Dan bila perusahaan memiliki payable dalam suatu valas yang akan apresiasi Forward Rate Spot Rate, maka hedging perlu dilakukan. Sebaliknya
jika valas tersebut depresiasi Forward Rate Spot Rate, maka hedging tidak perlu dilakukan.
2.1.5. Motif Hedging
Tufano 1996, menguraikan teori-teori motif hedging oleh perusahaan menjadi dua kelompok, yaitu 1 kelompok teori motivasi hedging yang
berdasarkan pada paradigma maksimisasi kekayaan pemegang saham shareholders wealth maximization, dan 2 kelompok teori motivasi hedging
yang berdasarkan pada paradigma maksimisasi utilitas manajer managers utility maximization.
Teori-teori motif hedging yang termasuk dalam paradigma pertama adalah : 1 hipotesis insentif atau penghematan pajak, 2 hipotesis pengurangan biaya-
biaya transaksi yang berkaitan dengan risiko kepailitan, 3 hipotesis peningkatan debt capacity yang juga meningkatkan debt-tax shield dan 4 hipotesis
pengurangan permasalahan under-investment dan asset substitution sehubungan dengan agency problem antara pemegang saham dan kreditur. Sedangkan teori-
teori motif hedging yang termasuk di dalam kelompok paradigma managers utility maximization adalah : 1 hipotesis perilaku risk aversion dari manajer yang
kekayaannya tidak well-diversified, dan 2 hipotesis signaling reputasi, kemampuan dan kompetensi manajer.
Meskipun penelitian-penelitian empiris memberikan hasil yang beragam, namun secara umum dapat dikatakan bahwa kebijakan hedging perusahaan lebih
dimotivasi oleh keinginan untuk memaksimumkan kekayaaan pemegang saham shareholder wealth maximization daripada memaksimumkan utilitas manajer.
Dengan demikian diperlukan penelitian untuk menganalisis apakah perusahaan yang melakukan hedging memiliki nilai pemegang saham yang lebih tinggi
daripada perusahaan yang tidak melakukan hedging. Hal ini sangat krusial di dalam membuktikan relevansi nilai dari kebijakan hedging perusahaan.
Allayanis dan Weston 2001 adalah satu-satunya peneliti yang melakukan investigasi secara empiris mengenai pengaruh kebijakan hedging perusahaan
terhadap nilai perusahaan. Berdasarkan data yang diperoleh dari 720 perusahaan
besar non-finansial di Amerika Serikat selama periode 1990-1995, Allayanis dan Weston 2001 menemukan bukti bahwa kebijakan hedging meningkatkan nilai
perusahaan. Dengan menggunakan berbagai variabel kontrol diperoleh estimasi bahwa rata-rata nilai perusahaan yang memiliki eksposur valuta asing dan
menggunakan derivatif valuta asing adalah sekitar 4,87 persen lebih tinggi daripada nilai perusahaan dengan eksposur yang sama sekali tidak menggunakan
derivatif valuta asing.
2.2. Foreign Exchange Exposure
Foreign exchange exposure dapat diartikan sebagai suatu risiko yang akan dihadapi oleh perusahaan yang timbul akibat fluktuasi kurs mata uang. Risiko
valuta ini memberikan pengaruh pada arus kas perusahaan dan pada akhirnya berpengaruh pada nilai perusahaan. Menurut Eiteman et al 2003, foreign
exchange exposure dibedakan menjadi 3 bentuk, yaitu : 1. Transaction exposure; 2. Operating exposure ; 3. Accounting exposure.
Transaction exposure
mengukur perubahan pada nilai transaksi yang disebabkan oleh perbedaan kurs valas pada saat transaksi disepakati sampai saat
transaksi diselesaikan, jadi exposure ini berhubungan dengan transaksi-transaksi yang sudah ada tetapi belum jatuh tempo.
Accounting Exposure , disebut juga translation exposure, yaitu mengukur
seberapa jauh laporan keuangan konsolidasi suatu perusahaan MNC dipengaruhi oleh fluktuasi kurs valas. Exposure ini muncul karena kegiatan pembuatan laporan
keuangan oleh anak perusahaan subsidiary yang dikonsolidasikan oleh perusahaan induk.
Economic Exposure ,
mengelompokkan economic exposure dan transaction exposure menjadi satu exposure yang disebut economic exposure.
Economic exposure pada dasarnya menunjukkan dampak fluktuasi kurs valuta terhadap arus kas perusahaan yang merupakan cerminan nilai perusahaan.
Perbandingan konseptual antara transaction exposure, economic exposure dan accounting exposure, dapat digambarkan sebagai berikut :