Biscuit Formulation with Fish Meal of King Catfish , Folic Acid, Vitamin A and Iron (Fe) to Improve the Women's Health During Pregnancy and Breast Feeding {Preliminary Study Used In vivo Test to Mice

(1)

IBU HAMIL DAN MENYUSUI

{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}

RASPIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(2)

IBU HAMIL DAN MENYUSUI

{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}

RASPIANA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Formulasi Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)} adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2011

Raspiana


(4)

gariepinus), Folic Acid, Vitamin A and Iron (Fe) to Improve the Women's Health During Pregnancy and Breast Feeding {Preliminary Study Used In-vivo Test to Mice (Mus mucuslus)}. Supervised by RUDDY SUWANDI and BAMBANG RIYANTO.

Fish meal is a source of good and complete nutrition. In form of fish meal, it still could be used as a source of protein, either for food or feed utilization. Catfish is a species of freshwater fish consumed in Indonesia, it has a good taste and high nutritional content. Most of all consumed catfish in Indonesia are produced from aquaculture farm. To increase the utilization (beside being processed into several main products and its diversification), catfish could also be processed into fish meal, which used as substitutional material for wheat flour in this study. Biscuit were formulated with additional material of catfish meal (from body and head parts), folic acid, ferro sulphate and retinol A. The study was carried out through an in-vivo laboratory research using 75 mice (Mus mucuslus).

The study indicated that fish meal from the head part as much as 24.19 percentwhile from the body 63.15 percent. The appearance is slightly brownish for head's fish meal and whiter for body's fish meal. Proximate chemical tests on samples of biscuit formula shows that the levels of fat and protein have met the

fismeal’s national standards, while the moisture content, ash and carbohydrates

are still below the standards (SNI 01-2973-1992). Growth in weight of mice witch fed biscuit samples were better than mice with control feed (F5). The F1-F4 formula larger 22.17 percent compared with formula F5. The total serum test was carried out and showed that the biscuits formula fortified with folic acid, vitamin A and iron (Fe) significantly affected on the increase of mice's micronutrient status. Keywords : Catfish meal, Folic Acid, Infant Health, Iron (Fe), Vitamin A.


(5)

Hasil uji proksimat yang menggambarkan tepung telah memenuhi standar SNI diantaranya adalah: a) aktivitas air (aw); b) kadar air kategori kualitas satu; c) kadar abu tepung kepala kualitas tiga sedangkan kadar abu tepung badan masuk kualitas satu; d) kadar lemak realtif tinggi dan masuk kualitas tiga; d) kadar protein relatif rendah masuk kualitas tiga. Kadar karbohidrat relatif rendah dan tidak memenuhi standar kualitas yang ditetapkan oleh LIPI untuk tepung ikan sebagai produk pangan.

Kualitas formula sampel jika ditinjau dari Standar Nasional Indonesia SNI 01-2973-1992 tentang standar nasional untuk produk biskuit. Kadar lemak dan protein telah memenuhi standar, sedangkan kadar air, abu dan karbohidrat masih dibawah standar yang ditetapkan.

Produk yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A dan zat besi (Fe) yang diberikan terhadap hewan percobaan menunjukkan tidak berpengaruh terhadap berat badan anak mencit dari induk yang mengkonsumsi pakan. Penggunaan pakan berbahan dasar tepung ikan menunjukkan hasil yang lebih optimal terhadap berat badan lahir dan pertumbuhan berat badan anak selama perlakuan jika dibandingkan dengan pakan kontrol (F5). Fortifikasi asam folat, vitamin A dan zat besi (Fe) pada pakan berpengaruh nyata pada peningkatan dan perbaikan status gizi mikro dalam darah mencit.

Kata kunci : Asam folat, Tepung ikan lele dumbo, Vitamin A, Wanita hamil, Zat besi (Fe)


(6)

(Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}. Dibimbing oleh RUDDY SUWANDI dan BAMBANG RIYANTO.

Pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Ikan lele merupakan salah satu jenis ikan air tawar yang banyak diminati masyarakat sebagai ikan komsumsi, ikan jenis ini relatif mudah untuk dikembangbiakkan, pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi, sehingga ikan lele terdistribusi secara merata di Indonesia. Peningkatan nilai mutu dan nilai ekonomis ikan lele dapat dilakukan dengan pengolahan ikan segar menjadi produk antara seperti tepung ikan, abon ikan, ikan asin dan beberapa jenis produk olahan lainnya.

Dalam penelItian ini memanfaatkan tepung ikan lele sebagai bahan baku pengolahan pakan dengan menggunakan komposisi biskuit sebagai makanan bergizi yang difortifikasi dengan asam folat, zat besi dan vitamin A. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kontribusi zat gizi pada pakan dengan pemanfaatan tepung ikan lele sebagai alternatif sumber protein dan difortifikasi dengan asam folat, vitamin A serta zat besi (Fe) terhadap kebuntingan mencit.

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut : (1) Mencit yang bunting dan diberi pakan yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe) mempunyai perubahan terhadap status gizinya dibandingkan dengan mencit yang tidak difortifikasi. (2) Konsumsi zat gizi dan fortifikan akan mempengaruhi kesehatan perubahan nutrisi selama kebuntingan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ikan lele dumbo segar varietas sangkuriang didominasi oleh kandungan kadar air sebesar 67,74 persen pada kepala dan 69,36 persen pada badan, dengan kadar abu kepala 11,58 dan kadar abu pada badan ikan segar sebesar 1,82. Rendemen kepala segar sebesar 24,19 persen dan rendemen badan 63,15 persen. Pada tahapan proses pembuatan tepung kepala dan tepung badan ikan lele ditemukan perbedaan tampilan fisik dan tekstur yang berbeda, tepung kepala ikan berwarna lebih gelap


(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(8)

KESEHATAN IBU HAMIL DAN MENYUSUI

{Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-Vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}

RASPIANA

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Teknologi Hasil Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011


(9)

(10)

Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}

Nama : Raspiana NIM : C351080121

Disetujui Komisi pembimbing

Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS, M.Phil Ketua

Bambang Riyanto, S.Pi, M.Si Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Hasil Perairan

Dr.Tati Nurhayati,S.Pi, M.Si

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr.Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr


(11)

Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwataala, atas segala karunianya sehingga penulisan dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Formulasi Biskuit dengan Penambahan Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus), Asam Folat, Vitamin A dan Zat Besi (Fe) untuk Meningkatkan Kesehatan Ibu Hamil dan Menyusui {Kajian Pendahuluan Menggunakan Uji In-vivo pada Mencit (Mus mucuslus)}. Harapan dan doa, semoga penelitian ini dapat bermanfaat kepada masyarakat, terutama kepada para wanita yang sedang dalam masa kehamilan juga anak yang kelak akan dilahirkan.

Penelitian ini dilatarbelakangi keprihatinan penulis terhadap kondisi kehamilan dan juga kelahiran anak yang mengalami kekurangan gizi mikro yang berperan penting dalam kesehatan ibu hamil juga perkembangan dan kesehatan anak yang kelak akan dilahirkan. Selain itu, penyusunan tesis ini juga merupakan syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Hasil Perairan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kedua orang tua yang telah mengantarkan penulis hingga sampai pada titik ini. Selanjutnya ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr.Ir. Ruddy Suwandi, MS. M.Phil dan Bapak Bambang Riyanto, S.Pi. M.Si selaku komisi pembimbing yang telah banyak membantu dan mengarahkan penulis dari awal hingga akhir penelitian. Selanjutnya ucapan terima kasih juga diasampikan kepada Dr.Ir. Sri Purwaningsih, M.Si selaku penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr.Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si selaku perwakilan dari Program Studi Teknologi Hasil Perairan.

Ucapan terima kasih tak lupa penulis sampaikan kepada suami tercinta Zulyan Firdaus Afif, SP yang telah banyak memberikan semangat dan kasih sayangnya, dan putri tercinta Syadza Bunga F. Afif yang telah memberi warna dalam kehidupan ini, serta rekan-rekan mahasiswa yang telah bersama melalui masa pembelajaran di Program Studi Teknologi Hasil Perairan. Terimakasih juga disampaikan kepada Bapak/ibu yang telah membantu penulis selama menjalankan penelitian di laboratorium, serta semua pihak yang telah memberikan dukungan kepada penulis dalam penyelesaian studi.

Dalam lembaran ini pula penulis menyampaikan permohonan maaf kepada semua pihak atas segala kesalahan dan kehilafan baik dalam bentuk ucapan maupun tindakan.

Bogor, Agustus 2011


(12)

Penulis dilahirkan di Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada tanggal 02 Mei 1986 dari pasangan H.Syahrul Sengkon dan Hj.Masneng Masrun. Penulis merupakan anak keenam dari tujuh bersaudara.

Tahun 1991 penulis memulai pendidikan formal di SDN Langkai 16 Palangkaraya. Enam tahun kemudian, tepatnya tahun 1997 penulis melanjutkan jenjang pendidikan menengah di SMPN 6 Palangkaraya. Pada tahun 2000, melanjutkan ke SMUN 2 Palangkaraya dan lulus pada tahun 2003. Setelah itu, pada tahun yang sama penulis melanjutkan studi pada Program Studi Strata Satu Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan di Universitas Palangkaraya.

Penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang Pascasarjana pada Program Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), Institut Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2008. Tahun 2010 hingga sekarang penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada kantor Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Kotawaringin Timur, Sampit, Kalimantan Tengah.

Pada tahun 2009, penulis menikah dengan Zulyan Firdaus Afif, SP dan dikaruniai seorang putri bernama Syadza Bunga F. Afif.


(13)

Daftar Gambar ... vii

Daftar Tabel ... viii

Daftar Lampiran ... ix

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Perumusan masalah ... 3

1.3 Hipotesis ... 6

1.4 Tujuan penelitian ... 6

1.5 Manfaat penelitian ... 6

2. TINJAUAN PUSTAKA... 7

2.1 Lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 7

2.2 Hewan percobaan (Mus mucuslus) ... 10

2.3 Tepung ikan ... 12

2.4 Protein ... 13

2.5 Fortifikasi asam folat ... 15

2.6 Fortifikasi zat besi (Fe) ... 16

2.7 Fortifikasi vitamin A... 16

2.8 Biskuit... 17

2.8.1 Bahan baku ... 8

2.8.2 Proses pembuatan biskuit ... 20

2.9 Daya cerna protein ... 22

3. METODE ... 24

3.1 Waktu dan tempat ... 24

3.2 Alat dan bahan ... 24

3.3 Metode penelitian ... 25

3.3.1 Penelitian pendahuluan ... 26

3.3.2 Penelitian utama ... 28

3.3.3 Metode analisis ... 32

3.3.3.1 Analisis pada tepung dan formula biskuit ... 32

1) Aktivitas air (aw) (Wiyati 2004) ... 32

2) Rendemen ... 33

3) Analisis sifat kimia (uji proksimat AOAC 1995) ... 33

4) Penghitungan jumlah energi ... 35

3.3.3.2 Analisis pada hewan percobaan ... 35

1) Pertumbuhan berat badan ... 35

2) Evaluasi nilai mutu protein secara biologis (daya cerna protein) ... 35

3.3.3.3 Analisis status metabolisme total serum induk mencit ... 36

1) Status metabolisme asam folat serum ... 37

2) Status metabolisme retinol serum ... 37


(14)

4.1 Proses pembuatan tepung ikan ... 39

4.1.1 Pemilihan bahan baku ... 39

4.1.2 Pembuatan tepung ikan... 39

4.1.3 Analisis sifat fisik tepung ikan ... 43

4.1.3.1 Aktivitas air (aw) ... 43

4.1.3.2 Rendemen ... 44

4.1.4 Analisis sifat kimia tepung ikan ... 45

4.1.4.1 Kadar air ... 45

4.1.4.2 Kadar abu ... 46

4.1.4.3 Kadar lemak ... 47

4.1.4.4 Kadar protein ... 48

4.1.4.5 Kadar karbohidrat ... 49

4.2 Proses pembuatan formula biskuit ... 49

4.2.1 Tahap pengolahan formula biskuit ... 50

4.2.2 Rendemen formula biskuit ... 51

4.2.3 Analisis sifat kimia formula biskuit ... 52

4.2.3.1 Analisis proksimat... 52

4.2.3.2 Kandungan energi formula biskuit ... 57

4.3 Pengujian terhadap mencit ... 57

4.3.1 Perubahan induk mencit ... 57

4.3.2 Perubahan anak mencit... 60

4.3.2.1 Berat badan anak mencit saat lahir ... 61

4.3.2.2 Pertumbuhan berat badan anak mencit ... 62

4.3.3 Analisis daya cerna protein biskuit ... 64

4.3.4 Analisis status metabolisme total serum induk mencit ... 65

4.3.4.1 Status metabolisme asam folat serum ... 66

4.3.4.2 Status metabolisme retinol serum ... 67

4.3.4.3 Status metabolisme feritin serum ... 68

5. SIMPULAN DAN SARAN ... 71

5.1 Simpulan ... 71


(15)

2. Diagram alir proses pembuatan tepung ikan lele pada tahapan

penelitian pendahuluan ... 27

3. Diagram alir proses formulasi biskit dan proses in-vivo pada mencit dalam penelitian utama ... 30

4. Ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 39

5. Kepala dan badan ikan lele dumbo segar ... 40

6. Kepala dan badan ikan setelah dikukus ... 41

7. Tepung kepala dan tepung badan ikan lele ... 42

8. Diagram uji aktivitas air (aw) ... 44

9. Diagram analisis kadar air ... 46

10. Diagram analisis kadar abu ... 47

11. Diagram analisis kadar lemak ... 47

12. Diagram analisis kadar protein ... 48

13. Diagram analisis kadar karbohidrat ... 49

14. Diagram alir proses pengolahan pakan formula F1 dan F2 ... 50

15. Produk jadi pakan formulasi F1 dan F2 ... 51

16. Diagram analisis kadar air pada pakan ... 53

17. Diagram analisis kadar abu pada pakan ... 54

18. Diagram analisis kadar lemak pada pakan ... 54

19. Diagram analisis kadar protein pada pakan ... 56

20. Diagram analisis kadar karbohidrat pada pakan ... 56

21. Pertumbuhan berat badan induk mencit selama perlakuan ... 59

22. Perubahan berat badan harian induk mencit ... 59

23. Jumlah kematian anak mencit selama pengamatan... 61

24. Rata-rata berat badan anak mencit ... 61

25. Perkembangan berat badan anak mencit ... 63


(16)

2. Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ... 9

3. Komposisi gizi ikan lele ... 9

4. Susunan asam amino esensial ikan lele ... 10

5. Data biologis mencit (Mus musculus) ... 11

6. Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan ... 13

7. Pangan potensial untuk fortifikasi ... 17

8. Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992 ... 17

9. Mutu cerna protein dalam bahan pangan ... 23

10. Komposisi bahan baku pakan ... 28

11. Angka Kecukupan Gizi (AKG yang dianjurkan untuk ibu hamil) ... 29

12. Jumlah fortifikan yang ditambahkan pada 100 gram produk ... 29

13. Formulasi yang digunakan dalam pengolahan formula biskuit ... 31

14. Kandungan kimia formula biskuit F5 ... 31

15. Pengelompokan standar folat serum ... 37

16. Pengelompokan standar retinol serum ... 38

17. Pengelompokan standar feritin serum ... 38

18. Persentase bagian tubuh ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 40

19. Hasil analisis proksimat ikan lele dumbo varietas sangkuriang ... 40

20. Rendemen tepung ... 45

21. Hasil uji proksimat pada tepung ... 45

22. Standar mutu tepung ikan sebagai bahan pangan ... 45

23. Hasil uji proksimat pada pakan ... 52

24. Perubahan berat badan induk ... 58

25. Selisih pertumbuhan berat badan induk ... 58

26. Rata-rata berat badan anak mencit awal kelahiran(gr) ... 61

27. Perubahan berat badan anak mencit (gr) ... 62

28. Analisis Protein Efficiency Ratio (PER) ... 65

29. Hasil analisis dan perubahan kadar asam folat serum (ng/ml) ... 66

30. Hasil analisis dan perubahan kadar retinol serum (µg/dl) ... 67


(17)

b. Gambar alat oven ... 79

c. Gambar alat timbangan analitik ... 79

d. Gambar alat grinder ... 80

2. Gambar kandang metabolik ... 80

3. Gambar mencit (Mus mucuslus) dewasa ... 80

4. Gambar anak mencit pada awal kelahiran ... 80

5. Prosedur penetapan asam folat serum dengan metoda spektrofotometer elissa ... 81

6. Prosedur penetapan retinol dengan metoda HPLC Waters 501... 82

7. Prosedur penetapan feritin serum dengan metode spektrofotometer elissa ... 83


(18)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanggulangan masalah gizi dan kesehatan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia yang paling baik adalah pada masa menjelang dan saat prenatal, karena: (1) penelitian telah membuktikan bahwa perkembangan otak dimulai pada masa utero dan meningkat pesat pada trimester kedua dan ketiga kehamilan (Dhopeswarkar 1983); (2) bayi yang lahir dari ibu yang menderita defisiensi zat gizi mempunyai risiko yang lebih besar mengalami BBLR (berat badan lahir rendah). Bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) mempunyai risiko yang lebih besar meninggal pada usia 1 tahun, dan kalaupun mampu bertahan mempunyai risiko yang lebih besar menderita penyakit degeneratif pada usia yang relatif muda dibandingkan bayi lahir dengan berat normal (Barker

et al. 1993), oleh karena itu penanggulangan masalah gizi hanya pada anak balita dan usia sekolah dianggap terlambat dan kurang efisien.

Pemenuhan kebutuhan gizi manusia dapat diperoleh melalui sumber hewani maupun nabati. Pangan hewani merupakan sumber gizi yang dapat diandalkan untuk mendukung perbaikan gizi masyarakat. Pangan hewani mempunyai keunikan yang menyebabkan kelompok pangan ini tergolong sebagai pangan bermutu tinggi. Keunikan tersebut dikarenakan pangan hewani memiliki kandungan asam amino esensial yang lengkap, mengandung zat besi yang mudah diserap, dan mempunyai nilai cerna protein yang tinggi.

Wanita hamil dan menyusui membutuhkan asupan gizi tambahan dan energi yang cukup (kalori) untuk kebutuhan kesehatan tubuh dan pertumbuhan bayi. Pemenuhan kebutuhan gizi yang baik selama masa kehamilan dan menyusui dapat mendukung metabolisme tubuh ibu dalam memelihara berat badan, kadar gula darah, dan tekanan darah sehingga dapat menghindarkan pengaruh negatif terhadap ibu dan bayi. Pemenuhan kebutuhan gizi selama kehamilan dapat diperoleh dengan mengkonsumsi pangan hewani seperti ikan, salah satunya adalah ikan lele, karena ikan lele memiliki kandungan gizi yang dibutuhkan oleh tubuh manusia seperti sumber energy, protein, lemak, kalsium (Ca), fosfor (P), zat besi (Fe), natrium tiamin (B1), riboflavin (B2) dan niasin.


(19)

Ikan sebagai bahan pangan hewani memiliki beberapa keunggulan dibandingkan sumber protein lainnya diantaranya kandungan protein yang cukup tinggi, dalam tubuh ikan tersusun oleh asam amino yang berpola mendekati kebutuhan asam amino tubuh manusia, selain itu daging ikan mengandung sejumlah mineral dan vitamin yang diperlukan tubuh (Khomsan 2004).

Ikan lele adalah salah satu jenis ikan air tawar yang paling banyak diminati serta dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia dari berbagai lapisan. Harganya yang terjangkau membuat ikan lele terdistribusi secara merata hampir di seluruh pelosok tanah air. Salah satu jenis ikan yang populer di masyarakat adalah lele. Lele memiliki berbagai kelebihan sehingga termasuk ikan yang paling mudah diterima masyarakat. Kelebihan tersebut diantaranya pertumbuhannya cepat, memiliki kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang tinggi, rasanya enak dan kandungan gizinya cukup tinggi (Azhar et al. 2006).

Tepung ikan merupakan salah satu produk pengolahan hasil sampingan ikan. Usaha pengolahan tepung tulang ikan memerlukan banyak bahan baku ikan segar karena rendemennya relatif kecil. Sampai saat ini penggunaan tepung ikan belum dilakukan secara maksimal. Kegunaan utama tepung ikan masih sebatas bahan campuran pakan ternak (Moeljanto 1982).

Pembuatan tepung ikan berbahan dasar ikan lele dapat menjadi suatu bentuk alternatif bahan pangan. Selain memiliki daya simpan yang cukup lama dibandingkan dengan ikan segar, bentuk yang berupa tepung diharapkan menjadikan tepung ikan lebih fleksibel dalam pemanfaatannya, selain itu tepung ikan juga dapat digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan biskuit.

Muchtadi (1989) mendefinisikan fortifikasi pangan adalah penambahan satu atau lebih zat gizi ke dalam bahan pangan. Tujuan utama adalah untuk meningkatkan konsumsi dari zat gizi yang ditambahkan dan meningkatkan status gizi populasi. Peran pokok dari fortifikasi pangan adalah mencegah defisiensi. Dengan demikian dapat menghindari terjadinya gangguan yang membawa kepada penderita

Usaha untuk memperbaiki gizi buruk pada wanita hamil adalah melalui asupan nutrisi makanan yang kuat sebelum mereka tahu dirinya hamil, karena nutrisi yang cukup setelah kehamilan terjadi tidak dapat mengkompensasikan ketidakcukupan asupan nutrisi selama kehamilan. Meski dalam jumlah sekecil apapun kekurangan nutrisinya. Salah satu cara yang paling efektif untuk melakukan pemenuhan gizi terhadap wanita hamil adalah dengan menyediakan


(20)

makanan siap saji yang mempunyai kandungan nutrisi yang cukup selama kehamilan, mudah dalam penyajiannya dan mempunyai masa simpan yang cukup lama serta berdimensi tidak terlalu besar.

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain, dengan proses pemanasan dan pencetakan (BSN 1992). Biskuit dipilih sebagai salah satu jenis makanan yang diformulasikan sebagai makanan berkalsium tinggi dengan penambahan satu atau lebih zat gizi untuk meningkatkan status gizi wanita hamil. Pemilihan produk biskuit didasarkan juga karena biskuit mudah dibuat dalam skala rumah tangga maupun industri dan dengan pertimbangan penerimaan bagi masyarakat dan dalam segala tingkatan ekonomi.

1.2 Perumusan masalah

Masalah gizi mikro, terutama kurang energi protein, telah mendominasi perhatian para pakar gizi selama puluhan tahun. Kurang Energi Protein (KEP) adalah salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan. Sampai sekarang KEP merupakan masalah yang masih memprihatinkan (Soekirman 2000).

Semakin tinggi pengetahuan seseorang, khususnya dalam bidang gizi dan kesehatan maka semakin mengerti pentingnya kesehatan, dan akibatnya semakin baik kesehatan serta status gizi wanita hamil. Permasalahan lainnya, pada wilayah pedesaan masih banyak wanita hamil yang kurang memiliki pengetahuan mengenai kesehatan pada masa kehamilann tersebut.

Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat pada peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan konsentrasi protein pengikat nutrisi dalam sirkulasi darah, begitu juga dengan penurunan nutrisi mikro seperti asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe). Pada kebanyakan negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh kekurangan nutrisi dalam kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi mikro (seperti kasus-kasus gangguan penutupan jaringan saraf tulang belakang dan kondisi dimana otak janin tidak dapat terbentuk normal) yang dapat dikurangi hingga 50% dan 85% jika wanita hamil mendapat asupan cukup asam folat sebelum dan saat proses kehamilan (Soekirman 2000).

Pemenuhan nutrisi mikro asam folat bisa ditemukan pada sayuran hijau (brokoli, bayam dan lobak cina), kacang-kacangan, gandum, susu, biji-bijian,


(21)

buah-buahan (jeruk, stroberi, alpukat, semangka, nenas), hati sapi dan telur. Sumber zat besi dapat diperoleh dari sumber nabati dan hewani. Sumber nabati seperti bayam, brokoli, tahu (kedelai), sereal, kentang, labu-labuan dan buah-buahan kering (kismis,prune, apricot), sedangkan sumber hewani dapat diperoleh dengan mengkonsumsi daging merah, daging unggas, hati (ayam/sapi), telur, ikan (tuna, sarden, salmon), dan kerang-kerangan. vitamin A adalah salah satu zat gizi esensial yang tidak bisa diproduksi sendiri oleh tubuh manusia. untuk memperolehnya harus di ambil dari sumber diluar tubuh terutama dari sumber alam baik nabati maupun hewani. Sumber nabati dapat diperoleh melalui sereal (jagung kuning), umbi-umbian (ubi kuning, ubi jalar merah, ubi rambat merah), biji-bijian (kacang ercis dan kacang merah), sayuran (wortel, gandaria, kacang panjang, kankung, kol cina, labu kuning bakung, bayam, bunkil daun talas, genjer, daun jambu, daun jambu mete, daun kacang panjang), buah-buahan (apel, kesemek, mangga, pepaya, pisang, sowa serta sukun). Sumber hewani dapat diperoleh dengan mengkonsumsi daging ayam, bebek, ginjal domba, hati sapi, hati ayam, dan berbagai jenis ikan (baronang, cakalang, gabus, lele, rajungan, dan tongkol), dan telur.

Wanita memerlukan asupan gizi tambahan untuk menjaga kesehatan selama masa kehamilan dan kesehatan bayi yang akan dilahirkan, mengkonsumsi pangan hewani seperti ikan dapat membantu memenuhi kebutuhan zat gizi tersebut. Ikan merupakan sumber energi, lemak protein dan zat besi yang baik bagi wanita hamil. Kandungan gizi ikan lele disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Kandungan zat gizi pada ikan lele. Jenis Zat Gizi Bagian ikan yang dapat

dimakan Ikan segar utuh

Kadar air (%) 78,5 47,1

Sumber Energi (cal) 90,0 54,0

Protein (g) 18,7 11,2

Lemak (g) 1,1 0,7

Kalsium (Ca) (mg) 15,0 9,0

Posfor (P) (mg) 260,0 156,0

Zat besi( Fe) (mg) 2,0 1,2

Natrium (mg) 150,0 90,0

Tiamin ( Vit B1) 0,1 0,06

Riboflavin (Vit B2) (mg) 0,05 0,03

NiaSin (mg) 2,0 1,2


(22)

Selain sumber alami, pemenuhan kebutuhan zat gizi mikro selama masa prenatal biasanya diperoleh dengan mengkonsumsi susu, obat-obatan dan suplemen kehamilan. Diantara beberapa kehamilan, terdapat ibu yang mengalami kendala dalam mengkonsumi obat-obatan dan suplemen secara rutin diantaranya disebabkan oleh alergi, kebiasaan/habit dan menurunnya selera makan yang dipengaruhi oleh emosi yang tidak stabil.

Untuk mengatasi masalah tersebut, pada penelitian ini akan membuat formula biskuit dengan memfortifikasikan kebutuhan zat gizi mikro. Pada penelitian akan dilakukan dengan mengaplikasikan produk dalam bentuk pakan, kemudian dilakukan pengujian secara biologis (in vivo) dengan menggunakan mencit (Mus musculus) sebagai hewan percobaan. Adapun diagram alir kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir kerangka pemikiran dan batasan penelitian : batasan penelitian

Kendala Penelitian 1. Jumlah sampel 2. Waktu dan biaya 3. Kepatuhan responden

Kendala pada masa prenatal :

1. Alergi

2. Habit (Ngidam) 3. Selera

4. Jenuh 5. Emosi 1. Buah-buahan 2. Sayur mayur 3. Daging 4. Susu

5. Obat-obatan dan suplemen Kebutuhan asupan gizi :

1. Asam folat 2. Vitamin A 3. Zat besi, Makanan pendamping

dengan Fortifikan

Formula dengan tepung ikan lele dumbo, Asam folat vitamin A, dan zat

besi (Fe)

Perubahan Biokimia Darah

Mencit Formula Biskuit F1

Tepung kepala dengan fortifikan asam folat vitamin A, dan zat besi (Fe)

Formula Biskuit F2 Tepung kepala

non fortifikan

Formula Biskuit F3 Tepung badan dengan fortifikan asam folat vitamin A, dan zat besi (Fe)

Formula Biskuit F4 Tepung badan

non fortifikan

Formula Biskuit F5 Pakan komersil ayam ras pedaging

sebagai kontrol

Hewan percobaan Mencit ( Mus mucuslus)


(23)

1.3 Hipotesis

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah diuraikan di atas dikemukakan hipotesis sebagai berikut : 1) Mencit yang bunting dan diberi pakan yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe) mempunyai perubahan terhadap status gizinya dibandingkan dengan mencit yang tidak difortifikasi. 2) Tepung ikan lele merupakan sumber pangan hewani yang baik dalam pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil dan bayi yang dilahirkan. 3) Konsumsi formula biskuit yang difortifikasi akan mempengaruhi kesehatan selama kebuntingan.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kontribusi zat gizi pada formula sampel dengan pemanfaatan tepung ikan lele sebagai alternatif sumber protein dan difortifikasi dengan asam folat, vitamin A serta zat besi (Fe) terhadap kebuntingan mencit.

1.5 Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat menambah informasi tentang pemanfaatan ikan lele dalam bentuk tepung kepala dan tepung badan yang diolah menjadi produk biskuit yang difortifikasi dengan asam folat, vitamin A, dan zat besi (Fe) terutama bagi pemenuhan kebutuhan zat gizi mikro bagi wanita pada masa kehamilan dan menyusui.


(24)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ikan lele (Clarias gariepinus)

Lele merupakan salah satu komoditas unggulan air tawar yang penting dalam rangka pemenuhan peningkatan gizi masyarakat. Komoditas ini mudah dibudidayakan dan harganya terjangkau. ikan lele yang banyak dibudidayakan dan dijumpai dipasaran saat ini adalah lele sangkuriang (Clarias sp). Pada tahun 2005, lele menjadi salah satu komoditi perikanan yang dijadikan komoditas unggulan pada Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan yang dicanangkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Mahyuddin 2007).

Lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah sejenis lele budidaya yang berasal dari Afrika. Dibandingkan dengan lele lokal (lele kampung Clarias batrachus, dan

Clarias macrocephalus) lele dumbo berukuran lebih besar dan patilnya tidak tajam sehingga disukai konsumen. Kelemahannya adalah dagingnya lunak dan mudah hancur bila digoreng. Nama "dumbo" diberikan karena ukurannya yang lebih besar daripada rata-rata lele lokal Asia Tenggara. Secara alami ikan lele dumbo banyak ditemukan di berbagai tempat di Afrika dan Timur Tengah. Ikan jenis ini menyukai air tawar yang tenang serta kubangan buatan manusia, bahkan mampu bertahan hidup dalam saluran air buangan. Ikan ini sekarang dibudidayakan di Asia Tenggara (termasuk Indonesia) sebagai sumber pangan. Persilangannya dengan lele lokal Asia Tenggara telah dilakukan untuk memperbaiki kualitas daging dan telah dibudidayakan dengan nama sama. (Anonim 2011b)

Lele termasuk ke dalam Kerajaan Animalia, Fillum Chordata, Kelas

Actinopterygii, Ordo Siluriformes, famili Clariidae, Genus Clarias dan spesies C.gariepinus. Ikan lele dumbo merupakan hasil perkawinan silang dua spesies berbeda, yaitu antara lele betina Clarias fuscus dari Taiwan dan lele jantan

Clarias mossambicus dari Afrika. Lele dumbo memiliki ukuran yang besar, sehingga dikenal sebagai king catfish. Salah satu varietas unggulan lele dumbo adalah lele sangkuriang. Lele sangkuriang merupakan hasil rekayasa dari Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Tawar (BBPBAT) Sukabumi dan telah dilepas kepasaran melalui Keputusan Menteri No. KEP.26/MEN/2004 (Mahyuddin 2007).

Ikan lele dumbo varietas sangkuriang memiliki bentuk tubuh memanjang, agak bulat, kepala gepeng, tidak bersisik, mulut besar, warna kelabu sampai


(25)

hitam. Di sekitar mulut terdapat bagian nasal, maksila, mandibula luar dan mandibula dalam, masing-masing terdapat sepasang kumis, hanya kumis bagian mandibula yang dapat digerakkan untuk meraba makanannya. Kulit lele berlendir tidak bersisik, berwarna hitam pada bagian punggung (dorsal) dan bagian samping (lateral). Sirip punggung, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda. Pada sirip dada terdapat duri yang keras dan runcing yang disebut patil, patil lele ini tidak beracun (Suyanto dan Rachmatun 2007).

Ikan lele termasuk jenis ikan karnivora dan karena menyukai makanan yang busuk maka digolongkan juga sebagai scavenger. Ikan lele bersifat nokturnal karena aktif mencari mangsa pada malam hari atau lebih menyukai tempat gelap. Pada siang hari ikan lele lebih suka diam dalam lubang-lubang atau tempat-tempat yang terlindungi (Suyanto dan Rachmatun 2007).

Menurut Astawan (2008) lele banyak ditemukan di rawa-rawa dan sungai di Afrika, terutama di dataran rendah sampai sedikit payau. Ikan ini mempunyai alat pernafasan tambahan yang disebut arborescent, sehinga mampu hidup dalam air yang oksigennya rendah.

Ikan lele dumbo memiliki perbedaan sifat jika dibandingkan dengan ikan lele lokal yang berasal dari Indonesia. Perbedaan terletak pada ukuran ikan lele dumbo lebih besar, pertumbuhannya lebih cepat, warna kulit lebih gelap dan relatif lebih hitam, gerakan ikan lele dumbo lebih agresif, serta ikan ini tidak memiliki racun pada patilnya (Suyanto 1990 diacu dalam Utama 2008).

Terdapat sekitar 55–60 spesies anggota marga Clarias, dari jumlah itu di Asia Tenggara kini diketahui sekitar 20 spesies lele, kebanyakan di antaranya baru dikenali dan dideskripsi dalam 10 tahun terakhir. Di Indonesia sendiri terdapat enam jenis ikan lele yang yang dikembangkan (Anonim 2011a) yaitu : 1) Clarias batrachus, dikenal sebagai ikan lele (Jawa), ikan kalang (Sumatera

Barat), ikan maut (Sumatera Utara), dan ikan pintet (Kalimantan Selatan). 2) Clarias teysmani, dikenal dengan sebutan lele kembang (Jawa Barat),

kalang putih (Sumatera Barat).

3) Clarias melanoderma, dikenal dengan sebutan lele wais (Jawa Tengah), ikan duri (Sumatera Selatan), dan ikan wiru (Jawa Barat).

4) Clarias nieuhofi, yang juga dikenal dengan ikan hindi (Jawa), limbat (Sumatera Barat) dan, Kaleh (kalimantan Timur).


(26)

5) Clarias loiacanthus, juga dikenal dengan istilah ikan keli (Sumatera Barat), ikan penang (Kalimantan Timur).

6) Clarias gariepinus, yang dikenal sebagai ikan lele dumbo (lele domba), king catfish yang berasal dari Afrika.

Ikan lele dumbo memiliki rendemen daging sekitar 35% dari keseluruhan tubuhnya, ikan jenis ini memiliki bagian kepala dan tulang yang cukup besar yaitu kepala sekitar 27,49% dan tulang sebesar 14,61%, secara utuh, rendemen dari ikan lele dumbo dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Rendemen ikan lele dumbo (Clarias gariepinus)

Bagian ikan Kandungan (%)

Daging merah 3,00

Daging putih 32,82

Tulang 14,61

Kepala 27,49

Kulit 6,06

Sirip 3,47

Insang 6,06

Jeroan 6,49

Total 100,00

Sumber : Erlangga (2009)

Protein ikan adalah protein yang istimewa karena bukan hanya berfungsi sebagai penambahan jumlah protein yang dikonsumsi, tetapi juga sebagai pelengkap mutu protein dalam menu. Komposisi gizi daging ikan lele disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3 Komposisi gizi daging ikan lele

Senyawa Jumlah (%)

1 2

Protein 17,80 17,71

Lemak 0,84 0,95

Abu 1,65 1,47

Air 79,45 79,73

Karbohidrat (by- different) 0,26 0,14 Sumber: 1. Erlangga (2009)

2. Utama (2008)

Berdasarkan Tabel 3 dapat dilihat bahwa kandungan air dan protein merupakan dua unsur penyusun utama dari tubuh ikan lele. Selain itu, protein ikan lele juga mengandung semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup. Kandungan lemak pada daging ikan lele dumbo segar dibawah satu


(27)

persen. Hal ini dipengaruhi oleh proses pemisahan bagian daging badan yang dilakukan dengan proses fillet dan pemisahan bagian kulit. Ikan lele segar memiliki asam amino lengkap yang dibutuhkan dalam proses metabolisme tubuh. Susunan asam amino ikan lele disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4 Susunan asam amino esensial ikan lele

Asam amino Kandungan protein (%)

Arginin 6,3

Histidin 2,8

Asoleusin 4,3

Leusin 9,5

Lisin 10,5

Metionin 1,4

Fenilalanin 4,8

Treonin 4,8

Valin 4,7

Triptopan 0,8

Total esensial 49,9

Non esensial 50,1

Sumber: FAO (1997) diacu dalam Astawan (2008) 2.2 Hewan percobaan mencit (Mus mucuslus)

Hewan percobaan adalah hewan yang sengaja dipelihara dan diternakkan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau pengamatan laboratorium. Pemanfaatan hewan percobaan menurut pengertian secara umum ialah untuk penelitian yang mendasarkan pengamatan aktivitas biologi tergantung pada bidang ilmu yang dibina dan lingkungan apa suatu laboratorium bernaung sehingga pemanfaatan hewan percobaan ini akan mengarah ke suatu tujuan khusus. Kesamaan filogeni

antara manusia dengan primata mendorong para ilmuwan memilih hewan primata sebagai model dalam percobaan laboratorium. Akan tetapi karena dari segi pengadaannya sulit dan pemeliharaannya juga memerlukan biaya yang besar maka mencit (Mus mucuslus) dapat dipilih sebagai alternatif (Malole dan Pramono 1989).

Hewan percobaan digunakan untuk menguji keamanan atau efek samping dari suatu bahan kimia atau alami yang sering dibubuhkan pada bahan. Tujuan akhir dari pengujian adalah untuk keselamatan manusia maka hewan percobaan yang digunakan adalah hewan-hewan yang mempunyai sifat-sifat respon biologi dan adaptasi mendekati manusia. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyusun data biologis mencit seperti tertera pada Tabel 5.


(28)

Tabel 5 Data biologis mencit (Mus musculus)

Hasil Pengamatan Parameter

Lama hidup 1-2 tahun, bisa mencapai 3 tahun Lama produksi ekonomis 9 bulan

Lama bunting 19-21 hari

Kawin sesudah beranak 1-24 jam

Umur sapih 21 hari

Umur dewasa kelamin 35 hari

Umur dikawinkan 8 minggu (jantan dan betina) Siklus kelamin poliestrus (birahi) 4-5 hari

Lama estrus 12-24 jam

Saat perkawinan Waktu estrus

Berat lahir 0,5-1 g

Berat dewasa 20-40 g jantan dan 18-35 betina jumlah anak perkelahiran Rata-rata 6 ekor bisa sampai 15 ekor Kecepatan pertumbuhan 1 gram/hari

Sumber : Smith dan Mangkoewidjojo (1988)

Mencit pada umumnya adalah binatang yang aktif pada malam hari

(nocturnal). Mencit bila diperlakukan dengan halus akan mudah dikendalikan, sebaliknya bila diperlakukan dengan kasar mereka akan menggigit. Mencit dapat mencapai umur 1-3 tahun tetapi terdapat perbedaan besar usia maksimum dalam berbagai galur tikus putih terutama karena perbedaan dalam kepekaan terhadap penyakit (Malole dan Pramono 1989).

Mencit yang digunakan di laboratium umumnya ditempatkan dalam kotak yang terbuat dari plastik dan diberi alas kandang secukupnya, kotak tersebut diberi tutup berupa kawat. Alas kandang yang baik, dapat berupa sekam padi atau serbuk gergaji, bila digunakan serbuk gergaji harus bebas debu, bila digunakan sekam padi harus diperhatikan kebersihannya agar tidak terkontaminasi urin dan feses (Smith dan Mangkoewijojo 1988).

Mencit yang dipelihara sebagai hewan percobaan biasanya diberikan makanan berupa pelet dalam jumlah tanpa batas. Minuman harus selalu tersedia pada kandang tikus putih, tempat minum biasanya menggunakan botol yang terbuat dari kaca, dari botol tersebut tikus putih dapat minum melalui pipa gelas. Botol dan selang harus dibersihkan minimal satu atau dua kali dalam seminggu (Smith dan Mangkoewijojo 1988).


(29)

2.3 Tepung ikan

Ilyas (2003) menyatakan, tepung ikan adalah produk padat yang dihasilkan dengan jalan mengeluarkan sebagian besar air dan sebagian atau seluruh lemak dalam ikan atau sisa ikan. Tepung ikan merupakan salah satu hasil pengawetan ikan dalam bentuk kering untuk kemudian digiling menjadi tepung. Cara pengolahan yang paling mudah dan praktis adalah dengan mencincang ikan kemudian mengeringkannya dengan sinar matahari atau dengan pengeringan mekanis.

Pembuatan tepung ikan didasarkan pada pengurangan kadar air pada daging ikan. Kadar air pada daging ikan merupakan faktor penentu daya simpan ikan, pengurangan kadar air pada ikan akan membantu menghambat proses pembusukan. Dengan proses pengeringan secara terus menerus, maka proses pembusukannya akan berhenti sehingga tepung akan lebih tahan terhadap bakteri, jamur, maupun enzim. Proses pengeringan ikan menjadi tepung ikan selain menggunakan metode pengeringan dapat didahului dengan pemanasan suhu tinggi (Moeljanto 1982).

Tepung ikan merupakan sumber kalsium (Ca) dan phosphor (P) dengan kandungan vitamin B dan mineral yang tinggi. Disamping memiliki kandungan serat yang rendah, pada tepung ikan lele juga terdapat kandungan trace element

seperti seng (Zn), yodium (I), besi (Fe), mangan (Mn) dan kobalt (Co) (Moeljanto 1982).

Menurut Ilyas (1993), urutan pengolahan tepung ikan adalah pencincangan, pemasakan, pengepresan, pengeringan, dan penggilingan. Tepung ikan yang baru saja diolah biasanya berwarna abu-abu kehijauan. Setelah disimpan, terutama dalam suhu tinggi, warnanya berubah menjadi cokelat kekuningan. Akan tetapi perubahan ini tidak mempengaruhi nilai gizinya.

Komposisi kimia yang ada dalam tepung ikan tidak jauh berbeda dengan komposisi kimia pada ikan segar, yaitu air, protein, lemak, mineral, dan vitamin serta senyawa-senyawa nitrogen lainnya. Setelah mengalami pengolahan, komposisi kimia tepung ikan menjadi berubah, terutama akibat terjadinya pengurangan kadar minyak, kadar air dan kerusakan (perubahan) senyawa kimia tertentu terutama dalam pemanasan (thermolprocessing) (Sunarya 1990).

Komposisi kimia tepung ikan ditentukan oleh jenis ikan, mutu bahan baku yang digunakan dan cara pengolahannya. Sebagai pedoman, tepung ikan yang bermutu harus mempunyai komposisi seperti tercantum pada Tabel 6.


(30)

Tabel 6 Syarat mutu tepung ikan sebagai bahan pangan

Zat gizi Kandungan

(%)

Air 10 - 12

Lemak 8– 12

Protein 45-65

Abu Serat

Calcium (Ca) Fosfor NaCl

20-30 1,5-3 2,5-7,0 1,6-4,7 2-4 Sumber: BSN (1996)

Menurut Moeljanto (1982), jarang dijumpai tepung ikan dengan kadar air kurang dari 6% sebab pada tingkat ini tepung ikan bersifat higroskopis. Kadar air tepung ikan rata-rata 18% dengan selang terendah 6 sampai 10%. Sejenis jamur (mold) dapat tumbuh pada tepung ikan dengan kadar air seperti ini.

Tepung ikan dengan kadar protein tinggi menghasilkan kadar mineral sekitar 12% dan 33% untuk kadar protein yang rendah. Sebagian besar abu dan mineral dalam tepung ikan berasal dari tulang-tulang ikan. Kadar mineral tepung akan tinggi bila bahan mentahnya berasal dari sisa-sisa ikan berupa kepala dan tulang-tulang ikan. Sebagian besar abu berupa kalsium fosfat.

Menurut Ilyas (2003) tepung akan lebih baik mutunya bila bahan mentah yang dipakai terdiri dari ikan yang tidak berlemak (lean fish). Jika bahan mentah berasal dari ikan yang berlemak, tepung yang dihasilkan akan banyak mengandung lemak. Kebanyakan tepung ikan mengandung lemak 5-10% dan protein sebesar 60–65%.

2.4 Protein

Protein merupakan sumber asam-asam amino yang mengandung unsur-unsur C, H, O, dan N yang tidak dimiliki oleh lemak dan karbohidrat. Molekul protein juga mengandung fosfor, belerang, serta ada pula jenis protein yang mengandung unsur logam seperti besi dan tembaga.

Kualitas protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Protein komplit atau protein dengan nilai biologi tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan (Almatsier, 2001). Oleh karena itu, semakin lengkap kandungan asam amino esensial yang terkandung dalam protein suatu bahan makanan dan semakin tinggi nilai


(31)

biologinya, maka semakin tinggi kualitas protein yang terdapat dalam bahan makanan tersebut.

Protein merupakan zat gizi makro yang dibutuhkan tubuh untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan tubuh. Protein penting bagi kehidupan manusia, mulai dari masa anak-anak, remaja yang sedang tumbuh, pada masa hamil dan menyusui pada wanita dewasa, orang yang sakit dan dalam taraf penyembuhan serta orang dewasa dan lansia. Protein juga berfungsi sebagai pengatur kelangsungan proses di dalam tubuh, serta memberikan tenaga jika keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh karbohidrat dan lemak (Suharjo dan Kusharto 1992). Protein merupakan zat gizi yang sangat penting, karena yang paling erat hubungannya dengan proses kehidupan. Semua hayat hidup sel berhubungan dengan zat gizi protein. Nama protein berasal dari kata Yunani yaitu protebos yang artinya pertama atau terpenting (Almatsier 2001).

Di dalam sel protein terdapat sebagai protein struktural maupun sebagai protein metabolik. Protein struktural merupakan bagian integral dari struktur sel dan tidak dapat diekstraksi tanpa menyebabkan disintegrasi sel tersebut. Protein metabolik ikut serta dalam reaksi-reaksi biokimiawi dan mengalami perubahan bahkan mungkin distruksi ataupun sintesis protein baru. Protein metabolik dapat diekstraksi tanpa merusak integritas struktur sel itu sendiri (Almatsier 2001).

Di dalam tubuh protein juga mengalami siklus, yang artinya protein dipecah menjadi komponen-komponen yang lebih kecil yaitu asam amino dan atau peptida. Terjadi pula sintesa protein baru untuk mengganti yang lama. Praktis tidak ada sebuah molekul protein yang disintesa untuk dipakai seumur hidup. Semuanya akan dipecah dan diganti dengan yang baru dengan laju yang berbeda-beda tergantung jenis dan keperluannya dalam tubuh (Winarno 1997).

Kandungan protein ikan erat kaitannya dengan kandungan lemak dan airnya. Ikan yang mengandung lemak rendah rata-rata memiliki protein dalam jumlah besar, sedangkan pada ikan gemuk sebaliknya. Kandungan protein ikan umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan hewan darat yang akan menghasilkan kalori lebih tinggi. Dalam tubuh manusia protein memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan. Kandungan asam amino esensial pada daging ikan dapat dikatakan sempurna, artinya semua jenis asam amino esensial terdapat pada daging ikan, tetapi perlu diperhatikan beberapa asam amino tidak mencukupi kebutuhan manusia diantaranya fenilalanin, triptofan, dan metionin. Kandungan protein pada daging ikan cukup tinggi dan berpola


(32)

mendekati pola kebutuhan asam amino di dalam tubuh manusia. Ikan mempunyai nilai biologis yang tinggi.

2.5 Fortifikasi asam folat

Asam folat merupakan salah satu dari kelompok vitamin B, merupakan zat yang larut dalam air dan cepat rusak bila terpapar panas. Folat berasal dari Bahasa Latin folium (artinya daun) yang umumnya mengandung banyak zat folat. Asam folat dapat ditemukan secara alami pada sayuran hijau seperti bayam, brokoli, pok coy, asparagus. Kini asam folat dibuat secara sintetis sebagai suplemen atau ditambahkan sebagai fortifikasi makanan tambahan seperti sereal dan susu. Penelitian awal yang dilakukan Lucy Wills pada tahun 1931 menyatakan bahwa asam folat sebagai nutrisi penting untuk mencegah anemia selama kehamilan (Untoro 2002).

Asam folat memiliki dua efek fisiologis utama yaitu sebagai kofaktor enzim sintesis deoxyribonucleic acid (DNA) dan ribonucleic acid (RNA) yang berperan dalam replikasi sel. Disamping itu asam folat juga dibutuhkan untuk mengubah homosistein menjadi metionin yang berperan pada sintesa protein. Asam folat penting dalam pembentukan sel-sel baru dan pemeliharaan sel, khususnya dalam kehamilan, karena pada masa itu terjadi pertumbuhan sel-sel baru dengan sangat pesat. Asam folat sangat penting terutama pada masa-masa awal kehamilan yaitu dalam replikasi sel, karena pada masa itu sistem saraf bayi sedang terbentuk (Untoro 2002).

Asam folat adalah turunan vitamin B kompleks (B-9) yang berguna untuk mengurangi risiko cacat bawaan pada bayi (neural tube defects-NTD), spina bifida dan anenchepaly. Ibu hamil atau perempuan yang tengah merencanakan kehamilan, dianjurkan mengonsumsi makanan mengandung folat. Sebab, neural tube defects terjadi pada masa kehamilan belum disadari, yaitu antara minggu kedua hingga keempat masa pertumbuhan janin (Anonim 2004)

Sumber folat dapat diperoleh secara sintetik pada suplemen makanan atau makanan terfortifikasi, baik dalam bentuk tunggal maupun campuran dengan vitamin dan mineral lain. Dalam bentuk tunggal, khasiat kegunaan yang disetujui antara lain membantu memelihara kesehatan tubuh; suplementasi asam folat untuk wanita hamil berperan dalam pertumbuhan janin dan memelihara kesehatan tubuh. Sedangkan dalam bentuk campuran dengan vitamin, atau mineral lain khasiat kegunaannya antara lain membantu memenuhi kebutuhan vitamin, mineral, dan asam folat pada masa prenatal (Untoro 2002).


(33)

2.6 Fortifikasi zat besi (Fe)

Menurut Husain et al, (1989) konsumsi zat gizi yang sangat rendah merupakan faktor utama yang menyebabkan keadaan kurang gizi. Hal tersebut dapat disebabkan karena konsumsi pangan yang rendah atau pangan yang dikonsumsi kurang mengandung zat-zat gizi yang dibutuhkan tubuh. Salah satu cara peningkatan konsumsi zat-zat gizi adalah dengan peningkatan kosumsi zat gizi yang dapat dicapai dengan peningkatan mutu gizi pangan itu sendiri, seperti dengan cara fortifikasi pangan dengan zat gizi tertentu. Fortifikasi makanan bermanfaat sekali terutama dalam pemberian tambahan zat gizi mikro seperti vitamin dan mineral. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan tidak mengubah rasa, warna, bau dan penampakan bahan pangan pembawa. Senyawa besi yang larut adalah yang paling mudah diserap, namun zat besi ini juga sangat mudah bereaksi sehingga sering menimbulkan efek yang tidak dikehendaki (Husaini et al. 1989).

Beberapa kriteria yang harus dipenuhi dalam memilih jenis zat besi sebagai fortifikan yaitu keamanannya, harganya terjangkau, stabil (sifat kimianya tidak berubah-ubah), nilai biologinya tinggi (bioavailability), reaksi terhadap senyawa lain dan efikasinya dalam meningkatkan kadar hemoglobin (Husaini et al. 1989). 2.7 Fortifikasi vitamin A

Fortifikasi vitamin A adalah penambahan zat gizi mikro vitamin A ke dalam bahan pangan. Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan mutu konsumsi vitamin A yang ditambahkan dalam rangka memperbaiki status gizi mikro dari masyarakat yang mengkonsumsinya. Secara umum fortifikasi vitamin A bertujuan untuk : (1) menjaga agar vitamin A tetap berada dalam jumlah yang signifikan dalam pangan; (2) mencegah defisiensi vitamin A dalam populasi yang besar atau kelompok berisiko defisiensi vitamin A (orang tua, ibu hamil, vegetarian, dan anak-anak); (3) meningkatkan kualitas gizi produk makanan; dan (4) sebagai sarana teknologi pangan sehingga dapat dihasilkan pangan yang bisa disubtitusi dengan pangan lain (Lotfi et al. 1996).

Bentuk vitamin A komersial yang paling penting adalah vitamin A asetat dan vitamin A palmitat. Vitamin A dalam bentuk retinol atau karoten dapat dibuat secara komersial untuk ditambahkan dalam pangan. Ada beberapa pangan sebagai pembawa vitamin A seperti minyak dan lemak, gula, garam, teh, sereal, dan MSG (Lotfi et al. 1996). Beberapa pangan yang sudah difortifikasi disajikan pada Tabel 7.


(34)

Tabel 7 Pangan potensial untuk fortifikasi

Pangan Potensial Fortifikan

Garam Yodium, besi

Susu, margarin Vitamin B1, B2, niacin, besi

Gula, MSG, teh Vitamin A dan D

Makanan bayi dan cookies Zat Besi

Campuran sayuran dan asam amino, protein Vitamin dan mineral Sereal siap saji Vitamin dan mineral

Minuman diet Vitamin dan mineral

Larutan enteral dan parenteral Vitamin dan mineral Sumber : Mejia (2002)

2.8 Biskuit

Biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan proses pemanasan dan pencetakan (BSN 1992). Biskuit terbagi menjadi 4 kelompok, yaitu biskuit keras, crackers, cookies dan wafer. Biskuit keras adalah jenis biskuit manis yang dibuat dari adonan keras, berbentuk pipih, jika dipatahkan penampang potongannya bertekstur padat dan dapat berkadar lemak tinggi atau rendah. Crackers adalah jenis biskuit yang dibuat dari adonan keras, melalui proses fermentasi atau pemeraman. Bentuk crackers pipih, rasanya lebih mengarah ke rasa asin dan relatif renyah serta bila dipatahkan penampang potongannya berlapis-lapis.

Biskuit yang berkualitas tinggi mempunyai lapisan kulit coklat keemasan tanpa noda-noda coklat. Biskuit simetris, lembut, bagian atas rata dan sisi-sisi lurus. Lapisan kulit renyah dan lembut, butiran halus dan lunak. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia 01-2973-1992, syarat mutu biskuit adalah seperti disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8 Syarat mutu biskuit menurut SNI 01-2973-1992

Karakteristik Syarat Mutu

Air Maksimum 5 %

Protein Minimum 9 %

Lemak Minimum 9,5 %

Karbohidrat Minimum 70 %

Abu Maksimum 1,5 %

Logam berbahaya Negatif

Serat kasar Maksimum 0,5 %

Energi (Kal/100 g) Minimum 400

Jenis tepung Terigu

Bau dan rasa Normal, tidak tengik

Warna Normal


(35)

2.8.1 Bahan Baku

Bahan-bahan utama dalam pembuatan biskuit adalah gula, lemak, tepung, dan air. Bahan-bahan pembentuk biskuit dibagi menjadi dua bagian, yaitu bahan yang berfungsi sebagai pengikat dan bahan yang berfungsi sebagai pelembut tekstur yang akan mempengaruhi produk akhir. Bahan yang berfungsi sebagai pengikat atau pembentukan adonan yang kompak adalah terigu, susu, air dan putih telur. Sedangkan yang termasuk dalam bahan pelembut adalah gula, margarin, bahan pengembang dan kuning telur (Matz dan Matz 1978).

1) Tepung terigu

Tepung berfungsi sebagai pembentuk tekstur, pengikat bahan-bahan lain dan pendistribusi bahan lain tersebut agar merata serta berperan sebagai pembentuk cita rasa dalam adonan kue (Matz dan Matz 1978). Tepung yang biasanya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah tepung terigu. Tepung yang cocok untuk biskuit dan kue-kue kering adalah jenis tepung

soft protein (8-9%), karena sifat gluten yang dimilikinya kurang baik sehingga cocok untuk biskuit, cake dan kue kering yang tidak menghendaki terbentuknya gluten (Labib 1997).

Terigu mengandung protein sebesar 7-22%. Minimal terigu tersusun dari lima jenis protein, yaitu albumin yang larut dalam air, globulin dan protease yang larut dalam garam tetapi tidak atau sedikit larut dalam air, gliadin yang larut dalam alkohol 70-90% dan glutenin yang larut dalam asam atau basa tetapi tidak larut dalam air, garam maupun alkohol (Fennema 1996). Adanya air dalam adonan dapat menyebabkan pembentukan massa yang bersifat

ekstensible dan elastis yang disebut sebagai gluten yang berasal dari gliadin dan glutenin. Karena sifat fisik dari glutenin elastis dan juga ekstensible

maka adonan mempunyai kemampuan menahan gas pengembang yang pada akhirnya menyebabkan terjadinya pengembangan adonan (Winarno 1997). Untuk membuat adonan suatu produk yang dapat mengembang maka dipilih tepung terigu berkadar gluten tinggi. Dengan adanya kadar gluten yang tinggi maka ada kecenderungan untuk menyerap air lebih banyak sehingga adonan yang dihasilkan mempunyai daya kembang yang baik, elastis tetapi lengket (Fennema 1996).


(36)

2) Gula

Gula dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pemberi rasa manis, pelunak gluten, membentuk flavor dan membentuk warna pada biskuit melalui reaksi pencoklatan non-enzimatis. Jumlah gula yang ditambahkan harus tepat, bila terlalu banyak maka adonan biskuit akan menjadi lengket dan menempel terus pada cetakan, biskuit menjdi keras, dan rasanya akan terlalu manis. Jenis gula yang biasa digunakan dalam pembuatan biskuit adalah sukrosa. Gula yang digunakan biasanya berbentuk gula halus atau gula pasir (Matz dan Matz 1978).

3) Telur

Telur dapat melembutkan tekstur biskuit dengan daya emulsi dan lesitin yang terdapat dalam kuning telur. Pembentukan adonan yang kompak terjadi karena daya ikat dari putih telur (Matz dan Matz 1978). Menurut Winarno (1997), senyawa yang berfungsi sebagai emulsifier adalah lesitin dan chepalin yang merupakan lemak telur, khususnya fosfolipida.

4) Mentega

Mentega merupakan lemak hewani yang biasa digunakan untuk memberi efek shortening dengan memperbaiki struktur fungsi seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan serta flavour (Matz dan Matz 1978). Mentega dan margarin merupakan emulsi air dalam minyak (W/O). margarin atau lemak nabati dapat memberikan volume biskuit yang rendah dan membentuk butiran yang kasar.

5) Susu

Fungsi susu dalam pembuatan biskuit adalah dalam pembentukan warna, pembentukan flavor, bahan pengisi dan pengikat air. Susu bubuk lebih banyak digunakan karena lebih mudah penanganannya dan mempunyai daya simpan yang cukup lama. Susu dapat meningkatkan kandungan energi biskuit karena adanya lemak dan gula alami (laktosa) (Matz dan Matz 1978).

6) Bahan Pengembang

Menurut Manley (1998), fungsi bahan pengembang (leaving agent) adalah untuk mengembangkan produk yang pada prinsipnya adalah menghasilkan gas karbondioksida. Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan biskuit adalah baking powder dan ammonium bikarbonat (soda


(37)

kue). Menurut Wheat Associates (1981) diacu dalam Rieuwpassa (2005) fungsi baking powder adalah melepaskan gas hingga jenuh dengan gas CO2

lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan mengembang sempurna, menjaga penyusutan, dan untuk menyeragamkan remah. Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartat, fosfat dan sulfat. Menurut Manley (2000), penggunaan amonium bikarbonat (baking powder) ditemukan dalam 93% resep biskuit, dimana rata-rata digunakan sebesar 0,47% dan dengan rentang antara 0,04% sampai dengan 1,77%. Sedangkan sodium bikarbonat (soda kue) ditemukan dalam resep biskuit, dan rata-rata digunakan antara 0,18% sampai dengan 1,92%.

7) Garam

Garam digunakan untuk membangkitkan rasa lezat bahan-bahan lain yang digunakan dalam pembuatan biskuit. Sebagian besar formulasi biskuit menggunakan satu persen garam atau kurang dalam bentuk kristal-kristal kecil (halus) untuk mempermudah pelarutannya (Matz dan Matz 1978). Jumlah garam yang ditambahkan tergantung dari beberapa faktor, terutama jenis tepung yang dipakai. Tepung dengan kadar protein yang relatif rendah akan membutuhkan lebih banyak garam karena garam akan memperkuat protein. Faktor lain yang menentukan adalah formula yang dipakai. Formula yang lebih lengkap akan membutuhkan garam yang lebih banyak.

8) Air

Dalam pengolahan produk, air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan, air juga berfungsi untuk membentuk adonan dan mempengaruhi tekstur produk.

2.8.2 Proses pembuatan biskuit

Ada dua metode dasar pencampuran adonan biskuit, yaitu metode krim

(creaming methode) dan all in methode. Pada metode krim bahan-bahan tidak dicampur secara langsung melainkan dicampur secara bertahap. Urutan pencampuran, yaitu lemak, telur dan gula, kemudian ditambah pewarna dan

essence, dimasukkan susu, diikuti penambahan garam yang sebelumnya telah dilarutkan dalam air. Pada metode all in, semua bahan dicampur secara langsung bersama tepung. Pencampuran ini dilakukan sampai adonan cukup mengembang (Whiteley 1971).


(38)

Umumnya pembuatan biskuit dimulai dengan pembentukan krim dari gula, lemak dan telur. Pencampuran dilakukan dengan menggunakan food processor

berkecepatan tinggi sampai mengembang, setelah mengembang ditambahkan secara perlahan-lahan bahan-bahan lain, tepung dan air sehingga terbentuk adonan biskuit. Selama pembentukan adonan, waktu pencampuran harus diperhatikan untuk mendapatkan adonan yang homogen dan dengan pengembangan gluten yang diinginkan. Pengadukan yang berlebihan akan menyebabkan kerusakan gluten sehingga biskuit retak saat dipanggang. Namun sebaliknya, jika pengadukan kurang lama maka adonan kurang elastis dan mudah patah (Sunaryo 1985).

Pengadonan merupakan proses pencampuran dari berbagai bahan dasar agar tercampur merata (homogen). Pengadonan merupakan faktor yang sangat penting dalam pembuatan biskuit. Pengadonan akan menentukan tekstur biskuit yang dihasilkan. Mutu adonan antara lain dipengaruhi oleh jumlah air yang ditambahkan, lama pengadukan dan temperatur pengadukan. Jika jumlah air yang ditambahkan terlalu banyak, maka adonan akan menjadi basah dan lengket, sehingga menyulitkan dalam proses selanjutnya. Lama pengadukan yang baik biasanya antara 15-25 menit. Jika waktunya kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit, kondisi adonan akan menjadi rapuh, keras dan kering. Suhu yang baik selama pengadukan antara 25-40 0C (Manley 1998).

Alat yang digunakan dalam pengadukan (pengadonan) sangat bervariasi. Alat pengaduk (mixer) sangat berperan terhadap sifat reologi dari adonan dan biskuit yang dihasilkan. Alat pengaduk yang dapat digunakan antara lain: vertical spindle mixers, high speed mixers, weigh mixers, cotinuous mixers, small batch mixers dan lain-lain. Spesifikasi masing-masing alat disesuaikan dengan jenis biskuit yang akan dibuat (Manley 1998).

Adonan kemudian digiling menjadi lembaran (tebal ± 0,3 cm), dicetak sesuai keinginan dan disusun pada loyang, kemudian dipanggang dalam oven. Penggilingan (pelempengan) dan pencetakan adonan sebaiknya dilakukan sesegera mungkin setelah adonan terbentuk. Penggilingan dilakukan berulang agar dihasilkan adonan yang halus dan kompak (Sunaryo1985).

Tahap pemanggangan merupakan proses yang kritis dalam produksi biskuit. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi pemanggangan, diantaranya adalah tipe oven, metode pemanasan dan tipe-tipe bahan yang digunakan. Kondisi


(39)

pemanggangan yang benar akan menghasilkan biskuit dengan penampakan dan tekstur yang diinginkan serta kandungan airnya minimal 1% (Whiteley 1971).

Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada selang diantara 25 menit sampai 30 menit tergantung suhu, jenis oven, dan jenis biskuitnya. Makin sedikit kandungan gula dan lemak, biskuit dapat dipanggang pada suhu yang lebih tinggi (177-204 0C). Pemanggangan biskuit dapat dilakukan pada suhu 220 0C dalam waktu sekitar 12-15 menit (Sultan 1983). Biskuit yang dihasilkan segera didinginkan untuk menurunkan suhu dan pengerasan biskuit akibat memadatnya gula dan lemak (Sunaryo 1985).

Setelah proses pemanggangan selesai, proses selanjutnya adalah pendinginan yang bertujuan untuk menurunkan suhu biskuit dengan cepat. Pendinginan juga dilakukan agar segera terjadi pengerasan biskuit karena sesaat setelah pemanggangan biskuit, lemak dan gula masih berbentuk cair sehingga tekstur biskuit agak lunak dan elastis. Jika sudah dingin lemak dan gula kembali menjadi padat dan tekstur mengeras (Manley 1998).

2.9 Daya cerna protein

Penentuan nilai gizi suatu bahan pangan tidak hanya dilihat dari kandungan nutrisi di dalamnya saja, tetapi juga dapat dilihat sejauh mana nutrisi tersebut dapat digunakan oleh tubuh. Sifat fisik dan sifat kimia suatu produk dapat mempengaruhi daya cerna protein dalam tubuh. Secara fisik, semakin keras suatu bahan akan menyebabkan menurunnya daya cerna protein oleh tubuh, karena semakin kuat ikatan kompleks yang menyusun bahan tersebut. Secara kimia daya cerna protein biasanya dipengaruhi oleh adanya senyawa anti gizi seperti inhibitor dan fitat (Muchtadi 1989).

Analisis daya cerna protein bisa dilakukan melaui dua cara, yaitu kimia (in vitro) dan biologis (in vivo). Salah satu metode biologis yang dapat digunakan adalah indikator Protein Efficiency Ratio (PER). PER adalah perbandingan anatara kenaikan berat badan dengan jumlah protein yang dimakan, penentuan ini biasanya dilakukan pada tikus yang masih tumbuh. Prinsip dari penentuan PER adalah menganggap bahwa semua protein yang dimakan digunakan untuk pertumbuhan. Beberapa jenis mutu cerna protein dalam bahan pangan disajikan pada Tabel 9.


(40)

Tabel 9 Mutu cerna protein dalam bahan pangan

Sumber protein Mutu cerna (%)

Telur 97

Daging, Ikan 94

Kacaang Tanah 94

Jagung, Sereal 70

Millet 79

Wheat Whole 86

Wheat Flour, White 96

Rice Cereal 75

Meize 85

Susu, keju 95

Rice (Polished) 88

Tepung Kedelai 86

Beans 78

Isolat Protein Kedelai 95

Oatmeal 86

Gluten Gandum 99

Wheat Cereal 77

Peas 88


(41)

3. METODE

3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai dengan September 2010. Pembuatan tepung ikan dan pengolahan formula biskuit bertempat di Laboratorium Pengolahan Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Analisis kimia dan fisik tepung ikan dilakukan bertempat di Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, LPPM IPB. Pemeliharaan mencit menggunakan kandang metabolik dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan bahan

Alat-alat yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele dumbo dan formula biskuit diantaranya adalah ember dan baskom plastik sebagai penampung, timbangan untuk menakar kebutuhan bahan, panci presto (presto pan) bertenaga listrik dengan kapasitas 20 liter yang dipakai untuk pemasakan awal daging ikan segar agar menjadi lebih lumat, kain kasa dan hidrolik pres dengan kapasitas maksimum 6 kg yang digerakan dengan tenaga listrik yang digunakan untuk mengurangi kandungan air pada ikan lele sebelum dikeringkan,

grinder listrik merk Nasional dengan diameter filter sebesar 3 mm yang digunakan untuk menghaluskan ikan sebelum dikeringkan, grinder juga digunakan untuk mencetak formula biskuit menjadi produk akhir dalam bentuk pelet, gambar produk pelet dan formula biskuit tepung dapat dilihat pada Lampiran 7. Blender listrik 3 speed merk Philips dengan kapasitas 2 liter yang digunakan untuk menghaluskan serpihan ikan kering agar menjadi tepung ikan. Oven dan loyang aluminium sebagai wadah pengeringan untuk pengeringan akhir, oven yang digunakan dalam penelitian adalah oven dengan merk Mammert dengan spesifikasi suhu antara 30-1050C, dengan kapasitas pengeringan maksimal 3 lapisan, untuk setiap lapisan mampu menampung loyang ukuran 25x25 cm, gambar alat-alat yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 1.

Pada hewan percobaan, peralatan yang digunakan adalah kandang metabolik yang telah memenuhi syarat kesehatan dan keamanan dengan ukuran kandang 20x20x20 cm yang terbuat dari stainless stell dan dilengkapi dengan tempat penampungan feces dan urine, tempat makan/ransum dan tempat


(42)

minum. Peralatan lain yang digunakan adalah cawan, sendok/pengaduk dan timbangan analitik yang digunakan untuk menimbang berat badan mencit, kebutuhan ransum serta menimbang sisa urine dan feces. Gambar kandang metabolik yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 2.

Bahan yang digunakan dalam pembuatan tepung ikan lele adalah ikan lele dumbo segar varietas sangkuriang yang diperoleh langsung dari peternak di Desa Cilubang, Darmaga Bogor. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan formula biskuit antara lain tepung ikan lele, tepung terigu, gula halus, kuning telur, susu skim, baking powder, margarin serta fortifikan. Bahan yang digunakan untuk perlakuan pada hewan percobaan adalah formula biskuit (pelet) yang diberikan secara terus menerus (ad libitum), begitu juga pemberian air minum pada hewan percobaan dilakukan secara ad libitum. (Malole dan Pramono 1989).

Bahan yang digunakan untuk fortifikasi produk adalah Iron (II) Sulphate

(FeSO4 7H2O) produk Univar, Vitamin A Palmitate 1.7 m.IU/g produk Roche, dan

asam folat (Folavit 400mg) produk Sanbe, ketiga produk fortifikan ini berbentuk serbuk. Bahan yang digunakan untuk analisis serum diantaranya

metylumbelliferyl fosfat, glass fiber matrix, speciment diluents, reaction cell,

enzyme labeled antibody, matrix, fluorescent, MEIA optical assembly, potasium hidroksida, alkalin fosfatase, albumin, asam askorbat, polyanion/protein, buffer borat, buffer asetat denaturant, dithiothreitol dalam, capture reagent,

Hewan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit (Mus mucuslus) dengan jenis Wistar yang berjumlah 75 ekor. Mencit yang digunakan adalah mencit dalam usia produktif antara 50-70 hari dengan rata-rata bobot mencit 29 gram/ekordengan spesifikasi mencit dalam keadaan bunting pertama. Mencit yang digunakan sebagai hewan percobaan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil budidaya pada Laboratorium Satwa Harapan, Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Gambar mencit yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat pada Lampiran 3 dan anak mencit yang dilahirkan dapat dilihat pada Lampiran 4.

3.3 Metode penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dalam dua tahap yaitu penelitian pendahuluan dan tahap penelitian utama. Penelitian pendahuluan dilakukan pembuatan tepung badan ikan lele dan tepung kepala ikan. Tahapan ini meliputi pemilihan


(43)

ikan lele, pemisahan kepala dan badan, penghalusan, pemasakan dan pengeringan hingga menjadi tepung kepala dan tepung badan ikan lele. Pada penelitian pendahuluan ini, produk tepung yang dihasilkan kemudian diujikan secara fisik meliputi uji aktifitas air (aw) dan uji rendemen, dan uji secara kimia

proksimat (AOAC 1995) yang meliputi: (1) kadar air; (2) kadar lemak; (3) kadar abu; (4) kadar protein dan; (5) kadar karbohidrat. kimia ini

Penelitian utama dilakukan dengan mengaplikasikan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dengan formulasi biskuit yang difortifikasi (vitamin A, asam folat, dan zat besi). Dari aplikasi ini akan dihasilkan empat macam formula biskuit yaitu formula biskuit dengan bahan baku tepung kepala yang difotifikan (F1), tepung kepala non fortifikan (F2), tepung badan dengan fortifikan (F3) dan tepung badan non fortifikan (F4) yang kemudian akan di ujikan secara in vivo

kepada mencit (Mus mucuslus). Penelitian utama juga menggunakan satu jenis formula biskuit lain sebagai kontrol, formula biskuit yang digunakan sebagai kontrol adalah pakan ayam pedaging (pelet dengan diameter 3mm) yang diperjualbelikan dipasaran.

Pada penelitian utama akan dilakukan uji terhadap formula biskuit yang meliputi uji rendemen, kandungan energi formula biskuit (Fennema 1996), analisis daya cerna protein (Anwar 1994), analisis metabolisme total serum yang meliputi metabolisme asam folat serum (Spektrofotometr ELISA), metabolisme retinol serum (HPLC) dan metabolisme feritin serum (Spektrofotometr ELISA). Uji kimia proksimat (AOAC1995) yang meliputi: (1) kadar air; (2) kadar lemak; (3) kadar abu; (4) kadar protein dan; (5) kadar karbohidrat.

3.3.1 Penelitian pendahuluan

Tahapan pembuatan tepung badan dan tepung kepala ikan lele melalui beberapa tahapan yang meliputi pembersihan, pembuangan jeroan dan insang, pemisahan antara bagian kepala dengan badannya. Setelah itu badan ikan lele dan kepala ikan lele masing-masing dimasak secara terpisah dengan tekanan tinggi (presto) dengan autoklaf pada suhu 1210C selama 2 jam untuk bagian kepala dan 1,5 jam untuk bagian badan ikan.

Penggunaan autoklaf dimaksudkan untuk menghancurkan tulang ikan lele sehingga dapat dikeringkan dan digiling bersama daging ikan. Penggunaan autoklaf sangat penting dalam pembuatan tepung kepala ikan agar kepala ikan menjadi lebih lunak. Proses selanjutnya, badan ikan dan kepala ikan yang telah


(44)

matang masing-masing dibungkus dengan kain kasa dan dipress dengan hidrolik pres. Tujuan dari pengepresan adalah untuk menurunkan kandungan air dari ikan sehingga memudahkan dalam proses pengeringan. Ikan yang agak kering kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 80 0C selama 12 jam. Lalu serpihan ikan yang telah kering digiling lagi dengan blender sehingga menghasilkan tepung badan dan tepung kepala ikan lele yang merupakan bahan baku pembuat formula biskuit. Diagram alir pembuatan tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Diagram alir proses pembuatan tepung ikan lele pada tahapan penelitian pendahuluan

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus)

Pembersihan dari jeroan dan insang

Pemisahan bagian badan dengan kepalanya

Kepala / Badan

Pemasakan dengan presto pan

pada suhu 1210C selama 2 jam Kepala / Badan ikan matang

Pengepresan dengan hidrolik pres

Badan / kepala ikan agak kering

Pengeringan dengan oven pada suhu 800C selama 12 jam

Badan / kepala ikan kering Penghalusan dengan Blender

Tepung badan / kepala

1. Uji aw

2. Uji Rendemen 3. Uji proksimat


(45)

Setelah selesai tahapan pembuatan tepung berbahan dasar kepala dan tepung berbahan dasar badan ikan lele ini, tahapan selanjutnya adalah melakukan uji terhadap kedua jenis tepung yang nantinya akan digunakan sebagai bahan baku dalam penelitian utama. Uji yang akan dilakukan meliputi uji sifat fisik dan uji sifat kimia terhadap tepung kepala dan tepung badan yang meliputi: (1) uji fisik : uji aktivitas air (aw) dan rendemen; (2) analisis kimia tepung

proksimat (AOAC 1995)badan ikan lele dan tepung kepala ikan lele yang terdiri dari: kadar air, kadar abu, kadar lemak, kadar protein dan kadar karbohidrat. 3.3.2 Penelitian utama

Pada penelitian utama akan dilakukan formulasi terhadap beberapa jenis bahan baku. Formulasi dimulai dengan mencampurkan bahan baku utama tepung badan ikan dan tepung kepala ikan lele dumbo dengan bahan-bahan penyusun lainnya seperti tepung terigu, tepung gula, margarin, pengembang, susu skim, dan kuning telur beserta bahan fortifikan zat besi, asam folat, dan vitamin A sehingga menjadi formula biskuit dalam bentuk pelet. Formula biskuit pakan mencit yang mengadopsi komposisi makanan ringan (biskuit). Adapun komposisi bahan baku yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Komposisi bahan baku formula bahan baku biskuit

Bahan Baku Jumlah (gram)

Tepung kepala / badan ikan lele 24,2

Tepung terigu 16,1

Tepung gula 20,2

Susu skim 6,0

Margarin 26,5

Kuning Telur 6,0

Baking powder 1,0

Total 100,0

Sumber : Ambarani (2004)

Penambahan jumlah fortifikan didasarkan pada angka kecukupan gizi (AKG) untuk wanita hamil (WNPG 1998). Jenis fortifikan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas zat besi (fero sulfat), vitamin A (retinol A), dan asam folat


(46)

komersil ketiganya dalam bentuk serbuk (WNPG 1998). Jumlah yang dianjurkan dalam angka kecukupan gizi untuk ibu hamil dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Angka Kecukupan Gizi (AKG yang dianjurkan untuk ibu hamil) Jenis kandungan gizi Kebutuhan

Vitamin A 700 g RE*

Asam folat 300 µg/hari

Zat besi 34-46 mg/hari

Sumber : WNPG (1998) * : Retinol Ekuivalen

Komposisi dan jumlah pencampuran bahan fortifikan yang digunakan dalam pembuatan formula biskuit mengacu pada acuan standar yang dikeluarkan oleh Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi (1998) seperti yang disajikan pada tabel 12.

Tabel 12 Jumlah fortifikan yang ditambahkan pada 100 gram produk

Jenis fortifikan Jumlah (mg)

Vitamin A 11,2

Asam folat 1,1

Zat besi 43,3

Sumber: WNPG (1998)

Formula biskuit yang dibuat terdiri dari 4 tipe, yaitu formula biskuit dengan bahan baku utama tepung kepala yang difotifikan (F1), tepung kepala non fortifikan (F2), tepung badan dengan fortifikan (F3) dan tepung badan non fortifikan (F4). Jenis formula biskuit yang difortifikasi akan ditambahkan bahan fortifikan yang terdiri atas asam folat (folic acid), vitamin A, dan zat besi. Formulasi pembuatan formula biskuit ikan lele dumbo dalam dapat dilihat pada Tabel 12. Diagram alir proses formulasi biskuit dan proses in-vivo pada mencit dalam penelitian utama dapat dilihat pada Gambar 3.


(1)

Whiteley PR. 1971. Biscuit Manufacture Fundamental of in-live Production. Applied Science Publisher. London.

[WHO] World Health Organization. 1994. Guidelines of Formulated Uplementary Food For Older Infants and Young Children. Roma : FAO/WHO.

---2001. Iron Deficiency Anemia Assesment, Prevention and Control. A Guide for Programe Manager.

Widayati, S. 2007. Efikasi dan Preferensi Biskuit yang Difortifikasi Vitamin A dan Zat Besi (Fe) dan Kaitannya dengan Konsumsi, Status Gizi dan Respons Imun Anak Balita. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Winarno FG. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT.Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Wiyati D. 2004. Pengaruh Penambahan Konsentrat Protein Ikan Teri (Stolephorus sp) terhadap karakteristik dan daya terima biskuit untuk anak balita. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

[WNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 1998. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dalam Almatsier 2001. Jakarta.

Yanuar V. 2008. Pemanfaatan Cangkang Rajungan (Portunus pelagicus) Sebagai Kalsium dan Fosfor Dalam Pembuatan Crackers. [Tesis] Bogor: Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.


(2)

Lampiran 1a Gambar alat presto

Lampiran 1b Gambar alat oven


(3)

Lampiran 1d Gambar alat grinder

Lampiran 2 Gambar kandang metabolik

Lampiran 3 Gambar mencit (Mus mucuslus) dewasa


(4)

Lampiran 5 Prosedur penetapan asam folat serum dengan metoda Spektrofotometer Elissa.

Prosedur ini menggunakan alat Imx System Software Versi 6,0 dan Imx Metabolic Assay Module versi 3,0. Prinsip pengukuran asam folat serum didasarkan pada teknologi penangkapan ion (ion captur technology). Pada teknologi ini, sebelumnya glass fiber matrix dari reaction cell ion captur technology (penangkapan ion) dilapisi dengan senyawa amonium berat, molekul tinggi yang bermuatan positif dan menangkap senyawa kompleks yang bermuatan negatif. Selama pengujian kompleks yang bermuatan negatif dibentuk, komplek ini ditangkap melalui interaksi elektrostatik denga matrix beruatan positif. Pada proses pengujian asam folat ini menggunakan 150 µl serum.

Bahan-bahan reaksi :

1. Potasium hidroksida konsentrasi 0,8 N

2. Alkalin fosfatase berkonyugasi dalam TRIS buffer dengan albumin. 3. 4-Metylumbelliferyl fosfat; 1,2 mM dalam buffer AMP.

4. Capture reagent, monoclonal (mencit) protein pengikat anti folat bergabung

pada polyanion/protein pengikat folat dalam buffer borat dengan albumin.

5. Denaturant, dithiothreitol dalam buffer asetat.

6. Lysis reagent, asam askorbat dan guanidin hidrokhlorida.

7. Spesiment diluent, buffer TRIS dalam albumin.

Bahan Reaksi dan sampel ditambahkan pada Reaction cell seperti urutan berikut:

1. Ion capture reaction cell diisi dengan denaturant.

2. Pasang elektroda untuk menyambungkan sampel dan denaturant. 3. Pasang elektroda untuk menambahkan potasium hidrokksida.

4. Capture reagent ditambahkan pada reaksi dan inkubasikan.

5. Folat berikatan dengan komponen FBP pada pembentukan capture reagent sebagai polyanion FBP analyte complex.

6. Sebagian dari campuran reaksi yang mengandung komplek polyanion FBP analyte dipindahkan pada glass fiber matrix yang bermuatan positif.

7. Matrix dicuci untuk membuang konyugasi yang tidak terikat.

8. Substrat, 4-Metylumbelliferyl fosfat ditambahkan pada matrix dan fluorescent yang dihasilkan diukur dengan MEIA optical assembly.


(5)

Lampiran 6 Prosedur penetapan retinol serum dengan metoda HPLC Waters 501

Pembuatan larutan standar 1. Stok standar A

2. Stok standar B = 0,1ml, larutan stok standar A dilarutkan dalam etanol

3. Stok standar C = 2,5ml, larutan stok standar B diambil lalu dilarutkan dalam etanol sampai 10 ml, kemudian baca pada spektrofotometer dengan panjang gelombang 290 nm.

4. Lalu suntikan pada alat HPLC sebanyak 50 µl, dua kali suntik 5. Diperoleh peak area I, Peak area II dan rata-rata Peak. 6. Konsentrasi standar dihitung sebagai berikut :

Cara Kerja:

1. Pipet 100 µl serum + 100 µl standar, kocok dengan alat vortex selama 45 menit, lalu tambahkan 200 µl heksan dan kocok kembali dengan vortex selama 45 menit.

2. Kemudian sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2000 rpm

3. Ambil supernatant kemudian diuapkan dengan gas N2 sampai kering, lalu tambahkan 100 µl methanol: dichlorometan (75:25).

4. Kocok dengan vortex selama 10 menit 5. Suntikan pada alat HPLC sebanyak 50 µl.

Perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus : Optical Density

78,5 x 10

3

Konsentrasi standar =

Area sampel

Area standar x C std = ...mg/dl =


(6)

Lampiran 7 Prosedur penetapan feritin serum dengan metode Spektrofotometer Elissa

Alat yang digunakan adalah Imx System (imx system software module 6.0 dan imx metabolic assay module versi 1.0). Prinsip pengukuran kadar feritin dalam serum didasarkan pada teknologi microparticle enzyme immunoassay (MEIA). Sebelum dianalisis serum darah sebanyak 150 µl yang sebelumnya disimpan dalam bentuk beku dicairkan terlebih dahulu.

Bahan-bahan reaksi :

1. Anti feritin dilapisi partikel mikro dalam buffer dengan penstabil protein. 2. Konyugasi antiferitin, alkalin fosfatase dalam buffer dengan penstabil protein. 3. 4-metylumbelliferyl fosfat, 1,2 mM dalam buffer AMP.

4. Feritin diluent, buffer mengandung surfactant dan penstabil protein. 5. Feritin untuk calibrator dan control dalam berbagai konsentrasi.

Bahan reaksi dan sampel ditambahkan pada reaction cell seperti urutan berikut: 1. Pemasangan elektroda untuk menyambungkan sampel, speciment diluent,

konyugasi anti feritin alkalin fosfatase, dan feritin yang dilapisi partikel mikro untuk inkubasi yang baik pada reaction cell.

2. The enzyme-labeled antibody, feritin dan partikel mikro membentuk ikatan

sebagai komplek antibodi-antigen-antibodi.

3. Sebagian dari campuran reaksi yang mengandung komplek-antibodi-antigen-antibodi berikatan dengan partikel mikro dipindahkan pada glass fiber matrix. 4. Matrix dicuci untuk membuang material yang tidak terikat.

5. Substrat, 4-methylumbelliferyl fosfat ditambahkan pada matrix dan fluorescent yang dihasilkan diukur dengan MEIA optical assembly.