I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Jambu mete Anacardium occidentale L. merupakan komoditas hasil
perkebunan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Di Indonesia, jambu mete pada awalnya dikenal sebagai tanaman yang digunakan untuk merehabilitasi
lahan-lahan kritis karena tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada daerah yang memiliki kondisi agroekologi marginal dan beriklim kering.
Pengembangan komoditas jambu mete sebagai suatu usaha komersial baru dilaksanakan pada periode tahun 1974–1979, dan sejak itu luas areal dan
produksi terus meningkat setiap tahunnya Badan Agribisnis 1996. Pada tahun 2002, luas areal tanaman jambu mete di Indonesia mencapai 578.924 ha
dengan produksi 110.232 ton gelondong mete Ditjenbun 2003. Sebagian besar produksinya dihasilkan di Kawasan Timur Indonesia seperti Sulawesi
Tenggara 26.507 ton, Sulawesi Selatan 27.469 ton, Nusa Tenggara Barat 11.210 ton, dan Nusa Tenggara Timur 15.603 ton.
Kulit gelondong mete merupakan by product dari industri pengolahan kacang mete yang mengandung CNSL Cashew Nut Shell Liquid cukup
tinggi. Sampai saat ini, CNSL belum dimanfaatkan secara maksimal. Dari produksi gelondong mete pada tahun 2002 sebesar 110.232 ton, akan
diperoleh kulit mete 49.604–55.116 ton 45–50 yang mengandung CNSL sekitar 9.921–11.409 ton rendemen 18–23. Walaupun potensi produksinya
cukup tinggi namun produksi CNSL di Indonesia masih sangat rendah, hal ini terutama disebabkan oleh tingginya ekspor dalam bentuk gelondong mete dan
belum berkembangnya industri pengguna CNSL. Berdasarkan data ekspor tahun 2002, volume ekspor dalam bentuk gelondong mete mencapai 50.385
ton dengan nilai US 31.213.000, sedangkan dalam bentuk kacang mete 1.332 ton dengan nilai US 3.597.000 BPS 2002. Ekspor dalam bentuk gelondong
mete menyebabkan nilai tambah dari CNSL tidak diperoleh. CNSL merupakan cairan kental berwarna coklat tua yang diperoleh
dari ekstraksi kulit gelondong mete. CNSL tersusun dari empat komponen utama senyawa fenolik, yaitu asam anakardat, kardanol, kardol, dan metil
kardol Mahanwar Kale 1996; Bhunia 1998. Distilat CNSL merupakan cairan yang diperoleh dari hasil distilasi CNSL. Komponen terbesar dalam
distilat CNSL adalah kardanol 94, sedangkan komponen lainnya kardol 6 sebagai pengotor Kumar et al. 2002.
Potensi pemanfaatan distilat CNSL yang prospektif yaitu sebagai sumber fenol dalam pembuatan resin fenolik yang merupakan bahan baku
produk pelapis permukaan vernis, cat, dan enamel. Sampai saat ini, sebagian besar kebutuhan fenol dan resin fenolik di Indonesia masih dipenuhi oleh
impor. Berdasarkan data BPS 2002, dalam lima tahun terakhir Indonesia mengimpor fenol rata-rata 32.090 ton per tahun dengan nilai US 24.552.971,
dan resin fenolik rata-rata 20.570 ton per tahun dengan nilai US 16.707.203. Kondisi ini memberikan peluang yang besar untuk dipenuhi oleh senyawa
substitusi yang dapat diproduksi di dalam negeri, seperti kardanol. Resin fenolik merupakan produk polimer yang diperoleh melalui reaksi
polimerisasi kondensasi antara senyawa fenol dengan aldehida. Formaldehida merupakan aldehida yang banyak digunakan karena memiliki reaktivitas yang
tinggi dan harganya relatif murah. Pemanfaatan CNSL sebagai sumber fenol dalam pembuatan resin fenolik telah dilakukan oleh Mahanwar dan Kale
1996, namun pengujian terhadap kemampuan resin fenolik sebagai pelapis permukaan belum dilakukan. Mumu 2001, telah memanfaatkan resin fenolik
dari CNSL sebagai bahan baku vernis. Pengujian sifat lapisan film vernis hanya dilakukan terhadap waktu kering, sehingga mutu vernis yang
sesungguhnya belum diketahui. Menurut Tobiason 1990, sifat resin fenolik dipengaruhi oleh berbagai
faktor antara lain nisbah mol formaldehida dengan fenol, jenis dan konsentrasi katalis pH, suhu serta waktu reaksi metilolasi dan polimerisasi kondensasi.
Resin fenolik komersial untuk aplikasi pelapis permukaan umumnya menggunakan nisbah mol formaldehida dengan fenol 0,75–2,0 : 1 OCCA
1983. Untuk pelapis permukaan tipe air drying digunakan nisbah mol formaldehida dengan fenol 1 resin novolak Swern 1979. Kardanol
memiliki rantai samping tidak jenuh sehingga memungkinkan polimerisasi pada pembentukan resin fenolik tidak hanya terjadi pada cincin aromatik tetapi
juga pada rantai samping Mahanwar Kale 1996. Menurut Manjula et al. 1992, polimerisasi pada rantai samping kardanol dapat disebabkan baik oleh
pengaruh pH maupun suhu reaksi. Oleh karena itu, perlu pengkajian lebih lanjut pengaruh pH dan suhu reaksi terhadap sifat film resin yang dihasilkan.
Menurut Tobiason 1990, resin fenolik memainkan peranan penting dalam industri pelapis permukaan karena kekerasan, ketahanan terhadap cuaca
dan air, serta ketahanan terhadap bahan kimia. Penggunaan resin fenolik sebagai bahan pelapis permukaan cenderung membentuk film yang rapuh
brittle dan kurang lentur bila digunakan secara tunggal Oldring et al. 1987. Untuk memperbaiki sifat filmnya, resin fenolik sering digunakan secara
bersama dengan minyak pengering atau resin lain yang memiliki sifat lentur. Berdasarkan hal tersebut di atas, dalam usaha mengurangi
ketergantungan terhadap impor resin fenolik khususnya resin fenolik sebagai bahan baku vernis, dan dalam usaha memaksimalkan pemanfaatan CNSL
maka perlu dikaji pembuatan resin fenolik dari distilat CNSL. Sifat resin fenolik akan mempengaruhi mutu resin sebagai bahan baku vernis. Oleh
karena itu, pada penelitian ini akan dikaji berbagai faktor yang dapat mempengaruhi sifat resin fenolik diantaranya nisbah mol formaldehida dengan
distilat CNSL, pH, suhu, dan waktu reaksi metilolasi. Vernis berbasis resin fenolik dari distilat CNSL yang diformulasi diharapkan dapat digunakan baik
untuk pemakaian di dalam interior maupun di luar eksterior.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Pemanfaatan distilat CNSL kardanol sebagai sumber fenol dalam pembuatan resin fenolik untuk vernis tipe air drying resin novolak.
Selanjutnya diharapkan dapat meningkatkan nilai tambah CNSL, dan memenuhi kebutuhan resin fenolik dalam industri vernis.
2. Tujuan Khusus
a. Mendapatkan nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi metilolasi yang terbaik dalam pembuatan resin fenolik sebagai
bahan baku vernis,
b. Mendapatkan parameter kinetika reaksi metilolasi distilat CNSL kardanol dengan formaldehida,
c. Mendapatkan formula vernis berbasis resin fenolik dari distilat CNSL yang dapat digunakan baik sebagai vernis interior maupun eksterior.
3. Ruang Lingkup Penelitian
Untuk mencapai tujuan penelitian yang telah ditetapkan, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi :
a. Produksi dan karaktersisasi distilat CNSL yang digunakan sebagai bahan penelitian,
b. Pembuatan resin fenolik dari distilat CNSL pada berbagai nisbah mol formaldehida dengan distilat CNSL dan pH reaksi metilolasi serta
karakterisasi resin dan sifat film yang dihasilkan, c. Pembuatan resin fenolik dari distilat CNSL pada berbagai suhu reaksi
untuk mendapatkan parameter kinetika reaksi metilolasi kardanol dengan formaldehida,
d. Pembuatan resin fenolik dari distilat CNSL pada berbagai suhu reaksi metilolasi serta karakterisasi resin dan sifat film yang dihasilkan,
e. Formulasi vernis pada berbagai perbandingan resin fenolik dengan minyak pengering serta karakterisasi vernis dan sifat film yang dihasilkan.
II. TINJAUAN PUSTAKA