Hubungan Patron-Klien di Antara Mandor dan Para Pekerja Anak Solidaritas Sesama Pekerja Anak

Selain berpengaruh buruk terhadap kesehatan seluruh para pekerja, baik pekerja dewasa maupun pekerja anak, debu yang timbul dari batu bata juga akan berpengaruh buruk bagi kesehatan seluruh keluarga yang tinggal secara gratis di dalam batu bata. Namun, para pekerja tampak tidak mempedulikan bahaya yang akan ditimbulkan dari efek debu tanah tersebut. Hal ini terbukti dari adanya para pekerja yang bekerja tanpa mempergunakan masker penutup hidung. Bahkan hampir seluruh pekerja anak tidak menggunakan alas kaki karena dianggap percuma. Bahaya yang timbul dari debu memang tidak secara langsung dirasakan oleh para pekerja. Namun, secara medis akan timbul pada saat-saat tertentu sehingga berpengaruh buruk bagi kesehatan setiap orang yang setiap hari secara langsung terlibat di dalam kilang.

4.6. Hubungan Patron-Klien di Antara Mandor dan Para Pekerja Anak

Kata patron berasal dari bahasa Latin patronus yang berarti bangsawan, sedangkan klien berasal dari kata clien yang berarti pengikut Kausar, 2009:16. Hubungan Patron-Klien, atau biasa disebut juga hubungan klientelisme adalah hubungan hierarkis yang satu pihak merasa bergantung kepada pihak lain karena terjadinya suatu ikatan yang didasari oleh ketidaksamaan kedudukan dan kekuasaan, dalam hal ini terjadi diantara mandor dan para pekerja anak. Interaksi sosial yang terjadi diantara mandor dan para pekerja anak terjalin dengan baik. Hubungan yang terjadi diantara mereka bersifat persahabatan instrumental karena tiap pihak mempunyai saling kepentingan. Semakin banyak Universitas Sumatera Utara tenaga kerja maka semakin banyak pula hasil produksi yang akan dihasilkan. Apalagi pekerja anak bersedia mendapat upah yang rendah. Hubungan antara dua pihak, yaitu mandor dan para pekerja anak yang mempunyai perbedaan kedudukan, kekuasaan, ataupun tingkat sosial ekonominya saling memberi antara satu dengan yang lainnya meskipun ketidakseimbangan yang ada padanya. Mandor yang berinteraksi langsung dengan para pekerja, menjadi orang kepercayaan pemilik perusahaan kilang batu bata dibayar dengan gaji yang jauh lebih tinggi yaitu kurang lebih Rp. 5.000.000,- perbulannya sedangkan pekerja anak hanya diupah dengan uang sebesar Rp. 1.500,- per papan. Para pekerja anak maupun para pekerja dewasa juga diberikan pinjaman uang sekedarnya oleh mandor tersebut. Uang yang dipinjam kepada mandor akan diganti dengan hasil kerja yang sudah mereka lakukan dalam kurun waktu seminggu.

4.7. Faktor Ekonomi Keluarga dan Lingkungan Sosial Mendorong Anak Bekerja

Pada dasarnya, proses ikut sertanya anak-anak dalam kegiatan ekonomi dan menjadi pekerja anak di kilang batu bata dipengaruhi oleh adanya faktor latar belakang ekonomi keluarga yang rendah dan faktor lingkungan sosial mereka tinggal. Kemiskinan dan budaya di lingkungan tempat tinggal para pekerja anak mendorong para anak untuk terbiasa bekerja di usia dini sehingga mereka dapat beradaptasi dengan keberadaan mereka. Lingkungan pekerjaan membentuk Universitas Sumatera Utara sebagaian kepribadian anak yang menjadi pekerja kilang, rata-rata membawa pola hidup pekerjaannya kepada anggota keluarga lainnya. Hal ini akan mempengaruhi pola kehidupan keluarga pekerja anak yang bersangkutan.

4.7.1. Faktor Ekonomi Keluarga

Pekerja anak merupakan masalah yang cukup kompleks. Dari hasil temuan di lapangan, kemiskinan berhubungan positif dengan kecenderungan anak untuk bekerja. Faktor utama yang menyebabkan anak terpaksa bekerja adalah karena faktor kemiskinan struktural. Berikut hasil wawancara dari salah seorang informan yang diakui pekerja anak sebagai keluarga yang mengaku bahwa sejak usia dini sudah putus sekolah akibat faktor kemiskinan. “Pendidikan terakhir SD. SD pun gak tamat. Semua kami gada yang tamat. Adikku kelas dua. Satu lagi kelas empat. Aku kelas tiga.” Hasil wawancara dari informan PI, Oktober 2013 Bekerja pada usia anak, mengakibatkan pekerja anak kehilangan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan pendidikan. Mereka kehilangan waktu lebih untuk mereka seharusnya menikmati masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian. Orangtua seringkali tidak dapat memberikan apa yang dibutuhkan oleh anak dengan baik. Berikut hasil wawancara dari pekerja dewasa tentang hal tersebut. Universitas Sumatera Utara “Orangtua pun dukungannya nggak ada. Kalau orangtua gak dukung ya sama aja. Itu semua dari dukungan orangtua. Ada orangtua dukung, tapi nggak mampu. Dibenahi pun, ga bisa itu. Segi dari kerajinan orangtua pun nggak ada. Cara berpakaian, cara berhias mana ada. Corat marit. Anak tidak ada diajari yang lain. Masih SD pun nggak tamat.” Hasil wawancara dengan informan AM, Desember 2013 Tidak sedikit dari pekerja anak yang akhirnya terpaksa putus sekolah atau yang tidak bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Mereka putus sekolah karena keterbatasan ekonomi keluarga. Pekerja anak juga akan mengalami kesulitan untuk membagi waktu dan perhatian. Oleh karena itu, pekerja anak rentan putus sekolah. Berikut hasil wawancara dengan salah satu informan yang mengaku sudah putus sekolah sejak berada di bangku kelas 1 SD. “Aku nggak sekolah lagi sejak kelas satu SD kak. Suruh abang, “Gak usah sekolah lagi kau, Duk, bantuin abang aja.” Satu hari bisa dapat tiga papan, Kak. Mamak nggak marah aku nggak sekolah.” Hasil wawancara dari informan DV, Oktober 2013 Perekonomian keluarga yang tidak mendukung anak untuk hidup layak, mengakibatkan anak harus terlibat bekerja untuk membantu ekonomi keluarga mereka. Hal ini, secara langsung maupun tidak langsung berdampak terhadap perkembangan diri anak, khususnya terhadap proses pendidikan pada anak. Universitas Sumatera Utara

4.7.2. Faktor Lingkungan Sosial

Selain faktor ekonomi keluarga, faktor lingkungan sosial juga mendorong anak di sekitar kilang batu bata terlibat bekerja. Masyarakat setempat biasanya mendefinisikan anak yang bekerja sebagai upaya membantu orang tua. Anak yang tidak melakukannya sementara orang tua mengharapkannya demikian, dianggap tidak mengerti keadaan orang tua sedangkan anak yang bekerja tanpa disuruh dan diharapkan untuk bekerja disebut mengerti kesulitan orangtua. Edy Ikhsan, 2000 : 53 Anak-anak saling berinteraksi dengan teman-teman sebaya mereka yang memiliki latar belakang kondisi ekonomi keluarga yang sama dengan mereka dan cenderung bekerja sebagai penyusun batu bata. Akibatnya, terjadilah proses sosialisasi untuk ikut terlibat di dalamnya, sehingga mereka menjadi pekerja anak sama dengan teman-teman sebaya mereka. Hal tersebut diperkuat dari hasil wawancara berikut. Aku tau pertamanya diajarin kawan, rumahnya kan sebelah-sebelahan. Pertama-tamanya ga tau kan ga pande. Tengok-tengok ke kilang. Kayaknya enak. Lama-lama tau sendiri. Bikin nama sendiri. Dapat duit. Hasil wawancara dari informan MR, Desember 2013 Hal yang sama juga diperoleh dari pekerja anak lainnya. Berikut ini hasil wawancara yang mendukung hal tersebut. “Aku kerja disini karena diajak kawan-kawan, Kak. Jadi tau. Kawan-kawan disini baik. Mandor disini juga baik.” Hasil wawancara dari informan RH, Oktober 2013 Universitas Sumatera Utara Pekerja anak cenderung lebih menyukai bekerja dibandingkan sekolah karena dengan bekerja mereka dapat memperoleh uang lebih untuk “jajan” atau ditabung. Selain itu, bekerja berarti berkumpul bersama-sama dengan teman-teman sebaya sehingga bisa menikmati kebersamaan dengan teman- teman sebaya.

4.8. Solidaritas Sesama Pekerja Anak

Interaksi sosial yang sering terjadi diantara sesama pekerja anak mendorong timbulnya suatu hubungan sosial yang lebih erat diantara mereka. Hal ini dipengaruhi oleh adanya dasar pemikiran bahwa mereka memiliki latar belakang keluarga yang sama sehingga mendorong munculnya kerja sama diantara sesama pekerja anak. Merton Deuttah dalam buku Dinamika Kelompok Slamet Sentosa, 2009: 22, menegaskan bahwa proses timbulnya kerja sama adalah apabila individu menyadari bahwa mereka mempunyai tujuan atau kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan pengendalian diri untuk memenuhi kerja sama tersebut. Para pekerja anak yang mempunyai tujuan dan kepentingan yang sama, juga sering saling tolong menolong ketika melihat ada temannya yang belum selesai bekerja. Hal ini diperoleh dari beberapa pekerja anak perihal hubungan mereka dengan sesama pekerja anak. Berikut hasil wawancaranya. “Kami banyak yang kerja anak-anak kecil. Kami saling bantu membantu. Papan dia dulu, baru papanku diisi. Universitas Sumatera Utara Orang-orang di kilang baik-baik kok, Kak.” Hasil wawancara dari informan MR, Desember 2013 Informan VN juga memberikan pernyataan yang sama ketika ditanya perihal hubungannya dengan sesama pekerja anak. Berikut hasil wawancaranya. “Pertamanya aku tahu kerja di kilang dari nenek. Dulu nenek kan kerja di kilang. Jadi, aku bantu-bantu nenek kerja. Habis nenek gak ada, diajak-ajak sama kawan juga. Kerja buat nama sendiri. Kadang kalau gak siap aku, dibantuin sama kawan-kawan.” Hasil wawancara dari informan VN, Januari 2013 Kerja sama dalam bekerja yang terjadi diantara para pekerja anak, akan membantu mereka untuk dapat bermain bersama setelah mereka selesai bekerja. Semakin cepat selesainya pekerjaan yang mereka lakukan, maka semakin cepat pula mereka bisa bermain bersama. Hal inilah yang mengakibatkan para pekerja anak semakin memiliki rasa solidaritas yang baik diantara mereka karena memiliki tujuan dan aktivitas keseharian yang sama.

4.9. Pola Asuh Otoriter dalam Kehidupan Pekerja Anak