Illegal Fishing di Perairan Perbatasan

pertama yang kemudian mengalami stagnasi atau cenderung konstan setelah periode tahun kesepuluh. Gambar 13 Grafik skenario illegal fishing Dalam model ini juga diperoleh informasi mengenai perkembangan upaya penangkapan yang diukur dari jumlah kapal yang beroperasi. Sebagaimana terlihat pada Gambar 14. 100 200 300 400 500 600 700 800 1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49 U pa y a k a pa l Upaya Upaya Gambar 14 Grafik upaya Seperti terlihat pada Gambar 14 nampak bahwa jumlah kapal di Talaud akan mengalami peningkatan dari sekitar rata-rata 500 kapal yang ada pada saat ini menjadi lebih dari 700 kapal di masa mendatang. Perkembangan ini selain dipicu oleh perkembangan penduduk juga sebagai respon dari kemungkinan T a n g k a p P ro d u k s i i ll e g a l 1 t o n Upay a K ap al Tahun Tahun meningkatnya pencurian oleh kapal asing sehingga untuk mengkompensasi kerugian tersebut maka kapal-kapal domestik merespon dengan menambah jumlah kapal yang beroperasi. Sebagai wilayah perbatasan, terjadinya perbedaan harga ikan antara wilayah Talaud dengan daerah lain di Philipina selatan menyebabkan terjadinya kebocoran ekonomi yang tidak sedikit. Berdasarkan simulasi dari model ini dapat diketahui seberapa besar kebocoron ekonomi tersebut. Gambar 16 di bawah ini menunjukkan scenario kebocoran ekonomi akibat kerugian yang ditimbulkan oleh illegal fishing tersebut. Sebagaimana terlihat pada Gambar 15 kerugian ini berkisar antara Rp 1 milyar sampai Rp 2 milyar. Peningkatan kerugian ekonomi terjadi pada awal-awal periode 10 tahun pertama. Hal ini sejalan dengan tingkat terjadinya illegal fishing di wilayah Talaud yang cenderung meningkat pada periode awal. Kerugian ini kemudian cenderung constant pada periode selanjutanya pada kisaran Rp 2 milyar untuk scenario illegal fishing 10 dan sekitar Rp 1 milyar untuk kisaran illegal fishing 5 persen. Gambar 15 Grafik tingkat kerugian Pada model ini dapat pula diperoleh informasi mengenai surplus yang seharusnya diperoleh jika sumber daya perikanan di Talaud dikelola dengan baik. Surplus ini merupkan selisih anatara manfaat ekonomi yang diperoleh dari armada domestik dengan kebocoran akibat illegal fishing. Gambar 16 di bawah ini menunjukkan surplus ekonomi tersebut. Gambar 16 Grafik net surplus setiap skenario Pada Gambar 16 netsurplus1 menunjukkan surplus ekonomi jika tidak terjadi illegal fishing, sementara netsurplus 2 menunjukan surplus yang terjadai pada rate illegal fishing 5 sementara net surplus 3 menunjukkan surplus ekonomi yang diperoleh ketika terjadi illegal fishing pada rate 10. Berdasarkan Gambar 16 terlihat pada potensi ekonomi perikanan Talaud jika tidak terjadi illegal fishing mencapai lebih dari Rp 7 milyar bahkan terus meningkat mencapai hamper Rp 10 milyar, namun jika terjadi illegal fishing oleh kapal-kapal perikanan dari Philipina, maka potensi ekonomi tersebit akan menurun hamper separuhnya. Sementara jika illegal fishing semakin marak dengan rate yang meningkat potensi ekonomi tersebut akan negative pada tahun ke-20 yang tentu saja sudah pada taraf yang merugikan potensi perikanan Talaud itu sendiri.

5.4 Optimasi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Tangkap di Daerah

Perbatasan Kabupaten Kepulauan Talaud Perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan usaha yang kompleks, dimulai dari kegiatan praproduksi identifikasi dan estimasi sumberdaya ikan; penyediaan sarana penangkapan ikan dan pascaproduksi pemasaran dan pengolahan hasil tangkapan. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap harus dilakukan secara terintegrasi dan menyeluruh yang mencangkup seluruh komponen atau sub-sistem terkait di dalamnya. Menurut Kesteven 1973 dan Monintja 2001, komponen utama dari system perikanan tangkap adalah sumberdaya ikan, unit penangkapan ikan, masyarakat nelayan, prasarana pelabuhan,sarana penunjang galangan kapal, bahan alat tangkap ikan dan mesin kapal, unit pemasaran dan unit pengolahan. Keseluruhan komponen perikanan tangkap tersebut, sangat menentukan dalam upaya pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Kode Etik Perikanan yang Bertanggung Jawab Code of Conduct for Responsible FisheriesCCRF yang dikeluarkan oleh FAO tahun1995. Fauzi dan Anna 2005 mengemukakan bahwa apabila dalam mengembangkan perikanan tangkap tidak memperhatikan kaidah-kaidah berkelanjutannya, tangkapan berlebih dan praktek-praktek penangkapan ikan yang merusak. Hal ini dipicu karena keinginan untuk memenuhi kepentingan sesaat atau masa kini, sehingga tingkat eksploitasi sumberdaya perikanan sedemikian rupa untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam waktu yang singkat. Akibatnya, kepentingan lingkungan diabaikan dan penggunaan teknologi yang menghasilkan secara cepat quick yielding yang bersifat merusak dapat terjadi. Pegembangan perikanan tangkap pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat,khususnya nelayan,dan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan serta lingkungannya. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang UU Perikanan No. 31 tahun 2004 pasal 3, yaitu: 1 meningkatkan taraf hidup nelayan 2 meningkatkan penerimaan dan devisa Negara, 3 mendorong perluasan kerja, 4 meningkatkan ketersediaan dan konsumsi sumberdaya ikan, 5 mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya ikan,6 meningkatkan produktivitas,mutu,nilai tambah dan daya saing,7 meningkatkan ketersediaan bahan baku industri pengolahan ikan,8 mencapai pemanfaatan sumberdaya ikan dan lingkungan secara optimal,9 menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap yang berkelanjutan akan terwujud dengan baik, apabila komponen-komponen utamannya berjalan secara optimum dan terintegrasi. Pengadaaan dan penyediaan sarana produksi harus mampu mendukung kebutuhan kegiatan produksi atau sebalikya. Demikian pula dalam kegiatan produksi selain memperhatikan kondisi ekosistem perairan dan sumberdayanya, juga harus mengaitkan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran hasil perikanan. Belum tercapainya tingkat produktivitas dan efisiensi usaha perikanan tangkap yang optimum, disebabkan oleh belum terintegrasinya perencanaan pengembangan antara komponen produksi hingga paskaproduksi, sehingga sering terjadi ketidakseimbangan atau ketimpangan nilai kecukupan diantara komponen tersebut. Walaupun setiap komponen utama ini memiliki fungsi dan peran berdiri sendiri, karena adanya saling keterkaitan antara satu dengan lainnya. Oleh karena itu, untuk mewujudkan pengembangan kegiatan perikanan tangkap bertanggung jawab dengan hasil yang optimum di kawasan perbatasan di Kabupaten Kepulauan Talaud, perlu diakukan estimasi nilai optimum dari setiap komponen perikanan tangkap tersebut. Selanjutnya, dengan melihat kondisi perikanan tangkap yang ada di kawasan perbatasan di Kabupaten Kepulauan Talaud ini, dapat diformulasikan suatu rekomendasi kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang tepat.

1. Optimasi unit penangkapan ikan

Linear Goal Programming dalam penelitian ini bertujuan untuk mengalokasikan jumlah unit penangkapan ikan yang optimum di perairan laut Kepulauan Talaud. Berdasarkan analisis sebelumnya, unit penangkapan ikan yang menangkap sumber daya ikan utama adalah: pukat cincin, jaring insang hanyut, dan pancing tonda. Untuk pengolahan data, unit penangkapan pukat cincin disimbolkan dengan X1, jaring insang hanyut disimbolkan dengan X2, dan pancing tonda disimbolkan dengan X3. Tujuan yang ingin dicapai dalam analisis ini antara lain adalah: 1 Mengoptimumkan pemanfaatan sumber daya ikan utama atau unggulan di perairan laut Kabupaten Talaud. Sumberdaya ikan dominan dan unggulan di Kabupaten Talaud yang dioptimumkan adalah kelompok ikan pelagis yang terdiri dari ikan layang, tongkol, cakalang, dan tuna. Kemudian nilai produktivitas rataan dari ketiga jenis alat tangkap yang menangkap ikan utama tersebut, berturut-turut sebesar 125 tonkapaltahun untuk pukat cincin, 1,5 tonkapaltahun untuk