I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pemanfaatan lahan perkotaan untuk pembangunan berbagai fasilitas perkotaan, termasuk kemajuan teknologi, industri dan transportasi, selain sering
mengubah konfigurasi alami lahan perkotaan juga menyita lahan-lahan tersebut dan berbagai bentukan ruang terbuka lainnya. Hal ini sangat merugikan
keberadaan ruang terbuka hijau RTH yang sering dianggap sebagai lahan cadangan dan tidak ekonomis. Ruang terbuka hijau merupakan bagian dari ruang-
ruang terbuka dalam wilayah perkotaan yang diisi oleh tumbuhan, yang sangat bermanfaat dari segi ekologis, ekonomi, sosial, budaya, arsitektural dan
kenyamanan. Berdasarkan Permendagri No. 1 Tahun 2007 disebutkan bahwa proporsi RTH publik, pada wilayah kota minimal 20 dari luas wilayah kota.
Perencanaan RTH perkotaan semestinya mengedepankan fungsi ekologi sebagai fungsi utama disamping fungsi tambahan ekstrinsik yaitu fungsi
arsitektural, sosial, dan fungsi ekonomi. Dalam suatu wilayah perkotaan empat fungsi utama ini dapat dikombinasikan sesuai dengan kebutuhan, kepentingan,
dan keberlanjutan kota. RTH berfungsi ekologis, yang menjamin keberlanjutan suatu wilayah kota secara fisik, harus merupakan satu bentuk RTH yang
berukuran, berstruktur, berbentuk serta terdapat distribusi dan konfigurasi pasti dalam suatu wilayah kota, seperti RTH untuk perlindungan sumberdaya
penyangga kehidupan manusia dan untuk membangun jejaring habitat kehidupan liar. RTH untuk fungsi-fungsi lainnya sosial, ekonomi, arsitektural merupakan
RTH pendukung dan penambah nilai kualitas lingkungan dan budaya kota tersebut, sehingga dapat berukuran dan berbentuk sesuai dengan kebutuhan dan
kepentingannya, seperti untuk keindahan, rekreasi, dan pendukung arsitektur kota. Ruang terbuka hijau sebagai salah satu komponen lanskap mempunyai
peran yang cukup penting dalam mendukung terwujudnya lanskap kota yang berkelanjutan. Keberadaan RTH disamping memberikan manfaat secara ekologi,
juga bermanfaat secara sosial, ekonomi dan estetis. Adanya berbagai macam jenis vegetasi sebagai elemen pembentuk RTH kota berperan penting dan efektif dalam
meningkatkan kualitas lingkungan perkotaan antara lain pereduksi polusi,
meminimalkan erosi dan longsor, ameliorasi iklim, penyerap air tanah dan keindahan alami kota Nurisyah, 2007.
Kota Bogor merupakan salah satu kota di Indonesia yang mengalami perkembangan pembangunan kota yang cukup pesat. Jumlah penduduk yang terus
bertambah setiap tahunnya mengakibatkan aktivitas pembangunan di Kota Bogor semakin meningkat. Data BPS Kota Bogor 2007 menunjukkan jumlah penduduk
di Kota Bogor mengalami peningkatan selama periode tahun 1995-2006, yaitu dari 647.912 jiwa pada tahun 1995 meningkat menjadi 879.138 jiwa pada tahun
2006 atau mengalami peningkatan sebesar 35,7. Tingginya pertumbuhan penduduk di Kota Bogor mengakibatkan
kebutuhan akan lahan terbangun menjadi semakin tinggi, terutama lahan-lahan yang diperuntukkan untuk aktivitas sosial dan ekonomi berupa lahan-lahan untuk
sarana pemukiman, pertanian, perkebunan, fasilitas-fasilitas sosial dan fasilitas umum, fasilitas perdagangan dan jasa, industri dan sebagainya. Peningkatan lahan
terbangun di Kota Bogor mengakibatkan lahan-lahan terbuka yang ada khususnya RTH beralih fungsi sehingga mengakibatkan ketersediaan RTH di Kota Bogor
menjadi semakin berkurang. Ketersediaan RTH yang semakin berkurang di wilayah perkotaan dapat
mengakibatkan timbulnya degradasi lingkungan. Salah satu bentuk degradasi lingkungan yang cukup dirasakan saat ini khususnya di wilayah Kota Bogor
adalah terancamnya habitat kalong Pteropus vampyrus di Kota Bogor. Keberadaan satwa ini memiliki peran ekologis yang penting karena merupakan
pemencar biji buah-buahan seperti sawo, jambu air, jambu biji, kenari, keluwih, namnam, duwet dan cendana Dumont et al. 2004. Saat ini, ratusan satwa
pemakan buah-buahan ini sering beterbangan melintasi daratan luas untuk memenuhi kebutuhan pakannya. Konon, jalur migrasi koloni kalong ini mencapai
daerah utara manggrove Muara Angke dan daerah selatan Kabupaten Bogor Soegiharto, 2009.
Namun sangat disayangkan, akhir-akhir ini populasi kalong merosot, ancaman paling besar terhadap kalong adalah kehilangan habitat karena secara
tidak langsung berkurang ketersediaan makanan akibat semakin banyaknya pengalihfungsian RTH yang ada. Hal ini terjadi akibat pengetahuan masyarakat
akan arti penting kalong dalam mata rantai ekologi masih kurang, hanya sedikit orang yang menyadari peranannya yang sangat penting dalam memelihara
keseimbangan lingkungan. Ada anggapan yang keliru bahwa kalong merupakan hama buah-buahan. Pertama, karena suatu jenis binatang baru dapat dikatakan
sebagai hama kalau tingkat kerugian yang ditimbulkan mencapai 10 atau lebih. Kedua, kalong hanya memakan buah-buahan yang sudah masak sehinggga
sebenarnya untuk mencegah pemangsaan oleh kalong, sebaiknya buah dipanen saat masak fisiologis, yang dari pengamatan luar tampak masih mentah. Pernah
dilaporkan di Jakarta tahun 1980-an Desa Joglo, Kebon Jeruk bahwa kalong Pteropus Vampyrus sebagai hama buah sawo, tetapi sesudah laporan ini, tidak
terdengar lagi keluhan atau informasi bahwa kalong merupakan hama buah- buahan. Namun kalong juga dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat,
diantaranya habitat kalong yang kotor dan dapat menimbulkan bau tidak sedap, sehingga masyarakat enggan untuk menerima kehadiran satwa ini. Pernah pula
dilaporkan bahwa virus penyebab demam berdarah ditemukan pada kalong Suyanto, 2001. Selain menimbulkan kerugian, kalong juga mendatangkan
banyak manfaat, seperti menurut Nowak 1995 banyak orang percaya bahwa hati kalong dapat menyembuhkan sakit asma dan lemaknya dapat menyuburkan
rambut. Selain itu, kotoran yang dihasilkan oleh kalong dapat dijadikan pupuk bagi tanaman.
Hal penting yang harus diperhatikan dalam melestarikan satwa kalong, terkait dengan perilaku mencari makan dan berkembang biak, serta ketersediaan
ruang dan pakan di lingkungan perkotaan.
1.2 Tujuan