Dukungan dan keterbukaan Support and disclosure Proses kognitif dan perkembangan Cognitive processing and growth Kerangka Berpikir

b. Mengelola emosi berbahaya atau negatif Managing distressing emotion

Saat seseorang mengalami krisis dalam hidupnya, ia harus mampu mengelola emosinya yang berbahaya yang mungkin dapat melemahkan dirinya. Karena dengan mengelola emosi yang berbahaya seseorang dapat menciptakan skema perubahan dalam dirinya dan membantu proses kognitif yang kemudian dapat membentuk PTG. Pada tahapan awal trauma, proses kognitif atau berpikir seseorang biasanya lebih bersifat otomatis dan banyak terdapat pikiran serta gambaran yang merusak. Selain itu juga timbul perenungan rumination yang negatif dan merusak. Namun pada akhirnya apabila proses ini efektif, maka seseorang akan terlepas dari tujuan dan asumsi sebelumnya yang kemudian membawanya untuk berpikir bahwa cara lama yang ia jalani dalam hidup tidak lagi tepat untuk mengubah suatu keadaan Tedeschi Calhoun, 2004. Namun proses ini terjadi berbeda-beda pada seseorang, karena masih ditemukan rasa ketidakpercayaan akan pengalaman yang dialami pada beberapa orang yang bertahan hidup dari kejadian traumatik. Stress yang dialami menjaga proses kognitif untuk tetap aktif. Apabila seseorang mendapatkan pemecahan masalah dengan segera maka dapat diindikasikan bahwa ia telah menerima keadaan saat ini dan dapat membantunya dalam mengelola kejadian traumatik Tedeschi Calhoun, 2004.

c. Dukungan dan keterbukaan Support and disclosure

Dukungan dari orang lain dapat membantu perkembangan PTG, yaitu dengan memberikan kesempatan pada orang yang mengalami trauma trauma survivors untuk menceritakan perubahan yang terjadi dalam hidupnya dan juga dengan memberikan perspektif yang dapat membantunya untuk perubahan yang positif. Bercerita tentang trauma dan usaha untuk bertahan hidup juga dapat membantu trauma survivor untuk mengeluarkan sisi emosionalnya mengenai kejadian yang dialami. Selain itu melalui cerita, trauma survivor dapat menciptakan keintiman dan merasa lebih diterima oleh orang lain Tedeschi Calhoun, 2004.

d. Proses kognitif dan perkembangan Cognitive processing and growth

Kepercayaan diri dalam menggunakan sebuah coping dan menentukan apakah seseorang akan terus berjuang atau menyerah juga membantu perkembangan PTG. Orang dengan kepercayaan diri yang tinggi dapat mengurangi ketidaksesuaian suatu keadaan dan memberikan fungsi yang optimal dari coping yang digunakan, sedangkan orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan menyerah. Apabila seseorang mengalami perubahan, ia akan melepaskan tujuan atau asumsi awalnya yang kemudian pada keadaan yang sama mencoba membentuk skema, tujuan dan makna baru dalam hidupnya Tedeschi Calhoun, 2004.

e. Perenungan atau proses kognitif Rumination or cognitive processing

Asumsi seseorang mengenai dunia atau skema yang telah hancur harus direkonstruksi ulang agar berguna bagi tingkah laku dan pilihan yang akan diambil. Pembangunan kembali skema tersebut untuk lebih bertahan dapat menuntun orang yang mengalami pengalaman traumatik untuk berpikir ulang mengenai keadaan yang ia alami. Menurut Martin Tesser dalam Linley Joseph, 2004 bentuk proses kognitif ini memiliki karakterisasi antara lain “masuk akal making sense, menyelesaikan masalah problem solving, mengenang reminiscence, dan antisipasi anticipation ”. Pemikiran ulang atau perenungan rumination ini merupakan suatu hal yang penting dalam keadaan krisis yang berguna untuk menyadari tujuan hidupnya yang belum tercapai, memastikan bahwa skemanya tidak lagi secara akurat merefleksikan keadaan saat itu, dan memastikan bahwa kepercayaannya tidak lagi tepat. Beberapa tujuan hidup yang tidak lagi dapat dicapai dan beberapa asumsinya yang tidak dapat menerima realita baru pasca kejadian traumatik, memungkinkan seseorang memulai untuk membentuk formula tujuan baru dan memperbaiki asumsinya tentang dunia agar dapat mengakui perubahan keadaan kehidupannya Linley Joseph, 2004. f. Kebijaksanaan dan cerita kehidupan Wisdom and life narrative Asumsi kita adalah pengalaman PTG seseorang merupakan sebuah proses perubahan yang di dalamnya terdapat pengaruh kebijaksanaan seseorang dalam memandang kehidupan, dan juga perkembangan pola pikirnya dalam memikirkan kehidupan. Ketangguhan seseorang dalam menghadapi kejadian traumatik dapat membentuk PTG dan bersifat „memperbaiki‟ cerita kehidupannya misalnya sebelum dan sesudah perang, sebelum dan sesudah mengalami kekerasan kriminal. Berdasarkan skema di atas, perkembangan cerita kehidupan seseorang dan PTG dapat bersifat saling mempengaruhi Tedeschi Calhoun, 2004.

2.1.4 Pengertian Recovering Addict

2.1.4.1 Recovering Addict

2.1.4.1.1 Adiksi Addiction

MacAndrew 1998 menyatakan bahwa addiction atau adiksi berasal dari bahasa Latin addictus, yang berarti memberikan perintah, sebab pengekangan atau pengendalian dalam Hewit, 2007. Selanjutnya masih dalam Hewit, APA 1994 memberikan pula definisi addiction sebagai perilaku berlebih dimana individu memiliki kontrol yang merusak dengan konsekuensi yang berbahaya. BNN 2009 menyatakan bahwa adiksi adalah suatu penyakit bio-psiko-sosial, artinya melibatkan faktor biologis, psikologis dan sosial. Gejala-gejala yang diberikan adiksi khas serta bersifat kronik lama dan progresif makin memburuk jika tidak ditolong. Gejala utamanya antara lain: 1. Rasa rindu dan keinginan kuat untuk memakai sehingga bersifat kompulsif terhadap narkoba atau pengubah suasana hati lain 2. Hilangnya kendali diri terhadap pemakaiannya 3. Tetap memakai walaupun mengetahui akibat buruknya 4. Menyangkal adanya masalah BNN, 2009. Adiksi bukan terjadi akibat kelemahan moral, walaupun ada hubungannya dengan masalah moral atau kurangnya kemauan dan walaupun ia harus memutuskan untuk berhenti memakai agar pulih. Namun kemauan saja tidak cukup untuk memulihkannya dari kecanduan. Adiksi mempengaruhi keadaan jasmani, perilaku dan kehidupan sosialnya. Pengaruh tersebut harus dilihat sebagai bagian dari penyakit. Penyakit adiksi berlangsung kronis. Namun, penyakit itu dapat dihentikan asalkan pecandu mau berhenti memakai narkoba dan semua jenis pengubah suasana hati lain. Karena adiksi adalah suatu penyakit, maka sekali seseorang menjadi kecanduan terhadap narkoba, ia tidak akan pernah dapat kembali pada pemakaian kembali tanpa resiko menjadi ketergantungan sehingga ia harus menghentikan sama sekali pemakaiannya abstinensia total BNN, 2009. Proses terjadinya ketergantungan adiksi NAPZA: Bagan 2.2 Proses Terjadinya Ketergantungan Adiksi NAPZA Proses seseorang menjadi ketergantungan dapat digambarkan seperti seorang yang menembus tembok. Pada tahap pemakaian ia masih dapat menghentikannya. Jika telah terjadi ketergantungan, ia sulit kembali ke pemakaian sosial, berapa pun ia berusaha, kecuali jika menghentikan sama sekali pemakaiannya abstinensia BNN, 2009.

2.1.4.1.2 Pemulihan Recovery

Pengertian recovery atau pemulihan dalam konteks 12 step model of addiction adalah kondisi berhenti sepenuhnya abstinensia dari perubahan mood yang diakibatkan oleh zat termasuk rokok, kafein dan beberapa obat lainnya. Pemakaian Penyalahgunaan n Ketergantungan T E M B O K Selain itu Granfield Cloud 1999 mendefinisikan recovery sebagai penghentian perilaku yang berhubungan dengan kebiasaan atau penggunaan yang merusak dari penyalahgunaan zat. Selanjutnya recovery dapat berarti “bersih” dari adiksi, “pantang” dari penggunaan obat-obatan, atau “pengampunan” dari tahapan ketergantungan obat-obatan. Teori tentang recovery juga menjelaskan bahwa recovery adalah sebuah proses untuk mencapai dan memelihara kondisi berhenti sepenuhnya dari penggunaan obat-obatan yang tidak berhubungan dengan treatment tertentu Wesson dkk, 1986. Pemulihan adalah upaya yang dilakukan secara bertahap, untuk mempelajari keterampilan baru dan tugas-tugas yang mempersiapkannya menghadapi tantangan hidup bebas tanpa narkoba. Jika gagal, ia beresiko untuk relaps kambuh. Pemulihan dimulai dengan berhenti menggunakan narkoba abstinensia. Akan tetapi, tidak cukup hanya berhenti memakai, gaya hidup juga harus berubah. Perubahan-perubahan yang terjadi mempengaruhi keadaan tubuh, jiwa dan rohaninya, mengubah gaya hidupnya dengan hidup sehat dan memuaskan. Proses ini disebut “pemulihan seluruh pribadinya”. Hal yang harus dipulihkan dari para pecandu antara lain fisik, psikologis, sosial, rohani, okupasional pekerjaan dan pendidikan BNN, 2009. Pemulihan memiliki arti sebagai berikut: a. Menghentikan sama sekali pemakaian narkoba abstinensia, b. Memisahkan diri dari orang lain, tempat dan benda yang dapat mendorong pemakaian narkoba kembali, c. Membangun jaringan sosial yang mendukung proses pemulihannya, d. Memulihkan hubungan dengan sesamanya, terutama keluarga, e. Mengubah perilaku adiktif dengan menyadari dan mengakui perasaan- perasaan negatif yang dihayati dan pikiran-pikiran yang tidak rasional, f. Belajar cara mengelola perasaan secara bertanggung jawab tanpa narkoba, g. Belajar cara mengubah pola pikir adiktif yang menciptakan perasaan yang menyakitkan dan perilaku merusak diri, h. Mengenal dan mengubah keyakinan keliru dan salah tentang diri sendiri, orang lain dan dunia sekitarnya BNN, 2009. Dikatakan recovery atau pemulihan karena seseorang yang mengalami gangguan dari penggunaan obat-obatan tidak akan kembali sepenuhnya pada kondisi “normal” seperti sebelum ia mengalami gangguan Maddux Desmond, 1986. Jadi yang dimaksud dengan recovering addict adalah individu yang menjalani proses pemulihan dan berhenti sama sekali dari penggunaan NAPZA abstinensia.

2.1.5 Posttraumatic Growth pada Recovering addict

Penelitian mengenai posttraumatic growth pada recovering addict masih sedikit dilakukan. Hanya dua studi yang dilakukan mengenai PTG pada recovering addict. Penelitian pertama dilakukan oleh McMillen dkk 2001 dengan pendekatan kualitatif pada 65 orang sampel pada panti rehabilitasi di Amerika Serikat. Karena sampel yang diambil masih berada pada tahap yang terlalu dini dalam rehabilitasi, hasil yang didapat mengenai keuntungan yang didapatkan setelah mereka mengalami masalah adiksi dan keuntungan dari proses treatment yang diberikan masih belum jelas dalam Hewit, 2007. Kemudian penelitian kedua dilakukan oleh Hewit 2002; 2007 pada 65 sampel pengguna alkohol yang pada proses pemulihan di Inggris. Studi ini dilakukan pada jangka waktu 3 tahun setelah pemulihan sehingga efek PTG lebih terlihat. Pada studi ini ditemukan bahwa PTSD Posttraumatic Stress Disorder berhubungan terbalik dengan waktu pasca adiksi atau ketergantungan. Kemudian efek dari PTSD dan PTG hidup berdampingan. Terdapat hal-hal signifikan yang berkaitan dengan individu dengan latar belakang penyalahguna NAPZA dalam studi mengenai PTG, misalnya studi yang dilakukan Dunbar dkk 1998 yang menemukan bahwa salah satu hal yang berpengaruh pada PTG recovering addict adalah HIVAIDS dalam Hewit, 2007. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Hewit 2007, perubahan perspektif dan bagaimana pandangan pada identitas diri yang terjadi pada recovering addict antara lain dimulai dengan perasaan sebagai seorang pecandu, kemudian berubah menjadi perasaan sebagai seorang pecandu yang tidak menggunakan NAPZA, selanjutnya menjadi perasaan sebagai seorang mantan pecandu dan kemudian berada pada tingkat dimana mereka tidak memikirkan dirinya pada keadaan adiksi lagi. “…I think there is a stage where you’ve been off heroin or methadone and you still feel like the same person…I don’t actually feel like a junkie any more …I work with somebody in the near vicinity who is a drug user and even though I have been where he is, I feel very different to him…”

2.1.6 Model PTG pada Recovering addict

Bagan 2.3 Model PTG Recovering Addict Hewit 2007 menjelaskan bahwa proses di atas secara keseluruhan menggambarkan sebuah proses individuation, yaitu proses realisasi diri atau proses menjadi diri sendiri yang bersifat unik pada setiap orangnya, yang juga merupakan usaha untuk hidup dengan bermakna. Proses individuasi ini juga meliputi pembelajaran seseorang mengenai kesulitan dalam masalah adiksinya. Konstruk individuation dan growth mirip tetapi sebenarnya tidak sama. Growth merupakan perubahan positif pada beberapa aspek kehidupan yang diikuti dengan kebahagiaan serta kepuasan, kemudian individuasi merupakan hal yang tidak dapat terpisahkan dari growth Hewit, 2007. GROWTH DELIBERATE NESS RECOVERY ADDICTION IN D IV ID U A T IO N POSITIVE LOOPS GROWTH CAPITAL PTG pada recovering addict dipengaruhi oleh growth capital yaitu sumber internal dan eksternal yang dapat mendukung perkembangan positif pada seseorang yang kemudian juga mempengaruhi proses recovery seseorang. Selain itu kunci recovery, growth, growth capital dan semua proses individuasi adalah deliberateness yaitu usaha aktif dan sadar untuk meningkatkan perkembangan pada dirinya, antara lain kesadaran diri, menentukan tujuan, bertanggung jawab dan mengambil keputusan Hewit, 2007. Kemudian pengalaman yang positif positive loops memberikan pengaruh terhadap usaha yang dilakukan deliberateness dan kekuatan internal serta eksternal growth capital pada recovering addict. Pengalaman dan juga pilihan positif yang pernah dilakukan akan memberikan kesempatan recovering addict untuk meningkatkan kemungkinan pengambilan keputusan, pengalaman serta perkembangan yang positif selanjutnya Hewit, 2007. “...once you start realising that you can do things, then you entertain the possibility of doing more, and you also get to be a bit of a success junkie... the good feelings that you get about yourself having been able to achieve something, you just want more

2.1.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Posttraumatic Growth

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi PTG, antara lain: a. Harapan Hope Ho dkk 2010 menemukan bahwa harapan memiliki korelasi positif dengan PTG. Harapan dapat menjadi sebuah coping positif saat menghadapi situasi stressful dan memegang peranan dalam perkembangan PTG. Harapan berbeda dengan optimis, harapan tidak hanya sekedar sebuah ekspektansi bahwa tujuannya dapat dicapai, namun juga kapasitas seseorang untuk membayangkan cara dalam mencapai tujuan tersebut. Pada penderita fibromyalgia dengan skor harapan yang tinggi menunjukkan penerimaan yang lebih tinggi pada rasa sakitnya yang kronis dan membuatnya lebih menerima dirinya serta menjadi individu yang lebih kuat Tedeschi dkk, 1998. b. Dukungan sosial social support Seperti yang telah dijelaskan pada skema pembentukan PTG, Tedeschi Calhoun 2004 menyebutkan bahwa dukungan sosial merupakan salah satu faktor yang dapat mendukung perkembangan PTG seseorang. Dukungan sosial mungkin mempelopori perkembangan PTG dengan mempengaruhi perilaku coping seseorang dan membantu keberhasilan seseorang dalam menghadapi krisis Tedeschi dkk, 1998. Calhoun Tedeshi menjelaskan bahwa usaha seseorang untuk mengatasi dan beradaptasi dengan trauma akan terjadi dengan bantuan lingkungan sosial dan selanjutnya menurut Lepore dkk kesempatan untuk mendiskusikan pengalaman traumatiknya yang mungkin dapat membantu memahami situasi tersebut dan menciptakan PTG dalam Digens, 2003. Sudah banyak penelitian yang meneliti tentang hubungan antara social support dengan PTG, antara lain seperti yang dijelaskan dalam Digens 2003 yaitu, penelitian Cordova dkk 2001 dimana terdapat hubungan yang signifikan antara social support dengan PTG pada penderita kanker payudara dan penelitian Park dkk 1996 tentang kepuasan akan social support dengan PTG. c. Coping religius Agama memiliki peranan sebagai coping seseorang dalam menghadapi kejadian stressful, antara lain sebagai coping yang digunakan bagi seseorang yang kehilangan anak, pasangan atau teman dekat Profitt dkk, 2007. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan Thombre dkk 2010 menunjukkan bahwa penggunaan coping religius positif akan menghasilkan PTG yang lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan coping religius negatif. Dari keempat dimensi positif dan negatif coping religius menunjukkan bahwa penggunaan benevolent religious reappraisal positif coping yang tinggi dan penggunaan punishing reappraisal negatif coping yang rendah melaporkan nilai yang tinggi pada PTG. d. Optimisme Beberapa penelitian menunjukkan bahwa optimisme memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Optimisme memberikan pengaruh pada orang-orang yang mengalami kejadian traumatik, sebagai contoh dengan menampilkan kemampuan beradaptasi pada stressor medis diantaranya pada pasien yang melakukan operasi jantung, kelahiran anak, keguguran, dan orang dengan HIV positif Tedeschi dkk, 1998. Individu yang optimis lebih mendapatkan keuntungan atau perubahan ketika mengalami traumatik dibandingkan individu yang pesimis, karena individu yang optimis memiliki pandangan positif akan masa depannya. Selain itu optimisme tidak berkaitan dengan strategi coping yang kaku, optimisme berkaitan dengan strategi coping dalam menghadapi stress dalam hidup. Kemudian optimisme juga dapat menjadi sebuah prediktor pada kemampuan seseorang dalam mengatur hal-hal yang berkaitan dengan kejadian traumatik Prati Pietrantoni, 2009. e. Agama dan Spiritualitas Shaw dkk 2005 menyebutkan bahwa terdapat hubungan antara agama atau spiritualitas dengan trauma, dimana agama dan spiritualitas dapat membantu seseorang menghadapi traumanya dan dapat membantu meningkatkan perkembangan PTG. Shaw dkk juga menyatakan bahwa aspek intrinsik dari agama dan spiritualitas memiliki hubungan dengan PTG, dimana aspek intrinsik tersebut menciptakan makna, tujuan dan keseimbangan dalam hidup dalam Hewit, 2007. Digens 2003 menyatakan bahwa kepercayaan agama dan spiritualitas dapat mempengaruhi PTG, khususnya pada area spiritual change perubahan spriritual. f. Usia dan Jenis Kelamin Usia seseorang mempengaruhi bagaimana perkembangan PTG pada dirinya. Diggens 2003 menjelaskan bahwa beberapa studi menunjukkan seseorang dengan usia yang lebih muda memiliki PTG yang lebih besar dibandingkan yang lebih tua. Hal ini mungkin terjadi karena orang dengan usia yang lebih muda lebih fleksibel dan terbuka terhadap perubahan dalam hidupnya. Namun ada beberapa penelitian juga yang tidak menunjukkan bahwa ada hubungan antara usia dengan PTG. Selanjutnya masih dalam Diggens 2003 juga dijelaskan bahwa wanita memiliki perkembangan PTG yang lebih baik dibandingkan pria. Namun juga ada beberapa penelitian yang tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara jenis kelamin dengan PTG. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh jenis kejadian traumatik yang dialami atau karakteristik yang berbeda dalam sebuah populasi Diggens, 2003. g. Time Since Event Interval atau jarak waktu antara kejadian traumatik dengan keadaan saat ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi PTG. Namun interval waktu sampai seseorang mengalami PTG terjadi berbeda-beda pada setiap orang. Pada beberapa kejadian mungkin PTG dapat terjadi segera setelah kejadian stressful muncul, namun pada beberapa kejadian tidak. Hal ini mungkin disebabkan juga oleh jenis kejadian traumatik ataupun karakteristik individu yang mengalaminya Tedeschi dkk, 1998. Misalnya pada penelitian yang dilakukan secara longitudinal oleh Manne dkk 2004 pada pasien kanker payudara dan pasangannya ditemukan bahwa perubahan psikologis terjadi pada mereka setelah pasien didiagnosa menderita kanker, kemudian PTG meningkat pada keduanya setelah 1,5 tahun pasca diagnosa. Pada beberapa literatur empirik, sebagian besar frekuensi yang dibutuhkan untuk mengukur PTG adalah satu tahun setelah kejadian traumatik terjadi. Helgeson dkk 2006 menemukan bahwa PTG memiliki hubungan yang kuat dengan tingkat depresi yang rendah dan memiliki perubahan yang lebih besar ketika sebuah trauma terjadi lebih dari satu tahun yang lalu dalam Hanson, 2010. h. Karakteristik dari Kejadian Traumatik Apabila jenis kejadian traumatik yang terjadi berbeda, maka akan berbeda pula perkembangan PTG yang terjadi. Petrie dkk 1999 menjelaskan misalnya perbedaan yang terjadi antara studi pada orang yang menderita penyakit jantung dengan wanita yang menderita kanker payudara dalam Diggens, 2003. Selanjutnya Park serta Tedeschi Calhoun menyebutkan bahwa orang yang mengalami pengalaman traumatik yang berat atau masalah yang lebih berat dalam hidup akan mengalami kemungkinan perkembangan PTG yang lebih baik dalam Diggens, 2003. i. Faktor Lain Dalam studi Manne dkk 2004 pada pasien kanker payudara dan pasangannya, positive reappraisal, emotional processing, emotional expression, dan cognitve processing memiliki hubungan dengan PTG. Calhoun dkk 2000 mengemukakan bahwa cognitive process dan agama memiliki korelasi yang positif dengan PTG. Faktor lain yang juga memberikan pengaruh pada PTG antara lain positive reappraisal coping, acceptance coping dan pencarian dukungan sosial seeking social support Prati Pietrantoni, 2009, status ekonomi, self- esteem, positive affect, negative affect, intrusive-avoidant thoughts, global distress dan life satisfaction yang juga memberikan sumbangsih pengaruh kepada perkembangan PTG seseorang Helgeson, dalam Prati Petrantoni, 2009, dan self disclosure Tedeschi Calhoun, 2004.

2.2 Harapan Hope

2.2.1 Pengertian

Snyder Lopez 2007 mendefinisikan harapan hope sebagai pikiran seseorang yang menuju pada tujuan secara langsung dengan menggunakan waypower atau pathways thinking cara dalam mencapai keinginan dan willpower atau agency thinking motivasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Hanya tujuan dengan nilai yang sesuai dengan individu yang dapat dipertimbangkan untuk digunakan sebagai harapan. Tujuan tersebut mungkin berkaitan dengan hal-hal yang mengarah dengan tujuan yang diinginkan atau hal- hal yang mengarah pada penghentian kejadian yang tidak diinginkan. Orang yang memiliki harapan yang tinggi memiliki emosi positif dan semangat yang bersumber dari sejarah kesuksesan yang pernah dicapai, sedangkan orang yang memiliki harapan yang rendah memiliki emosi negatif dan emosi yang datar yang bersumber dari sejarah kegagalan yang terjadi dan tidak dapat menemukan cara alternatif lain Snyder, 2007. Snyder 1994 harapan hope adalah :“the sum of the mental willpower dan waypower that you have for your goals ”. Menurut Snyder 1994, bagaimana seseorang berpikir dan menginterpretasikan lingkungan eksternalnya merupakan kunci untuk memahami harapan. Harapan memiliki 3 komponen utama, yaitu goal, waypower, dan willpower.

2.2.2 Komponen dalam Harapan Hope

Menurut Snyder 1994 komponen harapan antara lain:

1. Tujuan goal

Tujuan merupakan suatu objek, pengalaman atau hasil yang dibayangkan dan didambakan oleh seseorang dalam benaknya. Konsep harapan menjadi sesuatu yang relevan terkait dengan tujuan yang penting dan serius dalam hidup seseorang. Snyder menjelaskan bahwa ketika peluang untuk mencapai tujuan yang didambakan sama sekali tidak ada 0 atau peluangnya sangat pasti dapat dicapai 100 maka konsep harapan tidak relevan. Penyebabnya adalah hasilnya sudah dapat ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, konsep harapan relevan pada tujuan yang terletak diantara sesuatu yang pasti akan tercapai dan sesuatu yang pasti tidak akan pernah tercapai Snyder, 1994. Tujuan dapat berjangka pendek dapat dicapai dalam waktu yang singkat atau berjangka panjang dicapai dalam waktu yang panjang Snyder, 2007. Tujuan harus bersifat dapat dicapai, tetapi juga dapat terdiri dari beberapa tingkat ketidakpastian Snyder, 2005.

2. Willpower

Snyder 1994 menyatakan bahwa willpower merupakan kekuatan pendorong dalam berpikir dengan penuh harapan hopeful thinking. Willpower adalah “the sense of mental energy that over time helps to propel person toward goal”. Agency thinking atau willpower merupakan kapasitas seseorang motivasi untuk menggunakan sebuah cara dalam mencapai keinginan yang diharapkan. Agency thinking merefleksikan tentang pemikiran untuk memulai sebuah cara atau jalan yang ingin diambil dan melanjutkan jalan yang diambil tersebut. Agency thinking sangat penting dalam pencapaian suatu tujuan, tetapi lebih memiliki pengaruh saat seseorang menghadapi rintangan atau hambatan Snyder, 2005. Berikut ini merupakan visualisasi dari konsep willpower menurut snyder: Bagan 2.4 Visualisasi Willpower Dalam visualisasi diatas, willpower tanda panah menggerakan seseorang dari poin A yang menggambarkan keadaan saat ini menuju ke pencapaian tujuan yang digambarkan dengan poin B. Willpower berisikan keteguhan hati dan komitmen yang dapat digunakan untuk membantu menggerakkan seseorang untuk maju ke arah pencapaian tujuan yang ditetapkan dalam suatu momen tertentu. Willpower memunculkan persepsi seseorang untuk dapat melakukan dan mempertahankan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan yang diinginkan terutama tujuan yang penting dalam kehidupan Snyder, 1994. Willpower dapat lebih mudah dibangkitkan ketika seseorang dapat memahami dan mempresentasikan tujuan yang jelas dalam benaknya. Tujuan yang samar tidak mencetuskan dorongan secara mental untuk maju. Oleh karena itu, ketika seseorang dapat mengklarifikasi tujuannya maka ia cenderung dapat mengisi dirinya dengan pemikiran yang aktif dan memberdayakan diri menuju pencapaian tujuan. Willpower juga memunculkan keyakinan dalam diri seseorang bahwa ia mampu melakukan suatu tindakan menuju pencapaian tujuan Snyder, 1994. Orang yang memiliki kapasitas agency thinking yang baik akan memiliki pernyataan atau perkataan pada dirinya sendiri seperti “Saya akan tetap berusaha” A B dan mereka akan menghasilkan serta menggunakan perkataan yang bersifat motivasional ketika menghadapi rintangan atau hambatan Snyder, 2007. Kemampuan seseorang untuk menciptakan willpower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan yang mengaktifasikan benak dan tubuh kita untuk mengejar tujuan. Penting untuk digarisbawahi bahwa willpower tidak diperoleh ketika seseorang menjalani kehidupannya dengan mudah dimana tujuan dapat dicapai tanpa adanya rintangan. Seseorang yang memiliki willpower adalah seseorang yang telah mampu mengatasi kesulitan-kesulitan sebelumnya dalam hidup Snyder, 1994.

3. Waypower

Snyder 1994 mengemukakan definisi waypower sebagai berikut: “a mental capacity we can call on to find one more effective ways to reach our goal”. Waypower merefleksikan rencana atau peta jalur secara mental yang menunjuk pada pemikiran yang penuh harapan hopeful thinking. Waypower adalah kapasitas mental yang dapat digunakan untuk menemukan satu atau lebih cara yang efektif untuk mencapai tujuan Snyder, 1994. Pathways thinking atau waypower berkaitan dengan kapasitas seseorang dalam menggunakan jalan atau cara untuk mencapai tujuan yang diinginkan Snyder, 2005. Waypower berhubungan dengan bagaimana seseorang mencari cara alternatif ketika sebuah cara tidak dapat digunakan seperti memiliki self-talk positif tentang bagaimana ia menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya Snyder, 2007. Berikut ini adalah visualisasi konsep waypower menurut Snyder 1994: Bagan 2.5 Visualisasi Waypower Dalam visualisasi diatas, waypower menunjukan suatu rute tanda panah yang harus dijalani dan dilalui seseorang dari poin A menuju tujuan poin B. Secara khusus, kemampuan waypower seseorang dapat ditetapkan dalam beberapa tujuan yang berbeda satu sama lain. Secara umum, seseorang tampak lebih mudah untuk merencanakan secara efektif ketika tujuan yang hendak dicapai dapat didefinisikan atau dioperasionalkan dengan baik. Sama seperti willpower, waypower lebih sering terjadi terkait dengan tujuan yang lebih penting. Tujuan yang lebih penting bagi seseorang cenderung memunculkan perencanaan yang kaya. Hal ini terjadi karena seseorang dalam perkembangannya cenderung menghabiskan banyak waktu untuk berpikir tentang bagaimana meraih tujuan yang lebih penting dan cenderung mempraktekkan perencanaan terkait dengan tujuan yang lebih penting tersebut Snyder, 1994. Kemampuan seseorang untuk menciptakan waypower didasarkan pada pengalaman sebelumnya tentang keberhasilan menemukan satu atau lebih cara mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Persepsi seseorang akan kemampuannya A B mengembangkan cara atau jalan menuju tujuannya kemungkinan diperkaya oleh pengalaman sebelumnya. Pengalaman keberhasilan sebelumnya yang dimaksud adalah dalam hal mengembangkan suatu cara atau jalur baru menuju tujuan pada saat adanya hambatan dalam menjalankan cara yang biasanya dipakai menuju tujuan tersebut Snyder, 1994. Dalam hal ini. waypower termasuk bersifat fleksibel untuk menemukan suatu alternatif jalur menuju pencapaian tujuan yang didambakan. “Jika anda tidak melakukannya dengan suatu cara tertentu, lakukanlah dengan cara yang berb eda” Snyder, 1994 Bagan 2.6 Visualisasi Waypower Terkait dengan Rintangan Hambatan Dalam visualisasi diatas tampak adanya jalur lurus dari poin A kedaaan saaat ini menuju poin B tujuan yang didambakan melalui jalur yang biasanya digunakan. Namun kemudian di antaranya terdapat hambatan kotak stop. Seseorang dengan kemampuan waypower yang tinggi secara mental mampu merencanakan jalur lainnya menuju tujuan yang didambakan tersebut panah melengkung. Keyakinan bahwa terdapat beberapa jalan atau jalur yang dapat dilalui menuju pencapaian tujuan dimiliki oleh seseorang dengan kemampuan A B STOP waypower yang tinggi. Dalam hal ini, seseorang mengubah blueprint yang dimilikinya dan menyesuaikannya dengan tujuan yang didambakan dan rintangan yang harus dihadapinya. Tidak semua orang dapat mempersepsikan bahwa dirinya mampu membuat suatu rencana baru melainkan kebanyakan orang cenderung merasa terhambat dan kehabisan cara ketika mengalami hambatan dalam usaha pencapaian tujuan Snyder, 1994.

2.2.3 Skema Willpower dan Waypower Terkait dengan Teori

 Emotions Emotions Learning History Pre-event Event Sequence Bagan 2.7 Skema Willpower dan Waypower Snyder, 2005 2.2.4 Variasi Harapan Berdasarkan Kombinasi Willpower dan Waypower Menurut Snyder 1994, seseorang yang memiliki personal sense of willpower sebaliknya juga memiliki pemikiran terkait waypower menuju pecapaian tujuan yang didambakan. Namun seringkali hal ini tidak terjadi. Penelitian menujukkan bahwa seseorang dengan kemampuan berpikir willpower tidak selalu memiliki pemikiran terkait waypower. Seseorang yang tidak memiliki keduanya, willpower Outcome value Waypower Willpower Goal behavior tercapai atau tidak tercapai Waypower Willpower dan waypower, tidak dapat dikatakan bahwa harapannya tinggi. Terdapat empat jenis variasi tentang kombinasi willpower dan waypower Snyder, 1994, yaitu: 1. Willpower rendah dan waypower rendah. Seseorang dapat dikatakan memiliki tingkat harapan yang rendah. Menurut Snyder 1994, seseorang dengan kombinasi pertama ini rentan mengalami depresi karena selalu berpikir bahwa dirinya tidak mampu meraih tujuan yang didambakannya. Hal ini semakin memburuk ketika seseorang tidak mampu mendefinisikan atau mengoptimalkan tujuannya. 2. Willpower tinggi dan waypower rendah. Seseorang tampak memiliki energi yang cukup untuk mencapai tujuan yang diharapkan namun tidak berpikir bahwa dirinya menuju tujuan yang didambakan. Menurut Snyder 1994 dalam beberapa keadaan, ketidakmampuan seseorang dalam berpikir tentang cara untuk mencapai suatu tujuan willpower cenderung mengakibatkan frustasi atau kemarahan yang diasosiasikan dengan kinerjanya yang buruk. Selain itu, ketika waypower yang rendah terus dirasakan dalam jangka waktu yang lama maka seseorang cenderung akan mengalami kehilangan waypower. 3. Willpower rendah dan waypower tinggi, dalam benaknya memiliki berbagai kemungkinan yang dapat dilakukan tentang bagaimana caranya meraih tujuan namun cenderung memiliki keyakinan yang rendah akan kemampuannya dalam menggunakan berbagai kemungkinan yang ada Snyder, 1994. 4. Willpower tinggi dan waypower tinggi, merupakan profil diri seseorang dengan tingkat harapan yang tinggi. Seseorang cenderung memiliki mental yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai Snyder, 1994. 2.3 Coping Religius 2.3.1 Pengertian Coping religius terdiri dari dua kata yaitu coping dan religius. Lazarus Folkman menyatakan definisi dari coping adalah perubahan usaha kognitif dan perilaku secara konstan untuk mengelola permintaan eksternal dan internal yang dinilai sebagai sebuah beban yang bersumber pada seseorang dalam Rice, 2000. Menurut Folkman Moskowitz 2004 dan Taylor Stanton 2007 coping dapat didefinisikan sebagai pikiran dan perilaku yang digunakan untuk mengatur tuntutan keadaan yang dinilai menekan baik secara internal maupun eksternal dalam Taylor, 2009. Coping memilliki beberapa karakteristik penting. Pertama, hubungan antara coping dan kejadian yang penuh stress merupakan proses yang dinamis. Coping bukanlah hanya tindakan seseorang pada satu waktu tetapi lebih merupakan seperangkat respon dimana lingkungan dan individu saling berinteraksi satu sama lain. Kedua, definisi coping memiliki arti yang luas. Coping merupakan segala tindakan dan reaksi yang didapatkan dari situasi yang menekan. Berdasarkan pengertian ini, reaksi emosi, termasuk marah dan depresi menjadi bagian dari proses coping selama tindakan tersebut merupakan reaksi dalam menghadapi kejadian stressful Taylor, 2009. Pargament menyatakan bahwa agama merupakan hal yang kompleks dan bersifat personal, tidak ada satu definisi yang dengan lengkap menjelaskan dengan tepat. Namun karena dibutuhkan definisi operasional yang dibutuhkan dalam pengukuran dalam penelitian Pargament memberikan definisi agama adalah “search for significance inways related to the sacred” pencarian makna atau arti dengan cara yang berhubungan dengan kesakralan dalam Raiya, 2008. Pargament dkk 2005 menyatakan bahwa coping religius adalah metode coping yang menggunakan pendekatan agama dalam memahami dan berdamai dengan kejadian hidup yang kritis. Agama dapat berguna dalam penggunaan coping karena dua alasan. Alasan pertama menurut Laubmeier, Zakowski, Blair 2004, agama menyediakan sistem kepercayaan belief system dan cara berpikir tentang kejadian yang stressful dengan mempelajari tekanan tersebut dan memungkinkan seseorang mencari arti dari kejadian traumatik yang mereka hadapi. Sedangkan alasan kedua menurut George dkk 2002, agama dapat menyediakan dukungan sosial dari organisasi keagamaan yaitu dengan cara berbagi mengenai kepercayaan mereka dalam Taylor, 2009.

2.3.2 Pendekatan Coping Religius

Paragment dkk dalam Pargament dkk, 2005 menjabarkan ada tiga pendekatan coping religius dalam proses penyelesaian masalah, yaitu: a. Deffering, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu menyerahkan tanggung jawab dalam menyelesaikan masalah pada Tuhan. b. Self directing, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan memberikannya kekuatan atau kemampuan padanya sebagai sumber baginya untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. c. Collaborative, yaitu pendekatan yang dilakukan dimana individu merasa Tuhan dapat menjadi pasangannya untuk berbagi tanggung jawab untuk menyelesaikan masalahnya. Menurut Pargament dkk 2005 coping religius memiliki 5 fungsi utama, antara lain: 1. Sebagai pencarian makna dari sebuah kejadian 2. Sebagai pencarian kekuasaan dan kontrol sebuah kejadian 3. Sebagai pencarian kenyamanan dan kedekatan dengan Tuhan 4. Sebagai pencarian keintiman dengan orang lain dan kedekatan dengan Tuhan 5. Sebagai pencarian pencapaian transformasi kehidupan. Agama merupakan bagian dari proses pemahaman dan penerimaan seseorang pada kejadian yang krisis dalam kehidupannya. Agama berfungsi di dalam sebuah coping antara lain dilihat dari penggunaan „siapa‟ misalnya Tuhan, „apa‟ misalnya berdoa, membaca kitab suci, ritual, „kapan‟ misalnya stressor yang akut, stressor yang kronis, „dimana‟ misalnya pada sebuah komunitas atau personal dan „kenapa‟ misalnya untuk mencari makna dalam sebuah coping Pargament dkk, 2005.

2.3.3 Aspek Coping Religius

Pargament dkk 2000 dalam Raiya, 2008 mengidentifikasi dua pola dalam coping religius, antara lain: a. Coping religius positif Yaitu coping religius yang menggambarkan sebuah hubungan yang kuat dengan Tuhan, kepercayaan bahwa sebuah makna yang lebih besar akan ditemukan dan rasa akan keterhubungan secara spiritualitas dalam Raiya, 2008. Coping ini cenderung lebih bermanfaat untuk orang yang mengalami kejadian hidup yang menekan. Ano Vasconcelles 2005 dalam Pargament dkk, 2005 menemukan bahwa coping religius positif berhubungan dengan positive outcomes seperti stress-related growth, pertumbuhan spiritual dan kepuasan hidup yang lebih besar. Selain itu coping religius positif ini juga berhubungan secara negatif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, hopelessness dan rasa bersalah. b. Coping religius negatif Yaitu coping religius yang menggambarkan ekspresi hubungan yang kurang kuat dengan Tuhan, pandangan yang tidak menyenangkan tentang dunia, perjuangan untuk mencari dan melestarikan makna kehidupan yang secara general lebih bersifat maladaptif dalam Raiya, 2008. Ano Vasconcelles 2005 menemukan bahwa coping religius negatif berhubungan positif dengan negative outcomes seperti depresi, kecemasan, sifat tidak berperasaan callousness, PTSD dan permasalahan dengan spiritualitas pada sampel orang-orang yang mengalami kejadian negatif. Selain itu coping religius negatif juga memiliki akibat yang berbahaya pada fungsi fisik dalam Pargament dkk, 2005. Kemudian Tarakeshwar Pargament dalam Raiya, 2008 menemukan coping religius positif berhubungan dengan outcome religius yang lebih tinggi misalnya perubahan kedekatan dengan Tuhan dan peningkatan spiritual, sedangkan coping religius negatif memiliki hubungan yang lebih besar pada afek depresif dan outcome religius yang rendah.

2.4 Dukungan Sosial Social Support

2.4.1 Pengertian

Dukungan sosial banyak diartikan dalam beberapa pengertian. Taylor 2009 mendefinisikan dukungan sosial sebagai informasi yang diberikan oleh orang dengan memberikan kasih sayang dan kepedulian, dan merupakan bagian dari komunikasi dan bersifat mutualisme. Dukungan ini bisa didapatkan dari orang tua, pasangan, teman dan komunitas. Selanjutnya Sherbourne Stewart 1991 mendefinisikan dukungan sosial dengan melihat fungsi dari beberapa aspek dukungan sosial yang berbeda emotional support, informational support, tangible support, affectionate support dan positive social interaction tanpa melihat darimana sumber dukungan sosial tersebut berasal. Sarason dkk 2001 mengartikan dukungan sosial dengan membagi dukungan menjadi dukungan informasi, dukungan nyata dan dukungan emosi dalam Diggens, 2003. Gentry Kobasa, Watson dkk, Wills Fegan dalam Sarafino, 1996 mendefinisikan social support sebagai pemberian rasa nyaman, peduli, penghargaan atau membantu seseorang menerimanya dari orang atau kelompok lain. Taylor 2009 menyatakan bahwa dukungan sosial terdiri dari beberapa jenis, antara lain: 1. Tangible assistance atau dukungan nyata. Dukungan yang berbentuk material seperti pelayanan, bantuan finansial atau berupa barang-barang. 2. Informational support atau dukungan informasi. Dukungan yang berbentuk informasi yang dapat membantu individu lebih memahami kejadian menekan atau stressful yang dihadapi dan dapat menentukan sumber permasalahan dan strategi coping yang akan dilakukan. 3. Emotional support atau dukungan emosional. Dukungan yang diberikan dengan menenangkan seseorang bahwa mereka adalah orang yang berharga yang patut untuk dipedulikan. 4. Invisible support atau dukungan yang tidak terlihat. Dukungan yang diberikan seseorang yang terkadang tidak disadari oleh orang yang mendapatkan dukungan yang secara tidak sadar bermanfaat bagi orang kesehatan fisik dan mental orang tersebut. Sherbourne Stewart 1991 mengklasifikasikan dukungan sosial antara lain: 1. Informational support, yaitu dukungan yang berupa nasihat, informasi, bimbingan dan saran. 2. Emotional Support, yaitu dukungan berupa ekspresi afek yang positif, rasa empati dan ekspresi perasaan yang dapat memberikan ketenangan hati. 3. Affectionate support, yaitu dukungan yang berupa ekspresi cinta dan kasih sayang. 4. Positive social interaction, yaitu dukungan yang berupa ketersediaan orang lain untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan bersama. 5. Tangible support, yaitu dukungan yang berupa pemberian bantuan material atau bantuan yang ditunjukkan dengan perilaku.

2.4.2 Efek Dukungan Sosial

Ada dua model efek dukungan sosial yang dinyatakan Gottlieb 1983, yaitu: 1. Efek langsung direct effect Merupakan dukungan yang diberikan secara langsung dan tidak terkait dengan keadaan stress sebagai peningkatan kesejahteraan dan untuk meningkatkan kualitas hidup seseorang. 2. Efek pelindung buffering effect Efek pelindung menggambarkan adanya peranan penting pada dukungan sosial dalam memelihara keadaan psikologis seseorang dalam keadaan mengalami tekanan. Karenanya, model ini melihat sumber daya dalam hubungan sosial yang menimbulkan pengaruh positif sebagai pelindung terhadap efek negatif dari stress.

2.4.3 Sumber-sumber Dukungan Sosial

Sumber dukungan sosial menurut Gottlieb 1983 berasal dari hubungan profesional dan non profesional atau significant others. Adapun yang dimaksud dengan hubungan yang bersumber pada non profesional misalnya pasangan seperti pacar, suami atau istri, anggota keluarga, teman dan sebagainya. Sedangkan hubungan profesional misalnya hubungan dengan psikolog, psikiater, dokter dan sebagainya. Yang dimaksud dengan hubungan non profesional sebagai hubungan yang menempati bagian terbesar dari kahidupan seseorang dan menjadi sumber dukungan sosial yang paling potensial. Ini karena hubungan non profesional mudah didapat, memiliki nilai dan norma yang sesuai dengan penerimaan dukungan mengenai apa dan bagaimana sebenarnya dukungan sosial diberikan. Dengan demikian dua dukungan sosial yang diungkapkan oleh Gottlieb memiliki perbedaan karakteristik tetapi keduanya menandakan adanya hubungan penerima dan pemberi Gotlieb, 1983. Sedangkan menurut Rock Dooley, ada dua sumber dukungan sosial yaitu sumber artifisial dan sumber natural. Dukungan sosial yang natural diterima seseorang melalui interaksi sosial dalam kehidupannya secara spontan dengan orang-orang yang berada di sekitarnya, misalnya anggota keluarga, teman dekat atau relasi. Dukungan sosial ini bersifat nonformal. Sementara itu yang dimaksud dengan dukungan sosial artifisial adalah dukungan sosial yang dirancang ke dalam kebutuhan primer seseorang, misalnya dukungan sosial akibat bencana alam melalui berbagai sumbangan sosial Kuntjoro, 2002. Kuntjoro 2002 menyatakan sumber dukungan sosial natural bersifat apa adanya tanpa dibuat-buat sehingga mudah diperoleh dan bersifat spontan, memiliki kesesuaian dengan norma yang berlaku tentang kapan sesuatu harus diberikan, berakar dari hubungan yang telah lama, memiliki keragaman dalam penyampaian dukungan sosial, mulai dari pemberian barang-barang nyata hingga sekedar menemui seseorang dengan menyampaikan salam dan dukungan sosial yang natural itu juga terbebas dari beban dan label psikologis.

2.5 Kerangka Berpikir

Setiap manusia pasti pernah mengalami kejadian-kejadian yang bersifat traumatik yang kemudian mengubah kehidupannya. Kejadian traumatik ini dapat memberikan perubahan baik perubahan yang bersifat negatif ataupun positif. Salah satu contoh kejadian traumatik terjadi pada recovering addict atau pecandu yang menjalani pemulihan. Hewit 2002; 2007 menyatakan bahwa adiksi dapat dilihat sebagai sebuah trauma dan dapat memberikan efek positif dan negatif sebagai hasil dari pengalaman yang dihadapi. Trauma ini dapat secara langsung berhubungan dengan pengalaman adiksi yang tidak dapat terkontrol atau secara tidak langsung berhubungan dengan masalah yang diakibatkan penggunaan NAPZA lain seperti peningkatan resiko akan tindakan kekerasan, masalah kesehatan mental dan masalah lain yang berhubungan dengan pengalaman yang menekan stressful Hewit, 2007. Pengalaman yang dapat memberikan perubahan positif yang terjadi sebagai hasil dari perjuangan seseorang dalam menghadapi tantangan krisis kehidupan yang tinggi ini disebut dengan Posttraumatic Growth PTG. Data menyebutkan bahwa orang yang mengalami kejadian traumatik melaporkan beberapa perubahan positif setelah mereka menghadapi kejadian traumatik meskipun berat atau kerasnya penderitaan mungkin seimbang dengan pengalaman akan perubahan positif yang mungkin terjadi Calhoun Tedeschi, 2004. Perubahan positif yang terjadi pasca kejadian traumatik atau Posttraumatic Growth ini dipengaruhi oleh banyak faktor. Pada penelitian yang dilakukan oleh Ho dkk 2010 harapan hope menjadi indikator penting pada PTG pasien kanker rongga mulut. Orang yang memiliki harapan yang tinggi akan memiliki keyakinan bahwa mereka memiliki keyakinan untuk menghadapi kesulitan yang dihadapi. Mereka fokus pada keberhasilan bukan pada kegagalan yang telah mereka lakukan. Orang dengan harapan tinggi memiliki willpower komitmen seseorang untuk mencapai tujuan dan waypower bagaimana seseorang menemukan cara untuk mencapai tujuan yang diinginkannya yang baik. Seseorang cenderung memiliki mental yang sangat memadai dan memiliki ide tentang cara meraih tujuan yang juga sangat memadai Snyder, 1994. Hal ini tentu dapat meningkatkan PTG pada pengguna NAPZA dimana pengguna NAPZA dapat menghadapi kondisi stressful dan memiliki keyakinan untuk melewatinya. Coping religius juga membantu pengguna NAPZA dalam meningkatkan PTG. Dengan menggunakan agama sebagai pendekatan coping akan masalah yang dihadapi, individu juga mampu mengembangkan perubahan positif dalam dirinya. Bentuk coping seperti coping religius positif yaitu dengan memberikan penilaian yang baik dan memiliki hubungan spiritual dengan Tuhan juga akan mempengaruhi perkembangan PTG pada seseorang dengan arah pengaruh yang positif. Begitu pula pada coping religius negatif yaitu dengan merasa bahwa kejadian yang ia hadapi adalah hukuman dari Tuhan juga ikut serta mempengaruhi perkembangan PTG dengan arah pengaruh yang negatif. Coping religius memberikan sejumlah tujuan dalam kehidupan dan krisis seperti memberikan arti pada kejadian yang negatif, berperan sebagai kontrol diri dalam situasi yang sulit, memberikan kenyamanan saat seseorang menghadapi suatu masalah, memberikan kedekatan dengan Tuhan dan membantu orang dalam membentuk sebuah tranformasi kehidupan Pargament dkk, 2005. Selain itu dukungan yang didapatkan dari lingkungan juga dapat membantu meningkatkan PTG seseorang. Social support dapat mempengaruhi PTG dengan mempengaruhi coping tingkah laku seseorang dan membantu seseorang dalam keberhasilannya beradaptasi dengan krisis kehidupan Prati Pietrantoni, 2009. Social support juga dibutuhkan oleh recovering addcit antara lain mendapatkan dukungan baik berupa dukungan material ataupun non-material antara lain seperti dukungan informasi informational support, dukungan emosi emotional support, dukungan kasih sayang affectionate support, interaksi sosial yang positif positive social interaction dan dukungan nyata tangible support sehingga mereka merasa bahwa mereka tidak sendiri dan merasa lebih termotivasi untuk melakukan sebuah perubahan yang positif. Selanjutnya faktor demografis seperti umur dan fase rehabilitasi juga mempengaruhi perkembangan PTG. Studi yang dilakukan pada penderita kanker payudara menunjukkan bahwa semakin muda usia seseorang saat mengalami kejadian traumatik maka semakin tinggi tingkat PTG-nya. Selain itu McMillen dalam Hewit, 2007 menyatakan bahwa recovering addict pada fase awal rehabilitasi memiliki tingkat PTG yang rendah, yang kemudian juga dijelaskan pada penelitian yang dilakukan Hewit 2002; 2007 yang didapatkan bahwa recovering addict pada 3 tahun pasca recovery memiliki PTG yang lebih tinggi. Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk meneliti faktor manakah yang paling berpengaruh dalam perkembangan PTG pada recovering addict di UPT TR BNN Lido. Bagan 2.8 Kerangka Berpikir Posttraumatic Growth PTG Waypower Willpower Coping Religius Positif Coping Religius Negatif Informational Support Emotional Support Affectionate Support Positive Social Interaction Tangible Support Fase Rehabilitasi Usia Harapan Hope Coping Religius Social Support

2.6 Hipotesis Penelitian