sehingga frekuensi ISPA tidak akan lama. Selain mengonsumsi makanan pokok balita juga mengkonsumsi jajanan yang sering dikonsumsi sehari-hari diluar
makanan pokok tersebut seperti jajanan seperti permen dan bikuit serta snack berbagai merek dan menggunakan penyedap rasa.
5.1.2 Pola Pemberian Makanan Berdasarkan Jumlah Asupan Karbohidrat, Protein, Vitamin A, Zink dan Zat Besi pada Anak Balita Penderita
ISPA
Asupan zat gizi karbohidrat, protein, vitamin A, Zink dan zat besi sangat penting bagi anak balita, dimana masa balita merupakan periode penting dalam
proses tumbuh kembang. Kurangnya asupan zat gizi pada balita akan menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita, yang menyebabkan balita
sangat mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, dapat diketahui
bahwa jumlah asupan karbohidrat pada anak balita penderita ISPA dengan kategori kurang berada pada kelompok umur 12-36 bulan 30,4. Ini
dikarenakan anak balita dengan kelompok umur 12-36 bulan mengalami masa pergantian makanan, dimana balita mulai mengikuti makanan sesuai dengan
selera keluarga. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan protein
pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36 bulan dan 37-59 bulan berada pada kategori sedang. Ini dikarenakan anak sering mengonsumsi
lauk pauk berjenis ikan dengan 1-3xhari, selain itu mereka juga sering mengonsumsi gorengan tahu dan tempe untuk makanan selingan maupun
pelengkap makanan utama. Protein yang cukup akan menguntungkan bagi tubuh balita.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai sistem imun. Kekurangan konsumsi vitamin A akan mempengaruhi kekebalan tubuh
pada anak balita. Berdasarkan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa jumlah asupan Vitamin A pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36
bulan dalam kategori defisit 52,2 dan kelompok umur 37-59 bulan dengan kategori kurang 47,1. Ini dikarekan pengolahan sayur-sayuran tidak sesuai
dengan selera anak balita melainkan dengan selera ibu balita dan kurangnya anak balita buah-buahan.
Zink merupakan zat gizi berfungsi sebagai penambah nafsu makan anak balita, maka dari itu kurangnya konsumsi zink pada anak balita akan
menyebabkan menurunnya fungsi imunitas tubuh yang menyebabkan anak balita mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa
jumlah asupan zink pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA dengan kelompok umur 12-36 bulan dan kelompok umur 37-59 bulan
dengan kategori kurang. Kurangnya konsumsi Vitamin A disebabkan kurangnya anak balita mengonsumsi buah-buahan dikarenakan harga buah-buahan yang
mahal. Dengan pendapatan keluarga yang kurang, maka ibu tidak mampu untuk membeli buah-buahan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat besi pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA dengan
kelompok umur 12-36 bulan dan 37-59 bulan dengan kategori defisit. Ini
dikarenakan anak balita penderita ISPA kurangnya mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
5.2. Status Gizi pada Anak Balita Penderita Infeksi Saluran Pernafasan
Akut ISPA
Masalah kekurangan maupun kelebihan gizi pada anak balita perlu diperhatikan, karena selain mempunyai resiko kurang gizi juga dapat mengganggu
aktifitas anak balita. Oleh karena itu dibutuhkan pemantauan status gizi sekurang- kurangnya sebulan sekali. Berdasarkan Hasil penelitian mengenai gambaran berat
badan balita berdasarkan umur BBU dengan kelompok umur 12-36 bulan dengan kategori sangat kurang 4,3, dengan kategori kurang 17,4 dan
kategori normal 78,3, hal ini karena kebanyakan balita tidak selera makan, di samping itu diasumsikan ibu belum memperhatikan makanan yang seharusnya
diberikan untuk balita. Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran tinggi badan balita
berdasarkan umur TBU, dapat dilihat tinggi badan balita berdasarkan umur dengan kategori pendek 25,4, hal ini dikarenakan bahwa ibu kurang
memperhatikan dalam hal pemberian makanan yang bergizi pada balita sehingga balita mengalami masalah gizi pada awal pertumbuhannya. Tinggi
badan balita berdasarkan umur dengan kategori normal 65,1, Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran berat badan balita
berdasarkan tinggi badan BBTB, dapat dilihat berat badan balita berdasarkan tinggi badan dengan kategori kurus 22,3, dengan kategori normal 77,7.
Status gizi balita menurut BBU, TBU dan BBTB dalam penelitian ini secara garis besar pada kategori normal meskipun bertolak belakang pada pola
pemberian makanan yang tergolong masih buruk. Pada balita penderita ISPA dengan pola pemberian makanan yang masih buruk namun memiliki status gizi
yang sebagian besar baik menunjukkan bahwa ISPA yang dialami oleh balita tidak sepenuhnya dipicu karena masalah gizi pada balita tersebut. Ini dapat
disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini seperti faktor lingkungan tempat tinggal balita yang memungkinkan kejadian
ISPA terjadi. Hal ini juga disebabkan karena ibu-ibu di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Tiram mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan ibu yang rendah tentang gizi khususnya dalam pola pemberian makan pada anak balita,
Keadaan gizi balita yang bertolak belakang dengan pola konsumsi yang diberikan oleh ibu balita itu sendiri dapat terjadi tidak terlepas dari peran serta petugas
kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram yang selama ini aktif dalam kegiatan Imunisasi dan pemberian vitamin gratis untuk menunjang
kebutuhan gizi balita di daerah tersebut. Sebagian besar ibu dalam penelitian ini memiliki pendidikan hanya tamatan SD dan ada yang tidak sekolah sangat
terbukti menyebabkan rendahnya pengetahuan dan praktik ibu dalam pola pemberian makan yang baik dalam menunjang pertumbuhan balita agar terhindar
dari kerentanan penularan penyakit infeksi khususnya ISPA. Perilaku orang tua juga merupakan cermin bagi anak untuk diikuti, karena itu sebagai orang tua
haruslah menyadari apa yang dilakukannya tentu akan diikuti oleh anaknya. Contohnya jangan mengajarkan anak harus makan sayuran jika orang tuanya tidak
makan sayuran. Jadi mengajarkan sesuatu yang mana orang tuanya juga melakukan hal tersebut, akan mudah untuk diikuti anak.
5.3. Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut ISPA pada Anak Balita
Kejadian ISPA pada anak balita berdasarkan hasil pernyataan ibu balita diketahui lama balita mengalami ISPA dengan gejala yang bisa diamati ibu salam
satu bulan terakhir yaitu batuk, pilek dan disertai demam yang menunjukkan bahwa anak balita yang menderita ISPA dalam satu bulan terakhir sebagian besar
frekuensi jumlah kejadian dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 2 kali dalam sebulan 50.0 dengan lama kejadian paling banyak 3-5 hari.
Kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram disebabkan karena kondisi keadaan rumah dengan tidak adanya pentilasi
udara dan kepadatan anggota dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya ISPA. Menurut Edza 2009, faktor risiko terjadinya ISPA diantaranya adalah
faktor lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi dapat
merusak paru sehingga memudahkan ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang keadaan ventilasinya kurang dan dapur terletak di dalam rumah.