Pemecahan Masalah Inkonsistensi Proses Penakaran pada Mesin Pengemas Bumbu Pelezat Serbaguna di PT Unilever Indonesia Tbk., Cikarang

(1)

PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES

PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT

SERBAGUNA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK.,

CIKARANG

ERICK

F24060969

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES

PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT

SERBAGUNA DI PT UNILEVER INDONESIA TBK.,

CIKARANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ERICK F24060969

2010

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(3)

INSTITUT PERTANIAN BOGOR FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

PEMECAHAN MASALAH INKONSISTENSI PROSES PENAKARAN PADA MESIN PENGEMAS BUMBU PELEZAT SERBAGUNA

DI PT UNILEVER INDONESIA TBK., CIKARANG

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

ERICK F24060969

Dilahirkan pada tanggal 30 Oktober 1988 di Jakarta

Tanggal lulus : 2010

Menyetujui,

Bogor, 2010

Dr. Ir. Joko Hermanianto Ir. Noer Iman

Dosen Pembimbing Pembimbing Lapang

Mengetahui,

Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc


(4)

Erick. F24060969. Pemecahan Masalah Inkonsistensi Proses Penakaran pada Mesin Pengemas Bumbu Pelezat Serbaguna di PT Unilever Indonesia Tbk., Cikarang. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Joko Hermanianto dan Ir. Noer Iman. 2010.

RINGKASAN

Sistem penakaran pada mesin pengemas diharapkan mampu menangani proses penakaran bumbu pada kisaran spesifikasi yang diinginkan (kapabel) dan juga dapat diandalkan (reliabel). Berdasarkan catatan perusahaan tahun 2009, jika sebuah sachet produk bernilai Rp 300,00 maka waktu breakdown akibat tindakan penyesuaian membuat perusahaan kehilangan waktu produktif yang bernilai setara dengan Rp 5.910.537.000,00 tanpa memperhitungkan kerugian bumbu akibat

overweight, biaya pengerjaan ulang (rework) akibat underweight, dan biaya lembur untuk mengejar target produksi. Tujuan dari kegiatan magang ini di PT Unilever Indonesia, Cikarangadalah mengidentifikasi permasalahan inkonsistensi proses penakaran yang merupakan sumber penyebab tingginya angka breakdown

mesin pengemas akibat kegiatan stel timbangan. Langkah kerja yang dilakukan adalah observasi langsung di dalam kegiatan produksi, mengidentifikasi akar masalah berdasarkan fakta di lapangan, dan analisis langkah perbaikan untuk mengeliminasi akar masalah.

Penelusuran masalah dimulai dari memahami masalah inkonsistensi proses penakaran dan prinsip kerja sistem penakaran pada mesin pengemas. Output

penakaran relatif konsisten jika mesin bekerja dengan parameter tetap dan tidak ada perubahan pada bumbu. Berdasarkan analisis kapabilitas proses penakaran pada mesin percontohan terbaik (mesin U9), diketahui hanya 25% batch yang mampu mencapai indeks kapabilitas proses di atas 1,00. Faktor bumbu yang kohesif dan berfluktuasi tingkat kelengketannya lebih berpengaruh sebagai penyebab masalah daripada faktor mesin. Bumbu yang kohesif menyebabkan gangguan aliran bumbu pada sistem penakaran sehingga terjadi fluktuasi output. Kondisi tersebut diperburuk dengan peluang terbentuknya caking akibat paparan gaya tekan dari mekanisme prefit dan gangguan aliran pada hopper feeder.

Persebaran lemak nabati dan pencapaian kristalisasi lemak di dalam campuran bumbu belum tertangani dengan baik dan konsisten pada proses mixing

dan aging yang belum terkendali dan belum optimal. Keberadaan lemak nabati yang masih dalam fase cair menimbulkan karakteristik kohesif dan tidak mudah mengalir. Flowability bumbu masih dalam kategori “Very Poor”, walaupun

dengan perlakuan aging selama 120 menit yang jauh lebih lama dari standar waktu proses aging perusahaan. Karakteristik bumbu yang tidak mudah mengalir tersebut dipastikan bukan akibat buruknya karakteristik flowability garam dan gula yang merupakan dua komponen terbesar penyusun komposisi bumbu.

Sebagian besar masalah inkonsistensi proses penakaran dapat diatasi dengan pengendalian dan optimasi parameter proses mixing dan aging sehingga diperoleh karakteristik bumbu yang relatif tidak kohesif, homogen, dan konsisten pada setiap batch. Tindakan perbaikan yang perlu segera diimplementasikan adalah modifikasi sistem timer pada mixer, optimasi proses mixing, dan gunakan alternatif terowongan pendingin untuk proses aging. Beberapa tindakan perbaikan pendukung perlu dipertimbangkan setelah memperbaiki kondisi karakteristik bumbu untuk mendukung pengendalian proses penakaran menjadi lebih baik.


(5)

i

RIWAYAT

HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 30 Oktober 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Kristianto Tjiptadji dan Neneng Murnengsih. Penulis menyelesaikan pendidikan dasar pada tahun 2000 di SD KEMURNIAN II, Sekolah Menengah Pertama pada tahun 2003 di SLTP KEMURNIAN II, dan Sekolah Menegah Umum jurusan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) pada tahun 2006 di SMU KEMURNIAN II. Penulis melanjutkan pendidikan tinggi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SPMB masuk pada tahun 2006. Penulis berhasil mendapatkan Mayor Ilmu dan Teknologi Pangan di Fakultas Teknologi Pertanian, setelah setahun menjalani Tingkat Persiapan Bersama (TPB)

Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis aktif di dalam kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan sebagai Public Relation. Penulis juga aktif dalam Tim Pendamping Mahasiswa Katolik IPB, suatu komunitas nonkelembagaan yang berperan sebagai asisten MKDU Pendidikan Agama Katolik di IPB. Kegiatan kepanitiaan yang pernah dijalani penulis diantaranya adalah Studium Generale Alumni dan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Pelatihan Sistem Manajemen Halal (PLASMA), dan Orientasi Mahasiswa Baru Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR). Penulis juga berprestasi pada beberapa kompetisi di bidang fotografi seperti Journalistic Fair tingkat Jabodetabek, G-art Competition tingkat IPB, dan The Bogor Expo tingkat pelajar Bogor. Selama kuliah penulis pernah bekerja sebagai guru les privat, melakukan formulasi dan desain proses produksi di CV Siska Wati Citereup, dan kegiatan survei Quick Count Pemilu 2009 di bawah CIRUS Surveyors Group. Sebagai tugas akhir penulis memilih penelitian dalam kegiatan magang di PT Unilever Indonesia Tbk. dengan judul “Pemecahan Masalah Inkonsistensi Proses Penakaran pada Mesin Pengemas Bumbu Pelezat Serbaguna di PT Unilever Indonesia Tbk., Cikarang”.


(6)

ii

KATA

PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat, karunia, dan kasih-Nya sehingga penulis berkesempatan untuk berkarya dan menjalani pendidikan tinggi di Intitut Pertanian Bogor pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan–Fakultas Teknologi Pertanian. Selama empat tahun penulis berproses dan belajar banyak hal mengenai kehidupan yang menjadi sebuah sejarah sekaligus pelajaran berharga yang tidak akan pernah terulang. Atas petunjuk, penyertaan, dan tuntunan-Nya melalui sesama manusia, penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan tugas akhir yang indah pada waktunya.

Selama kegiatan magang, penulisan, dan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan banyak pihak. Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Papi, Mami, Oma, Mpe, Michael, Cynthia, dan Tante, atas doa, kesabaran, pengertian, kasih sayang, dan motivasi yang tidak pernah berhenti dicurahkan kepada penulis.

2. Bapak Dr. Ir. Joko Hermanianto, selaku dosen pembimbing akademik atas bimbingan, nasihat, motivasi, dan pelajaran yang sangat berarti selama perkuliahan dan pelaksanaan tugas akhir.

3. Bapak Ir. Noer Iman, selaku pembimbing lapang atas bimbingan, nasihat, motivasi, dan pelajaran selama kegiatan magang di pabrik Unilever Cikarang. 4. Bapak Tjahja Muhandri, STP, MT, selaku dosen penguji yang memberikan

waktu dan pikiran kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir.

5. Ibu Elvira Syamsir, STP, MSi selaku dosen penguji yang memberikan waktu dan pikiran kepada penulis dalam penyelesaian tugas akhir.

6. Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS dan Bapak Ir. Maulana W. Jumantara yang telah membuka jalan bagi penulis untuk melakukan kegiatan magang di PT Unilever Indonsia Tbk., Cikarang dan atas waktu serta masukan kepada penulis.

7. Bapak Yoga Pratama dan Bapak Lukman Darmawan atas waktu, pikiran, dan dukungan yang diberikan kepada penulis.


(7)

iii 8. Para staf SCC&C, teman-teman ruang TPM, seluruh tim produksi,

seman-teman “sepermainan” tim engineering, seluruh operator mesin pengemas, khususnya Mas Buhron, Mas Pamungkas, dan Mas Dede, teman-teman nongkrong “kursi batu panjang”, Bapak Joko dari Cipta Bersama, teman -teman magang yang silih berganti, Stephani Angga, Bunga Anggraini, Feronika, Venita, Gina, Aya, Sarah, dan Sari atas dukungan, waktu, dan motivasi kepada penulis. Senang mengenal kalian dan dapat melewati waktu bersama kalian walaupun pertemuan kita singkat.

9. Seluruh staf dan teknisi departemen ITP, SEAFAST, dan PAU yang menjadi sahabat penulis. Terima kasih atas dukungan, motivasi, dan nasihat yang banyak dibagikan kepada penulis. Tidak terlupakan staf UPT yang selalu siap membantu penulis menyelesaikan administrasi selama perkuliahan dan dalam tugas akhir.

10.Sahabat-sahabat karib penulis, Abdi Tunggal Cahyo, Arius Wiratama, Riza Kamal Shadiq, Wonojatun, Sendy Arkida, Bobby, The Maksiaters, Keluarga Pondok Joglo, dan Anita Kumala Sari yang menjadi tempat diskusi dan “tempat sampah” penulis selama penyelesaian tugas akhir.

Semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat digunakan sebagaimana layaknya. Salam sejahtera.

Bogor, Oktober 2010


(8)

iv

DAFTAR ISI

HALAMAN

KATA PENGANTAR……….. ii

DAFTAR ISI………. iv

DAFTAR TABEL………. vi

DAFTAR GAMBAR……...………. vii

DAFTAR LAMPIRAN……….….……….. ix

I. PENDAHULUAN ... 1

A. LatarBelakang ... 1

B. Tujuan ... 2

II. TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN ... 3

A. Sejarah dan Perkembangan PT Unilever Indonesia ... 3

B. Visi dan Misi ... 5

C. Logo ... 6

D. Organisasi dan Pengelolaan ... 6

E. Ketenagakerjaan ... 8

III. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

A. Bubuk (Powder) ... 10

B. Karakteristik Fisik Bubuk ... 11

C. Kemudahan Mengalir Bubuk (Flowability) ... 13

D. Pencampuran Kering (Dry Mixing) ... 16

E. Mesin Pencampur (Mixer) ... 18

F. Klasifikasi Campuran ... 21

G. Kristalisasi Lemak ... 23

H. Desain Peralatan ... 26

IV. METODOLOGI ... 31

A. Langkah Kerja ... 31

1. Observasi ... 31

2. Identifikasi Faktor Penyebab Masalah ... 31

3. Analisis Langkah Perbaikan ... 31

B. Metode Analisis ... 32


(9)

v

2. Analisis Kapabilitas Proses ... 32

3. Analisis Kemudahan Mengalir Bubuk ... 33

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 36

A. Produksi Bumbu Pelezat Serbaguna ... 36

1. Bahan Baku ... 36

2. Mesin Produksi ... 37

3. Aliran Proses Produksi ... 40

B. Identifikasi Masalah ... 43

1. Inkonsistensi Proses Penakaran ... 43

2. Mekanisme Sistem Penakaran ... 46

3. Kapabilitas Proses Penakaran ... 50

4. Tren Output Proses Penakaran ... 58

5. Pengamatan Proses Produksi ... 63

6. Kemudahan Mengalir Bumbu ... 77

7. Kemudahan Mengalir Bahan Baku ... 79

C. Analisis Langkah Perbaikan ... 81

1. Kontrol Parameter Waktu Mixing ... 83

2. Optimasi Proses Mixing ... 83

3. Optimasi Proses Aging ... 85

4. Modifikasi Desain Hopper Feeder ... 86

5. Modifikasi Filling Unit Mesin Pengemas ... 88

6. Standarisasi Posisi Prefit dan Parameter Pulse ... 88

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 90

A. Kesimpulan ... 90

B. Saran ... 90

DAFTAR PUSTAKA………...... 92


(10)

vi

DAFTAR TABEL

HALAMAN

Tabel 1. Kategori Kemudahan Mengalir Bubuk………... 35

Tabel 2. Kapabilitas Proses Penakaran Mesin U9………... 52

Tabel 3. Rata-rata Output Setiap Corong Mesin U9………... 53

Tabel 4. Nilai R2 Regresi Linier Setiap Corong Mesin U9………. 59

Tabel 5. Pengukuran Suhu Aging……… 72

Tabel 6. Kemudahan Mengalir Bumbu Tanpa Perlakuan Aging……… 78

Tabel 7. Kemudahan Mengalir Bumbu Setelah Aging 120 Menit……….. 78

Tabel 8. Kemudahan Mengalir Bahan Baku Garam……….. 80


(11)

vii

DAFTAR GAMBAR

HALAMAN

Gambar 1. Logo Produk-produk PT Unilever Indonesia………. 4

Gambar 2. Logo Unilever………. 6

Gambar 3. Struktur Organisasi Pabrik Divisi SCC & C………... 8

Gambar 4. Keadaan Struktur Internal Bubuk Sebelum dan Setelah Pemampatan………... 10

Gambar 5. Faktor yang Mempengaruhi Densitas Kamba Bubuk………….... 12

Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kohesif Bubuk…………... 13

Gambar 7. Agitator Plow Mixer dan Arah Aliran Bahan……… 19

Gambar 8. Forberg Mixer……… 20

Gambar 9. Skema Distribusi Campuran Partikel………. 21

Gambar 10. Skema Beberapa Tipe Campuran Partikel………. 22

Gambar 11. Perubahan Polymorphic Kristalisasi dan Rekristalisasi Lemak…. 24 Gambar 12. Hubungan Faktor yang Mempengaruhi Karakteristik Makro Kristal Lemak………. 25

Gambar 13. Bekas Pemukulan Mengindikasikan Masalah Aliran Bahan…… 26

Gambar 14. Skema Pola Aliran di Dalam Hopper……… 27

Gambar 15. Grafik Acuan Desain Bentuk Hopper……….... 29

Gambar 16. Beberapa Desain Bentuk Hopper……….. 29

Gambar 17. Skema Pegukuran Loose Density dan Tapped Density………….. 34

Gambar 18. Plow Mixer……….… 38

Gambar 19. Skema Hopper Feeder………... 39

Gambar 20. Skema Filling Unit Mesin Pengemas……….…………... 40

Gambar 21. Skema Sistem Auger……….. 47


(12)

viii

Gambar 23. Ilustrasi Mekanisme Sistem Penakaran……….……… 49

Gambar 24. Diagram Batang Statistik Dasar Populasi Output………. 60

Gambar 25. Waktu Mixing Hari ke-1……… 65

Gambar 26. Waktu Mixing Hari ke-2……….………... 66

Gambar 27. Skema Pemasukan Lemak Nabati Cair………. 69

Gambar 28. Skema Pola Aliran Bumbu Aktual di Dalam Hopper Feeder……75

Gambar 29. Pengaruh ScrewFeeder Terhadap Arus Aliran………... 76

Gambar 30. Hubungan Masalah Penyebab Inkonsistensi Proses Penakaran... 82


(13)

ix

DAFTAR LAMPIRAN

HALAMAN

Lampiran 1. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-1………. 95

Lampiran 2. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-2………. 96

Lampiran 3. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-3………. 97

Lampiran 4. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-4………. 98

Lampiran 5. Kapabilitas Proses Mesin U9 Hari ke-5………. 99

Lampiran 6. Kapabilitas Proses Mesin U9 Selama 7 Hari………. 100

Lampiran 7. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-1……….. 101

Lampiran 8. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-2……….. 102

Lampiran 9. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-3……….. 103

Lampiran 10. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-4……….. 104

Lampiran 11. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-5……….. 105

Lampiran 12. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-6……….. 106

Lampiran 13. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-10……… 107

Lampiran 14. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-11……… 108

Lampiran 15. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-12……… 109

Lampiran 16. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-13……… 110

Lampiran 17. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-14……… 111

Lampiran 18. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-15……… 112

Lampiran 19. Kapabilitas Proses Mesin U9 Batch Ke-16……… 113

Lampiran 20. Contoh Regresi Linier Output Mesin U9 Batch Ke-1………… 114

Lampiran 21. Data Output Mesin U9 Hari Ke-1……….. 115

Lampiran 22. Data Output Mesin U9 Hari Ke-2……….. 116


(14)

x

Lampiran 24. Data Output Mesin U9 Hari Ke-4……….. 118 Lampiran 25. Data Output Mesin U9 Hari Ke-5……….. 119 Lampiran 26. Data Sistem SPC Mesin U9 Milik Perusahaan Selama 7 Hari.. 120 Lampiran 27. Diagram Alir Produksi Bumbu Pelezat Serbaguna…...……… 122 Lampiran 28. Karakterisasi Aliran Bumbu Metode Hausner dan Carr……… 123 Lampiran 29. Karakterisasi Aliran Garam Metode Hausner dan Carr……… 124 Lampiran 30. Karakterisasi Aliran Gula Metode Hausner dan Carr………... 124 Lampiran 31. Pareto Kejadian Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009….. 125 Lampiran 32. Pareto Waktu Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009…….. 126


(15)

1

I.

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Salah satu produk yang diproduksi oleh PT Unilever Indonesia adalah bumbu pelezat serbaguna dalam bentuk bubuk siap pakai. Produk tersedia dalam berbagai ukuran kemasan yaitu kemasan sachet, 50g, 100g, 200g, dan 1000g. Produk kemasan sachet dikemas menggunakan mesin pengemas jenis VFFS (Vertical Form Fill Seal). Tipe mesin ini cocok untuk produk berbentuk bubuk dan granular (Fellows, 2000). Mesin pengemas membentuk kemasan dari lembaran bahan baku kemasan, menakar dan mengisi sejumlah bumbu, kemudian sekaligus menyegel kemasan yang telah berisi bumbu. Sistem penakaran pada mesin pengemas diharapkan bukan hanya sekedar mampu menangani proses penakaran bumbu pada kisaran spesifikasi yang diinginkan (kapabel) saja melainkan juga dapat diandalkan (reliabel).

Kegiatan produksi diharapkan memiliki perfoma yang tinggi dari segi efisiensi, pencapaian target produksi, kecepatan produksi, dan mutu produk yang sesuai dengan spesifikasi. Terhentinya mesin produksi (breakdown) akibat perawatan, perbaikan, atau kegiatan penyesuaian diharapkan tidak memakan banyak waktu serta dapat diprediksi. Jadwal produksi dan pencapaian target produksi dapat terganggu jika mesin produksi sering dihentikan karena bermasalah, apalagi jika tidak dapat diprediksi.

Mutu sangat penting dijaga oleh perusahaan untuk menjaga kepuasan konsumen dan kelangsungan bisnis. Menurut Fellows (2000), tingkat akurasi proses pengisian penting untuk memastikan pemenuhan peraturan isi bersih produk dan untuk mencegah “give-away” akibat kelebihan pengisian. Isi bersih produk yang tertera pada kemasan harus dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya kepada konsumen. Oleh sebab itu isi bersih produk di dalam setiap kemasan perlu dijaga oleh perusahaan agar tidak terjadi kekurangan jumlah isi bersih produk di dalam kemasan. Kurangnya (underweight) bumbu dalam kemasan menjadi permasalahan mutu bagi konsumen, namun jika bumbu di dalam kemasan berlebih (overweight) akan menjadi kerugian atau biaya yang harus ditanggung oleh perusahaan.


(16)

2 Inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas menyebabkan pergeseran massa produk dari rentang spesifikasi yang telah ditentukan. Jika operator sampai harus menghentikan mesin untuk tindakan penyesuaian, maka waktu breakdown tersebut dikategorikan sebagai tindakan stel timbangan. Berdasarkan catatan perusahaan, diketahui bahwa kegiatan stel timbangan paling besar kontribusinya baik dari segi jumlah kejadian maupun waktu breakdown mesin pengemas pada tahun 2009. Tercatat sebanyak 3.836 kali kejadian penyesuaian timbangan yang setara dengan 25,78% dari total kejadian breakdown mesin pengemas. Stel timbangan juga tercatat sebagai penyebab terbesar waktu breakdown sebesar 901,12 satuan waktu setara dengan 16,89% dari total waktu breakdown mesin pengemas. Jika nilai sebuah sachet produk adalah Rp 300,00 maka kehilangan waktu produktif akibat breakdown tersebut bernilai setara dengan Rp 5.910.537.000,00 tanpa memperhitungkan kerugian bumbu akibat overweight, biaya pengerjaan ulang (rework) akibat underweight, dan biaya lembur untuk mengejar target produksi.

B. TUJUAN

Tujuan dari kegiatan magang ini di PT Unilever Indonesia, Cikarang adalah mengidentifikasi permasalahan inkonsistensi proses penakaran yang merupakan sumber penyebab tingginya angka breakdown mesin pengemas akibat kegiatan stel timbangan. Selain mengidentifikasi, diharapkan dapat menghasilkan saran konstruktif dan aplikatif bagi perusahaan untuk mengatasi masalah inkonsistensi proses penakaran mesin pengemas bumbu pelezat serbaguna.


(17)

3

II.

TINJAUAN UMUM PERUSAHAAN

A. SEJARAH DAN PERKEMBANGAN PT UNILEVER INDONESIA

Dua bersaudara William Hasketh Lever dan James Darcy Lever mendirikan perusahaan yang bernama Lever Brothers pada tahun 1885 di Inggris. Perusahaan Lever Brothers memproduksi sabun cuci dengan merek Sunlight. Perusahaan terus berkembang didukung oleh teknik pemasaran yang sangat baik dan mulai memproduksi sabun mandi dengan merek Lux dan Lifebuoy.

Sejak tahun 1868 perusahaan milik keluarga Anton Jurgens memproduksi margarin. Pada tahun 1927 perusahaan ini bergabung dengan perusahaan margarin milik keluarga Van den Berg dan menamakan perusahaan mereka Margarine Unie di Belanda dan Margarine Union untuk cabang perusahaan di Inggris. Pada tahun 1929 Perusahaan Lever Brothers dan Margarin Union bergabung dan mengganti nama mereka menjadi Unilever. Sejak awal berdiri, Unilever mengadopsi strategi ganda yang melibatkan pusat komando di London (Unilever PLC) dan di Rotterdam (Unilever NV). Unilever terus berkembang berkembang sebagai perusahaan yang bertaraf internasional dengan produk kebutuhan sehari-hari sperti sabun, detergen, shampo, pasta gigi, kosmetik, makanan, minuman, es krim dan jasa distribusi serta jasa penelitian pasar.

PT Unilever Indonesia Tbk. didirikan pada 5 Desember 1933 sebagai Zeepfabrieken N.V. Lever dengan akta No.33 yang dibuat oleh Tn. A.H. van Ophuijsen, notaris di Batavia. Akta ini disetujui oleh Gubernur Jenderal van Raad van Justitie di Batavia dengan No.302 pada tanggal 22 Desember 1933 dan diumumkan dalam Javasche Courant pada tanggal 9 Januari 1934.

Dengan akta no.171 yang dibuat oleh notaris Ny. Kartini Mulyadi tertanggal 22 Juli 1980, nama perusahaan di ubah menjadi PT Unilever Indonesia. Dengan akta no.92 yang dibuat oleh notaris Tn. Mudofir Hadi, S.H. tertanggal 30 Juni 1997, nama perusahaan diubah menjadi PT Unilever Indonesia Tbk. Akta ini disetujui oleh Mentri Kehakiman dengan keputusan No.C2-I.049HT.01.04TH.98 tertanggal 23 Februari 1998 dan di umumkan di Berita Negara No.2620 tanggal 15 Mei 1998.


(18)

4

Gambar 1. Logo Produk-produk PT Unilever Indonesia Sumber: http://unilever.com

Kantor pusat PT Unilever Indonesia Tbk. berlokasi di gedung Graha Unilever, Jl. Jendral Gatot Subroto Kav. 15, Jakarta 12930. Lokasi pabrik yang beralamatkan di Kawasan Industri Cikarang Jl. Jababeka Raya Blok O terdiri dari tiga pabrik Foods, yaitu pabrik Spread Cooking Category and Culinary (SCC&C), Tea Based Beverage (TBB), dan Ice Cream (IC). Sementara untuk produk Non Soap Detergent and Liquid berada di Kawasan Industri Cikarang Jl. Jababeka IX Kav. D1-29, serta di Rungkut, Surabaya dan di Subang untuk pabrik Kecap BANGO.

PT Unilever Indonesia Tbk. berhasil mendapat pengakuan di tingkat nasional dan internasional dengan menerima 66 penghargaan di tahun 2008, diantaranya yaitu:

1. The Asian Most Admired Knowledge Enterprise (MAKE) 2008, sebagai perusahaan Indonesia yang paling diminati di Asia dan memenangkan keseluruhan kategori.

2. International Energy Globe Award 2008, program Inovasi Pendidikan, dimana Unilever Indonesia sebagai salah satu pemenang World Energy


(19)

5

Globe Award. Pada program ini Unilever mendapat kehormatan sebagai pemenang nasional untuk Indonesia.

3. The Indonesia Best Brand Award 2008, yaitu sebelas produk Unilever Indonesia menerima IBBA seperti Sunlight, Pepsodent, Lux, Lifebuoy, Sunsilk, Pond’s, Rinso, Citra, dan Molto.

4. Zero Accident Award, Unilever Indonesia menerima penghargaan dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk Nilai Kecelakaan dan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

5. Indonesia Best Packaging Award 2008 yang dinilai berdasarkan hasil survei oleh Marketing Extra Magazine.

B. VISI DAN MISI

Visi Unilever Indonesia adalah “Menjadi pilihan utama bagi konsumen, pelanggan dan masyarakat”. Untuk mencapai visi tersebut, Unilever memiliki misi, yaitu menambah vitalitas dalam kehidupan, serta memenuhi kebutuhan nutrisi, kebersihan, dan perawatan pribadi sehari-hari dengan produk-produk yang membantu para konsumen agar merasa nyaman, berpenampilan baik, dan lebih menikmati hidup.

Unilever memiliki akar yang kokoh dalam budaya dan pasar lokal di dunia sehingga memiliki hubungan yang erat dengan konsumen dan merupakan landasan pertumbuhan Unilever di masa depan. Unilever juga menyertakan kekayaan pengetahuan dan keahlian internasional dalam melayani konsumen lokal, menjadikan Unilever sebagai perusahaan multi-nasional yang multi-lokal.

Keberhasilan jangka panjang Unilever menuntut komitmen menyeluruh terhadap standar kinerja dan produktivitas yang sangat tinggi, terhadap kerjasama yang efektif dan kesediaan untuk menyerap gagasan baru serta keinginan untuk belajar secara terus-menerus. Dengan misi yang diemban Unilever, diharapkan dapat mencapai pertumbuhan perusahaan yang langgeng dan menguntungkan, untuk menciptakan nilai jangka panjang yang berharga bagi para pemegang saham, karyawan, dan mitra usaha.


(20)

6

C. LOGO

Pada tahun 2005, Unilever mengganti logo perusahaannya menjadi sebuah logo yang menggambarkan visi dan misi Unilever terhadap peningkatan vitalitas kehidupan melalui berbagai produknya. Logo baru terdiri atas 22 icon berbeda dimana setiap icon tersebut melambangkan produk Unilever dan tersusun dalam huruf “U”. Setiap 22 icon tersebut memiliki makna tersendiri.

Gambar 2. Logo Unilever Sumber: http://unilever.com

D. ORGANISASI DAN PENGELOLAAN

Struktur organisasi PT Unilever Indonesia Tbk. dilandasi oleh penentuan tugas dan tanggung jawab yang jelas. Karyawan yang direkrut akan diseleksi dengan teliti, mendapatkan pelatihan, dan pengembangan agar dapat memberikan kontribusi yang berkualitas tinggi terhadap perusahaan. PT Unilever Indonesia Tbk. menggunakan struktur organisasi staf dan lini yang artinya tanggung jawab tertentu dibagi antara spesialis dan staf, tetapi melaporkan kepada pemimpin yang bertanggung jawab secara keseluruhan


(21)

7 atas operasi usaha. Tugas dan tanggung jawab dari masing-masing bagian struktur tersebut adalah sebagai berikut:

1. Supply Chain Director mengkoordinasikan aktivitas teknik dari kegiatan perusahaan dan bertanggung jawab memastikan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan dari seluruh sistem manajemen mutu perusahaan. 2. Technical Manager Foods bertanggung jawab atas efektivitas dan

efisiensi manajemen dari seluruh segi operasi, memastikan persediaan produk dengan mutu yang baik, biaya rendah, dan tepat waktu.

3. Production Manager bertanggung jawab mengelola mutu produk sesuai dengan spesifikasi kondisi proses, memastikan bahan mentah, materi pengemas, dan produk akhir disimpan dalam kondisi yang sesuai, mudah digunakan, dan mudah dipindahkan.

4. Assistant Production Manager bertanggung jawab untuk membantu

Production Manager dalam semua proses manufaktur yang berhubungan dengan produksi.

5. Warehouse Supervisor bertugas melakukan supervisi terhadap aktivitas operasional dan administrasi di gudang berdasarkan prosedur.

6. TPM Facilitator bertugas untuk memfasilitasi implementasi metodologi TPM perusahaan dan memaksimumkan produktivitas peralatan dan mesin.

Perusahaan menerapkan Total Productive Maintenance (TPM), yaitu suatu sistem yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, didasarkan atas perbaikan peralatan dan sikap kerja karyawan yang melibatkan top manager hingga packer, untuk mencapai target zero failure, zero defect, dan

zero accident. Selain itu, TPM juga merupakan suatu proses untuk memaksimalkan produktivitas peralatan dan mesin sepanjang umur pakai peralatan dan mesin tersebut. Sasaran TPM adalah memaksimalkan Overall Equipment Effectiveness (OEE) untuk menurunkan downtime yang tidak terencana, sehingga kapasitas peralatan itu meningkat dan biaya menurun.


(22)

8

Gambar 3. Struktur Organisasi Pabrik Divisi SCC & C

E. KETENAGAKERJAAN

PT Unilever Indonesia Tbk. memiliki dua jenis tenaga kerja, yaitu staf dan nonstaf. Staf terdiri dari Technical Manager hingga Assistant Manager, sedangkan non staf dibagi menjadi tiga golongan berdasarkan pada tanggung jawab (job class), yaitu:

1. Golongan A terdiri dari operator, packer, dan gluer. 2. Golongan B teridiri dari operator, sopir, dan mandor.

3. Golongan C terdiri dari supervisor, sekretaris, karyawan administrasi, dan analis.

PT Unilever Indonesia Tbk. juga menggunakan tenaga kerja kontrak yang berasal dari berbagai perusahaan tenaga kerja. Hingga bulan Maret 2010, jumlah karyawan PT Unilever Indonesia Tbk. yaitu 669 orang yang

Supply Chain Director

Technical Manager Foods

Production Manager

Warehouse Supervisor

Raw Material Supervisor

Finished Product Supervisor

Ass. Production Manager

Production Supervisor

Team Leader

Operator Operator Operator

Adm. Production Substore Handle


(23)

9 terdiri atas karyawan kontrak sebanyak 395 orang dan karyawan permanen sebanyak 274 orang.

Tenaga kerja bagian staf dan administrasi (dinas normal) mempunyai jam kerja yang dimulai pukul 07.30 sampai 15.00 untuk hari Senin sampai Jumat dan pukul 07.30 sampai 13.00 untuk hari Sabtu dengan waktu istirahat dari pukul 11.30 sampai 12.30. Tenaga kerja dinas shift (regu) bekerja selama 8 jam kerja dari hari Senin sampai Sabtu dengan waktu istirahat selama 30 menit. Pembagian shift per hari yang diterapkan adalah sebagai berikut:

1. Shift pagi bekerja dari pukul 06.00 sampai 14.00 dengan waktu istirahat dari pukul 09.30 sampai 10.00.

2. Shift siang bekerja dari pukul 14.00 sampai 22.00 dengan waktu istirahat dari pukul 17.30 sampai 18.00.

3. Shift malam bekerja dari pukul 22.00 sampai 06.00 dengan waktu istirahat dari pukul 02.00 sampai 02.30.

Pengisian daftar hadir karyawan menggunakan kartu prick clock yang diisi pada saat masuk dan pulang kerja. Kerja lembur akan dilaksanakan bila ada pekerjaan yang tidak bisa dilaksanakan pada jam kerja normal. Sistem pengupahan karyawan PT Unilever Indonesia Tbk. berdasarkan atas tanggung jawab pekerjaan atau prestasi karyawan tersebut. Dalam pelaksanaannya akan mengacu pada faktor-faktor seperti indeks harga konsumen, tingkat pengupahan, tingkat perkembangan ekonomi, dan kemampuan perusahaan.


(24)

10

III.

TINJAUAN PUSTAKA

A. BUBUK (POWDER)

Bubuk curah (bulk powder) terdiri dari kumpulan individu partikel yang sangat beragam karakteristiknya (ukuran, bentuk, dan konsistensi) yang sangat sulit untuk diukur secara akurat pada setiap partikel yang ada (Schulze, 2008). Bubuk tidak dapat dianggap sama dengan cairan walaupun bubuk memiliki sifat mengalir. Padatan dapat membentuk gundukan sementara cairan tidak mampu (Marinelli, 2005). Menurut Barbosa-Cánovas et al.

(2005), bubuk diperhitungkan sebagai sistem dispersi dua fase terdiri dari fase terdispersi partikel padat yang berbeda-beda ukurannya dan gas sebagai fase kontinu. Susunan partikel-partikel bubuk dalam suatu ruang dapat membentuk formasi yang tidak menentu dan dapat berubah. Beberapa kondisi formasi struktur internal partikel-partikel bubuk dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Keadaan Struktur Internal Bubuk Sebelum dan Setelah Pemampatan Sumber : Peleg (1983)

Posisi dan besarnya rongga (void) antar-partikel yang terbentuk bersifat acak bergantung dari formasi partikel-partikel yang terbentuk saat partikel-partikel bubuk mengalir secara acak masuk ke dalam wadah memenuhi ruang wadah. Kondisi rongga yang terbentuk dipengaruhi oleh gaya antar-partikel (Peleg, 1983). Selain itu faktor lain seperti keseragaman serta distribusi ukuran partikel juga mempengaruhi peluang susunan formasi


(25)

11 partikel-partikel yang terbentuk. Formasi susunan partikel dan rongga dapat berubah susunannya dan berbeda-beda bergantung pada ada atau tidaknya perlakuan yang memampatkan (penggetaran, pengadukan, dan penekanan) dan tentunya pengaruh dari karakteristik fisik partikel itu sendiri.

B. KARAKTERISTIK FISIK BUBUK

Barbosa-Cánovas dan Juliano (2005) menyatakan bahwa karakteristik fisik dari bubuk secara umum saling bergantung antara satu dengan yang lainnya. Perubahan distribusi ukuran partikel atau kadar air dapat menghasilkan perubahan simultan terhadap densitas kamba, flowability, dan penampakan visual. Perubahan apapun dari karakteristik bubuk dapat menghasilkan perubahan yang signifikan terhadap densitas kamba bubuk (Peleg, 1983). Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap densitas kamba dapat dilihat pada Gambar 5. Tingkat kelengketan bubuk sendiri dipengaruhi beberapa fakor yang dijelaskan hubungannya oleh Gambar 6.

Karakterisasi keseluruhan dari material bubuk bergantung pada sifat dari partikel sebagai entitas tunggal, sifat partikel yang dibentuk, dan interaksi antara yang dibentuk tersebut dengan cairan. Karakteristik partikel tunggal berpengaruh penting terhadap sifat produk diantaranya ukuran partikel, bentuk, permukaan, densitas, kekerasan, sifat adsorpsi, dan sebagainya, namun ukuran partikel adalah yang paling utama dan penting. Selain ukuran partikel, distribusi ukuran partikel (particle size distribution) secara langsung berhubungan dengan kelakuan material dan sifat fisik dari produk. Densitas kamba, kompresibilitas (compressibility), dan kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk pangan sangat bergantung pada ukuran partikel dan distribusinya (Barbosa-Cánovas et al., 1987). Perubahan yang sangat kecil pada densitas kamba bubuk dapat menyebabkan perubahan kemudahan mengalir (flowability) yang besar (Levy dan Kalman, 2001). Menurut Peleg (1977), distribusi ukuran juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability). Beberapa penelitian terdahulu tersebut menunjukkan hubungan yang sangat rumit antara parameter karakteristik bubuk yang satu dengan yang lainnya.


(26)

12

Gambar 5. Faktor yang Mempengaruhi Densitas Kamba Bubuk Sumber : Peleg (1983)

Sifat curah (bulk properties) dari bubuk pangan adalah fungsi dari sifat fisik dan kimia dari material, geometri, ukuran, dan karakteristik permukaan dari masing-masing partikel, juga sama halnya dengan sejarah sistem secara keseluruhan. Kelakuan material bergantung pada cara bagaimana kondisi kompaksi partikel-partikel curah. Bubuk yang sedikit lengket (kohesif) dapat mengalir melewati lubang, tetapi jika dipadatkan dengan sedikit ketukan, aliran bisa saja tidak terjadi akibat formasi stabil yang menutupi lubang. Sejarah yang dialami material curah dapat berdampak besar terhadap sifat dan kelakuan material tersebut, sehingga lini manufakturing yang optimal tidak bisa dicapai dengan alat tertentu yang optimal saja, melainkan secara keseluruhan pada waktu yang bersamaan (Levy dan Kalman, 2001).


(27)

13

Gambar 6. Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kohesif Bubuk Sumber : Peleg (1983)

C. KEMUDAHAN MENGALIR BUBUK (FLOWABILITY)

Terminologi kemudahan mengalir bubuk (flowability) jarang digunakan dan umumnya dipahami hanya berhubungan dengan metode untuk mengukurnya saja dibandingkan pengaruhnya terhadap proses. Sebenarnya alasan utama pengukuran flowability bubuk adalah kaitannya dengan kelakuan bubuk tersebut di dalam proses produksi yang tentunya berkaitan dengan interaksinya terhadap peralatan dan proses produksi (Prescott dan Barnum, 2000). Aliran bubuk didefinisikan sebagai pergerakan relatif partikel-partikel curah terhadap partikel-partikel lain di sekitarnya atau sepanjang permukaan dinding wadah (Peleg, 1977). Karakteristik bubuk sangat besar kepentingannya di dalam banyak situasi penanganan dan penyimpanan bahan. Gaya tarik-menarik di antara partikel yang lebih besar jika dibandingkan dengan berat partikel itu sendiri didefinisikan sebagai


(28)

14 kohesif. Bubuk kohesif biasanya menunjukkan masalah aliran. Prakteknya, material kohesif dapat gagal untuk mengalir keluar dari wadah dengan bukaan sekitar ribuan kali lebih besar dari diameter partikel tersebut. Masalah aliran mucul pada bubuk kohesif manapun, tetapi lebih serius pada bubuk pangan karena mereka umumnya mengandung substansi lengket (seperti lemak) atau akibat sifat higroskopis, suhu, dan lama waktu konsolidasi (Barbosa-Cánovas et al., 2005).

Untuk menjamin aliran yang tetap dan dapat diandalkan (reliabel), sangat penting untuk mengkarakterisasi kelakuan aliran bubuk dengan akurat. Gaya-gaya yang terkait di dalam aliran bubuk adalah gravitasi, gesekan, kohesi (tarik-menarik antara partikel), dan adhesi (tarik-menarik partikel dengan dinding peralatan). Lebih lanjut sifat permukaan partikel, bentuk, ukuran, dan distribusi ukuran partikel, dan geometri dari sistem adalah faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) dari bubuk tersebut. Fitzpatrick (2005) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kemudahan mengalir (flowability) bubuk yaitu:

1. Bentuk dan ukuran partikel. Ukuran partikel merupakan pengaruh utama bagi flowability. Semakin kecil ukuran partikel, flowability

semakin buruk akibat peningkatan gaya interaksi antara partikel. Distribusi ukuran partikel biasanya disajikan dalam distribusi fraksi massa atau volume. Jika sebagian besar partikel berada dalam ukuran yang lebih kecil maka flowability menjadi jauh lebih buruk dari yang diharapkan. Bentuk partikel mempengaruhi permukaan kontak partikel namun tidak banyak bukti bahwa bentuk partikel mempengaruhi

flowability.

2. Interaksi permukaan. Interaksi permukaan yang menahan aliran bumbu dapat dibedakan menjadi friksi internal dan kohesi. Friksi internal adalah tahanan friksi sebuah partikel bergerak di bawah tekanan gaya normal. Gaya kohesi adalah saat tidak ada gaya normal namun masih terdapat gaya tarik menarik antara partikel yang dapat mencegah terjadinya aliran. Gaya van der Waals antara partikel biasanya memiliki pengaruh yang paling besar. Kehadiran cairan, biasanya air atau lemak


(29)

15 cair, memberi kontribusi yang besar terhadap kohesi. Cairan pada permukaan partikel akan meningkatkan luas kontak antar-partikel. Pada cairan tertentu, jembatan cairan (liquid bridge) akan terbentuk diantara partikel yang bersentuhan dan membentuk gaya kapiler sebagai hasil dari tegangan permukaan. Gaya interaksi van der Waals antara partikel akan sangat banyak berkurang karena keberadaan cairan, namun gaya kapiler biasanya jauh lebih kuat daripada gaya van der Waals.

3. Kadar air. Sebagian besar bubuk pangan biasanya memiliki kesetimbangan kelembaban relatif (equilibrium relative humidity) di bawah 25% pada suhu 20oC. Kelembaban relatif yang lebih tinggi dari 25% menjadi tenaga pendorong (driving force) penyerapan uap air ke dalam bahan. Walaupun demikian tingkat difusi uap air ke dalam bubuk curah sangat kecil sehingga hanya bubuk pada bagian yang terpapar saja yang akan menyerap uap air dan memerlukan periode waktu yang sangat panjang untuk uap air menyerap ke dalam gundukan bubuk. Peningkatan kadar air bubuk biasanya memiliki pengaruh yang besar terhadap flowability bubuk yang menjadi lebih buruk akibat terbentuk jembatan cairan dan gaya kapiler antara partikel.

4. Penggumpalan (caking). Caking terjadi ketika partikel bubuk menempel menjadi satu dan mengeras permukaannya pada permukaan gundukan bubuk yang terpapar, atau gumpalan keras (lump) di dalam bubuk curah, atau kemungkinan terburuknya adalah pengerasan di seluruh gundukan bubuk. Penyebab caking secara luas disebabkan oleh kohesi yang sangat kuat dan pembentukan jembatan padatan (solid bridge) di antara partikel. Gaya kohesi yang sangat besar dapat terbentuk melalui pemadatan, gaya van der Waals berinteraksi lebih kuat akibat jarak antar-partikel yang dekat sehingga dapat membentuk gumpalan. Partikel yang plastis juga dapat meningkatkan gaya kohesi dengan besar. Pemanasan bubuk pangan sampai suhunya lebih besar dari sticky point temperature juga meningkatkan gaya kohesi. Bubuk higroskopis yang telah menyerap uap air dapat berubah menjadi bongkahan padat.


(30)

16

bridge) dapat terbentuk melalui beberapa mekanisme. Pelelehan dan pembekuan lemak juga dapat menyebabkan jembatan padatan (solid bridge) dimana peningkatan suhu menyebabkan lemak padat meleleh menghasilkan cairan yang dapat terdistribusi dengan sendirinya di antara partikel. Jika kemudian suhu berkurang, lemak cair tersebut akan mengeras dan membentuk jembatan padatan (solid bridge) diantara partikel. Penyerapan uap air oleh bubuk yang larut air dapat menyebabkan komponen pada permukaan terlarutkan dan membentuk larutan di antara partikel. Perubahan kondisi udara yang menimbulkan efek pengeringan membentuk jembatan padatan (solid bridge) antar-partikel sehingga terbentuk gumpalan keras.

5. Kondisi penyimpanan. Kondisi penyimpanan yang dapat memberi pengaruh adalah suhu penyimpanan, paparan terhadap kelembaban relatif udara, lama waktu penyimpanan, dan peleburan. Secara umum, variasi suhu penyimpanan di atas 30 atau 40 oC biasanya bukanlah pengaruh utama terhadap flowability bubuk jika tidak terjadi pelelehan komponen atau tidak ada komponen yang melewati suhu transisi gelas (glass transition temperature) atau sticky point temperature. Pada bubuk pangan yang mengandung lemak padat, peningkatan suhu dapat menyebabkan pelelehan lemak menimbulkan jembatan cairan (liquid bridge) lengket sehingga terjadi peningkatan kohesi.

D. PENCAMPURAN KERING (DRY MIXING)

Di dalam bidang pertanian dan pengolahan pangan, operasi mixing

sering digunakan untuk mencampur berbagai bahan. Unit operasi pencampuran (mixing) di mana dua atau lebih material saling terdispersi dalam ruang adalah unit operasi tertua dan paling sedikit dimengerti sampai saat ini di dalam bidang process engineering (Barbosa-Cánovas et al., 2005).

Mixing juga dapat diartikan sebagai homogenisasi untuk mencapai distribusi seragam dari berbagai komponen secara keseluruhan material yang diberi perlakuan (Gyenis, 2001). Secara khusus mixing digunakan di dalam industri pangan dengan tujuan utama untuk mengurangi ketidakseragaman dan gradien dalam hal karakteristik antar-bagian dari sistem seperti konsentrasi,


(31)

17 tekstur, warna, atau rasa. Pencapaian tingkat keseragaman yang dibutuhkan dapat beragam, namun sebagian besar penting untuk mencapai campuran yang seimbang dalam hal nutrisi dan sensori yang dapat diterima. Pergerakan setiap bahan secara menyeluruh dibutuhkan agar terjadi proses pencampuran sekaligus tercapai tingkat kehomogenan atau keseragaman distribusi yang diharapkan. Menurut Manjunath et al. (2004), beberapa tujuan mixing yang umum dilakukan industri adalah:

1. Pencampuran produk untuk homogenisasi mutu atau mengurangi variasi

2. Pencampuran bahan aktif dengan material carrier

3. Pencampuran campuran multikomponen sebagai suatu formulasi 4. Pelapisan (coating) partikel carrier dengan komponen kohesif

5. Pencampuran beberapa bubuk berukuran kecil untuk menciptakan campuran homogen pada tingkat partikulat (premix)

6. Pelapisan (coating) cairan aditif pada bahan baku utama

Pencampuran bubuk dan partikulat lebih sulit didefinisikan dan dievaluasi dibandingkan pencampuran fluida. Pangan dalam bentuk bubuk adalah sistem yang rumit dan sifatnya berbeda-beda selama proses mixing. Pencampuran bubuk terutama dipengaruhi oleh waktu mixing, desain mixer

(ukuran, bentuk, geometri pedal, dan kecepatan putaran), dan jenis bubuk yang dicampurkan. Karakteristik bahan seperti tingkat kohesi memiliki pengaruh sehingga proses mixing bubuk pangan adalah sebuah proses yang rumit. Pencampuran bubuk (powder mixing) adalah proses pencampuran dua atau lebih material bubuk untuk menghasilkan suatu campuran bubuk yang homogen, jika diperlukan sejumlah cairan dapat ditambahkan (Miyanami, 2006). Aglomerasi partikel dapat terjadi dengan keberadaan cairan (Stanley-Wood, 2008)

Selama proses mixing terjadi tiga macam mekanisme pergerakan partikel secara simultan yang menyebabkan terjadinya pencampuran yaitu

convective mixing, diffusion mixing, dan shear mixing. Convective mixing

adalah pergerakan massa sekelompok partikel dari satu lokasi ke lokasi yang lain, sementara diffusion mixing partikel secara individu bergerak acak dalam


(32)

18 campuran. Pada shear mixing, sekelompok partikel tercampur akibat perubahan momentum partikel-partikel bubuk yang memiliki perbedaan kecepatan.

Pencapaian tingkat ketercampuran (degree of mixedness) merupakan fungsi waktu dari operasi proses mixing. Menurut Barbosa-Cánovas et al.

(2005), convective mixing dominan terjadi pada awal proses mixing. Kemudian convective dan shear mixing pada tahap pertengahan terjadi cukup stabil. Pada tahap terakhir mekanisme diffusion mixing mulai terjadi dan tercapai kesetimbangan antara proses pencampuran dan pemisahan (segregasi). Tingkat ketercampuran (M) pada tahap akhir tersebut adalah nilai tertinggi yang dapat diperoleh. Kondisi operasi dan karakteristik bubuk mempengaruh nilai (M) secara signifikan. Walaupun demikian mekanisme pencampuran sebenarnya jauh lebih kompleks dari yang telah dijelaskan.

Menurut Manjunath et al. (2004), pencampuran fase solid-solid adalah unit operasi yang selalu terdapat di dalam proses-proses partikulat dimana konsistensi dan homogenitas dari produk adalah kebutuhan utama. Kualitas dari proses pencampuran sering menjadi kunci dari mutu produk. Mixing juga dapat dilakukan bersama dengan kombinasi unit operasi lainnya seperti aglomerasi, reduksi ukuran, pelapisan partikel, dan reaksi kimiawi. Seringkali pemilihan unit operasi yang tepat dapat mengurangi biaya dari proses dengan penggabungan dua unit operasi. Pemilihan mixer yang tepat dimulai dengan pemahaman kebutuhan proses (seperti kapasitas, tingkat ketercampuran yang diharapkan, kebutuhan integritas batch) dan karakteristik material (seperti distribusi ukuran partikel, kelengketan, ukuran partikel, abrasiveness)

E. MESIN PENCAMPUR (MIXER)

Manjunath et al. (2004) mengklasifikasikan sebagian besar mixer

industri secara umum dalam kategori sebagai berikut: 1. Tumbling mixers (V-cone, Double cone, dll.) 2. Agitated mixers

a. Paddle mixers dan plow mixers

b. Ribbon mixers (vertikal dan horizontal)


(33)

19 d. Sigma-blade dan Z-blade mixer

e. Forberg mixer

3. Gravitysiloblenders

4. Pneumaticblenders

5. Highintensity mixers

a. Henschel mixer

b. Paddle mixer

6. High-intimacy atau high-shear mixer

a. Muller mixer

b. Compaction rollers

Jenis agitating mixer umumnya terdiri dari tabung yang tidak bergerak (horizontal atau vertikal) dengan shaft tunggal atau ganda yang terdapat perangkat pengaduk (paddles, plows, atau ribbon). Selama pencampuran partikel terhempas secara acak dan mengalami shearing atau terfluidisasi secara mekanis, bergantung pada kecepatan putaran paddles atau plows dan karakteristik bubuk yang ditangani. Di dalam agitating mixer, mixing

sebagian besar disebabkan oleh pergerakan partikel secara acak dari satu titik ke titik yang lain. Terdapat kombinasi shear mixing dan convective mixing

yang terjadi di dalam mixer. Mixer jenis ini dapat menangani bahan dengan kisaran karakteristik yang luas mulai dari free-flowing, kohesif, atau bahkan pasta. Bergantung dari kebutuhan, saat mixing berlangsung dapat dilakukan injeksi cairan untuk proses aglomerasi lebih lanjut atau aplikasi kerja

choppers atau delumpers untuk memecahkan aglomerat yang terbentuk.

Gambar 7. Agitator Plow Mixer dan Arah Aliran Bahan


(34)

20

Plows membantu untuk mengangkat padatan menciptakan chaotic motion sehingga terjadi pencampuran. Pada kecepatan relatif rendah yang disebut cascading, bubuk tercampur seperti mekanisme yang terjadi di dalam

tumbling mixers. Pada kecepatan menengah yang disebut cataracting, bubuk terangkat oleh plows dan jatuh dengan cara sliding, rolling, atau cascading. Pada kecepatan yang lebih tinggi yang disebut equilibrium regime, bubuk sebagian besar terangkat oleh plows dan akhirnya terhempaskan. Oleh karena itu, waktu yang sesuai untuk pengoperasian plow mixers bergantung pada karakteristik fisik produk dan kecepatan rotasi dari mixer.

Gambar 8.Forberg Mixer

Sumber : Manjunath et al. (2004)

Waktu mixing bergantung pada tingkat kohesi bubuk yang ditangani. Semakin tinggi kohesi, durasi waktu mixing yang dibutuhkan semakin meningkat. Walaupun demikian, peluang terjadinya segregasi setelah bahan dikeluarkan dari mixer menjadi berkurang akibat gaya kohesi bahan. Menurut Manjunath et al. (2004), paddle mixers lebih efisien dibandingkan

plow mixer dalam hal kualitas pencampuran dan durasi waktu mixing. Jenis

Forberg mixer pada prinsipnya adalah paddle mixer dengan shaft ganda.

Forberg mixer mampu mencapai derajat ketercampuran yang dapat diterima (coefficient of variation di bawah 10%) hanya dalam ± 20% waktu yang dibutuhkan oleh jenis plow mixer untuk mencapainya


(35)

21

F. KLASIFIKASI CAMPURAN

Muzzio et al. (2004) berpendapat bahwa di dalam seluruh kurikulum bidang engineering, proses yang bergantung pada pencampuran (seperti reaksi kimia, kristalisasi, dan pengisian) mengasumsikan bahwa campuran tersebut homogen. Khususnya untuk partikel yang ukurannya relatif kecil cenderung untuk terlihat lebih seragam jika dilihat dengan mata telanjang dibandingkan kondisi sebenarnya. Hal ini juga umumnya sering terjadi di dalam perilaku terhadap menandang tingkat kehomogenan campuran bubuk. Sayangnya di dalam kenyataan, campuran cenderung menunjukkan paling tidak sedikit tingkat keheterogenan membentuk tipe campuran yang berbeda yang dipengaruhi oleh salah satu dari tiga penyebab utama yaitu incomplete mixing, agglomeration, dan segregation.

(a) (b) (c) (d)

Gambar 9. Skema Distribusi Campuran Partikel. (a) perfect mixture

(b) random mixture (c) perfect ordered mixture (d) random ordered mixture

Sumber : Muzzio et al. (2004)

Konsep sistem homogen yang paling utama dan paling sederhana adalah campuran yang secara sempurna seragam pada seluruh bagian formasi (Gambar 9a). Formasi sempurna tersebut tidak akan pernah benar-benar terjadi di dalam kenyataan melainkan pada umumya kondisi terbaik terjadi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9b dengan acuan kesesuaian proporsi komponen-komponen di dalam campuran dengan proporsi masing-masing komponen bahan penyusun campuran tersebut. Untuk sistem kohesif yaitu terdapat gaya permukaan di antara partikel, umumnya teramati pembentukan aglomerat (partikel gabungan yang dianggap sebagai suatu sepesies partikel baru) yang terdiri dari beberapa partikel yang sejenis atau berbeda jenis bergantung pada gaya interaksi antar-partikel. Pada kondisi demikian, secara konsep disebut sebagai ordered mixture. Sama seperti konsep awal mengenai


(36)

22 kehomogenan, distribusi partikel gabungan dapat membentuk susunan ideal secara sempurna seragam seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9c atau secara acak dengan sedikit kurang homogen seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 9d. Menurut Manjunath et al. (2004), ketika dua atau lebih komponen interaktif dicampur, sebuah struktur atau susunan dapat terbentuk sebagai hasil dari aglomerasi atau kohesi dari komponen yang satu dengan komponen yang lain. Ordered mixture yang sempurna dapat diperoleh dengan cara:

1. Aplikasi energi yang cukup untuk memecahkan gumpalan dan mendistribusikannya pada permukaan kosong partikel carrier.

2. Memastikan tercapainya pergerakan acak partikel carrier.

Bentuk campuran interactive dan noninteractive dapat menjadi dasar dari variasi tipe campuran yang lain. Jelas terdapat beberapa kombinasi yang memungkinkan, bergantung pada jumlah komponen dan bentuk interaksi mereka seperti yang ditunjukkan pada Gambar 10. Dapat dikatakan bahwa densitas dan sifat mekanis dari berbagai campuran akan bergantung pada ukuran dan sifat permukaan dari partikel agregat yang harus diperlakukan seolah mereka adalah spesies partikel yang baru (Peleg, 2005).

Gambar 10. Skema Beberapa Tipe Campuran Partikel Sumber : Peleg (2005)


(37)

23 Menurut Peleg (2005), campuran dapat dibagi menjadi dua tipe utama dengan titik berat perbedaan struktur yaitu:

1. Noninteractive atau random mixtures. Umumnya bubuk atau material granular dengan ukuran partikel yang kurang lebih seragam. Partikel-partikel dapat bergerak dengan bebas dengan sedikit interupsi karena tidak ada gaya interaksi antar-partikel yang cukup signifikan. Akibatnya setiap partikel memiliki peluang yang sama untuk ditemukan di manapun di dalam curah. Selain itu, partikel dari setiap spesies yang ada lebih cenderung terdistribusi secara merata dan acak di sekitar partikel lainnya di dalam campuran. Jika perbedaan diantara komponen-komponen tersebut kecil atau tidak ada, campuran tersebut pada dasarnya stabil dan tidak akan terjadi segregasi.

2. Interactive atau ordered mixtures. Campuran tersebut biasanya terbentuk ketika terdapat “carrier” (partikel yang relatif lebih besar ukurannya) dengan permukaan yang dapat berinteraksi dengan partikel yang lebih kecil ukurannya dan cenderung untuk menempel pada

carrier. Campuran semacam ini terbentuk seperti saat penambahan anti kempal ke dalam bubuk utama atau ketika pewarna pangan ditambahkan ke dalam campuran gula atau asam untuk membentuk bubuk kering minuman rasa buah. Dapat juga terjadi secara spontan seperti di dalam kasus penambahan partikel yang berukuran lebih kecil pada permukaan yang baru terbentuk selama atau sesaat setelah proses penggilingan. Prinsip dasarnya partikel yang lebih kecil ukurannya melekat pada permukaan carrier yang ukurannya lebih besar dan tidak bebas untuk bergerak. Partikel tersebut tetap terikat pada carrier dan tidak dapat bergerak acak secara individu di dalam curah.

G. KRISTALISASI LEMAK

Marangoni (2005) menyatakan bahwa lemak biasanya harus didinginkan di bawah titik lelehnya paling sedikit 5 sampai 10oC sebelum mulai terjadi kristalisasi. Jika baru mencapai beberapa derajat sedikit di bawah titik lelehnya, lelehan masih berada pada kondisi metastabil belum membentuk inti kristal. Semakin turun suhu di bawah titik lelehnya,


(38)

24 terbentuklah inti kristal stabil pada ukuran kritis yang spesifik. Molekul-molekul lemak harus membentuk konformasi yang spesifik untuk membentuk inti kristal yang stabil. Pengaruh kotoran (impurities) pada proses kristalisasi dapat meningkatkan pembentukan inti kristal atau menghambat karena terjadi gangguan pembentukan formasi yang stabil. Struktur kristal lemak memiliki pengaruh yang sangat besar pada sifat fisik lemak.

Gambar 11. Perubahan Polymorphic Kristalisasi dan Rekristalisasi Lemak

Sumber: Wesdorp et al. (2005)

Kemampuan molekul-molekul lemak (trigliserida) untuk mengkristal dalam berbagai bentuk susunan kristal yang dipengaruhi oleh kondisi proses (laju pendinginan, suhu terjadinya kristalisai, laju pengadukan, dan komposisi lemak itu sendiri) disebut dengan polymorphism (Metin dan Hartel, 2005). Humphrey dan Narine (2005) juga menyatakan bahwa lemak fase padat dapat terbentuk dalam beberapa bentuk polymorph yang berbeda dan setiap jenis

polymorph dapat membentuk beberapa keadaan mikrostruktur yang berbeda. Adatiga bentuk polymorphic utama yang telah teridentifikasi di dalam lemak dan minyak yaitu bentuk α, β’, dan β. Bentuk α adalah metastabil dan terus bertransformasi menjadi bentuk yang lebih stabil. Bentuk kristalin β lebih stabil daripada β’. Transformasi bentuk polymorphic dapat terjadi baik melalui atau tanpa melalui proses pelelehan (Marangoni, 2005). Transformasi tanpa melalui pelelehan hanya searah menuju formasi yang lebih stabil dan bersifat eksotermal (Rye et al., 2005).

Pada proses pemanasan (pencairan), lemak fase padat berbentuk kristal α memiliki titik leleh yang lebih rendah daripada bentuk β’. Bentuk β’ memiliki titik leleh yang lebih rendah dari bentuk β. Demikian juga dengan tingkat kepadatan dan kestabilan, bentuk kristal α paling kecil dan paling paling besar bentuk kristal β. Walaupun demikian dalam proses kristalisasi


(39)

25 lemak (pembekuan dengan penurunan suhu), bentuk α lebih cepat terbentuk dibandingkan bentuk kristal β’dan β.

Menurut Wesdorp et al. (2005), pada setiap triacylglycerol (TAG) hanya terdapat tiga bentuk polymorphicyang berbeda yaitu bentuk α, β’, dan β yang dapat dibentuk secara langsung dari lelehan dengan mengatur besarnya perbedaan suhu di bawah titik leleh. Menurut Sato dan Ueno (2001), sifat polymorphic lemak itu sendiri juga mempengaruhi laju kristalisasi selain kondisi perbedaan suhu di bawah titik leleh. Bentuk β’ adalah bentuk yang stabil untuk TAG berantai genap dan beberapa pada TAG berantai ganjil. Pada beberapa TAG lainnya berubah menjadi bentuk β dalam beberapa menit atau sampai beberapa jam. Dalam TAG campuran, perubahan ini sering tertunda sampai beberapa bulan atau tahun. Dengan demikian bentuk β’ adalah bentuk yang paling sering dijumpai dalam produk lemak umumnya. Bentuk β yang stabil lebih mudah terbentuk pada produk lemak yang memiliki komposisi TAG yang seragam.

Gambar 12. Hubungan yang Mempengaruhi Karakteristik Makro Kristal Lemak

Sumber: Rye et al. (2005)

Pengendalian kristalisasi dapat dilakukan dengan memahami karakter dari lemak yang bersangkutan dan faktor-faktor yang mempengaruhi proses kristalisasi. Hubungan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap karakteristik


(40)

26 makro lemak padat dapat dilihat pada Gambar 12. Sifat fisik dari fase padat komponen berantai panjang dipengaruhi oleh struktur kristal, oleh karena itu teknologi untuk membuat fase padat yang sesuai dengan yang diharapkan memiliki peranan yang penting di dalam industri (Kaneko, 2001). Parameter yang mempengaruhi kristalisasi lemak diantaranya adalah komposisi kimia, perbedaan suhu di bawah titik leleh, laju penurunan suhu, pengadukan, kemurnian, dan skala operasi (Metin dan Hartel, 2005).

H. DESAIN PERALATAN

Desain peralatan seperti silo, hopper dan bin biasanya bukanlah tujuan utama dalam melakukan desain pabrik karena mereka tidak banyak berkontribusi dalam proses yang bernilai tambah (Schulze, 2008). Walaupun demikian desain yang tidak sesuai dapat menyebabkan masalah aliran bahan yang berdampak terhadap kualitas produk dan gangguan proses produksi. Indikasi umum terjadinya masalah aliran bahan adalah teramatinya bekas pemukulan pada dinding hopper seperti yang terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Bekas Pemukulan Mengindikasikan Masalah Aliran Bahan Sumber: Schulze (2008)

Desain hopper dan feeder yang kurang baik menyebabkan pengeluaran bubuk yang tidak seragam seperti yang terjadi pada pola aliran

funnel flow. Masalah-masalah aliran dapat terjadi akibat faktor peralatan (seperti desain hopper dan feeder) dan juga faktor karakteristik (seperti friksi


(41)

27 terhadap peralatan dan kelengketan) dari material (Schulze, 2008). Pertama-tama perlu diketahui karakteristik material untuk melakukan kegiatan desain silo, hopper, dan bin. Industri yang menangani material bubuk curah secara rutin mengalami downtime yang tidak terjadwal, sebagian besar disebabkan oleh kegagalan proses akibat kondisi mampet (hang-up) dan terhentinya aliran (stagnant flow) karena oleh sifat aliran kohesif dan desain peralatan yang tidak sesuai (Johanson, 2005).

Menurut Barbosa-Cánovas et al. (2005), berdasarkan sudut pandang pola aliran terdapat tiga macam bentuk dasar yang dapat terjadi di dalam

hopper yang simetris ukurannya yaitu mass flow, funnel flow, dan expanded flow. Masing-masing pola aliran dapat dilihat pada Gambar 14. Pola aliran yang terbentuk dalam hopper dipengaruhi oleh faktor desain hopper dan

feeder yang menjadi sebuah kesatuan.

Gambar 14. Skema Pola Aliran di Dalam Hopper


(42)

28 Pada pola aliran mass flow, hopper cukup curam dan halus untuk menyebabkan terjadi aliran dari semua partikel tanpa daerah stagnan atau stabil selama pengeluaran bahan. Semua partikel pada semua titik bergerak di dalam hopper saat terjadi pengeluaran material dari outlet. Pola mass flow

dapat menjamin terjadinya pengeluaran seluruh isi bin dengan laju aliran yang seragam, pola urutan “first-in, first-out” (FIFO), dan meminimalkan terjadinya segregasi. Pola mass flow secara umum dianjurkan untuk bahan yang kohesif, berubah seiring waktu, bubuk berukuran partikel kecil, dan bubuk yang tidak boleh mengalami segregasi.

Pola aliran funnel flow terjadi ketika hopper tidak cukup curam atau halus untuk menyebabkan bumbu mengalir di sepanjang dinding hopper. Pola ini juga terjadi jika outlet tidak cukup efektif mengeluarkan bahan dari dalam

hopper. Pada funnel flow bahan mengalir hanya pada daerah tertentu dan sebagian daerah lainnya tidak bergerak. Pola aliran ini cocok untuk material dengan ukuran partikel yang besar dan bersifat mudah mengalir. Pola urutan pengeluaran material yaitu “first-in last-out” tidak cocok untuk material yang

berukuran partikel kecil dan mengalami perubahan seiring waktu. Peluang masalah aliran seperti mampet dan terjadi segregasi terhadap material yang dikeluarkan lebih besar pada pola aliran funnel flow dibandingkan mass flow.

Pola aliran expanded flow terjadi akibat penggabungan bagian hopper mass flow dan funnel flow. Pada bagian atas hopper terjadi pola funnel flow

sementara pada bagian bawah terjadi pola mass flow. Pola aliran ini dianjurkan untuk penyimpanan material yang tidak berdegradasi dalam jumlah yang besar (beberapa ton). Pola aliran seperti ini dilakukan untuk mempertimbangkan ketinggian hopper sehingga kekuatan dinding hopper

cukup kuat menahan beban yang besar.

Berdasarkan bentuknya, sebagian besar hopper dapat digolongkan dalam bentuk conical atau planar. Hopper bentuk pyramidal dimasukkan ke dalam golongan conical berdasarkan sudut pandang alirannya (Marinelli, 2005). Bentuk planar lebih mampu mengakomodasi material pada rentang karakteristik flowability yang lebih lebar dibandingkan bentuk conical. Acuan pertimbangan desain hopper antara bentuk conical dan wedge dapat dilihat


(43)

29 pada Gambar 15. Semakin kohesif material dan semakin besar gaya gesek yang terjadi antara material dan dinding hopper maka nilai φw semakin besar. Nilai φw hanya dapat ditentukan melalui shear test dan tidak ada cara lain yang dapat menyajikan informasi tersebut (Carson, 2008). Beberapa macam bentuk hopper dapat dilihat pada Gambar 16. Bentuk pyramidal (e) sering ditemukan di industri tidak direkomendasikan karena material harus melewati himpitan dinding hopper sehingga gesekan terjadi pada kedua sisi (Schwedes, 2001).

Gambar 15. Grafik Acuan Desain Bentuk Hopper

Sumber: Carson(2008)

Gambar 16. Beberapa Desain Bentuk Hopper. (a) conical (b) wedge

(c) transition (d) chisel (e) pyramidal (f) transition


(44)

30 Desain juga feeder perlu menunjang terjadinya pola aliran pola aliran

mass flow walaupun hopper telah didesain dengan baik. Jika feeder tidak mendukung maka pola aliran akan tetap dalam pola funnel flow. Menurut Schulze (2008), terdapat dua aturan utama mengenai feeder agar hopper dapat menghasilkan mass flow yaitu:

1. Segala macam lempengan yang kurang curam sehingga dapat menyebabkan timbul daerah stagnan harus dihindari.

2. Feeder harus mampu mengeluarkan material dari seluruh bagian bukaan


(45)

31

IV.

METODOLOGI

A. LANGKAH KERJA 1. Observasi

Pengamatan langsung di area produksi dan wawancara kepada karyawan dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara menyeluruh proses produksi dan metode kerja dalam kegiatan produksi bumbu pelezat serbaguna. Pengamatan intensif dilakukan pada mesin pengemas, kegiatan produksi bumbu secara menyeluruh, karakteristik bumbu sebelum masuk ke dalam mesin pengemas, bahan baku, dan metode kerja. Pengamatan dan penelusuran masalah dilakukan terhadap varian Ayam saja dengan pertimbangan kestabilan dan besarnya volume produksi varian tersebut dibandingkan varian yang lain.

2. Identifikasi Faktor Penyebab Masalah

Identifikasi faktor penyebab masalah ditentukan berdasarkan fakta yang ditemukan di lapangan. Pengkondisian khusus pada proses produksi tidak memungkinkan dilakukan. Hal ini disebabkan oleh kegiatan produksi yang cukup tinggi dan kompleksitas proses produksi yang tidak dapat dikendalikan. Standar perusahaan, literatur, dan hubungan sebab akibat menjadi acuan untuk mengidentifikasi penyebab masalah. Uji laboratorium tidak dapat dilakukan karena keterbatasan alat dan tidak mampu menggambarkan kondisi sebenarnya yang terjadi pada proses produksi.

3. Analisis Langkah Perbaikan

Penentuan pilihan langkah perbaikan dilandasi analisis faktor penyebab masalah yang telah teridentifikasi dan pertimbangan hasil perbaikan yang dapat diperoleh dari tindakan perbaikan yang dilakukan. Langkah perbaikan lebih terarah untuk menyelesaikan akar permasalahan yang menyebabkan masalah inkonsistensi proses penakaran pada mesin pengemas.


(46)

32

B. METODE ANALISIS 1. Alat dan Bahan

Bahan yang digunakan untuk melakukan penelitian praktik kerja magang ini berupa bahan baku dan bumbu di dalam proses produksi perusahaan. Peralatan yang digunakan adalah seluruh peralatan produksi yang digunakan dalam kegiatan produksi. Alat khusus yang digunakan untuk pengukuran dan analisis yang diperlukan adalah stopwatch, digital thermometer, infrared thermometer, neraca analitik, gelas ukur plastik 250ml, penggaris 100cm, dan busur derajat.

2. Analisis Kapabilitas Proses

Kinerja penakaran pada mesin pengemas ditentukan dengan mengukur indeks kapabilitas proses dengan bantuan program pengolahan statistik Minitab15. Output dari masing-masing corong mesin pengemas ditimbang setiap 15 menit. Data hasil penimbangan kemudian diolah sehingga dapat menunjukkan nilai Cp dan Cpk sebagai acuan kinerja penakaran mesin pengemas. Data hasil penimbangan juga dapat diolah lebih lanjut dengan bantuan program Excel untuk melihat kecenderungan (tren) output penakaran.

Nilai Cp menunjukkan apakah proses tersebut mampu mencapai spesifikasi yang diharapkan dengan memperhitungkan perbandingan rentang kisaran spesifikasi dengan rentang kisaran proses. Nilai Cp tidak cukup untuk memberi gambaran yang tepat terhadap proses karena tidak dapat menggambarkan seberapa jauh proses tersebut menyimpang dari titik nilai target proses yang ditentukan. Oleh sebab itu pertimbangan nilai Cpk dapat membantu menggambarkan posisi kondisi proses dari nilai target spesifikasi yang diharapkan. Secara umum semakin besar nilai Cp berarti rentang sebaran output dari proses relatif semakin sempit. Nilai Cp sebesar 1,00 menandakan rentang sebaran output sama besarnya dengan rentang sebaran spesifikasi. Jika nilai Cpk sama dengan nilai Cp maka proses berjalan pada nilai target spesifikasi yang ditentukan. Sebaliknya nilai Cpk yang semakin kecil (menjauhi nilai Cp) berarti semakin jauh dari nilai target spesifikasi proses tersebut berjalan. Intepretasi kapabilitas


(47)

33 proses terhadap tingkat kepercayaan output menurut Oakland (2003) adalah sebagai berikut:

 Cpk < 1 : proses tidak kapabel dan akan terjadi ketidaksesuaian

output

 Cpk = 1 : proses tidak terlalu kapabel dan ketidaksesuaian output

akibat perubahan kecil di dalam proses tidak akan terdeteksi

 Cpk = 1,33 : masih jauh dari situasi yang dapat diterima karena terjadi ketidaksesuaian output yang belum dapat terdeteksi oleh bagan kendali proses

 Cpk = 1,5 : belum memuaskan karena ketidaksesuaian terjadi output terjadi dan peluang untuk pendeteksian masih belum cukup baik

 Cpk = 1,67 : menjanjikan, ketidaksesuaian output akan terjadi namun cukup besar peluang untuk terdeteksi

 Cpk = 2 : tingkat kepercayaan tinggi, ditunjang dengan bagan kendali yang menunjukkan keadaan normal.

3. Analisis Kemudahan Mengalir Bubuk

Karakteristik fisik bumbu yang diukur adalah densitas dan kemudahan mengalir (flowability). Densitas yang diukur adalah loose density dan tapped density. Loose density menunjukkan densitas bumbu yang tidak termampatkan sedangkan tapped density menunjukkan densitas bumbu yang termampatkan. Sejumlah sampel bumbu dihamburkan memasuki gelas ukur plastik dari ketinggian 20cm melalui ayakan 8 mesh

hingga mencapai volume 250ml. Selanjutnya dilakukan 25 kali pengetukan vertikal secara konsisten dengan menjatuhkan gelas ukur berisi bahan dari ketinggian 15cm. Ketinggian bumbu yang telah termampatkan tersebut dicatat sebagai volume bumbu yang termampatkan (tapped). Penimbangan dilakukan untuk memperoleh massa bumbu. Hasil pengukuran tersebut dapat digunakan untuk menghitung loose density dan


(48)

34

Gambar 17. Skema Pegukuran Loose Density dan Tapped Density

Metode Hausnerdan Carr adalah tes empiris yang dapat digunakan untuk pengendalian mutu, perubahan dalam pengukuran mengindikasikan perubahan di dalam perilaku aliran pada material (Fitzpatrick, 2005).

Flowability bumbu ditentukan dengan acuan indeks Carr dan Hausner

ratio yang diperoleh dari perhitungan rumus menggunakan data loose density dan tapped density. Hasil perhitungan dibandingkan dengan nilai pada Tabel 1 untuk menentukan tingkat kategori kemudahan mengalir dari bubuk. Rumus perhitungan indeks Carr dan Hausner ratio menurut Sheehan (2008) dan Schulze (2008) adalah sebagai berikut:

Carr index =

(

ρ

tapped

-

ρ

loose

)

ρ

loose

.

100%

Hausner ratio =

ρ

ρ

tapped

loose

Keterangan:

ρloose : densitas bubuk tanpa pemampatan (massa/volume loose)


(49)

35

Tabel 1. Kategori Kemudahan Mengalir Bubuk Carr Index (%) Kategori Hausner Ratio

10 Excellent 1,00–1,11 11–15 Good 1,12–1,18 16–20 Fair 1,19–1,25 21–25 Passable 1,26–1,34 26–31 Poor 1,35–1,45 32–37 Very poor 1,46–1,59

>38 Very, very poor >1,60 Sumber: Sheehan (2008)


(50)

36

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PRODUKSI BUMBU PELEZAT SERBAGUNA

Pada bagian ini akan membahas gambaran umum kegiatan produksi bumbu pelezat serbaguna yang mencakup bahan baku, mesin produksi, dan aliran proses produksi. Area produksi terdiri dari 3 lantai. Seluruh kegiatan persiapan bahan baku dan kendali proses mixing terdapat pada lantai 3. Pada lantai 2 terdapat mixer dan hopper feeder yang masing-masing terhubung dengan mesin pengemas pada lantai 1. Kegiatan unloading bumbu dari mixer

dan proses aging dilakukan pada lantai 2. Lantai 1 merupakan area penakaran dan pengemasan dimana terdapat mesin-mesin pengemas dan kegiatan pengemasan untaian produk ke dalam kemasan sekunder. Produksi bumbu menggunakan sistem batch yang jumlah produksinya disesuaikan dengan target produksi selama satu minggu yang telah direncanakan sebelumnya oleh Supervisor produksi. Varian rasa Ebi, Ayam, dan Sapi memiliki komposisi bahan baku yang berbeda baik paket racikan maupun komposisi bahan baku utama. Diagram alir proses produksi bumbu pelezat serbaguna secara garis besar dapat dilihat pada Lampiran 27.

1. Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam proses produksi bumbu pelezat serbaguna sebagian besar adalah garam, gula rafinasi, dan Mono Sodium Glutamat (MSG). Sebagian kecil bahan baku berupa Bahan Tambahan Pangan (BTP), flavor, bahan pengisi, anti kempal, dan lemak nabati. Seluruh bahan baku yang digunakan untuk produksi harus sudah memiliki status release dari tim Quality Control yang telah memeriksa mutu bahan baku tersebut saat penerimaan dari pemasok.

Bahan baku dapat digolongkan menjadi dua golongan. Golongan pertama adalah bahan baku utama yaitu garam, gula, dan MSG. Tanpa melalui proses penimbangan, sejumlah kemasan bahan baku utama yang dibutuhkan langsung dibuka dengan penyobekan menggunakan pisau

stainless steel kemudian dimasukkan ke dalam bin penampungan. Golongan kedua adalah golongan racikan. Jumlah dan komposisi bahan


(1)

121

Lanjutan

Lampiran 26.

7/5/10 6:11 93.7 96.7 96.4 96.7 98.2 96.7 7/5/10 7:46 97.3 92.8 97.2 96.6 97.1 98.0 7/5/10 8:14 96.7 94.7 97.7 97.3 96.6 96.9 7/5/10 9:36 99.8 97.1 95.2 97.9 95.6 96.7 7/5/10 16:01 94.9 95.2 94.4 96.5 95.0 96.8 7/5/10 21:06 94.7 96.1 95.6 96.5 96.0 98.1 7/5/10 22:15 95.0 95.9 95.2 96.8 95.7 97.8 7/5/10 22:40 95.1 95.9 95.2 96.5 95.6 97.8 7/5/10 23:31 94.4 95.2 94.6 95.4 95.4 97.1 8/5/10 0:02 94.4 95.4 95.0 95.9 95.7 97.2 8/5/10 0:36 94.9 95.3 95.5 96.5 97.3 99.4 8/5/10 2:58 95.1 96.6 96.1 96.9 95.9 97.9 8/5/10 3:39 95.6 96.7 96.4 96.8 96.5 98.6 8/5/10 6:23 95.1 95.9 95.8 97.2 96.9 98.6 8/5/10 6:43 90.8 93.5 93.5 94.1 95.5 96.7 8/5/10 7:41 95.7 96.4 95.9 97.8 96.0 98.3 8/5/10 8:25 96.3 97.5 96.1 97.4 96.0 98.6 8/5/10 8:31 96.4 97.0 96.1 97.7 96.1 98.7 8/5/10 9:33 95.8 97.4 95.9 96.9 96.6 98.4 8/5/10 9:56 96.5 97.7 96.0 96.9 97.1 99.3 8/5/10 11:28 96.4 97.1 95.9 96.9 96.3 98.5 8/5/10 12:21 95.8 96.0 95.4 96.2 95.7 97.7 8/5/10 14:23 95.7 95.5 94.7 95.3 94.2 96.6 8/5/10 16:48 95.6 95.0 94.3 95.0 94.3 96.6 8/5/10 23:10 95.6 95.2 94.4 95.1 93.8 96.8 9/5/10 0:27 94.9 94.3 93.6 94.2 93.8 97.0 9/5/10 6:07 95.4 95.4 94.2 96.0 93.8 96.4 9/5/10 6:34 95.0 95.3 94.6 95.2 94.8 96.9 9/5/10 7:38 95.1 95.2 94.2 94.5 94.8 96.8 9/5/10 8:35 94.6 95.5 95.1 95.0 95.2 97.0 9/5/10 9:25 96.0 96.7 95.2 97.4 95.6 97.5 9/5/10 10:59 95.2 96.2 94.7 96.5 95.7 97.5 9/5/10 11:34 94.7 96.5 95.1 96.5 95.7 97.5 9/5/10 12:25 94.8 96.0 94.8 95.7 95.8 97.6 9/5/10 14:10 94.0 95.5 93.9 95.6 94.9 96.5 9/5/10 22:37 96.1 97.2 95.2 98.3 96.3 97.8


(2)

122


(3)

123

Lampiran 28.

Karakterisasi Aliran Bumbu Metode Hausner dan Carr

Ulangan

Aging

(Menit)

Volume

Loose

(ml)

Volume

tapped

(ml)

Massa

(g)

Loose

Density

(g/ml)

Tap

Density

(g/ml)

Hausner

Ratio

Carr

Index

(%)

Karakteristik

Aliran

1

0

250

178

215

0,860

1,208

1,40

28,80

Poor

2

0

250

170

206

0,824

1,212

1,47

32,00

Very Poor

3

0

250

164

210

0,840

1,280

1,52

34,40

Very Poor

4

0

250

164

200

0,800

1,220

1,52

34,40

Very Poor

Rata-rata

0,831

1,230

1,48

32,40

Very Poor

Ulangan

Aging

(Menit)

Volume

Loose

(ml)

Volume

tapped

(ml)

Massa

(g)

Loose

Density

(g/ml)

Tap

Density

(g/ml)

Hausner

Ratio

Carr

Index

(%)

Karakteristik

Aliran

1

120

250

164

207

0,828

1,262

1,52

34,40

Very Poor

2

120

250

162

209

0,836

1,290

1,54

35,20

Very Poor

3

120

250

174

220

0,880

1,264

1,44

30,40

Poor

4

120

250

162

214

0,856

1,321

1,54

35,20

Very Poor


(4)

124

Lampiran 29.

Karakterisasi Aliran Garam Metode Hausner dan Carr

Ulangan

Volume

Loose

(ml)

Volume

Tapped

(ml)

Massa

(g)

Loose

Density

(g/ml)

Tap

Density

(g/ml)

Hausner

Ratio

Carr

Index

(%)

Karakteristik

Aliran

1

250

218

310

1,240

1,422

1,15

12,80

Good

2

250

214

308

1,232

1,439

1,17

14,40

Good

3

250

210

298

1,192

1,419

1,19

16,00

Fair

4

250

214

302

1,208

1,411

1,17

14,40

Good

Rata-Rata

1,218

1,423

1,17

14,40

Good

Lampiran 30.

Karakterisasi Aliran Gula Metode Hausner dan Carr

Ulangan

Volume

Loose

(ml)

Volume

Tapped

(ml)

Massa

(g)

Loose

Density

(g/ml)

Tap

Density

(g/ml)

Hausner

Ratio

Carr

Index

(%)

Karakteristik

Aliran

250

228

225

0,900

0,987

1,10

8,80

Excellent

250

226

223

0,892

0,987

1,11

9,60

Excellent

250

228

226

0,904

0,991

1,10

8,80

Excellent

250

220

217

0,868

0,986

1,14

12,00

Good


(5)

125

Lampiran 31.

Pareto Kejadian Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009

3.836 kali

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 5000

0.00% 10.00% 20.00% 30.00% 40.00% 50.00% 60.00% 70.00% 80.00% 90.00% 100.00%


(6)

126

Lampiran 32.

Pareto Waktu Breakdown Mesin Pengemas Tahun 2009

901,2

0 100 200 300 400 500 600 700 800 900 1000

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

S a t u a n

W a k t u