“Ooo, jelas. Itukan apa ya ga, jadi sarana menyalurkan hobi juga ya. Kebetulan, mbak juga
suka make up, jadi kalau bajunya udah cantik trus mukanya cantik rasanya seneng banget, hehe. Pakai
baju modis juga bisa ngobatik stroke lo ga, hehe. Karena kalo hati senang pikiran tenang, penyakit
juga akan hilang.
” Informan MW
Kepuasan diri dan kepercayaan diri bagi informan bukan hanya semata-mata faktor psikologis semata tapi lebih kepada faktor sosiologis dalam
mengekspresikanya melalui pakaian yang trendi dan mahal. Bahwa para informan sangat bangga menggunakan busana muslim yang mahal secara
sosiologis mereka ingin menunjukkan kelas ekonomi mereka. Tindakan konsumtif para informan juga berkaitan dengan keinginan diakui sebagai orang yang mapan.
Konsumtif bagi para informan tak sekedar nilai mata uang secara fisik, namun lebih kepada kepuasan hasrat memiliki sesuatu. Pada akhirnya bertujuan secara
sosiologis menjadi anggota dari kelompok dominan.
4.9. Gaya Hidup Konsumtif Para Informan dan Kepentingan Industri Fashion
Gaya hidup konsumtif wanita berbusana muslim saat ini sangat masif terjadi di kota-kota besar di Indonesia, salah satunya adalah Medan. Dari hasil penelitian
didapat fakta bahwa para informan yang berjumlah 8 orang 100 mengakui bahwa mereka adalah orang yang konsumtif. Seperti pernyataan informan berikut
ini : “haha, ia tante konsumtif banget. Tante kalau udah
urusan fashion, turun sendiri tante. Mulai dari pilih bahan sampai detail ornamennya. Risikonya ya
kalau lihat barang bagus, dibeli semua hehe. Tapi
Universitas Sumatera Utara
itulah baiknya si om, gitupun tante, nggak pernah marah si om, hehe. Memang om itu lelaki tersabar di
dunia, hehe.” Informan EDL “hehe, kalau tante kayaknya ia ya. Habis gimana ya,
kalau mau cantik ya ada harganya. Kayak mau pakek baju kan harus cocok antara jilbab, baju, sama
aksesori. Nah, kalau mau yang bagus ya pasti mahal kan. Emang sih mungkin kalau beli satuan nggak
mahal tapi kalau ditotal-total jadinya mahal kan?
Hehe.” Informan FTN “Oia, tante itu suka lapar mata ya. Kalau lihat yang
lucu-lucu di mal rasanya pengen dibeli semua, hehe. Baju tante yang dari Labiba aja masih banyak yang
harganya masih nggantung belum pernah dipakai, hehe. Sampai lemari itu udah nggak muat lagi. Baju-
baju tante udah tante gantungin aja di gudang. Jadi gudang isinya bukan apa-apa tapi baju
tante. Hehe” Informan YNT
Meski mengetahui tindakan konsumtif dalam hal ini penggunaan busana muslim yang dilatarbelakangi perintah agama sangat bertolak belakang dengan
ajaran itu sendiri, para informan tidak mempermasalahkan hal tersebut. Mereka tak menampik bahwa tindakan konsumtif bukanlah sesuatu yang bijak namun
keinginan memiliki sesuatu busana muslim yang trendi menjadikan budaya konsumtif suatu hal yang biasa. Untuk itupun t
ak jarang mereka harus “kucing- kucingan” dengan sang suami seperti 2 informan berikut ini :
“Suami kadang komplain kalau tante borong baju. Kata suami,”Kapan bisa nabung kalau belanja
terus?”. Tapi tante tetep beli aja daripada kepikiran terus di rumah, takut diambil orang. Sampai
tempatnya udah nggak muat, baju-baju tante udah tante gantungin aja di gudang, gudang udah disulap
jadi lemari karena nggak ada tempat lagi, hehhe.” Informan ADR
“Tante suka malu kalau lagi borong gitu, sama om. Suka nggak berasa kalau udah jalan semua dibeli.
Kalau udah gitu, biasanya tante taruk dulu di mobil.
Universitas Sumatera Utara
Misalnya tante pulang malem, trus tante taruk dulu belanjaan di mobil, tante ambil besoknya kalau om
sudah berangkat praktek, kan mobilnya beda, hehe. Kalau udah gitu, pernah dulu pas tante belanja si om
nggak pergi-
pergi, sampai tante tanya “Nggak praktek pa?”, habisnya tante udah nggak sabar,
hehe.” Informan CC
Merujuk dari hasil penelitian di atas, peneliti menyimpulkan bahwa fenomena ini dapat terjadi dikarenakan peran 2 pihak, yang pertama peran pelaku
usaha di bidang fashion muslim pemilik butik dan juga konsumen itu sendiri. Untuk memperkuat data Peneliti mencoba membandingkan 2 kultur yang berbeda
yaitu di Jawa Tengah Yogja dan Solo dengan kultur di Sumatera khususnya di Kota Medan. Di Yogja maupun Solo juga memiliki desainer-desainer yang
berkualitas baik, namun dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti gaya berbusananya sangat berbeda. Kultur di Jawa cenderung lebih kalem, sehingga
penggunaan busana muslim cenderung lebih sederhana dibanding dengan gaya berbusana di Kota Medan. Di sini peneliti ingin menyatakan bahwa peran pelaku
usaha fashion muslim dalam membentuk citra busana muslim yang mewah adalah sesuatu yang trendi tidak akan berjalan lancar jika tidak memiliki pasar yang
dituju. Sebagai contoh dalam melakukan penelitian sebagai pembanding, peneliti sempat mengamati gaya berbusana pesta ataupun pengajian di Kota Solo dan
Kota Medan. Peneliti saat itu berkunjung di salah satu pesta direktur rumah sakit ternama
di Kota Solo yang diadakan di salah satu hotel berbintang di kota tersebut. Busana muslim yang dikenakan para wanita berbusana muslim di acara tersebut
cenderung lebih sederhana. Hal lain terjadi juga pada saat peneliti memjahit baju pada desainer yang cukup ternama yang sering mengadakan fashion show di acara
Universitas Sumatera Utara
Jogja Fashion Week. Saat itu peneliti menyerakan model dan warnanya kepada desainer tersebut karena merasa percaya dengan kemampuan sang desainer,
namun ternyata hasilnya di luar dugaan. Peneliti yang biasa mendatangi pesta di Kota Medan yang identik dengan busana yang mewah dan “bling-bling” merasa
kurang puas. Hal ini dikarenakan warna yang soft dan model yang biasa, namun menurut sang desainer busana tersebut sudah sangat mewah jika digunakan di
Kota tersebut. Hal berbeda dialami peneliti, ketika melakukan penelitian baik di butik Labiba maupun pada saat wawancara dengan para informan, peneliti
mendapatkan fakta bahwa para kultur di Kota Medan berkebalikan dengan kulkur di Jawa. Para wanita berbusana muslim di Kota Medan lebih berani
mengekspresikan diri melalui citra busana yang digunakan. Selain itu pemilihan warna dan aksesoris juga lebih berani ditonjolkan oleh para wanita berbusana
muslim. Hal ini juga dikuatkan dengan pernyataan pemilik butik Labiba
seperti berikut : “Saya sendiri membuka butik dengan segmen
menengah ke atas itu bukan tanpa alasan. Awalnya saya yang berlatarbelakang orang Jawa, sempat
kaget dengan gaya berbusana terutama pada saat pesta orang-orang Medan. Kemudian saya berfikir,
ini dapat dijadikan peluang bisnis. Kalau di Medan ini ibu-ibu yang menengah ke atas nggak mau kalau
nggak mewah gitu, malah kadang bisa dia lebih all out daripada pengantinnya, hehe. Sebenarnya nggak
hanya di Medan ya, yang nggak kalah itu Aceh, sekali turun datang ke Medan mereka bisa belanja
gila-gilaan. Malah ada pelanggan yang request bahannya sutra dengan payet biasanya custom
yang tentunya harganya lebih mahal. Berbeda kalau yang belanja orang Jawa domisili di Jawa. Dulu
sewaktu butik masih di Gajah Mada Wong Solo Jalan Gajah Mada Medan, ada tamu dari Semarang
yang melihat butik dan suka sama baju kombinasi
Universitas Sumatera Utara
batik sutra dengan harga kurang lebih Rp 1.500.000. Saya ingat sekali beliau berfikir dua kali untuk
membeli baju itu karena harganya cukup mahal. Selain itu alasan lain yang dikatakan, “Mau dipakek
kemana bajunya?”. Tapi karena suka akhirnya beli juga. Disini perbedaan orang Jawa sama orang
Medan. Kalau di Medan dari tamu-tamu Labiba yang sudah-sudah ya, mereka gampang saja
mengeluarkan uang untuk beli baju pesta. Sejauh ini sih kalau kualitas baju nggak ada yang komplain,
paling harga, tapi setelah dijelaskan kualitasnya mereka umumnya memakluminya. Makanya, saya
menyesuaikan ya. Orang Medan ini nggak bisa disamakan dengan yang lain. Baju harus ngejreng
harus heboh, kita desain sesuai permintaan. Selain itu kita selalu perbaruhi jadi kalau tamu datang
selalu ada yang menarik perhatian diproduksi terus.
Disini peneliti ingin menyampaikan bahwa benar adanya gaya hidup konsumtif memang ada unsur dibuat oleh para pelaku usaha di bidang fashion
muslim pemilik butik seperti pernyataan DS selaku pemilik butik Labiba dimana penelitian ini dilakukan. Pernyataan diajukan pada saat bertanya tentang
tanggapan DS terhadap pengajian atau kelompok agama yang menggunakan dresscode
, “Buat kita sih positif ya, kalau bisa setiap pertemuan selalu menggunakan dresscode, hehe
”
Selain itu, ada pula tanggapan DS yang menguatkan kesan bahwa para pemilik butik mempunyai cara untuk selalu menarik perhatian pelanggan seperti
berikut: “Kalau untuk barang baru biasa 3-4 bulan, tapi kita
punya trik sendiri. Setiap barang baru kita simpan dulu, dikeluarinnya satu-satu. Karena kan tamu tu
pasti
nanya “Ada barang baru?”. Kadang walaupun masih baru tapi udah pernah dilihat, mereka
bilangnya barang lama. Untuk baju stok lebaran juga gitu, kadang kita udah siapin beberapa bulan
Universitas Sumatera Utara
sebelumnya bisa 6 bulan sebelumnya, tapi dikeluarinnya pas mau lebaran. Tapi kalau banyak
barang baru yang lama kita keluarin juga.” Dari pernyataan DS diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa pemilik butik
cenderung memancing pelanggan dengan barang yang selalu baru setiap bulan. Dengan harapan sang pelanggan akan tertarik. Hal ini ternyata cukup sukses,
diakui DS banyak pelanggan yang tadinya hanya berniat melihat-lihat akhirnya tertarik membeli baju, jilbab, atau sekedar aksesoris. Hal inilah yang diasumsikan
peneliti sebagai salah satu faktor pendorong tingginya gaya hidup konsumtif para wanita berbusana muslim. Meski demikian, hal tersebut tidak akan berhasil jika
tidak dibarengi dengan kultur masyarakat dimana butik itu berada. Disini peran media juga sangat berkontribusi dalam menggiring persepsi
masyarakat akan gaya busana muslim yang trendi yang tak hanya sebatas cara berpakaian semata, namun meliputi cara menggunakan jilbab seperti artis idola
yang banyak disiarkan di televisi, majalah, ataupun youtube. Yang pada akhirnya membuka peluang usaha lainnya yaitu, pemasangan jilbab kreasi. Jasa layanan ini
biasanya ramai dikunjungi pelangga saat acara-acara tertentu, seperti acara pernikaha, wisuda, ataupun pengajian. Seperti yang diungkapkan oleh salah satu
informan tambahan berikut ini : Kalau permintaan kreasi jilbab sekarang ini
alhamdulillah ya mbak ramai, ada yang buat kawinan, pesta, wisuda, sampai pengajian juga ada
mbak , biasanya kalau pengajian itu ibu-ibu yang inilah highclass. Dalam sebulan kurang lebih bisa
nanganin sampai 50 orangan. Harganya standart ya mbak, dari Rp 50.000 ditempat sampai Rp 70.000
datang ke rumah. Kalau mau make up juga bisa, harganya Rp 200.000 itu udah komplit pakai
wardah. Kalau buat inspirasinya selain memang sudah ada SOP dari pusat biasanya kresi sendiri ya
Universitas Sumatera Utara
mbak, liat youtube sama majalah. Satu lagi, biasanya dari BBM ibu-ibu itu. lihat temennya bagus trus
minta dibuat kayak gitu.
4.10. Gaya Hidup Konsumtif Dalam Fashion dari Perspektif Habitus Pierre Bourdieu.