4.5. Tren Gaya Busana Dresscode Pada Kelompok-Kelompok Sosial
Kelompok-Kelompok Keagamaan
Dresscode adalah
instruksi mengenai
pakaian yang
harus dikenakan. Biasanya dicantumkan dalam suatu undangan. Baik undangan rapat,
undangan petemuan, undangan arisan, undangan pengajian atau undangan- undangan resmi lainnya. Hal ini dimaksudkan agar para undangan bisa
menyesuaikan busana yang dikenakannya, dengan suasana dari acara tersebut, dan juga agar didapat nuansa yang diinginkan oleh sang penyelenggara Acara
guna menghindari salah kostum. http:theordinarytrainer.wordpress.com diakses pada tanggal 6 Agustus 2014 pukul 21.27 WIB. Fenomena penggunaan
dresscode pada beberapa pegajian atau kelompok sosial yang diikuti para wanita berbusana muslim saat ini dengan mudah dapat dijumpai di kota-kota besar.
Tema dresscode saat ini tak lagi sekedar persamaan warna. Pemilihan tema saat ini semakin detil lebih spesifik dalam menentukan tema. Dapat dilihat pada
gambar 4.3, 4.5, 4.6 dan 4.7. Pengunaan dresscode disini biasanya telah ditentukan oleh pengurus
kelompok yang nantinya diharapkan diikuti oleh seluruh anggota kelompoknya. Hal tersebut menurut Ibrahim 2011:167 dapat terjadi karena ketika uang
melimpah bertemu dengan semangat keagamaan yang memuncak kemudian pernyataan tentang ketakwaan perlu dipertegas, dirayakan, dan diarak ke ruang
publik. Pada saat itulah kesadaran keberagamaan ditransformasikan ke dalam simbol-simbol yang diyakini sebagai representasi kesalehan. Adanya keinginan
dan kebanggaan di kalangan tertentu untuk terlihat taat beragama tetapi juga sekaligus ingin tetap terlihat cantik dan sensual, atau istilahnya taat beragama
Universitas Sumatera Utara
menggunakan busana muslim namun tetap stylis atau modis. Inilah yang akhirnya didengung-dengungkan melalui perantara media massa dan seolah
dijadikan identitas gaya hidup baru sebagian wanita berbusana muslim masa kini. Seperti gambar di berikut ini :
Gambar 4.1
Sumber : Majalah Kover Edisi September 2012, hal 16
Dari gambar di atas di dapat kesimpulan bahwa acara pengajian atau keagamaan tidak harus dilaksanakan di masjid, surau, musola, dan rumah para
anggotanya. Acara pengajian dapat juga dikemas sedemikian rupa menyesuaikan
Universitas Sumatera Utara
status anggotanya. Acara keagamaan seperti pengajianpun dapat digelar dengan mewah di tempat yang mewah serta dresscode yang tentunya tidak murah. Hal ini
menunjukkan bahwa para wanita berbusana muslim tersebut ingin menunjukkan eksistensi mereka sebagai individu sekaligus anggota kelompok keagamaan yang
seimbang antara kehidupan rohani dan duniawinya. Sebagai komunitas keagamaan dengan anggota yang beranggotakan wanita-wanita berbusana muslim
kelompok dominan, SJU nama komunitas keagamaan ingin menunjukkan bahwa “saya bergaya, maka saya ada” artinya bahwa dengan bergaya menggunakan
busana muslim yang trendi dan up to date mereka ingin menunjukan eksistensinya sebagai kelompok dominan.
Hal ini diperkuat dengan pernyataan seorang dosen sosiologi di salah satu universitas negeri di Kota Medan Harmona Daulay, S.Sos. M,Si dalam sebuah
wawancara di Majalah Kover Nurzuhra, wan ulfa, 2012:24 bahwa Arisan atau Kelompok-kelompok sosial SJU menurut sosiologi dapat dibagi menjadi 3, yaitu
: by mind arisan yang se-visi atau mempunyai pemahaman ideologi yang sama, contoh : arisan sosialita, by blood arisan karena hubungan darah, contoh : arisan
marga Batak, dan by place arisan kantor atau tempat tinggal. Menurut Harmona Daulay arisan sendiri sekarang ini dimaknai berbeda oleh anggotanya.
Bagi mereka yang berada di kalangan menengah arisan dimaknai sebagai tabungan, sedangkang bagi kelompok dominan, arisan dimaknai sebagai “ajang
untuk tampil, eksis, saling komu nikasi, dan mendapat lingkungan selevel”.
Dalam penelitian ini para informan memiliki padangan yang berbeda dalam menyikapi penggunaan dresscode pada acara seperti pengajian atau perkumpulan
kelompok sosial. Ada yang setuju dan ada yang tidak. Namun terdapat benang
Universitas Sumatera Utara
merah disini bahwa baik bagi yang setuju maupun tidak jika peggunaan dresscode dilakukan dengan intensitas yang tinggi sering, seluruh informan merasa
terbebani akan hal tersebut. Meski demikian demi menjaga penampilan 7 informan sepakat akan tetap mengikuti dresscode yang telah ditentukan karena
merasa tidak percaya diri jika menggunakan busana muslim yang berbeda dengan anggota yang lain. Hal ini berkaitan dengan tujuan konsumsi yaitu menciptakan
kebahagian yang berawal dari tuntutan persamaan kaitannya dengan tuntutan persamaan dalam kelompok serta pembeda dengan out group. Dalam hal ini
para anggota pengajian atau kelompok sosial akan merasa teralienasi jika tidak sama dengan anggota kelompok yang lain tidak menggunakan dresscode meski
harus mengeluarkan dana yang cukup besar. “Nggak masalah ya pakai dresscode gitu. Asal
nggak memberatkan. Tapi kalau keseringan pasti berat lah. Harus beli baju baru terus kan. Nggak
pakai dresscode aja beli baju terus apalagi pakai ada dresscode, tambah beli baju lagi yakan ? hehehe
.” Informan ADR
“Nggak papa sih mbak, Aku pribadi juga suka sih kalau ada acara pakai dresscode gitu, mungkin
karena masih muda juga ya. Tapi kalau aku liat juga banyak kok ibu-ibu yang udah berumur gitu pakai
dresscode, mereka enjoy-enjoy aja. Masak kita yang muda kalah, hehe. Mungkin juga karena sekarang
kan aku juga belum punya tanggungan kali ya mbak. Mungkin beda ya kalau udah punya baby nanti,
belum susunya, popoknya, bajunya, hehhe. Tapi gimana ya mbak, ini cerita andaikata lah ya, hehe.
Walau gimanapun beratnya, ini misalnya ya. Tapi kalau udah ditentuin trus kita beda sendiri, nggak
nyaman banget kayak gitu. Kayaknya tetep bakal dibela-belain deh. Ya mudah-mudahan rezeky nya
ada sampai seterusnya, hehhe.
” Informan SA “Sah-sah aja sih ya, karena kan udah kodratnya
perempuan pingin kelihatan cantik ya. Mungkin
Universitas Sumatera Utara
dengan dresscode,
bisa lebih
mempererat kekompakan antar anggota kelompok. Tapi kalau
terlalu sering capek juga ya uangnya, hehhee. ”
Informan MW “Dresscode ya ? hhmm... lumayan berat sih ya, tapi
gimana dong. Kadang kan orang-orang itu tentuin “besok pakai kaftan ya kak” Atau “Besok bajunya
merah ya kak”. Gimana coba? Emang sih nggak yang diharusin pakai baju merah atau apalah tapi
kan tante nya sendiri yang nggak pede kalau beda sendiri. Yaaa terpaksalah akhirnya ikut juga. Tapi ya
itu konsekuensinya, pengeluaran jadi membengkak karena kan nggak mungkin pakai baju yang sama
terus kan.
” Informan SL “Sebenarnya dresscode itu kan bukan poin utama
ya, soalnya berat juga kan kalau dresscode itu dibuat setiap pertemuan. Tante malah setuju kalau buat satu
atau dua baju seragam daripada pakai dresscode. Biasanya yang buat-buat dresscode itu kan yang
punya butik gitu, jadi jualannnya laku. Kalau di pengajian tante sejauh ini sih pakai dresscode itu
masih wacana ya, tapi kalaupun ada ya tante sih ikut-ikut aja. Tante nggak pede ga, kalau beda
sendiri. Ya emang sih nggak ada sanksinya, tapi kan nggak mungkin kita beda sendiri.
” Informan YNT “Sebenernya dresscode itu kalau terlalu sering
memberatkan ya, apalagi orang-orang SJU kan suka buat gituan. Trus nanti orang pakek biru kita pink
sendiri, macam apa gitu. Kayak kemaren lah ada anggota yang ulang tahun di Santika dresscodenya
hitam-putih, masak kita merah sendiri kn nggak lucu. Walaupun sejujurnya tante nggak terlalu suka
ya, tapi kalau ada dresscode gitu tante tetep harus tampil all out ya, karena kan kita nggak tahu bakal
ketemu siapa disana. Mana tahu ada hubungannya sama pekerjaankan.Biasanya kalau dresscode gitu
kalau ada event ter
tentu aja ya kayak ulang tahun.” Informan EDL
“Tante sih nggak setuju ya dresscode-dresscode gitu. Bukan apa-apa, kalau setiap acara pakai
dresscode kan memberatkan pesertanya. Yaaa walaupun biasanyanya kayak gitu nggak bersifat
memaksa tapi tetep aja kan kita jadi risih kan, kalau yang lain pakek baju kuning trus kita merah sendiri
Universitas Sumatera Utara
kan ? ya terpaksa ngikutin juga kan jadinya. ”
Informan CC Di bawah ini adalah jawaban seorang informan yang akan berfikir dua kali
jika harus menggunakan dresscode namun dilihat dari jawabannya ada kemungkinan informan tersebut akan mengikuti penggunaan dresscode yang telah
ditentukan. “Kalau tante nggak setuju ya dresscode-dresscode
gitu. Kesannya apa ya, norak gitu. Kayak grup ibu- ibu kasidahan bajunya sama semua. Untungnya di
komunitas tante nggak ada yang kayak gitu. Kalau ada, ya nggak tau juga ya, hehhe. Pokoknya tante
nggak suka lah kayk gitu.” Informan FTN Dari pernyataan di atas dapat di simpulkan bahwa penggunaan dresscode
pada acara keagamaan atau perkumpulan kelompok sosial para wanita berbusana muslim tersebut masih terdapat pro kontra. Meski begitu baik yang pro maupun
kontra memiliki jawaban yang sama yaitu akan menggunakan dresscode apabila sudah ditentukan karena tidak akan percaya diri jika berbeda dengan anggota
kelompok yang lain. Meski harus mengeluarkan uang yang relatif banyak yang nantinya akan berdampak pada tingkat konsumtif para informan itu sendiri. Hal
ini yang kemudian dilihat sebagai pelung bisnis pagi para pelaku usaha yang bergerak di bidang fashion muslim dalam hal ini adalah butik seperti pernyataan
informan yang merupakan pemilik butik Labiba di mana penelitian ini dilakukan. “Sebenarnya mau pakai dresscode atau tidak para
wanita ini cenderung selalu belanja jika ada baju yang cocok sama dia. Cuman, kelebihan dresscode
ini bagi pemilik butik kalau ada yang belum punya baju sesuai dengan tema pasti akan beli lagi. Nggak
bisa dipungkiri ya, banyaknya kelompok yang menentukan dresscode pada setiap acaranya itu
meningkatkan penjualan baju muslim. Saya sendiri sangat mendukung penggunaan dresscode ya, hehe.
Ada anggapan bahwa dresscode itu dibuat oleh
Universitas Sumatera Utara
pemilik butik saya juga nggak memungkiri ya. Namanya ibu-ibu, kalau sudah kumpulkan pasti
yang dikomentari pertama baju. Jadi itu jadi nilai plus sendiri buat pemilik butik atau biasa yang di
pengajian itu ada yang kreditin baju muslim. Saya rasa sah-sah saja. Banyak langganan kita juga sering
bbm, tanya baju sesuai dengan tema dresscode mereka. Buat kita sih positif ya, kalau bisa setiap
pertemuan selalu menggunakan dresscode, hehe.
4.6. Kontribusi Gaya Hidup Kelompok pada Tingkat Konsumtifitas Informan