalam usahatani adalah fasilitas dan peralatan pertanian yang fleksibel.
5.4. Hasil Produksi Pertanian
Menurut Dinas Pertanian Kota Bogor komoditi unggulan Kota Bogor adalah tanaman hias dan padi ramah lingkungan. Sedangkan tanaman talas hanya
dianggap sebagai komoditi lokal dan tradisional. Karena talas bukan merupakan komoditi unggulan Kota Bogor, maka Dinas Pertanian Kota Bogor tidak
mempunyai program khusus bagi peningkatan produksi dan produktivitas talas. Selain itu luas lahan yang terbatas dan adanya konversi lahan pertanian juga
merupakan kendala dalam peningkatan produksi talas di Kota Bogor. Program pengembangan talas di Kota Bogor hanya melalui pengembangan industri
pengolahan talas, yaitu dengan membentuk pengolahan talas di Kelurahan Situgede dan Kelurahan Rancamaya Dinas Pertanian Kota Bogor, 2010.
Meskipun tanaman talas hanya dianggap sebagai komoditi lokal, namun hampir di semua wilayah di Kota Bogor, petani membudidayakan talas.
Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa produktivitas talas tertinggi ada di Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Bogor Barat. Selain itu berdasarkan
Tabel 2 dapat dilihat bahwa selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 luas areal tanam dan produksi talas berfluktuasi, sedangkan produktivitas talas
meningkat dengan peningkatan yang semakin melambat. Fluktuasi luas areal tanam dan produksi talas karena tidak setiap tahun petani menanam talas dan
adanya konversi lahan pertanian. Selama tahun 2004 sampai dengan tahun 2009 rata-rata luas areal tanam talas adalah sebesar 154.50 hektar per tahun, rata-rata
produksi adalah sebesar 851.67 ton per tahun dan rata-rata produktivitas adalah sebesar 5.51 ton per hektar per tahun.
Berdasarkan gambaran umum wilayah penelitian dapat disimpulkan bahwa Kota Bogor mempunyai potensi yang besar bagi pengembangan produksi,
produktivitas, hasil olahan dan pemasaran komoditi talas. Oleh karena itu penting untuk melakukan penelitian mengenai komoditi talas ini. Penelitian ini dilakukan
di sentra produksi talas terbesar di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Bogor Barat. Tanaman talas dibudidayakan hampir di semua lokasi di
kedua kecamatan tersebut pada berbagai skala luasan lahan.
VI. KERAGAAN USAHATANI TALAS DI DAERAH PENELITIAN
6.1. Karakteristik Petani Responden
Jumlah petani responden dalam penelitian ini adalah 66 orang yang diambil secara acak dari dua kelurahan di dua kecamatan sentra produksi talas
terbesar di Kota Bogor yaitu Kecamatan Bogor Timur dan Kecamatan Bogor Barat. Namun jumlah petani responden yang digunakan dalam olah data
berjumlah 65 petani karena 1 petani mempunyai data produksi yang tidak lengkap. Hampir seluruh petani mengatakan bahwa usahatani talas merupakan
usahatani sampingan mereka. Karakteristik sosial ekonomi petani responden adalah berdasarkan umur,
pendidikan, pengalaman, jumlah anggota keluarga dan sumber pendapatan lain. Pada Tabel 4 dapat dilihat karakteristik sosial ekonomi petani responden
berdasarkan umur, pendidikan, pengalaman dan jumlah anggota keluarga. Data selengkapnya mengenai karakteristik sosial ekonomi petani responden dapat
dilihat pada Lampiran 1. Sebagian besar petani responden yaitu sebesar 80 persen berada pada
kisaran umur produktif antara 20 sampai dengan 60 tahun dan 20 persen petani responden berumur di atas 60 tahun Tabel 4. Lebih dari 50 persen petani
responden berusia di atas 40 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa umumnya usahatani talas di daerah penelitian diusahakan oleh petani generasi tua yang
dapat mempengaruhi perkembangan usahatani talas. Secara umum tingkat pendidikan petani masih tergolong rendah. Sebagian
besar petani responden berpendidikan SD 1 – 6 tahun yaitu sebesar 86.15