Ayah dari informan AD juga merupakan pekerja dewasa di kilang. Pria yang merupakan tamatan SD ini mengaku sudah bekerja
sejak masih kecil dan tidak lagi melanjut sekolah karena terbiasa mencari uang dari hasilnya bekerja.
4.2.3.4. Informan AK
Informan AK merupakan pekerja dewasa yang bertugas sebagai mandor para pekerja yang bekerja di kilang. Pria berusia 53 tahun
dan beretnis China ini memiliki pengaruh yang cukup besar dalam proses kerja yang berlangsung di kilang. Ketidakhadirannya akan
mengakibatkan pekerjaan di kilang tidak dapat berjalan karena tidak adanya orang yang mengawasi dan mendata hasil kerja para pekerja,
sehingga kilang akan tutup.
Informan AK masih memiliki hubungan sedarah dengan pemilik kilang
ini menjadi orang kepercayaan pemilik kilang. Penghasilannya dapat mencapai kurang lebih Rp. 5.000.000,- per
bulannya.
4.3. Proses Kerja yang Berlangsung di Kilang
Para pekerja biasanya memulai bekerja dari pukul 07.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB. Jam istirahat untuk para pekerja berlangsung 2 kali, yaitu pada pukul
Universitas Sumatera Utara
09.00 dan pukul 12.00 WIB. Para pekerja biasanya menerima upah 2 kali dalam seminggu, yaitu pada hari Rabu dan Sabtu.
Kilang ini dikoordinir oleh seorang mandor bernama informan AK di bawah pengawasan RN yang merupakan anak dari UY. Ia bertugas untuk mengawasi
proses kerja, mencatat hasil kerja dan memberi upah para pekerja di kilang batu bata. Informan AK juga merupakan etnis China dan masih memiliki hubungan
sedarah dengan pemilik kilang. Mayoritas para pekerja di kilang batu bata ini beretnis Jawa dan beragama Islam.
Proses pekerjaan di kilang ini, dimulai dari pencetakan bakal batu bata yang sering disebut oleh pekerja dimesin karena menggunakan mesin. Selanjutnya hasil
yang sudah dicetak, disusun sering disebut didinding untuk dikeringkan sering disebut dingangin, kemudian diantar ke dapur pembakaran dengan menggunakan
porklet untuk dibakar. Batu-batu yang telah dibakar ini yang akan disusun kembali di atas papan. Aktifitas ini sering disebut malet. Batu bata yang dipesan
oleh pelanggan akhirnya akan disusun ke dalam beberapa truk untuk dijual sesuai dengan pesanan pelanggan.
Anak-anak dan kaum ibu biasanya bekerja sebagai penyusun bakal batu bata yang sudah dicetak untuk disusun di atas papan. Satu papan berisi 505 bakal batu
yang akan disusun dengan upah per papan Rp. 1.500,-. Di antara para ibu, ada juga yang terlibat dalam proses pencetakan batu bata. Sedang dalam proses
pengangkutan, pembakaran dan penyusunan batu bata hasil bakaran ke papan dan ke dalam truk, dikerjakan oleh pekerja pria yang dianggap telah dewasa.
Kemiskinan ekonomi yang terjadi pada masyarakat yang tinggal di sekitar kilang batu bata, menjadi salah satu faktor utama pendorong yang mengakibatkan
Universitas Sumatera Utara
anak-anak dari masyarakat tersebut harus terlibat bekerja di kilang batu bata. Bagi keluarga miskin tersebut, hal ini sangat menolong mereka dalam memenuhi
kebutuhan dasar keluarga apalagi didukung dengan tidak adanya persyaratan khusus untuk bisa menjadi pekerja di kilang batu bata.
Tidak sedikit dari para orangtua yang bekerja di kilang, membawa anak-anak mereka untuk membantu mereka menyusun batu bata. Anak-anak yang dibawa
orangtua mereka bekerja menyusun batu bata akhirnya saling berinteraksi dan bermain bersama di kala jam istirahat. Kebiasaan inilah yang akhirnya melahirkan
solidaritas diantara anak-anak di kilang. Mereka mulai bekerja sama untuk membentuk nama secara pribadi agar mendapat upah langsung dari mandor tanpa
menunggu upah orangtua mereka bekerja. Adakalanya di saat yang lain sudah mulai lelah, anak-anak yang lain membantu menolong menyusun bata sehingga
pekerjaan terasa lebih ringan. Hal ini terjadi secara berulang-ulang hingga mereka terbiasa bekerja secara mandiri dan akhirnya menjadi pekerja anak.
Para pekerja anak yang terbiasa bekerja di kilang juga mengajak anak-anak lainnya untuk ikut serta bekerja di kilang dengan menjanjikan akan mendapat
upah yang cukup untuk seusia mereka. Sosialisasi ini yang memunculkan proses enkulturasi di dalam masyarakat, khususnya anak-anak di sekitar kilang sehingga
bekerja sebagai penyusun batu bata menjadi kebudayaan di dalam masyarakat sekitar kilang. Hal ini akhirnya memunculkan adanya anggapan masyarakat
miskin di sekitar kilang yang mencap bahwa anak-anak yang tidak bekerja di kilang bersama orangtua mereka dianggap anak yang pemalas dan tidak
membantu orangtua.
Universitas Sumatera Utara
Proses enkulturasi yang terjadi di dalam masyarakat di sekitar kilang batu bata mengakibatkan para anak lebih sering bekerja daripada belajar di rumah.
Orangtua akhirnya menjadikan hal ini sebagai suatu kewajaran. Bahkan mereka mengizinkan anak-anak mereka lebih banyak bermain di luar rumah setelah
bekerja, daripada belajar di rumah karena merasa bahwa anak-anak mereka sudah banyak membantu orangtua dan telah lelah bekerja. Proses enkulturasi yang
terjadi juga mengakibatkan para pekerja anak cenderung lebih menyukai bekerja daripada belajar di sekolah. Hal ini disebabkan karena dengan bekerja mereka
mendapatkan uang yang mereka harapkan yang tidak sebanding dengan uang yang mereka terima dari orangtua mereka.
Bagi pekerja anak, bekerja di kilang itu juga berarti bertemu dengan teman- teman sebaya mereka sehingga mereka juga bisa bermain di kala jam istirahat
bekerja. Kebiasaan ini berlangsung secara berulang-ulang sehingga anak-anak menjadikan bekerja di kilang adalah bagian dari kebudayaan yang menyenangkan
di tempat tinggal mereka.
4.4. Kehidupan Pekerja Anak di Kilang Batu Bata