Gambar 7 Peta lokasi titik kehadiran kirinyuh
Gambar 8 Peta lokasi titik ketidakhadiran kirinyuh
Gambar 9 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat
Titik kirinyuh sebanyak 30 titik atau 62,5 ditemukan pada kelas ketinggian 1.000 – 1.500 m dpl, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada
Gambar 10.
Gambar 10 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan ketinggian tempat
Faktor topografi termasuk ketinggian tempat telah terbukti secara langsung mempengaruhi pertumbuhan suatu tanaman Keddy 2001. Hasil penelitian ini
memberikan gambaran bahwa kirinyuh yang berada di kawasan hutan Resort Mandalawangi Cibodas lebih banyak ditemukan pada tipe ekosistem hutan sub
montana dibandingkan pada montana dan sub alpin. Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa penyebaran kirinyuh sangatlah luas dan dapat tumbuh pada
berbagai tipe habitat dengan kelimpahan populasi yang berbeda, namun kelimpahan populasinya cenderung menurun seiring dengan bertambahnya
ketinggian suatu lokasi Syahidin 2006. Salah satu hasil penelitian menyebutkan bahwa kirinyuh dapat ditemukan pada ketinggian 100 – 2.100 mdpl Berry et al
1997, di PIER 2008. Berbeda dengan spesies kirinyuh lain yaitu Chromolaena odorata
merupakan spesies tumbuhan yang secara taksonomi masih memiliki hubungan kekerabatan dekat dengan A. inulaefolium spesies yang ada di jalur pendakian
cibodas, spesies kirinyuh A. inulaefolium lebih banyak ditemukan di daerah
5 10
15 20
25 30
1.000 - 1.500 1.500 - 2.400
2.400 30
15
3
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Ketinggian m dpl
pegunungan atau daerah dengan ketinggian tinggi McFadyen et al. 2003. Binggeli 1997 melaporkan bahwa C. odorata hanya dapat tumbuh pada
ketinggian dibawah 1000 mdpl. Keadaan ini dibuktikan dari hasil survei yang dilakukan di Gunung Bunder, dimana populasi C. odorata hanya ditemukan
sampai pada ketinggian 650 mdpl. Pada ketinggian lebih dari 650 mdpl C. odorata tidak dijumpai tetapi lebih didominasi oleh A. inulaefolium dengan
kelimpahan populasi yang sangat tinggi Syahidin 2006.
5.2.2 Kemiringan Lereng Slope
Selain faktor ketinggian, faktor topografi lain yang berpengaruh terhadap distribusi dan bentuk tumbuhan yang hidup di daerah pegunungan adalah
kemiringan lereng dan aspect atau sudut arah datang sinar matahari Jin et al. 2008.
Topografi kawasan Resort Mandalawangi yang bergunung menimbulkan kemiringan lereng yang bervariasi pada setiap bagiannya. Peta kemiringan lereng
Resort Mandalawangi TNGGP Gambar 11 didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5
kelas lereng. Kelas tersebut adalah kemiringan 0-8 datar, kemiringan 8-15 landai, kemiringan 15-25 agak curam, kemiringan 25-40 curam,
kemiringan 40 sangat curam. Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta kemiringan
lereng terlihat bahwa kirinyuh merata ditemukan pada kemiringan lereng yang landai, agak curam dan curam Gambar 12. Hasil ini dapat memberikan
gambaran bahwa kirinyuh dapat tumbuh hampir disemua tipe kemiringan lereng bahkan di kondisi lereng yang curam sekalipun.
Gambar 11 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng slope
Gambar 12 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan kemiringan lereng slope
5.2.3 Arah Kemiringan Lereng Aspect
Aspect menggambarkan arah hadap dari sebuah permukaan surface. Aspect mengindikasikan arah kemiringan dari laju maksimum perubahan nilai
sebuah sel dibandingkan sel di sekelilingnya. Secara sederhana aspect merupakan arah kemiringan lereng. Nilai output adalah arah aspect: ‘0’° adalah tepat ke
utara, ‘90’° adalah timur, dst. Dalam analisis surface, keluaran dari perhitungan aspect adalah derajat sesuai arah kompas, seperti dapat dilihat pada Gambar
berikut:
Gambar 13 Nilai aspect berdasarkan arah kompas
2 4
6 8
10 12
14
0-8 8-15
15-25 25-40
40 4
14 14
14
2
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Slope
Menurut Howard dan Mitchell 1985, aspect memiliki pengaruh yang besar terhadap komposisi suatu spesies tumbuhan. Arah lereng berpengaruh pada aspect
sudut arah datang sinar matahari yang secara langsung mempengaruhi variasi suhu lingkungan Barbour et al. 1980. Perbedaan variasi suhu lingkungan ini
mempengaruhi pertumbuhan hingga distribusi tumbuhan. Peta arah kemiringan lereng Resort Mandalawangi TNGGP Gambar 15
didapatkan dari peta DEM, kemudian dilakukan pengolahan peta arah kemiringan lereng dan pengklasifikasian menjadi 5 kelas arah kemiringan lereng. Kelas
tersebut adalah 0 – 45 Utara, 45 – 60 Timur Laut, 60 -100 Timur, 100 – 185 Selatan, 185 – 360 Barat Daya – Barat Laut.
Berdasarkan hasil overlay titik kehadiran kirinyuh terhadap peta arah kemiringan lereng terlihat bahwa kirinyuh banyak ditemukan pada kelas arah
kemiringan lereng 0 - 45 dan 185 – 360 derajat atau pada arah utara dan selatan hingga barat daya Gambar 14. Kondisi ini dapat memberikan gambaran bahwa
besarnya intensitas sinar matahari yang diterima oleh kirinyuh tergantung pada arah kemiringan lereng tersebut; menghadap utara lereng bukit menerima sinar
matahari sedikit atau tidak ada; timur dan barat menghadap lereng menerima sinar matahari untuk sebagian setiap hari kecuali dinaungi oleh bukit dan gunung yang
lain; dan selatan menghadap lereng menerima jumlah terbesar dari sinar matahari. Karena aspect mempengaruhi jumlah sinar matahari pada permukaan
bumi maka aspect dapat menjadi faktor penting yang membantu dalam penentuan komunitas vegetasi dan habitat.
Nilai peubah aspect yang dihasilkan pada penelitian ini masih dianggap lemah karena belum dapat memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap
hubungannya dengan keberadaan atau sebaran kirinyuh di TNGGP. Hal ini disebabkan karena penelitian ini hanya dilakukan pada lokasi yang berada di
bagian utara kawasan TNGGP sehingga belum mewakili untuk kawasan yang berada di bagian lain dari lokasi penelitian ini.
Gambar 14 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng aspect
Gambar 15 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan arah kemiringan lereng aspect
5.2.4 Suhu
Nilai variabel suhu diperoleh menggunakan Erdas Imagine 9.1, dengan membangun sebuah model pada model maker yang sudah tersedia untuk
mengkonversi nilai-nilai pixel pada Landsat 7 ETM band 6, kemudian nilai tersebut digunakan untuk membuat peta suhu permukaan. Berdasarkan data titik
lokasi kehadiran kirinyuh yang diperoleh, kemudian dioverlay dengan peta suhu maka didapatkan sebaran titik kirinyuh pada tiap kelas suhu Gambar 16
Selajutnya dari peta tersebut diklasifikasikan suhu menjadi 3 kelas suhu yaitu 18 – 25, 25 -30 dan 30. Titik kirinyuh sebanyak 48 titik atau 100 ditemukan pada
kelas suhu 18 – 25 ºC, untuk lebih lengkapnya dapat dilihat pada Gambar 17. Nilai suhu berhubungan dengan nilai ketinggian suatu tempat, semakin
tinggi suatu lokasi maka suhunya akan semakin rendah dan sebaliknya. Hasil di atas sangat relevan dengan hasil pada peubah ketinggian yaitu kirinyuh banyak
ditemukan pada ketinngian 1.000 – 2.000 mdpl yang merupakan hutan sub montana dan montana dimana lokasi tersebut berada pada kisaran suhu tersebut
18 – 25 ºC.
2 4
6 8
10 12
14 16
18 20
0-45 45-60
60-100 100-185
185-360 19
4 9
4 12
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Aspect
Gambar 16 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan suhu
Gambar 17 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan suhu
5.2.5 Normalization Difference Vegetation Index NDVI
Menurut Ray 1995 dalam Mirza 2005, Normalization Difference Vegetation Index NDVI merupakan indeks vegetasi sederhana namun memiliki
sensifitas yang paling tinggi terhadap perubahan kerapatan tajuk vegetasi dibanding indeks vegetasi lainnya. Selain keunggulannya dalam membedakan
kerapatan vegetasi, nilai NDVI juga berasosiasi dengan persentase permukaan kedap air pada tiap-tiap piksel Xian Crane, 2003; Mathias Martin,
2003; Sawaya et al, 2003. Tutupan permukaan kedap air dengan persentase rendah akan memiliki nilai NDVI tinggi karena adanya tutupan vegetasi yang
dominan, demikian juga sebaliknya. Nilai NDVI suatu lanskap ekologi berkisar antara -1 sampai 1. Nilai indeks
yang tinggi umumnya merupakan tutupan vegetasi yang memiliki tingkat kesehatan yang tinggi atau vegetasi dengan kanopi yang baik. Nilai indeks yang
mendekati 0 umumnya berhubungan dengan tutupan awan, sedangkan nilai indeks yang 0 umumnya merupakan badan air atau wilayah tanpa vegetasi Jaya 2010.
Jaya 2010 juga menjelaskan bahwa tutupan vegetasi yang lebat cenderung mempunyai nilai NDVI mendekati satu, sedangkan tutupan badan air umumnya
bernilai-1. Nilai lahan kosong tanah kosong umumnya mempunyai nilai nol. Besarnya nilai NDVI dari suatu kondisi tutupan vegetasi sangat bergantung pada
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
18-25 25-30
30 48
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Suhu C
tutupan vegetasi itu sendiri serta kondisi permukaan tanah yang ada di bawah vegetasi yang direkam.
Penilaian menggunakan indeks NDVI menghasilkan peta sebagaimana tersaji pada Gambar 19. Tutupan vegetasi yang dinilai menggunakan NDVI dapat
merepresentasikan bagian kawasan dengan kondisi vegetasi yang rapat dan bagus. NDVI dihitung dari besarnya pantulan sinar tampak dan sinar infra merah dekat
yang dipantulkan tumbuhan hijau, dimana vegetasi yang rapat memiliki kisaran indek antara 0,8 hingga 0,9 Ryan 1997; Weier dan Herring 2010.
Nilai NDVI kawasan Resort Mandalawangi berkisar antara -0,35 - 0,4. Hal ini sesuai dengan kondisi kawasan Resort Mandalawangi terutama di jalur
pendakian Cibodas dimana kisaran nilai -0,35 menunjukkan daerah yang digenangi air yaitu berupa rawa dan telaga rawa gayonggong, telaga biru,
sedangkan nilai 0,4 menunjukkan bahwa tutupan vegetasi di kawasan ini cukup baik mendekati nilai 1.
Gambar 18 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan
kisaran nilai NDVI 0,2 hingga 0,4 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,2 – 0,4. Hasil ini dapat memberikan gambaran bahwa kirinyuh tidak hanya
ditemukan pada daerah terbuka tetapi ternyata juga dapat ditemukan pada daerah dengan tutupan vegetasi yang cukup baik selama masih ada sinar matahari yang
masuk. Kondisi ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa ketersediaan cahaya telah tercatat sebagai faktor yang sangat penting dalam mempengaruhi
penyebaran spesies tumbuhan eksotik, hampir seluruh spesies tumbuhan eksotis paling sering ditemukan dalam kondisi cahaya tinggi Parendes Jones 2000;
Hawbaker Radeloff 2004.
Gambar 18 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDVI
5.2.6 Normalized Difference Moisture Index NDMI
Normalized Difference Moisture Index NDMI merupakan salah satu indeks vegetasi selain NDVI yang umumnya digunakan untuk mengetahui
kelembaban vegetasipermukaan tutupan area Hemmleb et al. 2006. Nilai NDMI dihitung berdasarkan analisa Citra Landsat Image band 4 dan band 5
menurut Price dan Tinant 2000. Penilaian menggunakan indeks NDMI terhadap sebaran titik kirinyuh di kawasan jalur pendakian Cibodas menghasilkan peta
sebagaimana tersaji pada Gambar 21 dimana terdapat 3 tiga kelas nilai NDMI yaitu -0,261 – 0,1; 0,1 – 0,2 dan 0,2 – 0,3.
Gambar 19 memperlihatkan bahwa sebaran kirinyuh di kawasan jalur pendakian Resort Mandalawangi pada umumnya berada pada daerah dengan
kisaran nilai NDMI -0,261 hingga 0,3 dengan jumlah terbanyak pada kisaran nilai 0,1 – 0,2.
5 10
15 20
25 30
-0,35-0,2 0,2-0,4
0,4 27
21
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
NDVI
Gambar 19 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan NDMI
Sebagai salah satu indeks vegetasi lain selain NDVI, NDMI mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai NDVI suatu kawasan dimana semakin
tinggi nilai NDVI maka semakin tinggi pula nilai NDMI kawasan tersebut. Hal ini dapat dipahami karena jika suatu kawasan memiliki tutupan vegetasi yang
bagus atau rapat maka dengan demikian kawasan tersebut juga memiliki kelembaban vegetasi atau kelembaban permukaan tutupan area yang tinggi.
Berdasarkan hasil penilaian NDMI pada lokasi penelitian yang berada pada kisaran nilai 0,1 – 0,2 maka dapat dikatakan bahwa kelembaban permukaan
tutupan area atau kelembaban vegetasi di lokasi penelitian ini cukup baik. Hal ini disebabkan karena masih banyaknya vegetasi yang dapat menyerap panjang
gelombang spektral dari band 4 dan 5 yang digunakan dalam menilai NDMI pada suatu kawasan.
5 10
15 20
25 30
35
-0,261 - 0,1 0,1 - 0,2
0,2 - 0,3 34
14
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
NDM I
Gambar 20 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDVI
Gambar 21 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan NDMI
5.2.7 Jarak terdekat dari jalantrail
Berdasarkan beberapa hasil penelitian terhadap penyebaran tumbuhan asing invasif yang dilakukan oleh peneliti asing di luar negeri, membuktikan bahwa
gangguan akibat aktivitas manusia merupakan faktor yang paling kuat dalam mempengaruhi percepatan penyebaran tumbuhan asing invasif. Salah satu hasil
penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. 2011 menunjukkan bahwa kehadiran Japanese honeysukcle sangat berhubungan erat dengan gangguan antropogenik
pada umumnya. Pada penelitian ini disimpulkan bahwa jika kawasan DAS dikaitkan dengan campur tangan kegiatan manusia, maka faktor-faktor seperti
jarak dari jalan utama, kelembaban tanah, intensitas cahaya, dan kekayaan spesies semua signifikan terkait dengan distribusi spasial spesies invasif. Hasil penelitian
di Panther Creek yang hampir seluruh kawasannya berhutan sangat sesuai dengan kesimpulan yang disebutkan diatas.
Kondisi tersebut diatas sangat relevan dengan hasil penelitian di sepanjang jalur trail pendakian cibodas, dimana kirinyuh banyak ditemukan pada kondisi
dimana dekat dengan jalan trail Gambar 23.
Gambar 22 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail
5 10
15 20
25 30
35 40
45 50
0 - 300 300 - 1.000
1.000 48
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Jarak dari jalan trail m
Gambar 23 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak jalan trail
5.2.8 Jarak terdekat dari kebunaktivitas manusia
Seperti yang telah disampaikan sebelumnya bahwa penyebaran tumbuhan asing invasif sangat tergantung kepada aktivitas manusia maka sama halnya
dengan jalan trail pendakian, aktivitas kebun juga menjadi salah satu faktor aktivitas manusia yang ikut berperan dalam penyebaran tumbuhan asing invasif.
Kawasan hutan Resort Mandalawangi merupakan kawasan hutan yang berbatasan dengan perkebunan penduduk, pemukiman penduduk dan Kebun Raya Cibodas
yang merupakan sumber aktivitas manusia. Gambar 25 merupakan peta hasil overlay titik keberadaan kirinyuh terhadap kebun masyarakat yang berada di
sekitar kawasan Mandalawangi Cibodas. Peta tersebut dibagi menjadi 3 kelas yaitu 0 – 1.500; 1.500 – 3.000 dan 3.000 mdpl. Keberadaan kirinyuh sangat
banyak ditemukan pada kelas jarak kebun 0 – 1.500 mdpl, hal ini menunjukkan bahwa semakin dekat jarak kebun maka semakin banyak probabilitas
ditemukannya kirinyuh.
Gambar 24 Jumlah titik kirinyuh berdasarkan jarak kebun
5 10
15 20
25 30
0 - 1.500 1.500 - 3.000
3.000 30
18
Ju m
la h
K ir
in y
u h
i n
d iv
id u
Jarak Kebun m
Gambar 25 Peta sebaran kirinyuh berdasarkan jarak kebun
5.3 Analisis Pemodelan Spasial
5.3.1 Analisis Regresi Logistik Biner Binary Logistic Regression Analysis
5.3.1.1 Model kesesuaian habitat kirinyuh
Model kesesuaian habitat bukanlah upaya yang pasti untuk memprediksi ada tidaknya suatu spesies tumbuhan atau satwa pada suatu habitat, tetapi lebih
merupakan upaya untuk mengidentifikasi areal atau blok kawasan hutan mana yang harus diprioritaskan dalam pengelolaannya Rahmat 2012. Pemodelan ini
menggunakan pendekatan model regresi logistik biner dengan prosedur Enter dengan sistem eliminasi manual. Variabel prediktor untuk membangun model
regresi logistik biner kesesuaian habitat kirinyuh menggunakan delapan data spasial yaitu ketinggian elevasi, kelerengan slope, arah kelerengan aspect,
penutupan vegetasi NDVI, suhu, kelembaban vegetasi, jarak terdekat dari jalur patrolitrek dan jarak terdekat dari pemukiman atau aktivitas manusia.
Setiap titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan dinilai variabel prediktornya melalui bantuan perangkat lunak Arc Gis ver. 9.3. Lampiran 2
menyajikan data atribut pasangan titik kehadiran dan ketidakhadiran yang digunakan untuk membangun model.
Perhitungan nilai variabel prediktor menggunakan perangkat lunak SPSS 16 dengan taraf kepercayaan 95. Dari hasil perhitungan dengan prosedur ini
diperoleh empat variabel prediktor yang memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan empat variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 Lampiran 4.
Konstanta persamaan regresi logistik sebesar -22,938 dengan koefisien
regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 2.
Berdasarkan hasil perhitungan tersebut maka dikatakan sementara bahwa model regresi pada tahap ini belumlah baik karena nilai konstansta dan nilai 4
prediktor lainnya masih memiliki nilai probabilitas signifikansi di atas 0,05. Untuk itu, menurut Santoso 2012 model regresi dapat diulang lagi dengan hanya
memasukkan prediktor yang sudah signifikan sebagai variabel independen, dalam kasus ini adalah suhu, NDVI, NDMI dan jarak dari trek.
Tabel 2 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 1 No.
Variabel predictor Koefisien regresi
Signifikansi 1.
Ketinggian elv
6,334 0,269
2. Kelerengan
slp 0,026
0,414 3.
Arah kelerengan asp 0,001
0,652 4.
Penutupan Vegetasi NDVI -45,789
0,010 5.
Suhu sh
1,623 0,039
6. Kelembaban vegetasi NDMI
-30,675 0,035
7. Jarak dari trail jt
-72,932 0,000
8. Jarak dari kebun jk
-0,153 0,901
Konstanta -22,938
0,261 Dari hasil perhitungan tahap ke-2 ini diperoleh tiga variabel prediktor yang
memiliki taraf signifikansi kurang dari 0,05 dan satu variabel dengan taraf signifikansi lebih dari 0,05 Lampiran 4. Konstanta persamaan regresi logistik
sebesar 13,588 dengan koefisien regresi masing-masing variabel prediktor dan taraf signifikansinya sebagaimana disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 2 No.
Variabel prediktor Koefisien
regresi Signifikansi
1. Suhu
sh 0,253
0,315 2.
Penutupan vegetasi NDVI -32,046
0,026 3.
Kelembaban vegetasi NDMI -24,742
0,048 4.
Jarak dari trail jt -66,290
0.000 Konstanta
13,588 0,096
Hasil perhitungan ke-2 pada persamaan regresi ini masih menunjukkan adanya satu prediktor yang masih memiliki nilai probabilitas signifikansi lebih
dari 0,05 begitu pula dengan nilai konstantanya, sehinggga masih dapat dimungkinkan untuk dilakukan analisa regresi yang ke-3 dengan hanya
memasukkan prediktor NDVI, NDMI dan jarak dari trail sebagai variabel independennya, dengan hasil sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Taraf signifikansi dan koefisien regresi variabel prediktor tahap Enter 3 No.
Variabel prediktor Koefisien regresi Signifikansi
1. Penutupan vegetasi NDVI
-30,571 0,030
2. Kelembaban vegetasi
NDMI -28,092
0,021 3. Jarak dari trail jt
-64,988 0,000
Konstanta 19,455
0,001 Hasil perhitungan ke-3 menunjukkan bahwa konstanta dan tiga variabel
prediktor adalah signifikan secara statistik dimana semuanya memiliki nilai signifikan dibawah 0,05 yang berarti bahwa ketiga variabel tersebut berpengaruh
nyata terhadap model kesesuaian habitat atau penyebaran kirinyuh. Dengan demikian, dari hasil ketiga perhitungan tersebut maka hasil analisa regresi yang
ke-3 merupakan model regresi yang lebih baik digunakan untuk memprediksi variabel peluang keberadaan kirinyuh. Dengan demikian, bentuk persamaan
regresi logistiknya adalah: Z = 19,455-30,571NDVI-28,092NDMI-64,988jt
Nilai persamaan P= [e
z
1+e
z
] adalah
=
, ,
, ,
1 +
, ,
, ,
Hasil perhitungan nilai P pada persamaan tersebut menunjukkan bahwa ketiga peubah tersebut yaitu NDVI, NDMI dan jarak dari trail memberikan
pengaruh nyata terhadap frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat. Sifat dan besarnya hubungan antara ketiga peubah tersebut dengan frekuensi kehadiran
kirinyuh pada suatu habitat dapat diketahui dari besarnya nilai koefisien determinasi R². Nilai R² sebesar 50,1 mengindikasikan bahwa keragaman
frekuensi kehadiran kirinyuh pada suatu habitat dipengaruhi oleh peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail secara simultan sebesar 50,1 sedangkan sisanya
49,9 dipengaruhi oleh peubah lain yang tidak digunakan dalam model ini. Peubah NDVI, NDMI dan jarak dari trail merupakan peubah yang
signifikan dengan semua koefisiennya bernilai negatif. Koefisien regresi variabel NDVI sebesar -30,571 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDVI atau
semakin tingginya derajat kehijauan suatu vegetasi berhutan, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran kirinyuh. Koefisien regresi variabel NDMI sebesar
-28,092 menunjukkan bahwa semakin tinggi nilai NDMI atau semakin tingginya derajat kelembaban vegetasi, maka semakin kecil kemungkinan kehadiran
kirinyuh begitupula dengan interpretasi yang sama terhadap nilai koefisien regresi variabel untuk jarak ke jalan trail sebesar -64,988.
Hasil tersebut di atas mampu menjelaskan teori yang ada bahwa keberadaan spesies tumbuhan asing invasif sangat tergantung pada ketersediaan
cahaya matahari yang sangat tinggi Parendes Jones 2000; Hawbaker Radeloff 2004. Hal ini dapat dijelaskan dengan nilai peubah NDVI dan NDMI
yang secara langsung berhubungan dengan sinaran cahaya matahari. Faktor gangguan antropogenik dalam bentuk jalan setapak atau jalan raya juga
merupakan faktor yang berpengaruh besar terhadap penyebaran spesies tumbuhan asing invasif dibandingkan dengan gangguan alam Rew et al. 2006. Selain itu,
banyak penelitian yang berhasil menemukan bahwa aktivitas manusia sepanjang jalur setapak seperti menunggang kuda Tyser Worley 1992; Campbell
Gibson 2001 dapat meningkatkan kemungkinan masuk dan menyebarnya spesies tumbuhan asing sepanjang jalur tersebut Campbell Gibson 2001.
5.3.1.2 Uji Kelayakan Model Regresi Logistik
Kelayakan suatu model regresi logistik dapat dilihat dari signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood serta hasil uji Hosmer and Lemeshow pada
pengolahan menggunakan perangkat lunak SPSS 16 sebagaimana terlampir dalam lampiran 4.
Penurunan nilai -2 Log Likelihood dari 133,084 menjadi 87,806 dengan
signifikansi 0,000 0,05 menunjukkan bahwa model regresi layak untuk digunakan. Uji Hosmer and Lemeshow digunakan untuk melihat kecocokan
variabel prediktor yang digunakan dalam membangun model dengan model yang dihasilkan. Berkebalikan dengan signifikansi penurunan nilai -2 Log Likelihood
dimana model layak jika nilai signifikansi berada dibawah taraf signifikansi 0,05, signifikansi nilai uji Hosmer and Lemeshow harus lebih besar dari taraf signifikan
0,05 untuk dapat dikatakan model itu cocok fit dengan variabel prediktor yang
digunakan. Nilai uji Hosmer and Lemeshow menunjukkan nilai 3,643 dengan signifikansi 0,888 0,05. Nilai signifikansi ini menunjukkan bahwa model
cocok dengan variabel prediktor yang digunakan.
5.3.1.3 Kelas Kesesuaian Habitat
Kesesuaian habitat kirinyuh ditentukan dari besarnya nilai Indeks Kesesuaian Habitat. Nilai tersebut kemudian dikelas untuk menentukan
tingkat kesesuaian habitat yaitu kesesuaian tinggi, kesesuaian sedang dan kesesuaian rendah. Penentuan selang kelas kesesuaian habitat dilakukan
dengan membagi tiga selisih nilai Indeks Kesesuaian Habitat yang tertinggi dan terendah. Luas tiap kelas kesesuaian habitat disajikan pada Tabel 5.
= 0,999
3 = 0,333
Tabel 5 Kelas kesesuaian habitat kirinyuh beserta luas areal
No. Kelas Kesesuaian Habitat
IKH Luas Areal
1 Kesesuaian rendah
0 – 0,333 1335,99 Ha
2 Kesesuaian sedang
0,333 – 0,666 31,61 Ha
3 Kesesuaian tinggi
0,666 – 0,999 91,46 Ha
5.3.2 Analisis Komponen Utama Priciple Component AnalysisPCA
5.3.2.1 Model kesesuaian habitat kirinyuh
Pada dasarnya, Priciple Component AnalysisPCA atau Analisis Komponen Utama AKU merupakan suatu teknik mereduksi banyak data untuk
mengubah suatu matrik data awalasli menjadi satu set kombinasi linear yang lebih sedikit akan tetapi menyerap sebagian besar jumlah varian dari data awal.
Banyaknya faktor komponen yang dapat diekstrak dari data awal adalah sebanyak variabel yang ada. Kita harus mereduksi data asli dengan sedikit
mungkin komponenfaktor akan tetapi masih memuat sebagian besar variasi dari data asli katakan lebih dari 80 Supranto 2004.
Data yang digunakan dalam analisis komponen utama ini adalah data 48 titik kehadiran kirinyuh. Hasil Analisis Komponen Utama yang dilakukan
terhadap faktor peubah yang mempengaruhi tempat tumbuh kirinyuh menunjukkan bahwa dari 8 faktor lingkungan fisik yang diamati dapat
dikelompokkan menjadi 3 faktor komponen utama. Hal ini diindikasikan dengan eigenvaluenya 1. Ketiga komponen baru tersebut dapat menjelaskan sebesar
73,51 dari variabilitas keseluruhan variabel faktor yang diamati Tabel 6. Meskipun komponen pertama relatif lebih besar daripada komponen kedua dan
ketiga, perbedaannya tidaklah terlalu besar. Hal ini dapat mengindikasikan bahwa antara kedua faktor komponen memberikan informasi yang relatif sama besar
untuk dapat menggambarkan kondisi habitat kirinyuh.
Tabel 6 Keragaman total komponen utama Komponen
Akar Ciri Initial Eigen Values Total
Keragaman Kumulatif Keragaman
1 2.873
35.909 35.909
2 2.004
25.052 60.961
3 1.004
12.545 73.506
4 0.946
11.826 85.332
5 0.549
6.868 92.200
6 0.506
6.321 98.521
7 0.099
1.238 99.759
8 0.019
0.241 100.000
Hasil analisis tersebut nilai total dari akar ciri kemudian digunakan untuk menentukan bobot masing-masing variable. Keeratan hubungan antara keempat
variable kesesuaian habitat kirinyuh. dengan komponen utama seperti disajikan pada Tabel 7 berikut.
Tabel 7 Vektor ciri PCA Variabel
Komponen Utama 1
2 3
Slope 0.198
0.274 0.378
Aspect -0.104
-0.762 0.173
Suhu -0.915
0.229 0.194
NDVI -0.019
0.820
.116 NDMI
0.266 0.486
0.596
Elevasi 0.979
0.020 -0.002
Jarak Jalan Trail -0.038
-0.616 0.652
Jarak Kebun 0.977
-0.083 -0.010
Komponen variabel elevasiketinggian adalah variabel yang cukup berpengaruh pada faktor komponen pertama PC1, diikuti jarak dari kebun.
Komponen penutupan vegetasi NDVI adalah variabel yang berpengaruh pada faktor komponen kedua PC2, sedangkan komponen kelembaban vegetasi
NDMI serta jarak dari jalan trail merupakan variabel yang berpengaruh pada faktor komponen ketiga PC3.
Hasil di atas menunjukan bahwa variabel elevasi dan jarak kebun mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama pertama.
Sedangkan variabel NDVI mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen kedua. Dan terakhir variabel NDMI dan nilai jarak dari sungai dan
kemiringan lereng mempunyai hubungan positif yang tinggi terhadap komponen utama ketiga. Dengan demikian besarnya bobot masing-masing variabel sajikan
dalam Tabel 8.
Tabel 8 Koefisien tiap variable kesesuaian habitat kirinyuh No.
Variable Nilai Bobot
1. Elevasi elv
2,873 2.
Jarak Kebun jkb 2,873
3. NDVI NDVI
2,004 4.
NDMI NDMI 1,004
5. Jarak jalan taril jtr
1,004
5.3.2.2 Kelas Kesesuaian Habitat Kirinyuh
Untuk menentukan indeks kesesuaian habitat kirinyuh digunakan bobot dari tiap variabel yang sudah masuk ke dalam persamaan. Sebelum dilakukan
perhitungan kesesuaian habitat terlebih dahulu dilakukan pengkelasan tiap variabel habitat untuk menentukan skor tiap kelas dari variabel tersebut. Setiap
kelas dalam satu variabel memiliki nilai yang berbeda satu dengan yang lainnya. Skor dari masing-masing kelas variabel ditentukan oleh banyaknya titik-
titik keberadaan dari habitat kirinyuh sebagaimana yang disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Skor variabelfaktor kesesuaian habitat
No. Variabel Kelas
Skor 1
ElevasiKetinggian 1.000 - 1.500 m dpl
3 1.500 – 2.400 m dpl
2 2.400 m dpl
1 2
Jarak dari kebun 0 – 1.500 m
3 1.500 – 3.000 m
2 3.000 m
1 3
NDVI -0,35 – 0,2
1 0,2 – 0,4
2 0,4
3 4
NDMI -0,261 – 0,1
1 0,1 – 0,2
2 0,2 – 0,3
3 5
Jarak dari jalan trail 0 – 300 m
3 300 – 1.000 m
2 1.000 m
1
Persamaan model kesesuaian habitat kirinyuh didapat melalui perhitungan terhadap masing-masing variabel yang digunakan sebagai prediktor menggunakan
SPSS 19, sehingga didapatkan persamaan sebagai berikut: Y=2,873elv + 2,873jkb + 2,004NDVI+ 1,004NDMI+1,004jtr
Persamaan di atas menunjukkan bahwa elevasi, jarak kebun dan NDVI mempunyai koefisien bobot yang paling tinggi diantara variable yang lain,
dimana Y adalah Indeks Kesesuaian Habitat dan nilai variabel yang dimasukkan adalah skor dari masing-masing variabel yang terdapat di dalam persamaan
tersebut.
Gambar 26 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Regresi Logistik
Gambar 27 Peta kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama
5.3.3 Validasi Model
Validasi model ditujukan untuk mengetahui tingkat kepercayaan terhadap model yang dibangun. Validasi model dilakukan dengan menguji model
menggunakan data validasi sebanyak 48 pasang data yang dioverlaykan ke dalam peta kesesuaian habitat. Nilai validasi klasifikasi kesesuaian habitat kirinyuh
dihitung berdasarkan perbandingan jumlah titik pertemuan kirinyuh yang ada pada satu klasifikasi kesesuaian dengan jumlah total titik pertemuan kirinyuh hasil
survey. Hasil validasi terhadap model regresi logistik menunjukkan bahwa 31 titik
64,6 masuk ke dalam kelas kesesuaian tinggi, 11 titik 22,9 kelas kesesuaian sedang, sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah sebanyak 6 titik
12,5. Tingginya persentase data yang ditemui pada kelas kesesuaian tinggi menunjukkan bahwa model yang digunakan memiliki validitas yang tinggi pula.
Nilai validasi untuk Analisis Komponen Utama menunjukkan 31 titik 64,6 masuk ke dalam kelas kesesuaian tinggi, 17 titik 35,4 kelas kesesuaian sedang,
sedangkan untuk kelas kesesuaian rendah tidak ditemukan titik kirinyuh Tabel 10.
Tabel 10 Hasil validasi model keseusaian habitat kirinyuh
No. Kelas
Kesesuaian Model Berdasarkan Analisis
Regresi Logistik Model Berdasarkan Analisis
Komponen Utama Jumlah Titik
Kirinyuh Persentase
Jumlah Titik Kirinyuh
Persentase 1.
Tinggi 31
64,6 31
64,6 2.
Sedang 11
22,9 17
35,4 3.
Rendah 6
12,5
Model yang dihasilkan ini merupakan model peramalan predictif model. Walaupun dalam pengertian tertentu sebuah model dianggap tidak realistis, model
ini sekurang-kurangnya dapat digunakan untuk mempelajari kesesuaian habitat dan penyebaran kirinyuh di TNGGP.
Selain itu, setiap jenis analisis spasial yang digunakan dalam membangun sebuah model memiliki kelebihan dan kekurangan
masing-masing sehingga ada kemungkinan asumsi-asumsi yang dibangun dalam membangun sebuah model tersebut salah, tetapi diharapkan model tersebut dapat
bermanfaat.
Berdasarkan hasil validasi model di atas Tabel 10, terlihat bahwa model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner menghasilkan 3 tiga
kelas kesesuaian habitat kirinyuh yaitu pada kelas tinggi, sedang dan rendah sedangkan pada model yang dibangun berdasarkan Analisis Komponen Utama
hanya menghasilkan 2 dua kelas kesesuaian yaitu tinggi dan sedang. Jika ditinjau lebih lanjut berdasarkan jumlah titik kirinyuh yang seharusnya tidak
berada pada kelas kesesuaian rendah seperti yang ditemukan pada hasil validasi model berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner maka dapat dikatakan bahwa
model yang dibangun untuk memprediksi sebaran dan kesesuaian habitat kirinyuh berdasarkan Analisis Komponen Utama adalah model yang lebih sesuai
dibandingkan model yang dibangun berdasarkan Analisis Regresi Logistik Biner.
5.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Nilai Variabel Prediktor
Variabel prediktor yang berasal dari data spasial memiliki faktor-faktor yang akan berpengaruh pada akurasi data pembangun model. Faktor-faktor tersebut
diantaranya a akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran, b akurasi data DEM, c penyimpangan letak jalur jalan dan sungai, serta d akurasi nilai
NDVI akibat pengaruh topografi. a. Akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran
Akurasi titik koordinat kehadiran dan ketidakhadiran tergantung pada dua hal utama yaitu alat yang digunakan dan surveyor. Alat GPS sebagai pemberi
informasi posisi koordinat memegang peranan penting dalam perolehan data yang teliti. Tingkat ketelitian GPS dapat ditunjukkan dari jumlah satelit yang
dapat dideteksi oleh GPS. Semakin banyak satelit yang dapat ditangkap, akurasi titik yang diperoleh juga semakin tinggi. Kemampuan dan konsistensi
surveyor sebagai pengguna alat GPS juga berperanan. Error data lapangan sering ditimbulkan oleh kesalahan pada manusia.
b. Akurasi data Digital Elevation Model DEM Data DEM yang diperoleh melalui hubungan berkala http:www.
gistutorial.netidresourcesdatdownload-aster-gdem.html mengandung data- data yang menyimpang anomali. Penyimpangan data ini muncul akibat sisa
awan pada citra yang digunakan untuk menyusun ASTER GDEM, tahapan
dalam menyusun batasan layer scene, bentuk atau kenampakan benda yang muncul dan mempengaruhi batasan nilai seperi bentuk lubang atau benjolan,
ketinggian badan air di daratan termasuk gangguan tekstur yang terlihat, serta detail ekspresi topografi yang ditetapkan ASTER GDEM ASTER Global
DEM 2009. Bentuk-bentuk penyimpangan ini mempengaruhi akurasi data yang diperoleh.
c. Penyimpangan letak jalur jalan dan kebun Penyimpangan jalur jalan dan kebun pada peta vektor dengan yang ada pada
citra satelit salah satunya dapat disebabkan oleh manusia selaku subjek penyusun. Peta vektor dibuat melalui digitasi sehingga penyimpangan dapat
terjadi pada saat proses tersebut berlangsung. Sumber penyimpangan yang lain adalah sumber data untuk digitasi yang dipergunakan oleh penyusun. Data
yang telah lama sering mengalami perubahan, dan lambat untuk diperbaiki. Lain halnya dengan citra satelit yang mampu memperoleh data baru secara
cepat. Untuk mengatasi penyimpangan ini, koreksi geometrik dapat dilakukan baik pada citra satelit maupun peta vektor. Koreksi ini menggunakan data titik
yang sama yang ada pada citra satelit maupun peta vektor. d. Akurasi nilai NDVI, NDMI dan Suhu akibat pengaruh topografi
Nilai NDVI, NDMI dan Suhu diperoleh berdasarkan data citra satelit yang digunakan. Akurasi data ini dapat dipengaruhi oleh kondisi topografi. Pada
topografi yang berbukit-bukit dan kemiringan lereng relatif curam, vegetasi akan terlindungi oleh bayang-bayang lereng. Kondisi ini akan mempengaruhi
pantulan sinar oleh vegetasi dan menyebabkan perbedaan nilai tersebut meskipun kondisi vegetasi dan kerapatan sama di setiap pikselnya.
5.5 Strategi Pengendalian dan Pengelolaan
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango TNGGP merupakan salah satu kawasan dilindungi yang pengelolaannya lebih diarahkan untuk melindungi
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati
beserta ekosistemnya.
Pesatnya perkembangan penduduk diikuti peningkatan kebutuhan yang semakin kompleks memaksa banyak jalur hijau beralih fungsi menjadi jalan
raya dan bangunan fisik lainnya. Pembukaan areal dan pembangunan fisik pun terus berlangsung hingga kini baik untuk pemukiman, industri, tambang, dsb.
Akibatnya lambat laun terjadi ketimpangan ekologi yang ada di sekitarnya dan kini telah dirasakan dampaknya oleh masyarakat luas berupa banjir dan
kekeringan. Di sisi lain luas kawasan konservasi yang ditetapkan untuk
menunjang keseimbangan tata air bagi wilayah di sekitarnya tidak banyak mengalami peningkatan karena tekanan perkembangan penduduk, bahkan
cenderung mengalami degradasi fungsi akibat berbagai faktor, salah satu diantaranya adalah terhambatnya regenerasi spesies endemik akibat masuknya
spesies tumbuhan eksotik yang bersifat invasif. Beberapa instrumen telah dikeluarkan oleh oleh pemerintah Indonesia
dalam rangka membatasi atau meminimalkan penyebaran spesies asing di Indonesia antara lain dengan peraturan yang terkait dengan karantina dan lain-
lain, namun instrumen tersebut belum cukup dalam menangani permasalahn spesies asing invasif di Indonesia. Kendala yang dihadapi dalam hal ini karena
masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai spesies asing invasif, akses informasi mengenai spesies asing invasif yang masih terbatas, masih lemahnya
sistem monitoring terhadap masuknya atau penyebaran spesies asing invasif dan koordinasi antar instansi terkait masih lemah.
Pengelolaan dan pengendalian invasi biologi telah menjadi tantangan besar bagi peneliti, pemerintah, dan masyarakat lainnya. Penelitian tentang keberadaan
tumbuhan invasif sudah banyak dilakukan di berbagai tempat termasuk di beberapa kawasan taman nasional di Indonesia, namun data mengenai pola
distribusi spasial dan kesesuaian habitat tumbuhan invasif tersebut kurang didokumentasikan. Melalui hasil penelitian yang diwakili dengan spesies asing
kirinyuh ternyata dapat menjawab pertanyaan mengenai hubungan antara faktor- faktor biofisik sebagai peubah-peubah ekologi yang mempengaruhi pola distribusi
dan kesesuaian habitat kirinyuh dan hasil ini dapat dijadikan bahan masukan
strategis bagi pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif di TNGGP secara umum.
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan sebagai upaya atau strategi dalam pengendalian dan pengelolaan spesies tumbuhan asing invasif pada kawasan
koservasi khususnya di TNGGP yaitu:
1. Pencegahan
Menurut Utomo 2006 pertumbuhan dan perkembangan spesies tumbuhan asing invasif di suatu kawasan hutan terjadi karena adanya celah-celah
terbuka di dalam kawasan hutan yang memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya spesies tumbuhan asing invasif di tempat terbuka tersebut,
karena itu pencegahan yang terbaik adalah mengusahakan agar celah-celah tidak dibiarkan terbuka, yaitu dengan melakukan penanaman spesies-spesies
pohon lokal yang rendah populasinya terutama dari spesies-spesies klimaks yang mencirikan komunitas vegetasi hutan saat ini agar tidak terjadi pergeseran dan
mempertahankan kelestarian keanekaragaman hayati di TNGGP. Pencegahan dilakukan dengan melakukan pengaturan terhadap berbagai
aktifitas dan kegiatan masyarakat seperti kegiatan pertanian, perkebunan dan lain- lain pada areal penyangga kawasan konservasi dan pengunjung juga dilakukan
untuk mencegah masuknya spesies tumbuhan asing ke dalam kawasan TNGGP. Pengaturan terhadap pengunjung dilaksanakan baik terhadap pengunjung
pendakian, penelitian maupun expedisi. Hal tersebut dilakukan dengan memberlakukan SIMAKSI yang memuat aturan-aturan untuk masuk dalam
kawasan konservasi. Walaupun SIMAKSI belum memuat hal-hal spesisfik atas pencegahan IAS, namun aturan ini dapat menjadi filter saringan terhadap
potensi penyebaran IAS yang lebih luas. Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu dibuat suatu Standard Operational Procedure SOP sebagai bagian dari
SIMAKSI untuk pencegahan penyebaran IAS baru dalam TNGGP. Penetapan kuota pendakian sebanyak 600 orang perhari, selain sebagai
upaya pengelolaan terhadap sistem keamanan dan kenyamanan pendakian juga merupakan upaya pengelolaan sampah di TNGGP. Dengan adanya penetapan
kuota, pemantauan pendakipengunjung juga lebih mudah dilakukan terutama