Jumlah Pasien Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis

4. Lama keluhan pasien

Pada penelitian ini keluhan pasien paling banyak adalah 2 hari, yaitu sebesar 50 n=38 seperti terlihat pada tabel IV. Berdasarkan diagnosis setelah operasi, tidak ada pasien yang mengalami perforasi pada apendiksnya. Hal ini menunjukkan lama keluhan yang dirasakan pasien berhubungan dengan seberapa jauh apendisitisnya sudah berkembang. Apendisitis akut dapat berkembang menjadi apendisitis perforasi dan risiko terjadinya perforasi meningkat setiap 12 jam setelah timbulnya gejala pada pasien yang tidak mendapat penanganan berupa operasi Papaziogas, et al., 2009. Oleh sebab itu, operasi harus sesegera mungkin dilakukan pada pasien yang menderita apendisitis akut untuk mencegah berkembangnya penyakit ke arah lebih serius. Tabel IV . Distribusi jumlah pasien di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 menurut lamanya keluhan sakit No Lama Keluhan Jumlah Pasien n=38 1 ≤1 hari 11 29 2 2 hari 19 50 3 3 hari 6 16 4 4 hari 2 5

5. Lama perawatan pasien

Lama perawatan untuk pasien operasi apendisitis akut berkisar 2- 4 hari, dengan rata-rata 2 hari. Lama perawatan yang tidak panjang ini bertujuan untuk mencegah adanya infeksi nosokomial dan membuat pasien dapat segera melakukan aktifitas normalnya serta mengurangi biaya rumah sakit. Dengan demikian, lama perawatan yang tidak panjang kurang dari 3 hari lebih aman dan dapat meningkatkan kepuasan pasien maupun keluarganya terhadap pelayanan rumah sakit Krismanuel, 2010. Tabel V. Lama perawatan pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur 2011 Waktu Jumlah n=38 2 hari 18 47 3hari 12 32 4hari 8 21

C. Jenis, Waktu, Cara, Dosis, dan Lama Pemberian Antibiotika Profilaksis 1. Jenis antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan adalah seftriakson, yaitu sebesar 63 n= 38, kemudian diikuti dengan sefotaksim sebanyak 37. Tabel VI . Distribusi jenis antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis tunggal pada pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No. Jenis Antibiotika Jumlah Kasus n= 38 1. Seftriakson 24 63 2. Sefotaksim 14 37 Sebagai antibiotika bakterisidal, seftriakson aktif membunuh bakteri gram negatif dengan cara menghambat cross-linking peptidoglikan pada sintesis dinding sel bakteri sehingga dinding sel bakteri lemah, bakteri lisis, dan akhirnya mati Gordon,2009 dan Graumlich, 2003. Mekanisme dan aktifitas seftriakson ini mampu menurunkan jumlah bakteri penyebab infeksi yang hadir pada lokasi operasi sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi dapat diminimalkan. Selain itu, seftriakson dan sefotaksim juga direkomendasikan oleh ASHP Therapeutic Guidelines sebagai antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut karena memiliki presentase SSI 5 ASHP, 2013.

2. Waktu pemberian

Pemberian antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur hanya dilakukan sebelum operasi. Hasil penelitian menunjukkan antibiotika profilaksis yang diberikan kurang atau sama dengan 1 jam sebelum operasi dilakukan dan paling sering diberikan 30 menit sebelum operasi. Jika antibiotika profilaksis diberikan terlalu awal lebih dari 1 jam sebelum operasi dapat mengakibatkan konsentrasi antibiotika profikasis dalam darah dan jaringan tidak memadai Kanji,et al., 2008 dan ASHP, 2013, sehingga efektifitas antibiotika dalam melindungi pasien dari bakteri penyebab infeksi menjadi berkurang sehingga risiko terjadinya infeksi setelah operasi pun dapat meningkat Steinberg, et al., 2009. Tabel VII . Distribusi waktu pemberian antibiotika sebelum operasi operasi di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Antibiotika Profilaksis Jumlah Kasus Berdasarkan Waktu Pemberian Antibiotika Sebelum Operasi 30’ 35’ 40’ 45’ 50’ 55’ 60’ 1 Seftriakson 10 4 2 1 1 4 2 2 Sefotaksim 6 1 3 2 2 TOTAL 16 5 5 3 1 4 4 n=38 42,1 13,2 13,2 7,9 2,6 10,5 10,5

3. Cara pemberian

Pada penelitian ini semua antibiotika diberikan secara intravena IV. Pemberian secara intavena IV bertujuan untuk mencapainya konsentrasi antibiotika yang tinggi dalam darah dan lokasi penyayatan. Hal ini dikarenakan antibiotika tidak mengalami proses absorpsi terlebih dahulu di saluran gastrointestinal, tetapi langsung mengalami distribusi lalu masuk ke sirkulasi sistemik setelah diadministrasikan. Akibatnya konsentrasi antibiotika dalam darah dan jaringan pun dapat diperoleh dalam waktu yang lebih singkat Bryant, et al., 2010.

4. Dosis pemberian

Dosis pemberian antibiotika seftriakson dan sefotaksim sebagai profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu Jawa Timur adalah 1 gram hingga 2 gram untuk pasien dewasa dan anak – anak. dengan usia lebih dari 12 tahun sedangkan pada pasien anak-anak yang berusia kurang dari 12 tahun, seftriakson diberikan pada dosis 1 gram. Hasil penelitian dapat dilihat pada tabel VIII yang menunjukkan bahwa antibiotika paling banyak diberikan pada dosis 2 gram, yaitu pada seftriakson sebesar 15 kasus atau 40 n=38 sedangkan pada sefotaksim pemberian dosis 2 gram sebanyak 7 kasus atau 18 n=38. Pemberian dosis 1 gram menempati urutan kedua yaitu seftriakson dengan 9 kasus atau 24 dan sefotaksim sebesar 7 kasus atau 18 n=38. Antibiotika sefalosporin, khususnya seftriakson, memiliki konsentrasi yang memadai dalam darah dan jaringan untuk melawan bakteri penyebab infeksi setelah pemberian dalam dosis 1 gram maupun 2 gram Martin et al., 1996 dan Pollock, et al., 1982. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian antibiotika sefalosporin dalam dosis 1 gram atau 2 gram dapat digunakan untuk melawan bakteri penyebab infeksi sehingga kejadian infeksi setelah operasi dapat dihindari. Tabel VIII. Distribusi dosis pemberian antibiotika profilakis di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Antibiotika Profilaksis Dosis Pemberian Jumlah Kasus n=38 1 Seftriakson 1 gram 9 24 2 gram 15 40 2 Sefotaksim 1 gram 7 18 2 gram 7 18

5. Lama pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut. Antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 24 jam tidak memberikan perlindungan tambahan dari risiko terjadinya infeksi dibandingkan dengan yang dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi Ward, et al., 2009 dan Dellinger, et al., 1994 . Keduanya mempunyai efikasi yang relatif sama, sehingga pemberian antibiotika profilaksis tidak lebih dari 24 jam setelah operasi sudah memadai untuk mencegah infeksi dan juga tidak menambah besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien akibat penggunaan obat selama di rumah sakit James, et al., 2008 dan Kanji, et al., 2008. Tabel IX . Distribusi jumlah antibiotika profilaksis pada lama pemberian 24 jam dan lebih dari 24 jam di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Antibiotik Profilaksis Jumlah Kasus Berdasarkan Lama Pemberian 24 jam 24 jam 1 Seftriakson 24 2 Sefotaksim 14 TOTAL n=38 38 100

D. Kesesuaian Pemilihan dan Penggunaan Antibiotika Profilaksis

Pada penelitian ini peneliti memperoleh informasi bahwa RS Baptis Batu Jawa Timur belum memiliki Standar Pelayanan Medik yang mengatur tentang antibiotika profilaksis pada pasien apendisitis akut yang menjalani operasi. Berdasarkan informasi yang didapat dari sekretaris komite medik dan apoteker yang bertugas di RS Baptis Batu Jawa Timur pemberian antibiotika profilaksis didasarkan pada kebijakan dokter sebelum operasi dilakukan. Oleh karena itu data yang telah diperoleh hanya dapat dievaluasi berdasarkan pedoman umum, yaitu WHO Guidelines for Safe Surgery WHO, 2009,Antimicrobial Prophylaxis in Surgery Kanji, et al., 2008, dan ASHP Therapeutic Guidelines ASHP, 2013.

1. Jenis antibiotika

Hasil penelitian menunjukkan seluruh jenis antibiotika profilaksis kurang sesuai dengan pedoman umum WHO, 2009, Kanji, et al., 2008, dan ASHP, 2013 . Pedoman umum merekomendasikan penggunaan antibiotika sefalosporin generasi kedua sefositin dan sefotetan, kombinasi gentamisin dengan metronidasol, sefotaksim sefalosporin generasi III dengan metronidasol, atau kombinasi ampisilin dengan metronidasol sebagai profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut. Seftriakson adalah jenis antibiotika profilaksis yang paling banyak digunakan, yaitu 24 kasus atau 63 dan sefotaksim 14 kasus atau 37. Penggunaan tunggal antibiotika profilaksis jenis seftriakson dan sefotaksim yang termasuk dalam antibiotika sefalosporin generasi ketiga ini sesuai dengan pedoman umum, karena 2 jenis antibiotika profilaksis tersebut seftriakson dan sefotaksim mempunyai aktifitas lemah dalam melawan bakteri anaerob Gnann, et al ., 1982 dan Rolfe, et al., 1982. Sefalosporin generasi ketiga seftriakson, sefotaksim, dan seftazidim dapat melawan bakteri gram negatif Escherichia coli, shigella, salmonella, klebsiella, proteus, enterobacter, serratia dan beberapa bakteri gram positif S. pneumonia , S. aureus Javelosa, et al., 1989, Farber, et al., 1982, dan Hartley, et al ., 1977. . Padahal bakteri anaerob dan bakteri gram negatif merupakan mikroorganisme yang paling banyak menyebabkan infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut, terutama Bacteroides fragilis dan Escherichia coli Elhag, et al., 1986 dan Lau, et al., 1984. Hal ini menunjukkan aktivitas antibakteri sefalosporin generasi ketiga sesuai dengan mikroorganisme patogen penyebab infeksi. Maka sebaiknya, pemilihan dan penggunaan antibiotika sefalosporin generasi ketiga dikombinasi dengan metronidazole yang bisa membunuh bakteri anaerob sehingga dapat melindungi pasien dalam mencegah terjadinya infeksi setelah operasi apendisitis akut. Pada penelitian ini ditemukan ada 2 pasien yang memiliki usia, berat badan yang hampir sama tetapi mendapatkan jenis antibiotika profilaksis yang berbeda yaitu pada pasien dengan no RM 50955 usia 34 tahun berat badan 51 kg mendapat antibiotika profilaksis jenis seftriakson dan pasien dengan no RM 51128 berat badan 50 kg mendapat antibiotika profilaksis jenis sefotaksim. Hal ini didasarkan pada pengalaman dari dokter bedah yang menangani pasien tersebut karena menurut dokter bedah selama ini belum pernah terjadi silang alergi dan infeksi setelah operasi. Tabel X . Distribusi jumlah kasus menurut jenis antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Jenis Antibiotika Pedoman Umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 Jumlah n=38 1 Seftriakson Tidak Sesuai 24 63 2 Sefotaksim Sesuai 14 37

2. Waktu pemberian

Pada penelitian ini antibiotika profilaksis diberikan kurang dari atau sama dengan 1 jam sebelum operasi. Waktu pemberian tersebut sesuai dengan pedoman umum WHO Guidelinesfor Safe Surgery WHO, 2009, dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery Kanji, et al., 2008 yang merekomendasikan antibiotika profilakis diberikan kurang dari 1 jam sebelum operasi dimulai. Kurangnya efektivitas antibiotika salah satunya disebabkan oleh waktu pemberian yang tidak optimal James, et al., 2008. Antibiotika profilaksis yang diberikan terlalu awal lebih dari 1 jam sebelum operasi dimulai tidak cukup memadai untuk melindungi pasien dari bakteri-bakteri penyebab infeksi hingga prosedur operasi selesai dilakukan WHO, 2009 dan Kanji, et al., 2008. Tabel XI . Distribusi jumlah kasus menurut waktu pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Waktu Pemberian Antibiotika Pedoman Umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 Jumlah n= 38 1 ≤ 1 jam sebelum operasi Sesuai 38 100 2 1 jam sebelum operasi tidak sesuai

3. Cara pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh antibiotika profilaksis diberikan secara intravena IV. Pemberian antibiotika profilaksis secara intravena IV ini sesuai dengan pedoman umum WHO Guidelines for Safe Surgery WHO, 2009, Antimicrobial Prophylaxis in Surgery Kanji, et al., 2008, dan ASHP Therapeutic Guidelines ASHP, 2013. Hal ini dikarenakan antibiotika profilaksis yang diberikan secara intravena IV tidak mengalami proses absorpsi tetapi langsung masuk ke dalam sirkulasi sistemik, sehingga konsentrasi antibiotika dapat diperoleh dengan cepat dan tepat Bryant, et al., 2010 dan Hessen, et al., 2004. Pasien operasi apendisitis akut harus mendapat antibiotika profilaksis secara intravena IV agar konsentrasi antibiotika tinggi dalam waktu singkat sehingga dapat mencegah terjadinya infeksi setelah operasi. Tabel XII . Distribusi jumlah kasus menurut cara pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Cara Pemberian Antibiotika Pedoman Umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 Jumlah n= 38 1 IV Sesuai 38 100 2 Per Oral Tidak Sesuai

4. Dosis pemberian

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien dewasa dan anak – anak dengan usia lebih dari 12 tahun mendapat antibiotik seftriakson dan sefotaksim 1 gram hingga 2 gram, sedangkan untuk anak – anak dibawah usia 12 tahun mendapat seftriakson dengan dosis 1 gram. Hal ini sesuai dengan AHSP: Ceftriaxone Systemic ASHP, 2013, Drug Information Handbook Lacy, et al., 2002, dan ASHP Therapeutic Guidelines ASHP, 2013 yang merekomendasikan dosis pemberian antibiotika golongan sefalosporin sebagai profilaksis operasi pada pasien dewasa dan anak-anak yang berusia lebih dari 12 tahun atau anak- anak dengan berat badan lebih dari 50 kg adalah 1-2 gram, sedangkan pada anak- anak yang berusia kurang dari 12 tahun seftriakson diberikan dalam dosis 50-75 mgkg BB, dengan dosis maksimal per hari adalah 2 gram. Bila diberikan dosis yang kurang dari dosis yang dibutuhkan maka konsentrasi antibiotika pada darah dan lokasi penyayatan tidak cukup mampu untuk melawan bakteri penyebab infeksi dan dosis yang diberikan melebihi dosis yang dibutuhkan mengakibatkan pasien mengalami mual, muntah, diare, atau kejang. Oleh karena itu dosis pemberian yang optimal sangat penting untuk mencapai konsentrasi yang memadai dalam darah dan lokasi penyayatan dan untuk menghindari efek yang merugikan pada pasien Hessen, et al., 2004. Tabel XIII . Distribusi jumlah kasus menurut dosis pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Antibiotika Profilaksis Dosis Pemberian Pedoman Umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 Jumlah Kasus n=38 1 Seftriakson 1 gram Sesuai 9 24 2 gram Sesuai 15 40 2 Sefotaksim 1 gram Sesuai 7 18 2 gram Sesuai 7 18

5. Lama pemberian

Hasil penelitian menunjukkan seluruh antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi. Hasil ini sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery WHO, 2009, Antimicrobial Prophylaxis in SurgeryKanji, et al ., 2008, dan ASHP Therapeutic Guidelines ASHP, 2013 yang merekomendasikan bahwa antibiotika yang digunakan sebagai profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah prosedur operasi. Penghentian lebih dari 24 jam pada pasien yang menerima antibiotika profilaksis tidak akan mendapatkan perlindungan tambahan terhadap terjadinya infeksi setelah operasi Ward, et al., 2009. Antibiotika profilaksis yang diberikan lebih dari 24 jam mempunyai efikasi yang relatif sama dengan antibiotika yang dihentikan pemberiannya 24 jam setelah operasi, demikian pula pemberian antibiotika yang terlalu lama dapat menimbulkan risiko resistensi suatu strain bakteri dan bertambahnya biaya yang harus dikeluarkan James, et al., 2008 dan Kanji, et al., 2008. Oleh karena itu, pemberian antibiotika profilaksis sebaiknya dihentikan 24 jam setelah operasi karena tidak memberikan manfaat lebih dalam mencegah infeksi setelah operasi dan dapat menimbulkan risiko yang merugikan bagi pasien.\ Tabel XIV . Distribusi jumlah kasus menurut dosis pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dan tidak sesuai pedoman umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 di RS Baptis Batu Jawa Timur tahun 2011 No Antibiotik Profilaksis Jumlah Kasus Berdasarkan Lama Pemberian Pedoman Umum WHO, 2009; Kanji, et al., 2008; dan ASHP, 2013 24 jam 24 jam 1 Seftriakson 24 Sesuai 2 Sefotaksim 14 Sesuai

E. Faktor-faktor yang Mendasari Pemilihan Antibiotika Profilaksis

Pada penelitian ini seluruh pasien operasi apendisitis akut menerima antibiotika sebagai profilaksis. Pasien yang menjalani operasi apendisitis akut harus menerima antibiotika profilaksis karena pada saluran pencernaan sendiri sudah terdapat sejumlah besar bakteri yang berpotensi menyebabkan infeksi setelah operasi. Selain itu, operasi yang dilakukan pada RS Baptis Batu Jawa Timur merupakan jenis operasi bersih terkontaminasi. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan seorang Dokter Bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar Bedah yang mempunyai pendapat sama terkait dengan pemberian antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut. “Saya selalu memberikan antibiotik profilaksis pada operasi apendisitis akut karena operasi ini termasuk dalam operasi bersih terkontaminasi dan untuk mencegah terjadinya infeksi serta mengurangi angka kejadian infeksi”. Dokter bedah, Kepala Instalasi Farmasi, dan Wakil Kepala Kamar bedah Berdasarkan hasil penelitian, biasanya dokter memberikan seftriakson terlihat dari hasil seftriakson yang digunakan terdapat 24 kasus atau 63 n=38. Pertimbangan dokter bedah memilih seftriakson sebagai antibiotika profilaksis adalah berdasarkan keamanan dari antibiotika tersebut. Alasan pemilihan antibiotika profilaksis ini terungkap dalam hasil wawancara sebagai berikut: “Jarang terjadi silang alergi pada seftriakson bila dosisnya sesuai yaitu 1 sampai 2 gram selain itu juga karena disini kebanyakan pasien dengan askes sosial sehingga ada pertimbangan biaya dalam pemilihan. Sejauh ini tidak terjadi apa –apa dengan pasien-pasien saya” Dokter bedah Pemilihan Seftriakson pada pasien apendisitis akut dikarenakan Seftriakson mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang dibandingkan antibiotika jenis lain, yaitu 5-9 jam Lacy, et al., 2002. Waktu paruh eliminasi yang panjang ini menjadi salah satu pertimbangan seftriakson lebih dipilih sebagai antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS “Biasanya dokter memilih antibiotika yang waktu paruhnya panjang untuk menghindari terjadinya infeksi, kalau sampai terjadi infeksi kan membuat dokter bekerja dua kali mbak” Kepala Instalasi Farmasi Baptis Batu Jawa Timur. Hal ini dikarenakan dengan mempunyai waktu paruh eliminasi yang lebih panjang, maka frekuensi pemberian seftriakson menjadi lebih jarang dibandingkan dengan antibiotika jenis lainnya Gootz, 1990 dan Kalman, et al ., 1990. Berdasarkan hasil penelitian, antibiotika profilaksis yang diberikan kurang dari atau sama dengan 1 jam sebelum operasi. Pemberian antibiotika profilaksis ini sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery WHO, 2009 dan Antimicrobial Prophylaxis in Surgery Kanji, et al ., 2008 yang merekomendasikan waktu pemberian antibiotika profilaksis 1 jam sebelum operasi. Dokter selalu memberikan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut 30 menit sampai 1 jam sebelum operasi. Namun tidak selalu terpaku waktu tersebut karena dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain ruangan operasi masih digunakan untuk operasi lain sehingga pasien yang akan menjalani operasi apendisitis akut harus menunggu terlebih dahulu atau dokter bedah yang menangani pasien operasi apendisitis akut belum tiba di kamar operasi. Hal ini terungkap dalam hasil wawancara berikut: “Biasanya waktu pemberian disesuaikan dengan permintaan dari kamar operasi, biasanya waktu mau start operasi kamar operasi minta lewat telpon untuk diantarkan antibiotik 30 – 60 menit langsung kita antarkan cuma kadang setelah tiba di kamar operasi tidak langsung diberikan mungkin menunggu dokternya datang dulu ”. Kepala Instalasi Farmasi “Untuk waktu pemberian profilaksis ini diberikan setengah jam atau satu jam pre op tapi itu juga tergantung kamar OK nya mbak kadang kan masih digunakan jadi kita antri dulu sehingga profilaksis yang diberikan menjadi molor waktunya”. Dokter bedah Sebelum operasi apendisitis akut dimulai, antibiotika profilaksis harus diberikan terlebih dahulu pada pasien. Antibiotika profilaksis yang diberikan setelah operasi akan meningkatkan risiko infeksi pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut. Hal ini dikarenakan pasien yang menerima antibiotika profilaksis setelah operasi tidak mendapatkan perlindungan dari adanya mikroorganisme-mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan infeksi dari operasi dimulai hingga operasi selesai dilakukan WHO, 2009 dan Kanji, et al., 2008 . Berdasarkan penelitian seluruh pasien yang menjalani operasi apendisitis akut mendapatkan antibiotika profilaksis sebelum operasi dilakukan dan lama pemberiannya 1 hari bisa dilihat dalam wawancara berikut : Lama pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam atau 1 hari setelah operasi tidak sesuai dengan WHO Guidelines for Safe Surgery WHO, 2009 dan ASHP Therapeutic Guidelines ASHP, 2013 yang merekomendasikan antibiotika profilaksis dihentikan pemberiannya 24 jam atau 1 hari setelah operasi. Pemberian antibiotika profilaksis lebih dari 24 jam setelah operasi mempunyai efikasi yang relatif sama dengan pemberian selama 24 jam dalam menurunkan risiko terjadinya infeksi setelah operasi pada pasien operasi apendisitis akut tanpa perforasi. Hal ini dikarenakan penggunaan antibiotika profilaksis hingga lebih dari 24 jam tidak memberikan perlindungan tambahan “pasien mendapat profilaksis ini cukup 1 hari saja setengah jam sebelum operasi dilakukan lah....” Dokter bedah dalam mencegah infeksi setelah operasi, sehingga pemberian antibiotika profilakis lebih dari 24 jam tidak mempunyai manfaat lebih dan tidak diperlukan Ward, et. al ., 2009 dan Dellinger, et al., 1994 . Lagipula pemberian antibiotika yang terlalu lama dapat berisiko pada terjadinya resistensi suatu strain bakteri dan meningkatkan biaya yang dikeluarkan oleh pasien James, et al., 2008 dan Kanji, et al ., 2008. Faktor ekonomis juga menjadi pertimbangan dokter dalam memilih seftriakson dan sefotaksim sebagai antibiotika profilaksis yang digunakan pada pasien operasi apendisitis akut. Berdasarkan Keputusan Mentri Kesehatan No. 436MenkesSKXI2013 tentang Harga Eceran Tertinggi Obat Generik, harga sefotaksim 1 gvial Rp. 9.356,- dan seftriakson 1 gvial Rp. 11.602,- harga tersebut lebih murah dibandingkan dengan harga sefositin sefalosporin generasi II yang direkomendasikan oleh pedoman umum yaitu 1 gvial 8,52 atau senilai Rp. 110.760,- . 52

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa: 1. Karakteristik demografi pasien adalah n=38 18 pasien berusia antara 9-17 tahun, 21 pasien berusia antara 18-26 tahun, 26 pasien berusia antara 27-35 tahun, 16 pasien berusia antara 36-44 tahun, 16 pasien berusia antara 45-53 tahun dan 3 pasien berusia antara 54-62 tahun. Pasien berjenis kelamin laki – laki sebanyak 53, dan 47 pasien berjenis kelamin perempuan . Semua pasien 100 mengeluhkan nyeri perut bagian kanan bawah. Pasien dengan lama keluhan selama 2 hari sebesar 50, dan rata-rata lama perawatan pasien selama di rumah sakit adalah 2-3 hari. 2. Antibiotika profilaksis yang diberikan pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Baptis Batu jawa Timur yaitu seftriakson dengan jumlah 24 pasien 63 dan sefotaksim dengan jumlah 14 pasien 37 n= 38, semua diberikan ≤ 1 jam sebelum operasi, seluruhnya 100 pemberian secara intravena IV, pada dosis 2 gram sebesar 7, dan pemberiannya dihentikan 24 jam setelah operasi. 3. Pemilihan jenis, waktu, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis di RS Baptis Batu yang sesuai dengan guideline atau pedoman yaitu 37 pasien yang menerima antibiotika profilaksis jenis sefotaksim, waktu pemberian yang tepat yaitu 30-60 menit sebelum operasi, dosis pemberian 2 gram dan pemberiannya dihentikan 24 jam setelah operasi. 4. Faktor-faktor yang mendasari pemilihan antibiotika profilaksis di RS Baptis Batu adalah jarang menimbulkan reaksi alergi dan harga yang terjangkau.

B. Saran

Berdasarkan dari hasil penelitian ini, saran yang dapat penulis berikan antara lain: 1. Bagi Rumah Sakit Baptis Batu Jawa Timur disarankan untuk menyepakati dan menuyusun Standar Pelayanan Medik. Pemberian alternatif antibiotika profilaksis dapat diberikan kombinasi antibiotika profilaksis yang ada di pasaran seperti metronidazole dengan ampisilin atau gentamisin. 2. Bagi peneliti lain disarankan melakukan penelitian ini secara prospektif agar dapat memberikan rekomendasi pemilihan jenis, waktu, dosis, dan lama pemberian antibiotika profilaksis yang sesuai dengan pedoman secara langsung kepada dokter bedah untuk pasien operasi apendisitis akut berikutnya. 54 DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Informasi Obat Nasional Indonesia 2000 IONI, 210, Depkes RI, Jakarta Applegate K.E.,Sivit C.J., Salvator A.E., Borisa V.J., Dudgeon D.L., Stallion A.E. et al., 2001 Effect of Cross-Sectional Imaging on Negative Appendectomy Perforation Rates in Children, Pediatric Imaging, RSNA, pp. 103 – 107 American Society of Health-System Pharmacists, 2013, Ceftriaxone Systemic , http:www.ashp.orgs_ashpdocsfilespractice_and_policyceftri axone.pdf, diakses tanggal 19 Agustus 2014. American Society of Health-System Pharmacists, 2013, ASHP Therapeutic Guidelines on Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, Am. J. Health-Syst. Pharm. , 56, 1839-1888. Banieghbal, B., and Lakhoo, K., 2011, Appendicitis, in Ameh, A., Bickler, S. W., Lakhoo, K., Nwomeh, B. C., and Poenaru, D., Paediatric Surgery: A Comprehensive Text for Africa , Global HELP Organization, Seattle, pp. 453-454. Bernard A. Birnbaum, MD and Stephanie R. Wilson, MD, 2000. Appendicitis at the Millennium http:radiology.rsnajnls.orgcgicontentfull2152337 diaksestanggal 6 November 2013 Bryant, B. J., Knights, K. M., Salerno, E., 2010, Pharmacology for Health Professionals , Elsevier, Sydney, pp. 129-134. Craig, S., 2005, Appendicitis Acute http:www.emedicine.comemerg, diakses tanggal 6 November 2013 Dipiro, J. T., Talbert, R. L., Matzke, B. R., Wells, B. G., Posey, M. L., 2005, Pharamacotherapy a Pathophysiologic Approach , 6th ed., Appleton and Lange, Stampord Conecticut, USA2217-2227 Doherty, G. M. dan Way, L. W., 2006, Current Surgical Diagnosis Treatment, 21 th edition , 106-107, Lange Medical BooksMcGraw-Hill Companies Inc, North America Eylin, 2009, Karakteristik Pasien dan Diagnosis Histologi pada Kasus Apendisitis Berdasarkan Data Registrasi di Departemen Patologi Anatomi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo pada Tahun 2003-200, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta Faiz, Omar dan David Moffat, 2004, Anatomy at a Glance, Erlangga, Jakarta. Gnann, J. W., Goetter, W. E., Elliot, A. M., and Cobbs, C. G., 1982, Ceftriaxone: In Vitro Studies and Clinical Evaluation, Antimicrobial Agents and Chemotherapy , 22 1, 1-9. Gootz, T. D., 1990, Discovery and Development of New Antimicrobial Agents, Clin. Lin. Microbiol. Rev ., 3 1, 17-25. Hessen, M. T., and Kaye, D., 2004, Principles of Use of Antibacterial Agents, Infect. Dis. Clin. N. Am. , 8, 435-450. Imelda, 2008, Studi Penggunaan Antibiotika pada Kasus Bedah Apendiks: Instalasi Rawat Inap Bedah RSU Dr. Soetomo Surabaya, Skripsi, 33, UniversitasAirlangga, Surabaya. James, M., and Martinez, A. A., 2008, Antibiotics and Perioperative Infections, Clinical Anaesthesiology , 22 3, 571-582. Kakkilaya, S., 2008, Rational Medicine : Rational use of antibiotics http:www.rationalmedicine.organtibiotics.htm , diakses tanggal 12 Maret 2015. Kalman, B., and Barriere, S. L., 1990, Review of the Pharmacology, Pharmacokinetics, and Clinical Use of Cephalosporins , Department of Pharmaceutical Services and Division of Infectious Diseases, Department of Medicine, UCLA Medical Center, Los Angeles, 173, 204-205. Kanji, S., and Devlin, J. W., 2008, Antimicrobial Prophylaxis in Surgery, in Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B.G., and Posey, L.M., Pharmacotherapy: A Pathophysiology Approach, 7 th edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 2218-2224. Kozar, R. A., and Roslyn, J. J., 2003, The Appendix, in Schwartz, S. I., Shires, G. T., Spencer, F. C., Daly, J. M., Fischer, J. E., and Galloway, A. C., Principles of Surgery , 7 th edition, McGraw-Hill Companies, Inc., United States of America, pp. 27. Lacy, C. F., Armstrong, L. L., Goldman, M. P., and Lance, L. L., 2002, Drug Information Handbook , 11 th edition, Lexy-Comp. Inc., Canada, pp. 269-270. Mansjoer Arief, Triyanti Kuspuji, Savitri Rakhmi, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek., 2000, Penyakit Hirschsprung, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 2, Penerbit Media Aesculapius FK UI, Jakarta, hal. 380-381 Papaziogas B., Tsiaousis, P., Koutelidakis, I., Giakoustidis, A., Atmatzidis, S., and Atmatzidis, K., 2009, Effect of Time on Risk of Perforation in Acute Appendicitis, Acta. Chir. Belg., 109, 75-80. Pasaribu, IC, 2010, Karakteristik Penderita Apendisitis, Universitas Sumatra Utara, Medan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Nomor 2406MENKESPERXII2011 Pieter, John, 2005, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi II, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 646-647 Pratiwi, S. T., Mikrobiologifarmasi, Erlangga, Jakarta, pp 151, 154 – 164. Rolfe, R. D., and Finegold, S. M., 1982, Comparative In Vitro Activity of Ceftriaxone Against Anaerobic Bacteria, Antimicrobial Agents and Chemotherapy , 22 2, 338-341. Schmitz, G., Hans, L., and Michael H., 2009, Farmakologi dan Toksikologi, Edisi 3, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, hal. 487-494.

Dokumen yang terkait

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN BEDAH APENDISITIS DI RUMAH SAKIT “X” TAHUN 2014 Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Bedah Apendisitis Di Rsud Dr Moewardi Tahun 2014.

3 18 14

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN OPERASI APENDIKTOMI DI RUMAH SAKIT Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Operasi Apendiktomi Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Tahun 2013.

0 2 12

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PROFILAKSIS PADA PASIEN OPERASI APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT Evaluasi Penggunaan Antibiotik Profilaksis Pada Pasien Operasi Apendiktomi Di Rumah Sakit Umum Daerah Dr.Moewardi Tahun 2013.

0 3 13

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN PERNAFASAN AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Pernafasan Akut Di Instalasi Rawat Inap RSUD Dr. Moewardi Tahun 2011-2012.

0 6 17

EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT EVALUASI PENGGUNAAN OBAT PADA PASIEN SKIZOFRENIA DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT JIWA DAERAH Dr. RM SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH TAHUN 2009.

0 1 16

EVALUASI PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN INFEKSI SALURAN KEMIH DI INSTALASI RAWAT INAP Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien Infeksi Saluran Kemih Di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Umum Daerah Sukoharjo Tahun 2011.

0 1 14

Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien operasi apendisitis akut di Instalasi Rawat Inap RSUD Badung Provinsi Bali tahun 2011.

0 4 101

Evaluasi penggunaan antibiotika pada Pasien Febris Rawat Inap di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta.

0 1 174

RASIONALITAS PENGGUNAAN ANTIBIOTIK PADA PASIEN GASTROENTERITIS AKUT DI INSTALASI RAWAT INAP RUMAH SAKIT “X” DI SURABAYA TIMUR

0 2 15

Evaluasi penggunaan antibiotika profilaksis pada pasien yang menjalani operasi apendisitis akut di RS Panti Rapih tahun 2009 - USD Repository

0 0 108