Aman hindar
15,208 1,964
,000 aman
-18,112 2,238
,000 Cemas
hindar -2,904
2,266 ,410
aman -15,208
1,964 ,000
Hindar cemas
2,904 2,266
,410
Dari hasil Anova tersebut dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan tingkat kemandirian belajar pada anak TK ditinjau dari
gaya kelekatan, dengan rata-rata paling tinggi adalah gaya kelekatan aman M=113,38, yang kedua adalah gaya kelekatan
menghindar M=98,17, dan yang paling rendah adalah gaya kelekatan cemas M=95,26
E. PEMBAHASAN
Hasil penelitian membuktikan bahwa ada perbedaan tingkat kemandirian belajar yang signifikan pada anak TK ditinjau dari gaya kelekatan yang
dialami. Gaya kelekatan dibedakan atas gaya kelekatan aman, gaya kelekatan menghindar dan gaya kelekatan cemas. Hal ini menunjukkan bahwa gaya
kelekatan yang dialami oleh seorang anak pada awal-awal masa kehidupannya merupakan faktor yang cukup berperan dalam menumbuh kembangkan
kemandirian anak terutama kemandirian belajar. Hal tersebut sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sroufe dalam Bell dkk, 1983 yang
mengatakan bahwa
fungsi kelekatan
pada anak-anak
melibatkan
perkembangan rasa percaya diri yang mendorong individu untuk berinteraksi dengan lingkungan dengan cara yang tepat. Begitu pula halnya pendapat
Wenar Kerig 2000, yang mengatakan bahwa gaya kelekatan pada anak itu, akan memperngaruhi anak dalam menghadapi lingkungannya.
Selanjutnya penelitian ini membuktikan bahwa ada perbedaan tingkat kemandirian belajar yang signifikan p=0,00 antara anak yang mengalami
gaya kelekatan aman dengan anak yang mengalami gaya kelekatan menghindar. Secara lebih jelas, hal tersebut dapat nampak dari respon yang
diberikan terhadap aspek-aspek dalam skala yang telah diisi. Pada anak yang mengalami kelekatan aman tampak memberi respon yang tinggi terhadap
semua aspek dalam skala kemandirian belajar. Disini anak tampak memiliki kemauan untuk melakukan sesuatu secara bebas, memiliki inisiatif, adanya
kemauan untuk menyelesaikan suatu tugas dengan baik, percaya diri serta memiliki pengendalian diri yang ditunjukkan dengan adanya sikap disiplin.
Berbeda halnya dengan anak yang mengalami kelekatan menghindar, dimana tidak semua aspek dari skala kemandirian belajar diberi respon yang tinggi.
Hal ini dapat ditunjukkan dari respon yang rendah terhadap aspek pengendalian diri, inisiatif serta gigih, dibandingkan repon terhadap kedua
aspek lainnya. Sehingga dengan demikian, nampak terlihat bahwa anak yang mengalami kelekatan menghindar masih kurang memiliki pengendalian diri,
kurang memiliki inisiatif serta kurang mau berusaha untuk menyelesaikan tugas dengan baik. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kobak dan Hazan
dalam Bartholomew dan Horowitz, 1991 yang menunjukkan bahwa orang
dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi kurang dapat mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang terbuka, tidak dapat
menyandarkan diri pada orang lain dan menggunakan orang lain sebagai tempat yang aman, serta lebih cenderung mengontrol dalam hubungan
persahabatan Hasil penelitian juga membuktikan bahwa tingkat kemandirian belajar
anak yang mengalami gaya kelekatan aman berbeda pula secara signifikan p=0,00 dengan tingkat kemandirian belajar anak yang mengalami gaya
kelekatan cemas. Dari respon yang diberikan terhadap aspek-aspek dalam skala kemandirian belajar, tampak bahwa anak yang mengalami kelekatan
cemas memberikan respon yang rendah pada hampir semua aspek kemandirian belajar, dan hanya pada aspek pengendalian diri yang diberi
respon tinggi. keadaan tersebut berkebalikan dengan anak yang mengalami kelekatan aman yang memberikan respon yang tinggi pada semua aspek
kemandirian belajar. Hal ini sesuai dengan pendapat Laurent dkk 2004, yang mengatakan bahwa anak yang mengalami kelekatan aman sebagai anak yang
cenderung menjadi mandiri, memiliki sikap empatik, memiliki kompetensi sosial dalam usia pra sekolah terutama bila dibandingkan dengan anak yang
mengalami gaya kelekatan tidak aman. Perbedaan tersebut bisa terjadi karena orang tua yang memberikan gaya kelekatan yang berbeda akan beda pula
dalam memperlakukan anak mereka sehingga perlakuan mereka akan menimbulkan pengalaman dalam berinteraksi yang berbeda pula pada anak.
Orang tua yang memberikan gaya kelekatan aman, cenderung memberikan pengasuhan yang sesuai kepada anak, yaitu dengan menjaga dan
merawat anak dengan tepat, memberikan kehangatan dan kenyamanan pada saat bersama dengan anak, mampu menenangkan anak ketika anak berada
dalam situasi yang tidak menyenangkan. Selain itu, orang tua yang memberikan gaya kelekatan aman juga, akan merasa tenang pada saat
meninggalkan anak karena mereka percaya bahwa anak akan tetap aman meskipun tidak berada dalam pengawasannya, dan pada saat bertemu kembali
orang tua akan meluangkan waktu untuk bersama dengan anak. Dalam gaya kelekatan ini, orang tua juga memberi kesempatan kepada anak untuk
mengeksplorasi dan mengenal lingkungan sekitarnya dengan pengawasan yang tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Chisholm 1996, yang
mengatakan bahwa hubungan kelekatan yang aman antara pengasuh dengan anak dapat terjadi apabila pengasuh sensitif dan responsif terhadap anak,
merawat serta memenuhi kebutuhan anak secara tepat. Responsivitas dan sensitifitas tersebut dapat ditunjukkan dalam bentuk: memiliki respon yang
konsisten terhadap kebutuhan anak, misalnya dengan secara rutin memberi makan, merawat serta memeluk anak dengan tulus, tidak meninggalkan anak
ketika merengek tetapi secara tepat dapat menenangkan anak. Selain itu memiliki ciri mampu menunjukkan kasih sayang secara tepat misalnya; sering
melakukan kontak mata dengan anak, mengasuh dan menjaga anak, mengajak berbicara, menunjukkan kesabaran dan kehangatan. Hal tersebut dapat
menyebabkan anak merasa aman dan nyaman, dan menganggap pengasuh sebagai tempat berlindung yang baik.
Karena merasa aman dan nyaman, maka hal tersebut akan berpengaruh pada perkembangan anak. Anak akan menjadi pribadi yang aktif, merasa
tertarik dan berani untuk mengeksplorasi lingkungan secara tepat, dan mengembangkan karakteristik sebagai orang yang percaya diri. Selain itu,
anak yang mengalami gaya kelekatan ini juga menikmati kebersamaan dengan orang tua, sehingga menyebabkan anak menjadi pribadi yang hangat dan
bersahabat. Karena memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat, maka anak mampu menjalin kerja sama dan peduli pada sesama. Selain itu, anak juga
akan mengembangkan sikap disiplin. Hal ini sejalan dengan pendapat Kobak dan Hazan dalam Pelawi, 2004, yang mengatakan bahwa individu yang
memiliki gaya kelekatan aman mempunyai karakteristik mengembangkan model mental mengenai orang lain sebagai orang yang bersahabat, bisa
dipercaya, responsif dan penuh kasih sayang, serta memandang diri sendiri dan orang lain sebagai orang yang berharga dan penuh dorongan. Begitu juga
dengan pendapat Rini 2006, yang mengatakan bahwa kelekatan yang aman antara orang tua dan anak dapat mempengaruhi beberapa hal antara lain: rasa
percaya diri, kemampuan membina hubungan yang hangat, mengasihi sesama dan peduli pada orang lain serta disiplin. Dengan adanya penilaian positif dan
harapan terhadap diri sendiri dan orang lain secara positif maka anak mempunyai kepercayaan diri dan harga diri yang tinggi. Dengan demikian,
anak akan memiliki kemandirian belajar yang tinggi karena semua aspek kemandirian dapat terpenuhi.
Lain pula halnya dengan anak yang memiliki gaya kelekatan menghindar, dimana anak yang mengalami gaya kelekatan ini memiliki tingkat
kemandirian belajar yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang mengalami gaya kelekatan aman. Dalam gaya kelekatan ini, orang tua dalam
memberikan pengasuhan cenderung cenderung menjaga jarak dengan anak, bahkan cenderung mengabaikan kebutuhan anak. Orang tua menganggap
bahwa anak sebaiknya dibiarkan melakukan segala sesuatu sendiri. Selain itu orang tua juga cenderung sering meninggalkan anak, dan jarang melakukan
kebersamaan dengan anak. Karena cenderung menjaga jarak dengan anak, maka pengasuh akan memberi kebebasan kepada anak untuk mengeksplorasi
lingkungan sekitarnya tanpa adanya pengawasan yang tepat. Hal ini sesuai dengan pendapat Wenar dan Kerig 2000, yang mengatakan bahwa gaya
kelekatan menghindar berkembang disebabkan karena pengasuh dalam memberikan pengasuhan cenderung menjaga jarak dengan anak. Disini
pengauh menggabungkan antara perasaan marah dan jengkel ketika dekat dengan anak. Keadaan ini dapat menyebabkan hilangnya rasa nyaman pada
anak. Anak yang mengalami kelekatan menghindar akan mengakibatkan anak
memiliki kemandirian yang terlalu dini, karena disini anak dituntut untuk bisa melakukan sesuatu sendiri. Anak juga memiliki rasa percaya diri dan dapat
menemukan cara yang kreatif untuk mendapatkan perhatian, namun tidak
tepat. Selain itu karena kurangnya pengawasan dari pengasuh mengakibatkan anak menjadi terlalu bebas dan kurang terkendali sehingga menyebabkan dia
menjadi anak yang suka menentang, kurang memiliki pengendalian diri dan kurang disiplin. Hal tersebut menyebabkan anak kurang bisa untuk menjalin
kerja sama dengan sesamanya serta dalam mengeksplorasi lingkungan dangkal. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Kobak dan Hazan dalam
Bartholomew dan Horowitz, 1991 yang menunjukkan bahwa orang dengan gaya kelekatan menghindar sangat percaya diri, tetapi kurang dapat
mengekspresikan emosinya, kurang hangat, kurang terbuka, tidak dapat menyandarkan diri pada orang lain dan menggunakan orang lain sebagai
tempat yang aman, serta lebih cenderung mengontrol dalam hubungan persahabatan. Karena hal tersebut, sehingga menyebabkan anak kurang
memiliki kemandirian belajar yang baik, karena disini ada beberapa aspek kemandirian yang belum bisa terpenuhi.
Berbeda dengan gaya kelekatan cemas dimana anak yang memiliki gaya kelekatan cemas memiliki tingkat kemandirian belajar terendah
dibandingkan gaya kelekatan aman dan menghindar. Hal tersebut terjadi karena dalam gaya kelekatan cemas, orang tua dalam memberikan pengasuhan kurang
tepat dalam memberi respon, terlalu mencampuri semua kebutuhan anak. Selain itu, orang tua juga akan merasa sangat khawatir apabila anak tidak
berada dalam pengawasannya dan cenderung mengontrol perilaku anak, sehingga orang tua tidak memberi kebebasan kepada anak untuk
mengeksplorasi lingkungan di sekitarnya. Hal ini sesuai dengan pendapat
Chisholm 1996, yang mengatakan bahwa gaya kelekatan cemas berkembang karena
pengasuh dalam
memberikan pengasuhan
ditandai dengan
unpredictabillity tidak dapat ditebak. Di satu sisi dia terlalu dekat dan cemas
terhadap kebutuhan bayi sehingga dia akan terlalu mencampuri semua hal mengenai kebutuhan anak, termasuk mengontrol perilaku anak. Namun disisi
lain dia tidak terlibat dengan anak atau mudah marah bila dekat dengan anak. Hal ini dapat menyebabkan ketidaknyamanan pada si anak.
Dalam gaya kelekatan ini, anak biasanya akan marah atau tidak suka perpisahan dengan figur lekatnya, tetapi ketika bertemu lagi dengan figur
lekatnya dia akan marah dan menentang kedekatan. Hal ini sesuai dengan penelitian Ainswoth dalam Pelawi, 2004 yang membuktikan bahwa anak-
anak yang lekat cemas menunjukkan tingkah laku ambivalen terhadap kedatangan ibu. Mereka tampak mengalami konflik, disatu sisi memperlihatkan
kecenderungan untuk dekat dengan ibu, tetapi begitu digendong ibunya mereka meminta segera diturunkan dengan menunjukkan ekspresi emosi yang
berlebihan. Anak juga akan mengembangkan model mental sebagai anak yang mempunyai kepercayaan diri rendah, kurang asertif dan merasa takut ditinggal.
Sehingga dengan demikian dapat menyebabkan anak menjadi individu yang tidak mandiri, tidak berani megeksplorasi lingkungan. Selain itu, dia juga
termasuk anak yang kurang bisa menjalin hubungan dengan teman-temannya karena terlalu lekat dengan pengasuhnya, akibatnya dia tidak bisa bekerja sama
dengan teman-temannya. Karena hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
kemandirian belajar anak yang memiliki gaya kelekatan cemas cukup rendah, karena banyak aspek dari kemandirian belajar yang belum terpenuhi.
Dari hasil penelitian, dapat diketahui pula bahwa tidak ada perbedaan kemandirian belajar yang signifikan p=0,410 antara anak yang mengalami
gaya kelekatan cemas dengan gaya kelekatan menghindar. Hal ini disebabkan karena dalam kedua gaya kelekatan tersebut kurang memberikan dukungan dan
pengasuhan kepada anak dengan jelas serta tidak sesuai dengan kebutuhan anak. Dua gaya ini sebenarnya memiliki cara yang bertolak belakang dalam
memberikan berbagai kesempatan dan kebebasan kepada anak. Gaya kelekatan cemas sangat membatasi anak untuk melakukan segala sesuatu, sedangkan
gaya kelekatan menghindar cenderung membebaskan anak bahkan terkesan tidak peduli pada anak. Hal tersebut juga dapat terlihat dari respon terhadap
beberapa aspek dalam skala kemandirian belajar yang diberikan, dimana kedua kelompok gaya kelekatan ini memberikan respon yang rendah terhadap aspek
inisiatif dan gigih. Pada anak yang mengalami kelekatan cemas, respon yang rendah juga nampak diberikan pada aspek bebas dan percaya diri, sedangkan
anak dengan kelekatan menghindar memberikan respon yang rendah pula pada aspek pengendalian diri. Hal tersebut sesuai dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, anak yang memiliki gaya kelekatan menghindar dan cemas kurang memiliki kemampuan dengan teman sebayanya, meskipun mereka
menunjukkannya dalam cara yang berbeda Shulman, Elicker, Sroufe, 1989. Selain itu, tidak hanya anak yang berada dalam gaya kelekatan cemas,
tetapi anak yang berada dalam kelompok gaya kelekatan menghindar juga
memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap guru, meskipun kedua kelompok ini menunjukkan ketergantungan tersebut dalam cara yang berbeda Sroufe,
Fox, Pancake, 1983. Dalam hal ini, gaya kelekatan menghindar sebenarnya memberikan kesempatan untuk mengembangkan kemandirian belajar anak,
tetapi karena adanya beberapa aspek kemandirian belajar yang kurang terpenuhi maka kemandirian belajar anak kurang berkembang dengan baik.
Dari hasil penelitian ini juga, ternyata pada pengkategorian gaya kelekatan dapat dilihat jumlah anak yang tidak teridentifikasi gaya
kelekatannya sebanyak 31 anak atau 27,68. Tidak teridentifikasinya gaya kelekatan pada 31 anak tersebut kemungkinan disebabkan bahwa dalam
kehidupan secara nyata banyak orang tua yang tidak mempunyai gaya kelekatan yang jelas mengarah pada gaya kelekatan tertentu sehingga skor anak
dalam gaya kelekatan tersebut tidak memenuhi kategori manapun. Terlepas dari gaya kelekatan yang dialami, secara keseluruhan
kemandirian belajar anak di TK A berada dalam kategori sedang, dengan rata- rata skor sebesar 103,49. Dengan kata lain dapat diartikan bahwa kemandirian
belajar anak tidak terlalu tinggi, tetapi juga tidak terlalu rendah. Hal ini mengindikasikan bahwa selain faktor gaya kelekatan, masih ada faktor-faktor
lain yang mempengaruhi kemandirian belajar anak seperti: usia, jenis kelamin, serta faktor lingkungan diantaranya status sosial. Dalam usia anak TK, disini
anak baru belajar untuk mengembangkan kemandirian, namun masih belum bisa lepas secara penuh dari orang tua karena anak masih membutuhkan
pertolongan orang lain. Selain itu, karena tingkatan kemandirian yang harus
dijalani oleh setiap orang berbeda-beda, maka kemandirian yang dialami oleh anak pun akan berbeda sesuai dengan kapasitas dan tugas perkembangannya.
Hal ini sesuai dengan pendapat Sumarsih 2006, bahwa kemandirian ada di semua rentang usia, hanya tingkatannya berbeda karena masing-masing
tahapan perkembangan memiliki ciri tersendiri. Dengan demikian, kemandirian anak balita, anak usia pra sekolah, anak sekolah, serta remaja
sangatlah berbeda. Selain itu, secara keseluruhan, anak-anak yang belajar di TK Marsudirini sebagian besar berasal dari golongan menengah ke atas dimana
orang tua cenderung memberikan segala fasilitas yang lengkap kepada anak Karena hal tersebut, maka kemandirian belajar anak-anak pada subyek
penelitian ini tergolong sedang. .
90
BAB V KESIMPULAN dan SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah:
1. Ada perbedaan kemandirian belajar yang signifikan pada anak TK ditinjau
dari gaya kelekatan, yang meliputi gaya kelekatan aman, menghindar, dan cemas. Hal ini tampak dari hasil perhitungan anova dengan nilai F sebesar
44,052 signifikansi 0,000 p0,05. 2.
Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang lebih tinggi dibandingkan anak yang mengalami kelekatan menghindar.
3. Anak yang mengalami kelekatan aman memiliki kemandirian belajar yang
tinggi dibandingkan anak yang mengalami kelekatan cemas. 4.
Tidak ada perbedaan kemandirian belajar yang signifikan antara anak yang mengalami kelekatan menghindar dengan anak yang mengalami kelekatan
cemas. Hal ini dapat terlihat dari hasil perhitungan post hoc yang menghasilkan tingkat signifikansi 0,410 p0,05.
B. SARAN
1. Bagi orang tua
Sesuai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat kemandirian belajar anak yang mengalami gaya kelekatan aman lebih
tinggi dari anak yang mengalami gaya kelekatan cemas dan menghindar,